8. Bodoh

Kapan terakhir kali merasa bodoh?

... setiap kali mengingatnya...

Bagi Vea yang selalu terlihat salah di mata para tetua di kediaman Gavin, atau lebih tepatnya keluarga Gavin, wanita seperti dirinya tak perlu merasa perlu memutuskan apakah dia harus dinilai benar atau salah. Yang tahu bagaimana dirinya, ya Vea sendiri dan Tuhan. Meski disalahkan karena dianggap membuka aib rumah tangga sendiri, Vea tak merasa salah, karena yang salah adalah dengan menyembunyikan fakta yang ada.

Ini yang harus Vea akui, dirinya salah. Membuat kedua orangtuanya terbebani dengan kenyataan yang belum utuh diungkap di depan keluarga Gavin. Namun, Vea juga merasa benar saat itu. Gavin tak ada di sana saat pertemuan antar keluarga itu terjadi.

"Sekarang, terserah kamu mau seperti apa masalah yang belum keluarga kamu tahu itu. Toh akupun nggak memiliki hak apa-apa untuk ngotot menjelaskan ke mereka. Dan... kita udah selesai, Vin. Nggak perlu lagi menganggungkan kesempatan kedua. Yang perlu kita urus dengan fokus adalah si kembar, kan?"

"Aku pastinya nggak mau kamu terlihat dan dianggap bodoh oleh keluargaku."

Lovea menghela napasnya. "Udah berlalu, Vin. Tapi kalo kamu mau menjelaskan ke mereka, aku pikir... lebih baik jelaskan saat keluargamu dengan keras kepala memperkarakan keberadaan si kembar. Itu saja. Jangan memancing masalah yang seharusnya nggak penting-penting banget buat dikuak."

"Bagi kamu itu nggak penting?"

"Apa? Penilaian keluarga kamu?" Vea menarik sudut bibirnya. "Nggak penting lagi, Vin. Aku udah terlalu banyak memikirkan kalian dulu. Sekarang bukan kalian lagi yang harus aku pikirkan. Lagi pula, aku udah terlalu lama sakit dengan mengendapkan banyak pemikiran negatif dari keluargamu."

Gavin berpikir dirinya bisa lebih kuat menghadapi penolakan dari mantan istrinya. Penolakan yang berbentuk kata tak penting lagi bagi Vea. Sudah jelas bahwa wanita yang sudah semakin dewasa itu terbiasa mengisi harinya dengan ketiadaan Gavin maupun keluarga pria itu. Namun, menghadapi kata demi kata yang terurai dari bibir mantan istrinya sangatlah mengejutkan. Vea nggak peduli penilaian dari keluarga gue.

"Si kembar, siapa namanya?" Gavin mengalihkan pembicaraan.

"Gendis kakaknya, dan Djiwa adiknya." Vea menjawab dengan senyuman yang terukir. Menceritakan dengan luwes mengenai anak-anak mereka. Kelahirannya, bagaimana sifat mereka imbang saling diwarisi oleh si kembar dan banyak hal lainnya yang begitu lancer keluar dari mulut Lovea. Wanita itu bahkan seperti lupa bahwa mereka baru bisa bicara empat mata dan santai hari itu, belum ada hari yang mengawali bagaimana mereka bisa seakrab ini semenjak menjadi mantan pasangan suami istri, yang sebelumnya penuh drama pelik.

Sedangkan Gavin, dia terpesona berkali-kali dengan pembawaan Vea yang justru semakin matang. Bagaimana cara wanita itu menceritakan si kembar adalah surge duniawi bagi Gavin sekarang.

Mengingat surge duniawi, Gavin jadi ingat dirinya perlu mengatakan pada Vea mengenai sesuatu. "Aku udah periksa, Ve. Aman."

Lovea termangu. "Aku tahu kamu sering medical check up ke rumah sakit dulu. Riwayat pemeriksaan kamu ada di rumah kita. Mungkin kamu lupa meninggalkannya di sana. Tapi sejak itu aku juga mikir, aku terlalu kotor buat kamu. Makanya aku menghilangkan kebiasaan..."

"Main perempuan."

Karena Gavin tak mau mengucapkannya, maka Vea melanjutkannya.

"Ya... aku minta maaf—dari dalam hati, serius—ke kamu. Aku jelas sekali bukan pria sempurna buat kamu."

"Aku sama sekali nggak mempermasalahkan kesempurnaan, Vin. Yang aku permasalahkan kenapa kamu suka sekali merusak rencana masa depan?"

Kini, Gavin tidak bisa bersikap seenaknya sendiri mengatur topik pembicaraan. Vea tak akan melepaskan pembahasan ini, bukan? Jadi, ketika Gavin merasa perlu menjelaskan semuanya dia hanya bisa meminta maaf terhadap Vea atas sikap buruknya.

"Aku nggak bisa memaafkan diriku sendiri selama dua tahun lebih kita pisah. Kamu sama sekali nggak memberi maafmu buatku. Bahkan sampai sekarang, kamu belum mau membagi kata maafmu, Ve. Tapi, aku beneran nggak tahu kenapa kebiasaan itu nggak bisa terlepas walaupun aku sudah punya kamu—dengerin aku dulu," ucap Gavin yang tahu Vea membuka mulutnya untuk memotong ucapan pria itu. "aku sendiri nggak terima ketika kamu menyalahkan aku sebagai perusak rumah tangga kita, tapi kamu benar... aku memang perusak. Dari zaman muda, aku nggak pernah deket sama perempuan hanya pegangan tangan atau cium pipi seperti bersama kamu. Nyatanya, aku bisa nyaman sama kamu walaupun cuma kegiatan itu aja yang kamu izinkan. Setelah banyak rintangan di masa pacaran, aku memaksa kamu untuk menikah denganku. Itu karena dorongan nafsu juga. Aku pengin memiliki kamu secara fisik aja saat itu. Maaf untuk fakta ini, Ve. Tapi kamu harus tahu, aku beneran mencintai kamu, meskipun sikap merusak yang aku miliki belum kulepas waktu itu. Maafin aku, Ve. Setelah kamu meminta pisah, aku nggak tahu aku berpijak di dunia yang mana. Kebiasaan itu rutin aku hindari karena dipikiranku... cuma kamu."

Gavin bisa mendengar dengusan samar dari Vea. "Nggak menutup kemungkinan kebiasaan kamu itu balik lagi, kalo kamu masih maksa kita bersama. Kamu hanya terobsesi memiliki aku, setelah dapat... kamu lebih suka merusak perempuan aja." Kentara sekali nada tak suka dari setiap kata yang tersusun dari mulut Lovea.

"Apa aku juga merusak kamu?"

Pertanyaan bodoh macam apa itu, Vin?

"Aku nggak akan menjawabnya. Kamu bisa memikirkannya sendiri. Iya atau nggak."

Bergantian Gavin yang mendengus. "Kenapa susah sekali membuat komunikasi yang baik dengan kamu, sih, Ve?!"

"Aku udah terlalu banyak bersikap baik sama kamu. Apa kamu nggak bisa melihat itu? Apa aku harus kabur lagi supaya kamu bisa berpikir bahwa komunikasi yang baik itu udah kita lakukan sedari kamu datang dan merusak konsentrasiku?!"

Merusak konsentrasi. Bahkan kalimat tersebut terlalu romantis untuk diucapkan oleh Vea, tapi wanita itu memilih padanan kata tersebut karena Vea tak mau menjadi pribadi dewasa yang tak jujur lagi.

"Kamu... masih...?"

"Cinta kamu? Ya! Tentu aja. Apalagi ada si kembar yang selalu berhasil membuat aku ingat kamu dan kenangan kita. Tapi, Vin... jangan salah paham. Cinta yang aku miliki udah nggak segila dulu. Jadi, kalo kamu pikir aku akan nerima kamu kembali dan kita bersama... sorry to say, never."

***

Cerita ini sudah tamat dan bisa kalian beli versi ebooknya di google playbook denga cari 'Faitna YA'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top