The End

Mulai besok tidak ada lagi kita, Vin. It's the end of us.

TERBANGUN dalam keadaan kacau sudah menjadi rutinitas Gavin selama dua tahun ini. Sukses ditinggalkan oleh Lovea, tidak menjadikannya benar-benar manusia. Dia tidak bisa lagi bergairah menyentuh sembarang wanita tanpa membayangkan Lovea. Tidak bisa. Jika bukan Vea, semuanya tidak berjalan seperti semestinya.

Hanya lembaran kertas yang sudah menguning sejak Gavin menemukannya di bawah lemari bacanya. Hanya lembaran itu yang menguatkan Gavin, bahwa Vea masih ada untuknya dan selalu bersamanya.

"Mimpi lagi?"

Tanpa perlu menjawab, Erlita tahu jawabannya.

"Kakak enggak peduli dia siapa kamu. Kakak juga enggak mau tahu, seberapa besar dia berarti dalam hidup kamu. Tapi tuduhan itu sudah menunjukkan, Vin. Dia bukan perempuan baik. Dia nuduh kamu memperkosa––"

"Bukan Ve yang nuduh, Kak. Keluarganya enggak terima dengan perlakuanku. Semua itu benar. Ve bukan perempuan seperti yang kakak sebut."

Erlita menghembuskan napas lelah. "Terserah kamu." Diletakkannya susu hangat dan dua lembar roti sebagai penghantar agar Gavin bisa istirahat kembali.

Sudah lama Erlita tidak bisa melihat Gavin yang tertidur nyenyak lagi. Setiap malam, ada saja mengejutkan orang rumah karena dia tiba-tiba bangun dan membuat suara gaduh.

Semuanya terjadi karena kepergian Vea yang dikatakan diperkosa oleh suaminya sendiri. Walau yang menggebu menuntut adalah keluarga Vea, bukan wanita itu sendiri.

Gavin hanya bisa menyesalkan keadaan. Jika saja dia mau meniatkan diri untuk berubah dan menjauhi kebiasaannya yang dia kira Vea tidak mengetahuinya itu, hubungan delapan tahun mereka akan baik-baik saja. Tidak ada insiden yang semakin membuatnya ditentang oleh keluarga Lovea.

"Aku rindu, Ve. Aku rindu pulang."

*

Semua usaha dari kakak, orangtua, serta teman-temannya harus Gavin apresiasi. Rasanya, tidak sopan sekali terus menerus mengabaikan niat baik mereka. Selalu menolak inisiatif yang jelas sekali sulit untuk dilakukan jika saja tidak benar-benar peduli terhadap Gavin.

"Besok kamu ada acara?"

Pavitre. Adalah perempuan yang pada akhirnya Gavin niatkan untuk serius. Dia mau belajar mengubah kebiasaan buruk yang dulu sempat menghancurkan hubungannya dengan Vea.

"Enggak ada. Paling ke rumah mama papa aja," jawab Gavin.

"Temenin aku mau enggak, Vin?"

"Ke mana?"

Pavi menyentuh lengan Gavin, menyematkan jari mereka menyatu. "Ke acara pernikahan mantan aku." Dengan nada ragu-ragu Pavi menyampaikan.

Gavin tertawa. Lelaki itu merasa sikap Pavi yang takut menyampaikan maksud adalah hal yang lucu.

"Kok ketawa, sih, Vin?"

"Ya, iya... ke acara nikahan mantan aja sampai mau ngompol."

Menemukan Pavitre tidak menjadikan Gavin lupa dengan masa lalu, tidak semudah itu. Namun, dia harus bangun untuk menemukan lembaran baru. Toh, Vea juga sudah tak pernah terlihat lagi keberadaannya. Mungkin sudah cukup selama delapan tahun hidup bersama Gavin dan terus menerus merasakan sakit, perempuan itu sampai menghilang bagai ditelan bumi.

"Kan namanya juga mantan, masa aku ketawa-tawa bilang ke kamu. Nanti cemburu lagi."

Pavitre memang suka bicara sekenanya saja. Perempuan itu tidak pernah mengatakan yang aneh-aneh mengenai hubungan mereka, pun terlalu bodoh amat dengan kisah rumit yang sempat dijalani Gavin.

"Kamu masih bisa akrab sama mantanmu, ya." Gavin tidak menyangka akan menanyakan ini, tapi dia merasa iri dengan keakraban Pavi dengan mantannya.

"Bisalah!" Melepaskan tautan jemari mereka, Pavi mengambil langkah menuju ruang tengah. "Bikinin aku makanan, dong, Vin. Aku capek banget abis pemotretan tadi."

"Oke."

Satu lagi, Pavi tak seperti Lovea yang sigap mengurusnya sebagai pasangan. Lalu... apa membandingkan keduanya tak apa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top