3. The End

Sudah dua minggu berlalu sejak Raden menyatakan perasaannya pada Tara. Semuanya berjalan normal, hanya saja, Raden lebih perhatian. Lebih manis kata-kata di chat-nya. Lebih sering ngegombal. Tara membacanya hanya senyum-senyum saja. Ia tidak menyangka melihat sisi lain diri Raden.

Awal bertemu dengannya, Raden sangat profesional. Walau jahilnya memang sudah terlihat, hanya saja, sekarang tingkat kejahilannya lebih tinggi dibanding awal-awal pertemuan mereka. Seluruh pesan yang Raden kirimkan pada Tara, isinya perhatian dan kata-kata cinta yang sengaja ia kirim. Tara tidak bisa mengabaikan itu semua.

Tara meraih ponselnya.

Tara memandangi ponselnya. Hatinya merasakan kehangatan dari chat tersebut. Aneh memang, tapi itulah yang ia rasakan. Entahlah. Tara juga tidak mengerti dengan perasaannya.

Sesekali mereka bertemu, hanya makan siang bersama. Tidak ada kegiatan lain selain itu. Raden benar-benar tidak mengambil keuntungan dari seorang Tara. Hanya sesekali Raden suka mengusap puncak kepala Tara. Tidak pernah lebih dari itu.

Tara tahu, walau tidak melakukan kontak fisik atau pun melakukan hal intim, ini tetap salah. Ia sudah memiliki perasaan lebih pada Raden. Tanpa bisa dicegah, ia juga sudah menyayangi Raden.

"Gue perempuan enggak baik-baik." Tara berucap ketika mereka sedang duduk berdua di sebuah cafe. Hanya untuk meminum kopi dan berbincang.

"Maksudnya?" tanya Raden bingung.

"Status gue masih bersuami, tapi gue juga sayang sama elo," ucap Tara seraya menatap lurus pada netra gelap milik Raden.

"Gue enggak bisa bilang ini salah atau benar. Yang gue tahu, perasaan cinta itu enggak bisa dicegah. Gue juga enggak berencana mau mencintai istri orang. Tapi, sekarang..." Raden melebarkan kedua telapak tangannya, pertanda semuanya tak direncanakan.

"Enggak usah bahas baik atau enggak, gue juga enggak tahu jawabannya. Gue sekarang, cuma mau menikmati ini semua."

Tara hanya diam saja tanpa bisa membalas ucapan Raden.

"Elo rasain aja perasaan yang sekarang." Raden menggenggam tangan Tara dengan erat.

***

Tara senyum-senyum dan meletakkan kembali ponselnya. Ia tidak menyangka akan menyematkan kata 'kangen' di chat tersebut. Ia akan mengikuti kata Raden, nikmati saja perasaan ini. Dia tidak mau banyak memikirkan hal lainnya.

***

Hingga tiga bulan berjalan, tidak terasa, proses editing novel Tara berjalan lancar. Raden benar-benar melakukan pekerjaannya dengan profesional. Setelah proses editing, proofreading, hingga layouting selesai, kini novel Tara sudah proses cetak.

Kedekatan Raden dan Tara sudah lebih dekat. Tara merasa nyaman bercerita apapun pada Raden, begitu juga dengan Raden. Walau kejahilan Raden selalu mewarnai hubungan mereka.

Suami Tara, Wira pun belum bisa pulang ke Jakarta. Proyek pembangunan cluster perumahan di Medan mengalami kendala hingga harus mundur dari perencanaan awal. Walau sempat ke Jakarta untuk menemui Tara dan anak-anak, itu pun tidak bisa lama. Hanya bisa dua hari saja di Jakarta.

Hingga tak terasa bulan ini tepat Tara berulang tahun, sungguh bulan yang sangat spesial. Dengan terbitnya novel ke-tiganya disaat ia akan berulang tahun, benar-benar terasa begitu spesial.

Kemudian ponsel Tara berdering, nama yang tertera di sana adalah Wira. Ia segera mengangkatnya.

"Halo..." sapa Tara.

"Sayang, aku lusa ke Jakarta. Kita bisa ngerayain ulang tahun kamu." Suara Wira terdengar begitu antusias dan senang.

"Terus nanti balik ke Medan lagi?" tanya Tara.

"Enggak, dong. Tugas aku udah beres, untung masalah kemarin udah selesai. Nanti tinggal Pak Yudi aja yang mantau dan laporan ke aku," jelas Wira semangat.

"Oh, syukurlah."

"Aku senang, kita bisa kumpul di hari ulang tahun kamu, sayang."

"Iya, aku juga senang dengarnya," ujar Tara.

Dan sambungan pun diputus setelah mereka membicarakan anak-anak dan rencana kepulangan Wira lusa.

Tara menatap ponselnya, dengan tatapan kosong. Perasaan aneh merasuki hatinya. Ada rasa bersalah. Ada rasa tidak senang. Ada rasa takut. Lebih tepatnya, takut kehilangan sosok Raden.

Tara mulai mengetik sesuatu di ponselnya.

Tara melihat ponselnya begitu tanda notifikasi pesan dari Raden masuk.
Ia hanya membeku, melihat chat terakhir dari Raden. Itu pun balasannya lama. Ada rasa kecewa, sedih dan kehilangan di hatinya.

Namun, Tara hanya ingin ini selesai. Ini salah. Dia merasa bersalah pada Raden, seakan menempatkan Raden di posisi cadangan. Ia juga merasa bersalah pada Wira, suaminya, yang begitu besar memberinya cinta dan kepercayaan. Bahkan, tak ada rasa curiga melihat Tara selalu berkirim pesan pada Raden. Walau Tara sudah menghapus pesan romantis Raden padanya, tentu saja tidak akan ketahuan.

Tara menghela napas panjang setelah membaca pesan tersebut.

***

Hari ini tepat Wira kembali ke Jakarta. Tara dan anak-anak menjemputnya di bandara pada sore hari. Anak-anak sangat bersemangat dengan kepulangan Wira.

Wira yang begitu senang melihat keluarga kecilnya menyambutnya, begitu bahagia. Mereka langsung menuju ke rumah, dengan Wira yang menyetir kali ini.

Begitu sampai di rumah, anak-anak antusias membongkar tas milik Wira. Mereka berharap Wira membawa oleh-oleh.

"Ini aku bawa bolu gulung kesukaan kamu, sayang," ucap Wira seraya menunjukkan kotak berisi bolu khas oleh-oleh dari Medan.

"Terima kasih, sayang," ucap Tara senang.

Mereka juga langsung menyantap bolu tersebut bersama-sama. Walau di ruangan tersebut ramai dan penuh euforia kebahagiaan, tapi nyatanya hati Tara terasa kosong. Ini sudah dua hari Raden tidak mengirim pesan. Benar-benar tidak ada lagi pesan darinya.

Tara rindu. Ia merindukan Raden. Betapa dilemanya ia saat ini.

Hingga tiba saatnya di mana hari ulang tahun Tara, Wira sudah berencana makan malam romantis berdua saja dengan Tara. Tentu saja ini tanpa sepengetahuan Tara.

Sore harinya, Tara mengirim pesan pada Raden. Hanya memanggil nama Raden, tapi tak ada balasan. Mungkin sibuk. Namun, bukan seperti Raden. Biasanya, Raden akan cepat membalas pesannya.

Begitu makan malam romantis juga, Tara masih merasakan kosong di hatinya. Berbeda jauh pada antusias yang Wira rasakan. Ia sangat bahagia bisa makan malam romantis bersama Tara.

"Selamat ulang tahun, sayang," ucap Wira saat makan malam. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru, saat dibuka ternyata isinya kalung emas.

"Terima kasih, sayang. Ini bagus banget," ucap Tara.

Wira bangkit dari kursinya, ia memakaikan kalung emas tersebut di leher Tara.

"Cantik," puji Wira.

"Terima kasih," jawab Tara seraya menyentuh bandul kalung tersebut yang berbentuk bulan.

Namun, Tara hanya ingin menerima pesan balasan dari Raden. Ia resah, tidak nyaman melakukan apapun. Ia benar-benar menunggu pesan balasan dari Raden.

Benar-benar hari ulang tahun yang begitu menyesakkan.

***

S

udah dua minggu, pesannya tidak dibalas oleh Raden. Dibaca pun tidak. Tara mengirim pesan pada Mbak Siska.

"Mbak Siska, sibuk?" ketik Tara.

"Hay, Tar. Enggak, kok. Kenapa?" balasan Mbak Siska.

"Raden ada di situ?" tanya Tara.

"Loh? Raden pindah ke Jogja dari seminggu yang lalu. Emangnya dia enggak kasih tahu elo?"

"Enggak, sibuk kayaknya dia. Aku juga masih sibuk mau siapin launching novel minggu depan."

"Oiya, novel elo minggu depan launching, ya? Semoga lancar and laris manis ya Tara," balasan Mbak Siska.

"Terima kasih, Mbak."

Percakapan pun selesai. Tara kaget mendengar kepindahan Raden. Apa ini pertanda ia benar-benar tak ingin berhubungan dengan Tara dalam bentuk apapun?

Apa ia marah? Atau ia kecewa pada Tara?

Baiklah, sepertinya Tara memang harus move on dari Raden.

Hingga waktu launching novel Tara, yang Raden tangani pun, ia tak menghadiri acaranya. Raden juga tidak mengirim pesan ucapan apapun pada Tara.
Raden benar-benar pergi. Ada rasa sesal di hati Tara. Ia benar-benar kehilangan Raden.

Tanpa terasa, air matanya jatuh. Ia benar-benar merindukan Raden.

"Ra, gue kangen banget sama elo," ucap Tara seraya melihat ke sampul novelnya. Novel yang dikerjakan olehnya dan Raden.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top