📓 6. Linimasa

"Karena Sang Utusan telah tiba."

|TE:DR|

...

Pipi berkerutnya menempel di meja. Meja yang penuh oleh lembar-lembar info dan ilmu. Tidak lupa tumpukan buku di kiri dan kanannya. Ia tertidur sangat pulas dalam posisi itu.

Seketika ia tersadar lalu mengangkat kepalanya. Setelah melepas selembar kertas yang menempel di wajahnya, ia menoleh ke arah jendela untuk memastikan waktu. Tampak langit sudah biru terang.

Ia lalu beranjak dari kursi empuknya. Kedua mata hitamnya menaruh tatapan curiga pada segelas air putih di atas meja. Itu karena tadi malam ia merasakan kantuk hebat setelah beberapa saat meminumnya.

"Adel ...." Lefazio bergumam penuh prasangka saat berjalan keluar kamarnya. Ia lalu menuruni tangga dan mendapati pintu besi sebuah ruangan terbuka yang seharusnya tertutup rapat.

Di dekat pintu itu ada selembar kertas terjatuh. Ia mengambilnya dan membaca pesan yang tertulis di atasnya.

Tulis tangan pesan itu jelek, tidak rapi. Isinya mengucap terima kasih dan permintaan maaf kepadanya. Ini pesan perpisahan.

Kini ia yakin, Adel yang membebaskan Ruvian, gadis itu pulalah yang mencampurkan semacam obat tidur ke dalam gelasnya.

Biasanya, walau dalam keadaan tertidur, Lefazio masih bisa merasakan siapa saja yang melangkah masuk ataupun keluar dari rumahnya.

Tetapi tadi malam, ia tertidur sangat nyenyak-pengaruh dari sesuatu di dalam air minumnya-dalam posisi terduduk.

Pria tua itu menghela napas. Ia terkekeh.

Aku sudah menduganya. Aku tahu kau sangat ingin pergi dari sini, Adel, menapakkan kaki bebas ke luar. Hahaha, dasar. Pandai sekali melihat peluang.

Empat tahun lalu. Pertempuran hebat meluluh lantahkan sebuah desa. Kemudian seorang pemuda jenius dan berpengaruh mendatangi tempat kejadian untuk memberikan pertolongan.

Pemuda itu juga menampung para korban yang sudah kehilangan rumah mereka. Dengan syarat, mereka mau dijadikan budak dan bekerja untuknya.

Tidak semena-mena, pemuda itu tidak berbuat aniaya kepada orang-orang yang bekerja untuknya. Mereka diberi kehidupan yang layak. Tidak ada belenggu besi pada mereka, masih bebas bersosialisasi, berbelanja di pasar, bahkan menempuh sekolah bagi anak-anak.

Lalu Lefazio, yang merupakan teman dekatnya, walau umur mereka berbeda jauh, mendapati seorang gadis kecil yatim piatu menjadi budak pemuda tersebut.

Lefazio meminta agar gadis itu ia adopsi. Si pemuda tidak keberatan. Gadis itu lalu memperkenalkan namanya, Adel Varfleffof, kepada Lefazio.

Setiap budak pemuda tersebut memiliki tanda aksara Venevisium yang disebut dengan Rune rantai budak. Rune itu menyebabkan mereka tidak bisa berada dalam jarak yang jauh dengan si pemasang.

Jika pengemban Rune rantai budak jauh dari pemilik Runenya, setelah beberapa hari budak tersebut takkan mampu bergerak seolah tangan dan kaki mereka dikekang.

Untuk menghilangkan efek tersebut, terdapat dua cara. Yaitu kembali berada dalam jangkauan si pemilik Rune atau dengan bantuan orang yang bukan si pemilik Rune yang memiliki kemampuan Vis tingkat enam.

Si pemuda enggan untuk menghapuskan Rune rantai budak pada Adel kecil padahal Lefazio memintanya. Pikirnya, tidak masalah Rune itu tetap ada selama Lefazio tidak meninggalkan gadis itu lebih dari tiga hari. Itu karena Lefazio memiliki kemampuan Vis tingkat delapan, sama seperti dirinya.

Empat tahun adalah waktu yang cukup. Saat itu Lefazio mengadopsinya selain karena gadis kecil itu yatim piatu, ia adalah seorang Lektia, yakni mereka yang dianugerahi kelebihan. Ciri seorang Lektia adalah memiliki rambut berwarna silver.

Empat tahun sudah berlalu sejak Adel nampak imut dengan pipi tembem.

Kaburnya Adel dari rumah tidak membuat Lefazio risau. Justru ia senang sebab memang sudah saatnya gadis itu mempelajari banyak hal di luar sana. Terlebih dengan pergi bersama Ruvian. Ia tahu, pemuda itu adalah sang Elementalist. Tingkat kemampuan Visnya mumpuni, Ruvian pasti akan mengajari Adel tentang Venevisium. Lebih cocok ketimbang dirinya yang sudah tua renta. Ia tak mau potensinya sebagai seorang Lektia terpendam.

Semua hal yang baik pasti akan berakhir baik, batin Lefazio saat menaiki tangga menuju dapur.

Rasa takut tetiba membuat sekujur kulit berkeriputnya merinding mengingat bahan makanan di rumah beberapa hari yang lalu tinggal sedikit. Namun saat membuka lemari, kekhawatirannya itu sirna.

Walau berencana kabur dan menambahkan obat tidur di air minumku, ternyata ia tidak lupa membeli bahan makanan ke Rumabel. Tidak sia-sia didikanku, ha. Senyum keriput merekah saat ia mengaduk isi gelas hendak membuat teh.

Sekarang aku hanya perlu mencari tahu jati diri Ruvian yang sebenarnya.

|TE:DR|

"Sungguh?"

"Yap." Ruvian membalas singkat. Beberapa saat yang lalu sambil berjalan, ia menceritakan dirinya yang merupakan sang Elementalist.

"Berarti, kamu memiliki seluruh tiga puluh delapan aspek. Itu luar biasa!" pekik Adel.

Ruvian menghela napas singkat. "Nah, untuk itu, aku tidak memilikinya sekarang." Ia cukup kagum pada Adel yang mengetahui jumlah semua aspek yang ada sedangkan ia sendiri tidak.

Angin menggerakkan dahan pepohonan di sekitar mereka berdua saat dua pasang kaki itu terus melangkahi setapak kering berbatu. "Wah, kenapa bisa begitu?"

"Aku ... juga tidak tahu. Sekarang aku cuma bisa menggunakan empat aspek saja. Impetus, Inanis, Sensus dan Praekantasio."

Ruvian mengeluarkan empat pendar cahaya di tangannya. Dua berwarna abu-abu, satu warna biru, dan satunya lagi berwarna ungu.

"Kamu ini benar-benar misterius, ya, Ruvian," ucapnya sembari terkekeh. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan dengan Kristal itu? Kuharap kamu juga tidak bilang 'aku tidak tahu'." Adel masih terkekeh.

"Aku akan mengumpulkan semuanya," jawabnya santai namun berkesan serius. Adel tak lagi memusingkan hal itu, ia hanya ingin tahu.

"Untuk?"

"Singkatnya, mencegah terulangnya petaka invasi seperti dua tahun yang lalu."

Sampai di situ Adel merasa cukup, tak perlu ia tanyakan lagi, walau masih banyak yang ingin ia ketahui.

Kini Ruvian yang menyeringai, ia juga mengangkat kedua bahu. "Sudah kubilang, ini akan sangat berbahaya. Tapi karena kamu memaksa ikut, ya ... ya sudah, haha."

Lima kristal lainnya masing-masing berada dalam penjagaan lima kerajaan. Menurunkan Kristal Primordial dari altarnya akan dianggap sebagai kejahatan besar. Pelakunya tentu akan diburon oleh aliansi penjaga kristal. Adel tak bisa membayangkan jika harus bermusuhan dengan skala internasional.

Ruvian menyambung cibirannya, "kalau kamu takut dan berubah pikiran, masih sempat, kok."

Merasa tertantang, Adel pun membalas karena tak ingin menelan kalimatnya sendiri perihal ikut dalam perjalanan. "Hmph! Aku tidak takut dan tetap ikut!"

Kemudian, pada tanah jalur setapak yang kering lagi keras, terdengar ketukan roda kereta kuda melintasi mereka berdua. Itu adalah kereta kuda yang sempat singgah di desa saat Ruvian dan Adel selesai sarapan di sebuah kedai.

Kereta itu berhenti dua puluh langkah di depan mereka. Mengira akan memberikan tumpangan karena jalur mereka akan searah. Sejenak kemudian kereta itu berjalan lagi, meninggalkan Ruvian dan Adel.

"Huh, kukira ada apa," ketus Adel memperhatikan kereta itu terus menjauh.

Netra kuning amber Ruvian juga tak luput mengawasinya. Bukan karena heran mengapa kereta itu berhenti, melainkan sebab perasaan tidak enak yang seketiba menghampirinya ketika kereta itu melintas.

Kemudian ia beralih pandang sekejap pada Adel, berpikir gadis itu merasakan hal yang sama. Menilik dari ekspresinya, sepertinya tidak.

"Aaah, seharusnya tadi kita meminta tumpangan saja," gerutu Adel menyibak rambut silvernya yang digoyang angin.

"Tidak masalah berjalan seperti ini. Lagipula keperluanku tidak terburu."

"Ya sudah kalau tidak terburu. Ayo istirahat dulu, aku lelah." Ia langsung menepi dan duduk di bawah pohon.

Tak berkata, Ruvian hanya mengangguk dan mengikutinya saja.

|The Elementalist|


Satu dari enam, lima tersisa ...

... sapuan deras badai ...

... letusan gunung berapi ...

... guncangan gempa bumi ...

... hantaman ombak tsunami ...

... perpecahan & persatuan ...

... mengumpulkan keenam adidaya di bawah satu kuasa.

|Dark Rebound|

"Ada apa Nyonya meminta berhenti? Apa karena dua remaja di luar sana?" tanya kusir kuda melalui jendela kecil.

Wanita baya itu cemas. Telapak tangannya yang sudah memiliki kerutan berkeringat dingin. Tatapan kedua katanya melas saat membalas pertanyaan si kusir. "Tidak, bukan, lanjutkan saja."

Kusir pun memecutkan tali kudanya dan kereta kembali bergerak dalam jalurnya.

Remaja muda yang duduk bersebelahan memperhatikan ekspresi pilu neneknya tersebut. "Nenek Kleir, Nenek tidak apa-apa?" tanyanya.

Kleir segera merubah raut wajahnya. "Jangan takut Leriat. Kau akan baik-baik saja," balasnya seraya tersenyum. Ia tak ingin cucu tersayangnya itu khawatir.

"Nyonya Kleir, apa Anda mendapat 'Vision' lagi?" tanya Edvan, pengawal pribadi Kleir yang duduk berhadapan. Ia bersebelahan dengan Teres yang juga berprofesi sama dengan Edvan.

Tidak ada balasan lain dari Kleir kecuali anggukan kecil. Seketika suasana di antara mereka hanyalah keheningan.

Setelah beberapa saat, Kleir pun bersuara, "Edvan, Teres ...."

"Ya, Nyonya?" sahut mereka berdua menatap wanita tua itu di hadapan mereka.

"Dan kau juga Antoni."

"Ya, Nyonya?" pekik Antoni si kusir tanpa menoleh.

Kleir menyambung ucapannya, "terima kasih banyak karena kalian telah percaya sampai sekarang dan seterusnya."

"Kami dengan setulus hati mengikuti Anda, Nyonya." Edvan membalas dengan menaikan dadanya.

"Ya, saya juga. Tidak peduli apa kata pengawal yang lainnya." Teres dengan nada cemprengnya.

"Saya juga setuju dengan Edvan dan Teres," timpali Antoni.

"Terima kas-"

Tiba-tiba penglihatan mereka semua silau oleh cahaya oranye yang sangat terang dari luar. Suhu udara di dalam kereta juga naik drastis.

Bola api besar melayang ke arah kereta kuda tersebut. Saat tinggal beberapa langkah lagi, bola api tersebut terburai seolah-olah terbelah ke dua arah, berkat gerak cepat Antoni dan Vis Aero miliknya, sehingga tidak ada bagian kereta yang terbakar.

Kecuali kedua tangan Antoni. Lidah api sempat menjilatnya.

Aspek Aero, berwarna kuning, bersifat angin.

Edvan dan Teres segera keluar dan mengambil posisi bertahan. Masing-masing bersama perisai dan pedang. Kleir beserta cucunya, Leriat, sengaja tetap berada di dalam kereta.

Lalu seorang pemuda tak di kenal dengan bola api kecil di tangannya mendatangi kereta tersebut dan berhenti dalam jarak dua belas langkah. Ia bersama seorang perempuan berkacamata. Perempuan itu memegang tongkat kayu pendek seperti penunjuk yang disebut wand.

"Ow ow ow. Bukankah bertiga itu Edvan, Teres dan Antoni?" cibir si pemuda yang baru datang. "Kalian menolak penawaran Tuan Besar dan malah menjadi budak wanita tua gembel itu. Di mana akal sehat kalian? Ha ha ha."

Perempuan berkacamata yang bersama si pemuda turut andil dalam bersuara. "Nyonya Kleir seharusnya tidak mempropagandakan 'Vision'-nya, atau bisa kusebut, 'Vision palsu'. Itu merusak nama baik Tuan Besar."

"Palsu katamu?" gertak Antoni. "Kalian saja yang buta dan tidak bisa melihat kebenaran!"

"Kalau begitu, mari kita lihat, siapa yang benar dan siapa yang salah, he he he." Si pemuda bersama perempuan berkacamata mengambil ancang-ancang, bersiap memulai pertarungan. Begitu pula dengan Edvan, Teres dan Antoni.

Dari jendela kereta, Leriat bisa melihat orang-orang yang pernah bekerja untuk ayahnya kini sedang berseteru. Ia tahu, dua orang yang baru datang itu adalah suruhan ayahnya.

Bocah itu mengepalkan tangan. "Nenek jangan khawatir. Saya takkan biarkan mereka menyakiti Nenek. Ayahanda sudah sangat keterlaluan."

Kleir tersenyum mendengarnya walaupun sebenarnya ia tahu, ia akan berpisah dari Leriat di sini. Selamanya.

Takdirku akan segera terpenuhi. Ramalan akan segera genap.

Karena Sang Utusan telah tiba.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top