5. Gendis-Djiwa
Kenapa 'ayah' tak termasuk segalanya untuk mereka?
... karena 'ayah' tak benar-benar mengetahui keberadaannya...
●
Ketika bangun pagi dan semua kembali pada kehidupan nyata. Vea mengambil banyak udara sembari memertahankan matanya yang masih lekat memejam dan berjalan sembarangan untuk memulai ibadah. Meski sibuk, dia tak lupa dengan kewajibannya sendiri. Beruntungnya, jadwal subuhnya tak lagi tanggung, karena si kembar sudah mulai terjadwal jam tidurnya. Tak seperti saat mereka masih bayi dan jam tidurnya kacau sekali, membuat Vea juga ikut merasakan lelah berkepanjangan sampai sempat jatuh sakit karena saat itu dia bersikukuh mempekerjakan satu pengasuh saja.
Semua mulai tertata ketika Dermaja membawakan satu pengasuh lagi dan asisten rumah tangga tak menginap yang biasanya bekerja di kediaman orangtuanya agar membantu bersih-bersih ketika pagi hari. Lovea jelas terbantu dengan kesibukannya di kantor sebagai bawahan ayahnya sendiri, dan kegiatan di rumah dapat terkendali.
"Ma... ma...."
Djiwa. Vea tersenyum lebar karena putranya suka sekali menyerukan panggilan mama untuknya. Lain lagi bagi Gendis yang lebih pendiam, hanya belajar memanggil jika lapar. Usia si kembar yang masih satu tahun Sembilan bulan itu membuat keduanya lebih aktif belajar berjalan sebelum benar-benar aktif bicara.
Kaki-kaki mungil yang membawa Djiwa menuju kamar Vea yang sengaja pintu penghubungnya dibuka membuat perempuan yang sudah tak lagi berkepala dua itu melebarkan senyuman dengan kegiatan menaruh kembali peralatan ibadahnya.
"Ma... ma...."
"Iya, Sayang...." Vea menjawab. Putra kecilnya itu kalau belum dijawab panggilannya pasti murung dan akan merajuk tak karuan jika panggilannya tak dijawab.
Kikikan dari bibir mungil Djiwa menyebarkan efek kebahagiaan pada Vea. "Kok ketawa-tawa anak mama, hm?" Lovea mengambil Djiwa untuk digendongnya. "Kenapa, sih seneng benget anak mama ini? Iwa seneng, ya, hari ini mama libur. Iya? Tahu mama libur, nemenin Iwa sama mba Gendis di rumah?" Lalu Djiwa mengangguk saja meski tak paham betul apa yang Vea maksud.
Karena kepandaiannya, Djiwa mendapat pujian dari sang ibu. "Pinternya anak mama." Serta ciuman panjang yang membuat keduanya tertawa senang.
Tak lama tangisan dari arah kamar anak terdengar. Tangisan melengkin khas milik Gendis seorang. Lovea tak lagi pusing mendengar tangisan anak perempuannya itu, karena Gendis memang takut ketika bangun dan melihat sekeliling taka da orang. Jika Djiwa yang masih tertidur, Gendis pasti akan santai saja. Parahnya, Djiwa yang lebih aktif suka sekali meninggalkan Gendis yang tak bisa merangkak keluar dari boks tidur besar mereka.
"Iwa di sini dulu, ya?" tanya Vea meminta persetujuan pada putranya.
"Nca, nca, Ma...."
Penolakan dari Djiwa yang tak mau ditinggalkan tentu saja membuat Vea mau tak mau menggendong keduanya. Djiwa di sebelah kiri, dan Gendis yang manja tapi tak mau memanggil mama ketika tak lapar itu menaruh kepalanya di dada sang mama.
"Dis... angis, Ma."
Melihat saudaranya yang masih sesenggukan dan airmatanya masih berlinang, Djiwa menggerakan tangannya mencuil-cuil pipi Gendis. Niatnya membantu agar airmata di pipi Gendis hilang dari sana, tapi malah membuat Gendis kembali menangis kencang karena masih badmood pagi hari ini.
Tak paham dengan badmood Gendis yang semangat menangis lagi Djiwa ikut menangis karena mengira usapan jemari mungilnya—yang lebih tepat dibilang mencuil—pada pipi Gendis malah membuat saudara perempuannya itu menangis.
Lovea terkekeh melihat kelakuan kedua buah hatinya. "Dasar anak kembar." Vea berucap dan kembali terkekeh karena keempat mata bulat anaknya melihat bergantian ke Lovea dan satu sama lain yang sibuk menangis.
Vea tak sibuk menenangkan mereka, karena seperti biasanya... mereka akan saling tenang sendiri.
Tak lama, Vea membawa mereka ke bawah. Dan putra putrinya sudah kembali tertawa-tawa. Alasannya, karena ketika saudara kembarnya menangis, Gendis justru tertawa melihatnya. Terjadilah adegan dimana keduanya saling tergelak meski pipi mereka masih terdapat bekas airmata.
"Ya ampun... kok pagi-pagi udah ketawa sampe nangis gitu, nih si kembar?"
Jani, pengasuh selain Ama bertanya seraya ikut mengekeh karena begitu lucunya Gendis dan Djiwa. Ama yang sudah lebih dulu Vea pekerjakan hanya tersenyum, sudah paham betul kebiasaan anak kembar Vea.
"Bukan ketawa sampe nangis, sih Jan. Tepatnya nangis dulu baru ketawa." Mendudukan keduanya di kursi makan masing-masing, Vea mengambil mangkuk berisi makanan pendamping untuk sarapan si kembar. "Ini sudah tinggal dilembutkan, Mba Ama?" tanya Vea.
"Iya, Bu. Sini saya lembutkan dulu." Lovea tersenyum dan menyerahkan tugas tersebut pada Ama. "Saya kira nggak akan sepagi ini bangunnya, Bu."
"Nggak tahu, tuh. Abis saya salat, Djiwa bangun."
Ama mengangguk. "Beneran mau makan pagi-pagi gini?"
"Nggak sekarang juga, sih, mba. Saya mau siapin buat ngajak anak-anak ke taman kota."
"Oh, mau dijadiin bekal sarapan? Punya ibu juga?"
Lovea menggeleng. "Punya anak-anak aja. Saya nanti mau cari makan di sana, banyak tukang makanan."
Biasanya memang Ama yang menyiapkan segalanya. Jani lebih banyak mengawasi si kembar agar tak sembarangan bermain, makan sesuatu—biasanya si kembar suka memasukkan apa saja ke mulut—dan kebiasaan saling bertengkar dengan si Gendis yang lebih awal mencakar wajah Djiwa.
"Jan, kamu siap-siap, ya ikut saya ke taman kota."
Jani menoleh dan mengacungkan jempolnya. Sudah biasa sebenarnya mereka bersikap layaknya teman. Hanya Ama saja yang agak kaku karena bagi Ama, mau sedekat apapun, mereka tetaplah memiliki batasan antara majikan dan pekerjanya.
*
Begitu asrinya, si kembar suka bermain di sana. Tersedianya beraneka ragam tempat bermain yang bagi anak-anak sangat seru, Jani kewalahan mengikuti mereka ke sana ke mari. Setelah tiga puluh menit, barulah Gendis yang mendatangi sang mama untuk meminta susu.
"Mama... num."
Mencium pipi putrinya yang sangat gembul. Vea dengan telaten menidurkan Gendis di tatakan atau lebih tepatnya karpet yang sengaja di bawa agar piknik mereka lebih nyaman. Tak lama Jani datang dengan Djiwa yang menangis dalam gendongan.
"Kenapa, Jan?"
"Jatuh, Bu. Abis main perosotan pas nyampe bawah ada anak lain yang lebih gede badannya nggak sengaja dorong Iwa yang baru berdiri. Jatuh, deh si ganteng, nih."
Djiwa itu paling pandai berakting. Balita itu mengarah menuju Vea dan meminta luka bekas jatuhnya ditiupi manja oleh sang mama.
"Aduh, anak mama bisa aja manjanya."
Jani ikut tertawa karena tangisa Djiwa sebenarnya sudah reda tapi berlagak masih menangis saja.
Melihat saudara kembarnya sudah nyaman tidur, bahkan matanya sudah ingin kembali memejam saja, Djiwa ikut tidur di samping Gendis.
"Jan mumpung anak-anak tenang saya mau beli makanan dulu, ya. Kamu mau makan apa?"
"Samain sama ibu aja. Saya makan segala, kok, Bu."
Lovea tertawa geli dengan ucapan Jani. Mencari makana untuk mengisi perut mereka. Lovea memang suka makan kaki lima, tak peduli jika harganya lebih dimahalkan jika dirinya yang membeli. Kebiasaan itu juga yang sering mendapatkan teguran dari Gavin dulu.
Vea memutuskan membeli bubur ayam. Dia menunggu sang penjual seraya membuka ponselnya, melihat apakah ada pesan di email yang belum dibacanya.
"Kebiasaan makan kamu nggak berubah, ya. Suka banget makan kaki lima begini."
Tubuh Vea menegang. Kenapa dia bisa di sini?
***
Cerita ini sudah tamat dan bisa kalian baca langsung versi ebooknya di google playbook dengan search 'Faitna YA'.
Silakan follow IG freelancerauthor untuk segala info terbaru cerita yang aku publish.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top