📓 9. Tekanan
"Nah, itu sudah takdirnya. Siapa yang tahu."
|TE:DR|
...
"I-ini pembunuhan."
Ruvian menatap jasad dengan tanda pengenal bertuliskan 'Teres'. Ia mengamati darah yang keluar dari lubang di dadanya, bekas tertusuk sesuatu yang tajam. Pula dengan luka bakar parah di sekujur tubuh itu menambahnya iba.
"Di bawah pohon sana yang kebanyakan terbakar ada seorang lagi," ucap Adel, "sama di dekat bongkahan-bongkahan tanah itu."
"Ya, di dalam kereta juga ada satu."
Saat Ruvian dan Adel mendekati kereta kuda. Seketiba muncul cahaya putih dari dalamnya yang bertambah terang hingga menyilaukan. Selanjut sesaat, sinar itu pun memudar.
"I-ini?!!" Ruvian tercengang saat membuka mata.
"Neteril ...." Adel menambahkan tak juga kalah tercengangnya.
Langitnya kelam. Walau di atas sana bertabur ribuan bintang dan bahkan ada yang bersinar layaknya matahari, lanskap Neteril yang gersang berbatu tetap suram dan mencekam.
"Ruvian! Di atas!" Adel berseru.
Ruvian menoleh ke atas, tampak sebuah meteor akan jatuh di dekat mereka berdua. Pikirnya, tidak mungkin sempat menghindari dentuman meteor sedekat itu. Kemudian sesaat setelah berpikir, ia jadi tak terlalu khawatir.
"Ruvian, bagaimana ini?" ujar Adel penuh khawatir.
"Tenanglah. Tidak mungkin ada pengguna Vis Vea yang bisa menteleportasikan sampai ke Neteril. Ini mungkin adalah Vision."
"Vision?" Adel kembali menyaksikan detik-detik meteor itu mendekatinya.
Benar saja, saat permukaan menerima benturan, Ruvian dan Adel seperti tak tersentuh apapun. Setelah selesainya debu dan kerikil berterbangan, mereka berdua mendekati pusat tanah yang terangkat, tampak batu sebesar seekor sapi itu memiliki aksara berwarna merah yang lalu bersinar.
Dengan auman yang menghentakkan, seekor monster seperti ular raksasa yang bersisik tajam nan besar dan bertanduk dua di kepala keluar dari aksara tersebut. Mahluk itu, dengan kemampuan Vis Volatus, seperti ular laut, bergeliut, namun ia berada di udara.
"B-bukankah itu monster yang mirip seperti saat invasi dulu?!" Adel semakin terkejut.
Ruvian mengiyakan. Seperti itulah petaka masif yang telah berakhir dua tahun lalu berawal. Ia lantas kembali mengadah ke atas. Tampak meteor serupa juga berjatuhan di bagian langit lainnya. Batu langit yang membawa monster petaka.
"Salam, Sang Utusan." Suara seorang wanita tua membuat mereka berdua menoleh ke sumbernya. Ia adalah Kleir.
"Salam, Sang Auspex." Ruvian membalas sedang Adel hanya terdiam. Gadis itu berpikir, jika Sang Utusan ia tahu itu adalah Ruvian selaku Elementalist, tetapi ia tidak mengerti dengan Sang Auspex.
"Aku yakin kau sudah mengerti hal ini anak muda," ucap Kleir, memandang hujan meteor tersebut.
Ruvian mengangguk membalasnya. "Vision yang kudapat saat dua tahun yang lalu, sebelum terbunuh saat Perang Gresendor."
Meteor demi meteor terus menghujani tempat mereka, namun tidak sedikitpun mengganggu.
Ruvian kemudian bertanya, "berarti, perintah untuk mengumpulkan keenam kristal adalah benar?"
Kleir mengangguk menjawabnya. "Tujuanmu sudah jelas. Penampakan yang terjadi di sini adalah apa yang akan terjadi di masa mendatang, di masamu. Mereka, para Orc, akan kembali."
Tak ada yang mengajak Adel berbicara, jadinya ia hanya diam mendengarkan. Bahkan wanita tua itu seolah tak melihatnya sama sekali.
"Baiklah, terima kasih." Seketika setelah kilatan putih, Ruvian dan Adel pun kembali ke tempat mereka semula.
"I-ini?! bukannya nenek yang tadi?!" Adel terperanjat saat memasuki kereta tersebut, menyaksikan tubuh Kleir yang pucat terkapar di lantai kayu dan banyak mengeluarkan darah.
"Ya. Sayang sekali. Beliau, Sang Auspex, telah tiada." Ruvian lalu menggunakan Praekantasio pada jasad tersebut. Mengangkatnya ke luar kereta untuk dikebumikan. Juga dengan jasad yang lainnya.
Setelah menemukan tempat yang agak jauh dari jalan. Satu per satu jasad tersebut Ruvian angkat perlahan dengan Praekantasio. Meletakkannya pada liang lahat yang ia buat memakai Kristal Terra, sehingga ia dapat mengendalikan tanah selayaknya pengguna Vis Terra.
Adel lalu menancapkan batang kayu terakhir pada gundukan tanah sebagai nisan. Ia menatap pemakaman dadakan tersebut. "Auspex ... andai kita menumpang kereta itu tadi siang. Mungkin akhirnya tidak seperti ini."
Setelah Ruvian menjelaskan padanya selama proses mengubur, Adel mengerti kalau Sang Auspex adalah orang yang diberkati pengetahuan oleh Kristal Primordial untuk memanggil pecahan dari waktu yang akan tiba, sebuah Divinasi yang disebut dengan Vision.
Selayaknya Elementalist yang mewakili kekuatan sedang Auspex mewakili pengetahuan dari Kristal Primordial. Keduanya mampu untuk menerima Vision. Hanya saja Auspex berkelebihan untuk menggali lebih banyak soal masa yang akan datang sedang Elementalist tidak.
"Nah, itu sudah takdirnya. Siapa yang tahu," sahut Ruvian. Ia lalu berbalik. "Ayo, sebaiknya kita cepat agar lekas sampai di Katalan."
Adel masih terdiam menatapi pemakaman dadakan tersebut. Batinnya jika belum lama ini saja sudah ada korban jiwa yang memiliki keterkaitan dengan Ruvian, bagaimana dengan selanjutnya.
Bisa saja berikutnya adalah Adel sendiri yang menjadi korban. Namun ia sudah siap dengan apapun yang akan terjadi. Pula ia yakin Ruvian pasti setidaknya akan melindunginya juga.
"Adel?"
"Ah! Iya, tunggu aku."
|TE:DR|
"Begitulah, Lefazio. Kau terlalu membiarkannya," celoteh seorang pemuda berambut pirang emas. Tak lupa dengan tambahan nada menyindir. "Padahal jika tidak begitu, Ruvian masih dalam kendali kita."
"Ayolah, Arkan. Sudahlah."
"Maksudku, seorang reinkarnat Nekrolet berkeliaran di luar sana? Kuharap kau tidak lupa bagaimana mahkluk hitam itu meluluh lantahkan batalion seratus orang saat perang dulu."
Tak heran jika monster tersebut sebegitu kuatnya. Sepanjang sepengetahuan manusia dalam penggunaan Venevisium, hanya mahkluk itu yang mampu membangkitkan orang mati seutuhnya.
Pria tua itu hanya bisa bergeleng-geleng pada tamunya yakni seorang lelaki berumur dua puluh delapan tahun bernama Arkan. "Nanti jika berhasil tertangkap gadis tidak tahu terima kasih itu pasti akan kubuat ia sangat menyesal. Memikirkan perbuatannya saja kepalaku jadi panas," lirihnya supra kesal dengan mengepalkan tangan di atas meja.
Lefazio beranjak dari sofa empuknya, untuk sedikit meregangkan badan, juga telinga dari kata-kata Arkan. "Tak perlu berlebihan. Sudah kubilang, aku telah mencoba menginterogasi Nekrolet itu. Hasilnya nihil."
"Ya, tetapi hasil sesungguhnya hanya bisa didapat melalui pemeriksaan Vis Vita, agar dapat melihat apakah energi kehidupannya masih murni atau sudah tercampur energi luar. Sekarang? Dia kabur. Apa yang akan kuperiksa?"
Periksa. Kalimat itu sedikit menggugah Lefazio. Seketika ia teringat dengan beberapa baju kotor yang belum dicuci. "Ah, sebentar." Ia lalu langsung meninggalkan pemuda berkepala mendidih itu.
Lefazio lalu kembali dengan membawa sebuah kain putih penuh bercak darah kering. "Kini ada yang bisa kau periksa." Tak lupa Lefazio menyuguhkan senyum manis membalas celoteh panas Arkan.
Pemuda itu tak bicara, pertanda kalah dalam debat. Ia lantas mengumpulkan Vis berwarna merah segar di ujung kedua tangannya untuk dirapalkan pada benda tersebut.
Aspek Vita, kehidupan. Salah satu kemampuan pengguna Vis Vita adalah memeriksa esens jiwa suatu mahkluk hidup.
Bola Vis Vita itu sudah melingkupi kain tersebut. Arkan hanya tinggal mengaktifkannya. "Kau siap pak tua?" tanyanya penuh kejut penasaran akan hasilnya nanti.
Lefazio mengangguk seraya berdeham. Pemuda itupun mulai berkonsentrasi penuh. Vis miliknya bersinar terang. Lalu bagian inti bola yang semula berwarna merah segar berubah kehitaman, serupa warna tubuh Nekrolet. Perubahan warna itu tentu mengejutkan mereka berdua.
"Hmm, ini ...." Arkan masih mencoba menafsirkan hasil pemeriksaan Vis Vita tersebut. Ia belum menemukan kesimpulan pasti, begitupula dengan Lefazio
Inti bola itu berwarna hitam. Namun lapisan luarnya masih berwarna merah segar. Padahal lazimnya, baik inti maupun lapisan luar akan berwarna hitam bagi seorang reinkarnat sedang jika kedua bagian tidak berubah warna maka esens kehidupannya masih murni.
"Hasilnya setengah." Arkan melaporkan padahal Lefazio bisa melihatnya sendiri.
"Mungkin ini menjelaskan kenapa anak itu tidak mengalami tanda-tanda sebagai reinkarnat Nekrolet." Lefazio merasa hipotesisnya akurat.
Tanda-tanda itu adalah mimpi dan penglihatan yang tidak berhubungan dengan pengalaman pribadi juga mendengar suara-suara asing.
"Tapi tetap saja, energi kehidupannya tidak murni. Kita tidak bisa membiarkan bocah itu berkeliaran di luar sana. Sudah terbukti ada campur tangan Nekrolet dalam dirinya."
Yang pemuda itu katakan tidaklah salah, membuat Lefazio jadi berpikir lebih dalam. Ruvian mengendalikan dirinya sepenuhnya namun jiwa miliknya tidak murni. Kemungkinan yang bisa Lefazio pikirkan adalah Nekrolet di dalam raga Ruvian lemah sehingga tidak mampu memanipulasi seluruh energi kehidupannya.
"Karena hasil pemeriksaannya adalah negatif. Kurasa kita sepakat untuk segera menangkapnya."
Lefazio mengangguk. "Baiklah. Untuk sementara, biarkan aku yang akan mengawasinya dulu."
Arkan menghela napas. "Sebenarnya aku ingin langsung mengerahkan satuan untuk mencarinya dan segera mengakhiri kasus ini. Tetapi, persengketaan internal Kerajaan Paramartha belum mereda. Kupikir jauh-jauh aku kemari dari membalas suratmu akan sia-sia saja." Ia menyudahi konsentrasi Visnya dan memutar kursi tempat ia bersandar untuk sedikit hiburan.
"Memangnya kau tahu ia akan pergi ke mana?" Arkan bertanya.
"Cepat atau lambat dia yang akan memunculkan dirinya sendiri."
Arkan tak membalas ucapan tersebut walau ingin memulai debat. Ia lalu beranjak hendak membuat kopi. Malam masih panjang namun kantuk sudah terasa. Ia perlu mengkaji beberapa jurnal dan dokumentasi terkait dengan Nekrolet yang Lefazio minta sebelumnya.
"Kau mau teh atau kopi?" Tak lupa ia menawari Lefazio.
"Ambilkan saja air putih. Aku mau tidur."
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top