7. Mengungkap

Lovea pernah menjadi pesakitan, pada masa yang Vea sendiri tak menyadari siapa dirinya. Sebegitu tertekan akan pemikirannya sendiri. Terlempar jauh dari kenyataan bahwa dirinya tidak baik-baik saja dan tidak bisa menghadapi masalahnya sendiri. Vea butuh dukungan. Namun, Vea menyimpulkan bahwa dukungan bisa berbentuk membayar jasa seorang psikolog dan psikiater untuk memberinya dukungan.

Baru dia sadari setelah kembali ke kehidupannya yang lebih tenang bersama keluarga. Benar-benar keluarga. Papa dan mamanya tak membiarkan Vea merasa kesepian dan sendirian dalam segala hal. Meski mereka tak ikut terlibat secara langsung, tapi setiap usaha yang Vea lakoni adalah bentuk dari dukungan berupa doa dan selalu membuat Vea ingat bahwa dirinya tak sendirian saja di dunia ini. Karena sejatinya, keluarga itu kebersamaan bukan sendirian.

Ketika masa kelamnya hadir, berupa kilas kisah saat dirinya dihakimi oleh keluarga Gavin yang tak mau mengalah bahwa putra keluarga mereka memiliki salah yang teramat pada Vea, keluargalah yang menjadi tumpuan utama yang Lovea miliki.

"Saya nggak habis piker sama keluarga ini! Bisa-bisanya menuduh anak kami pemerkosa!" ucap Ayah Gavin Mahendra.

Tentu mereka tak terima dengan tuntutan yang ada. Dalam pikiran mereka yang—menurut mereka—logis, kasus pemerkosaan dalam sebuah rumah tangga adalah tabu adanya. Namun, Lovea tak mau mundur meminta keluarganya mengurus tuntutan tersebut.

Dermaja mendengarkan saja bahasa yang keluar dari bibir Mahendra yang masih saja meneyerukan, "Kasus seperti ini hanya harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Nggak perlulah dibawa ke meja hijau segala! Memalukan! Aib ini namanya!" Mahendra terus berucap tak terima. "Apa nggak mikir kalian itu, masalah ranjang begini sampai orang pengadilan, bahkan kepolisian ketahui?! Bodoh atau gimana, sih kalian itu?!"

Dermaja tak terang-terangan membalas, juga tak memborbardir pihak Gavin bahwa yang benar adalah mereka—pihak Lovea. Saking bijaksananya seorang Dermaja, mengetahui putri semata wayangnya yang sudah lemas dan tak benar-benar ada di sana memilih berkata, "Kita nggak akan pernah selesai meninggikan ego yang kita punya, Mahendra. Kalo ada hal yang patut disebut aib, itu adalah perilaku anakmu sendiri. Saya nggak perlu membela siapapun di sini, yang saya tahu, istri Gavin yang tidak lain adalah putri saya sendiri mengaku telah diperkosa suaminya sendiri sampai ada bekas luka ditubuhnya. Terima atau tidak, saya piker kami tidak perlu memikirkan harga diri atau harga tahta keluargamu. Yang terpenting adalah kondisi Lovea yang... bisa kamu lihat sendiri, Mahendra. Miris."

Bahkan seorang Dermaja bisa mengungkapkan bahwa keadaan putrinya saat itu sangat miris. Itulah alasan juga mengapa Ivanka tak mampu berkata lain selain bersikukuh, "Saya tidak akan membiarkan putri saya disakiti! Saya akan menuntut Gavin yang tidak bertanggung jawab sama sekali atas putri saya!"

Tangisan, teriakan, dan amarah yang membuat nyonya Ivanka merasakan hatinya pilu ketika tahu tebakannya akan perilaku Gavin benar adanya, bahkan lebih buruk dari yang terkira. Meski begitu, keluarga Lovea bukan kumpulan orang bar-bar saat sedang emosi. Mereka terpelajar hingga kemelut keluarga itu tak terendus oleh media yang suka mencari gara-gara.

Buktinya, kedua belah pihak tak dirugikan sama sekali masalah reputasi perusahaan dan sebagainya. Walaupun faktor terbesarnya adalah bagaimana pihak Lovea mengalah dengan mencabut tuntutan dan memilih tak membesarkan masalah dengan mendiamkan segalanya. Menyembunyikan raungan amarah mereka, menekan buncah kekecewaan yang mereka punya.

Ketika terpaan angina sejuk air conditioner menyapa kulit mereka sehabis dari dunia luar. Gavin akhirnya tahu dimana Vea selama ini bersembunyi darinya.

Perumahan biasa? Begitu batin Gavin meraung. Tidak pernah terbayangkan oleh Gavin sebenarnya, Vea mau tinggal di deretan perumahan yang biasa sedangkan...

"Jani, tolong siapkan minum untuk tamu saya."

Tamu? Sungguh Gavin tak suka mendengarnya.

Ama yang menerima Gendis tak banyak berkata seperti Jani yang usianya memang lebih muda. Pengasuh dengan wajah khas orang Jawa yang lebih suka bekerja ketimbang bicara itu memberikan senyuman pada tamu Lovea.

"Susunya masih, kan, Mbak?"

"Masih, Bu."

"Yaudah, anak-anak biarin main di atas. Nanti kalo rewel bawa langsung ke sini aja, ya."

Ama mematuhi dengan cermat setiap perintah Lovea. Ketika berganti Jani yang membawakan nampan minuman, rasa sungkan dan takut Jani muncul. Pikiran mengenai ayah si kembarlah yang menjadi pemicunya, padahal Jani biasanya sangat aktif berbicara pada siapa saja termasuk papa Vea.

"Kenapa anak-anak kamu suruh main di atas?" ucap Gavin.

"Karena kamu harus tahu kalo kami sudah terbiasa tanpa kamu, Vin."

"Apa kamu juga terbiasa berkata sekasar ini?"

"Lebih kasar mana dengan perilaku kamu yang menyerupai binatang saat itu?"

Mati lo Vin! Gavin memaki dirinya sendiri. Karena Gavin mendadak diam dan tidak membalas dengan nada yang sama ketus nan datarnya dengan Vea, wanita itupun mengambil alih pembicaraan mereka.

"Sebelum kamu dan keluarga kamu membuat drama berkepanjangan, aku tekankan, Vin. Jangan pernah mempersulit keadaan dengan membawa kasus ini ke ranah hokum. Kamu tahu, dulu dan sekarang sudah berbeda. Aku nggak memiliki daya apapun sebelum aku tahu si kembar ada. Dan sekarang aku sudah tahu apa daya yang harus aku gunakan sebagai senjataku kalo kamu dan keluargamu macam-macam lagi."

Gavin mengernyit tak paham. "Waktu itu aku nggak ada bersama kalian, saat kalian sibuk memperkarakan aku ke meja hukum aku sibuk memikirkan cara supaya kita nggak berpisah. Jadi, kasih tahu aku... apa yang membuat kamu sebegini kerasnya menekan kata keluargamu?"

"Vin... kamu beneran nggak tahu mengenai hal itu?"

"Apa?"

"Ayah kamu yang dengan lantangnya berkata bahwa aku bodoh karena membawa kasus suamiku sendiri memperkosa aku, istrinya. Itu juga yang menyebabkan aku nggak mau memiliki hubungan apapun dengan kamu, terutama keluargamu."

"Kamu nggak bodoh, tapi kenapa kamu nggak jujur sama mereka apa yang sudah aku lakuin ke kamu?"

"Karena harusnya kamu yang mengungkapnya sendiri. Mengakui kesalahanmu dari sudut pandangmu. Kalo mereka percaya, itu berarti mereka pantas mengatai aku bodoh."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top