6. Ayah

Dia tak boleh tahu.

... agar tak ada kesempatan bersatu...

Gavin yang tersenyum menunggu balasan dari Vea yang masih tertegun di tempat. Sebelumnya pria itu berpikir akan mendapatkan penolakan parah dari Vea dengan meniggalkannya atau marah padanya langsung. Namun, Gavin tak mendapati respon apa-apa dari mantan istrinya setelah sepuluh menit dia tak melunturkan senyuman.

"Ve?"

Pria itu tak akan bisa membaca apa yang ada dipikiran Vea saat ini. Wajah terkejut Vea hanya menjelaskan kalua wanita itu sedang kebingungan saja. "Kamu nggak apa-apa, Ve?"

Vea menarik diri ketika Gavin mencoba meraih lengannya. Wanita yang masih sama cantiknya seperti pertama kali Gavin temukan dulu itu berdiri dan buru-buru membayar pada tukang bubur setelah pesanannya selesai. Lovea tak mau menanggapi apapun yang keluar dari mulut Gavin. Bentuk sapaan, pertanyaan, ataupun yang lainnya Vea tak menggubrisnya.

"Vea!" seru Gavin.

Muter arah. Muter arah. Jangan kea rah anak-anak berada, Ve. Jangan!

Lovea tidak akan berbuat curang jika saja waktunya sudah tepat. Bukan sekarang. Anak-anak masih belum mengerti mengenai masalah kedua orangtuanya yang pelik. Kalo bukan sekarang, kapan lagi, Ve? Kalo mereka besar, mereka akan banyak bertanya.

Kesadaran Lovea yang satu itu menghentikannya, membuat Gavin terkejut dan ikut berhenti. "Ve?"

Membalikkan badan, Lovea menatap Gavin yang sepertinya sangat gigih mendekatinya lagi.

"Kamu nguntit?" sambar Vea langsung.

Gavin menggeleng. "Nggak. Aku nggak nguntit kamu. Buat apa-"

"Kamu yang buat apa ngikutin aku begini?! Kamu nggak mau disebut penguntit, tapi kamu muncul dimana aku berada!"

"Kita selalu pergi ke taman kota, jalan bareng, cari makanan kaki lima berdua. Apa kamu nggak mikirin kemungkinan aku juga ada di sini selama kita memiliki kerjasama di kantor?"

"Itu dulu, Vin! Bua tapa aku mengingat kemungkinan kamu masih suka jalan ke taman kota sendirian?!" balas Vea.

Sadar bahwa ucapannya keterlaluan dan sudah mengarah pada kisah masa lalu, Lovea berdeham dan melanjutkan interogasinya.

"Apa yang kamu cari dengan sok kenal nyapa aku?"

Gavin mendengus. "Apa saling sapa aja salah, Ve? Kita emang saling kenal, kan?"

"Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, sih? Dua setengah tahun ini seharusnya bisa membuat kamu terbiasa dan nggak perlu mengenalku. Kamu bahkan sampe masuk ke perusahaan yang selama ini jadi pesaingmu Cuma buat ganggu hidupku? Apa kamu nggak mikir kalo keadaan kita akan semakin rumit dengan terus mengenal?!"

"Aku sama sekali nggak berpikir semuanya menjadi rumit kalo kita bisa bicara."

"Tapi bicara sama kamu Cuma bikin aku sakit hati!" bentak Vea tanpa sadar sepenuhnya.

Keheningan mengisi jarak antara keduanya. Tak bisa Gavin bayangkan bagaimana sosok Lovea yang dicintainya merasakan sakit berkali-kali tanpa dirinya ketahui. Menyakiti Lovea tak pernah ada dalam agenda Gavin. Cintanya yang besar tak pernah membuat pria itu merasa menyakiti Vea dengan cinta yang sudah diberikannya sepenuh hati.

"Aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu. Bahkan terakhir kali kita berhubungan..."

"Bukan kita, Vin. Hanya kamu sendiri yang menganggap itu hubungan. Nggak pernah terpikirkan oleh kamu, kan kalo menyakiti aku adalah hal yang paling mudah yang selalu kamu lakukan tanpa sadar."

"Ve... itu dulu."

"Kalo gitu aku juga bisa bilang kita pernah kenal... dulu. Tanpa perlu kamu repot bilang itu masa lalu karena kita memang masa lalu, Vin."

Lovea menarik napas, kemudian menghembuskannya keras-keras. Gavin yang diam saja membuat Vea enggan melanjutkan lagi pembicaraan mereka, yang awalnya ingin Vea bawa guna membahas keberadaan si kembar. Namun, kalau Gavin masih sama suka bertindak bodoh dengan berpikir bahwa mereka bisa menyatu... rasanya Lovea tak akan siap.

"Mungkin kamu bisa mencari masa depan kamu sendiri, Vin. Nggak perlu jadi kolega berbeda karena memang hubungan kita sudah berbeda."

Sangat benar. Tak perlu meminta menjadi kolega yang berbeda karena pada kenyataannya mereka sudah memiliki kondisi yang berbeda.

"Aku minta maaf kalo keluargamu nggak suka dengan tuntutan yang pernah aku ajukan. Memang kalo dipikir lagi nggak masuk akal menuntut suami sendiri-"

"Aku yang harusnya minta maaf, Ve. Aku berhak kamu salahkan dengan semua yang pernah terjadi. Keluargaku, mereka sama sekali nggak tahu mengenai kejadian itu karena kamu nggak mau jujur dengan apa yang terjadi."

Lovea mencoba menghantarkan senyumannya, meski diri wanita itu sudah gugup setengah mati. "It's okay. Sudah selesai."

"Tapi aku nggak mau kita berhenti di sini. Aku tetap akan keras kepala dengan-"

"Bu! Si kembar nangis, nih nyariin mamanya."

Kegugupan Lovea nyatanya sudah melebur menjadi kepasrahan begitu Gavin melihat sendiri bagaimana rupa si kembar yang tetap saja memiliki andil dari karakter wajah sang ayah; Gavin.

Vea mengamati Jani dengan kedua anaknya, meski bisa merasakan tatapan tajam Gavin dari sudut matanya.

"Apa yang sebenarnya kamu lakukan, Ve?"

*

Kalimat terakhir yang Vea dengar adalah penanda. Tanda bahwa taka da yang bisa wanita itu lakukan selain mengatakan dengan jujur kelakuan apa yang Vea sembunyikan selama ini. Kenapa juga harus sekarang Gavin mengetahui semuanya, jika banyak sekali hal yang seharusnya pria itu ketahui pasca perceraian mereka.

Gavin tak berkata apapun selama perjalanan menuju mobil Vea. Jani yang kebingungan kenapa ada pria asing yang ikut dengan mereka juga tak berani mengatakan apa-apa.

"Biar saya yang mengemudi."

Vea agak terkejut dengan suara Gavin yang menggema setelah Jani sibuk mengatur Djiwa di kursi belakang. Lovea yang berdiri sembari menggendong Gendis dan berniat memberikan putrinya pada Jani juga bingung.

"Kamu gendong aja si kecil biar aku yang membawa mobilnya. Kamu," Gavin menatap Jani. "bisa jaga si jagoan di belakang."

"Apa kamu sedang mengatur?"

Gavin tak lagi memberikan senyuman pada Vea setelah melihat keberadaan si kembar.

"Aku berhak mengatur setelah kamu menghilangkan hak aku mengatur."

Vea tahu akan sangat bodoh jika mereka harus berdebat kembali setelah sebelumnya mereka menjadi pusat perhatian di taman kota tadi.

"Pak, maaf kalo saya lancing. Tapi bapak ini siapa, ya? Kok ngatur majikan saya."

Jani... kenapa kamu pake acara nanya, sih?!

"Saya ayah-nya kedua balita ini."

***

Ebook version bisa kalian temukan di google playbook. Cari aja 'Faitna YA' nanti aka keluar semua judulnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top