📓 4. Paksa
"Kalau begitu, bunuhlah saya."
|TE:DR|
...
Kemudian gadis itu mendongak ke atas setelah mendengar sesuatu yang retak. Benar saja, sebuah pohon yang menjulang tinggi akan rubuh menimpanya. Dengan kakinya ia mendorong tubuhnya ke samping dan berhasil menghindar. Pohon itupun rata dengan tanah. Namun ia belum bisa bernapas lega karena masih mendengar gesekan ranting dan dedaunan di atasnya.
Ugh, jangan bilang masih ada lagi ...
Wajahnya pucat ketika menatap ke atas. Badan pohon itu sudah dekat, hanya tinggal tiga kaki dari wajahnya. Sudah terlambat untuk menghindar. Dengan meneguhkan segenap raganya, ia menutup mata dan menaikkan tangan melindungi kepala. Bersiap untuk benturan keras.
Sepucuk jari lagi pohon itu menimpanya. Dari celah kecil kelopak matanya, gadis itu melihat pohon tersebut berhenti, tepat saat akan mengenainya.
Lalu seseorang memanggilnya. Ia tahu jika itu adalah suara milik seorang pemuda yang tak lama ini dirawat di rumah ia tinggal.
"Adel! Kamu baik-baik saja?"
Pohon yang akan menimpa Adel tertahan di udara. Sebuah Vis berwarna ungu menyelimuti seluruh batang pohon yang akan jatuh itu. Kemudian pohon tersebut dijatuhkan ke arah lain. Melihatnya mengadahkan tangan, Adel yakin Vis ungu tersebut adalah perbuatan pemuda itu.
Aspek Praekantasio, berwarna ungu, bersifat menggerakkan. Memampukan pengguna Vis Praekantasio untuk melakukan telekinesis.
"Ya, aku tak apa. Hanya terhantam sedikit. I-itu! Cepat, Ruvian. Ogre itu masih hidup," pintanya.
Tanpa basa-basi, Ruvian berkonsentrasi. Ia memfokuskan Vis berwarna abu-abu pada tangan kanannya. Terpanggil sebuah pedang dengan dua sisi yang tajam. Lantas dengan tangan kirinya yang masih memiliki percikan Vis berwarna ungu, dialirkannya Vis Praekantasio tersebut pada pedangnya. Senjata itu lalu melayang ke arah ogre yang terlungkup. Setelah mengisi tambahan Vis Praekantasio agar semakin kuat, Ruvian menggerakkan tangan kirinya secara horisontal. Spontan pedang milikinya yang sudah dalam posisi menyentuh leher ogre itu langsung memutus kepala dengan badan monster tersebut.
Aspek Inanis, berwarna abu-abu, bersifat ruang hampa. Pengguna Vis Inanis dapat memanggil benda pusaka yang sudah disimpan sebelumnya.
Adel berdiri. Berkat pemulihan Vis Sanonya, rasa sakit di sekujur tubuhnya mereda walau belum pada memar di kedua tangannya.
"Uuuh, aku tidak tahu apa jadinya jika kamu tidak di sini tadi, Ruvian. Terima kasih atas bantuanmu," ucapnya saat menghampiri Ruvian yang berdiri di dekat bangkai ogre tersebut.
"Tentu, tidak masalah," balasnya setelah mengembalikan pedangnya menggunakan Vis Inanis. Senjata itu hilang seolah-olah Ruvian tak pernah membawanya.
Adel lalu berusaha mengambil belati miliknya. Belati itu menancap pada punggung ogre yang sekitarnya sudah gosong. Perlahan ia menyentuh ganggang besinya. Lalu tangannya ia tarik kembali dengan cepat dan bergumam, "ah, belatinya masih sangat panas."
"Biar kuambilkan." Dari ujung jarinya, Ruvian menembakkan misil Vis berwarna ungu ke arah belati tersebut. Setelah berada dalam pengaruh Vis ungu, belati itu bergerak melayang dan dijatuhkan ke tanah.
Adel lalu mengambil ranselnya yang menggantung di dahan pohon. Kemudian ia mengambil sebuah kantung dari dalam ransel dan menumpahkan isinya ke belati panas tersebut. Uap mengepul saat air dari kantung itu menyentuhnya.
"Oh, ya, Ruvian. Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?" tanyanya sambil berjongkok memperhatikan belati itu mendingin.
"Aku melihat asap." Ruvian berdiri di belakang gadis itu. Niatnya, mumpung masih di sini, ia ingin mengucapkan salam perpisahan.
Adel melirik pada punggung hitam makhluk tersebut. "Oo, begitu."
Belati itu digantungkan pada sabuknya. Ia lalu berdiri sambil merentang badan. Sekujur tangannya masih terasa sakit.
Setelah berpikir beberapa saat, Ruvian pun mengutarakan niatnya. "Adel. Sepertinya kita berpisah di sini. Terima kasih sudah merawat lukaku."
"Kamu mau pergi?"
Ah, tidak. Jangan pergi dulu. Ini satu-satunya kesempatanku.
"Iya."
"Tapi, kamu bahkan belum bertemu dengan kakek. Kakek bilang ia ingin bicara denganmu. Beliau akan pulang hari ini. Kamu bisa menginap semalam lagi."
Ucapan gadis itu menggoyahkan niatnya. Bagaimana bisa ia melewatkan kesempatan bertemu dengan orang yang menyelamatkan nyawanya? Walau sekadar mengucapkan terima kasih.
"Umm, b-baiklah," jawab Ruvian. Pikirnya, mungkin tidak ada salahnya menginap semalam lagi. Rencananya untuk tidak berlama-lama pun jadi tidak terlaksana.
"Nah, baguslah."
Fyuh, syukurlah dia tidak jadi pergi. Waktuku tidak banyak.
"Bicara soal mahkluk itu, bagaimana bisa ada ogre di sini?" tanya Ruvian.
"Aku yakin ini karena kabut. Kamu tahu? Aliran Vis di sekitar perbukitan gersang sejak saat aku pertama ke sini memang tidak karuan seperti itu. Pasti selalu ada hal aneh yang muncul, sama seperti bagaimana kamu bisa ada di sini, hihihi."
"Ah, yah. Betul juga."
|TE:DR|
Sore hampir gelap, mereka berdua tiba di depan rumah milik Kakek Lefazio. Adel buru-buru melepas sepatunya dan segera membuka pintu. Ia lalu mengambil handuk yang dibasahi lalu membersihkan tanah di wajah dan debu di beberapa bagian tubuhnya.
Ruvian yang membawakan ransel milik Adel meletakkannya di atas meja di dapur. Ia lalu menghampiri Adel yang sedang membersihkan pakaiannya dari tanah yang menempel.
"Aku bisa dimarahi jika kakek tahu. Kamu jangan bilang ke kakek kalau aku pergi dari rumah tadi, ya, Ruvian? Ish, jangan tertawa dong!"
Dengan menahan tawa. "Iya, iya," sahutnya. "Omong-omong, kamu bilang pernah pergi ke Neteril. Bagaimana kamu bisa ke sana?"
Sambil mengelap plat besi di lengannya, gadis itu menjawab, "itu sudah dulu sekali. Aku pergi bersama kakek. Ada portal kecil di ruang bawah tanah. Kakek bilang, portal itu sudah lama ada, bahkan sebelum rumah ini dibangun. Makanya tidak heran kenapa kamu bisa tiba di sini."
Ruvian akhirnya bisa memahami beberapa hal, terutama perihal portal penerima.
"Memangnya kamu mau kembali ke Neteril?" tanya gadis itu.
"Tentu tidak. Itu tempat yang buruk."
Lalu terdengar ketukan kayu dari arah pintu. Pandangan mereka berdua langsung beralih, menatap sosok yang berdiri di sana.
"Kakek pulang. Wah, Adel, kenapa kamu kotor begitu?"
Gadis itu jadi tegang, ia memikirkan cara untuk tidak memberitahu Lefazio keadaan yang sebenarnya. "A-anu, Kek. Aku–"
Adel berhenti berucap ketika mendengar suara seperti sesuatu menghantam lantai kayu rumah dengan keras. Ternyata Ruvian, yang tadi berdiri di sampingnya.
Pemuda itu roboh. Terdapat rantai yang terbuat dari energi berwarna abu-abu mengikat di lehernya dan sedang bergerak melilit sekujur tubuhnya. Rantai itu menariknya ke bawah.
Aspek Katena, berwarna abu-abu, bersifat mengekang pergerakan.
Adel melihat sebuah aksara bersinar abu-abu pada leher Ruvian. Ia tahu Vis Katena tersebut adalah milik Kakek Lefazio. Dikiranya si kakek salah paham dengan keadaannya yang kotor dan luka lecet. Ia pun berdiri. "Tunggu, Kek! R-ruvian tidak melakukan apa-apa."
"Ruvian?" Lefazio lalu tertawa. "iya, Kakek tahu."
Adel kebingungan. Lantas apa alasannya Kakek Lefazio berbuat demikian? Namun ia tidak berani melakukan apa-apa.
Lefazio berjalan mendekati Ruvian. Disentuhnya kepala pemuda itu.
"Apa yang Anda inginkan?" tanya Ruvian dengan nada keras.
"Hahaha. Tidak perlu tegang, santai saja." Lefazio mengelus kepala pemuda itu.
Mendengar jawaban setenang itu membuat Ruvian tidak bisa berpikir hal lain selain betapa anehnya si tua botak yang berdiri di hadapannya ini. Ia juga berpikir, ikatan rantai ini benar-benar kuat dan kakek itu tidak terlihat mengeluarkan tenaga lebih dalam mengkonsentrasikan Visnya. Ini berarti, tingkat kemampuan Vis Kakek Lefazio sangat tinggi.
Karena memang tidak bisa melawan, Ruvian pun menurunkan nada bicaranya. "Kenapa? Apa saya berbuat sesuatu yang salah? Bahkan ini pertama kalinya saya berbicara dengan Anda."
Lefazio lalu berdiri. "Ruvian," Lefazio membelakangi pemuda itu, "sudah dua tahun kau dinyatakan terbunuh lalu kini kau ada sini dalam keadaaan bernyawa. Kau tahu, hampir mustahil untuk yang namanya membangkitkan orang mati, kecuali bagi para Nekrolet."
Ruvian seketika mengerti apa yang Kakek Lefazio maksudkan. Namun ia tak bisa menjawab pertanyaan terselubung pria tua itu.
Tak kunjung berbicara, Lefazio lalu mengarahkan ujung tongkat kayunya pada kepala Ruvian. "Biar kutanyakan saja, apa kau reinkarnat Nekrolet?"
"Saya tidak tahu."
Lefazio memberikan tekanan pada nada bicaranya. "Akui saja. Kau sudah mati. Tidak ada cara untuk mendeteksi reinkarnat Nekrolet kecuali dari reinkarnat itu sendiri. Para reinkarnat pasti akan mengalami sesuatu yang tidak biasa pada diri mereka. Mimpi aneh yang tidak ada hubungannya dengan pengalaman selama hidup, mendengar suara-suara aneh, hingga penglihatan-penglihatan yang juga tidak ada hubungannya dengan pengalaman pribadi si reinkarnat. Dua tahun cukup bagimu untuk mengenali tanda-tanda tersebut."
"Tuan Lefazio, dengan segala hormat. Saya benar-benar tidak tahu karena saya tidak mengalami tanda-tanda yang Anda maksudkan. Saya tidak berbohong. Saya akui, saya sudah mati dan seharusnya tidak berada di sini lagi."
Lefazio mengepalkan tangannya yang masih memfokuskan Vis Katena. Seketika menyebabkan rantai-rantai yang melilit Ruvian semakin erat hingga ia kesakitan.
"Jangan konyol. Sudah jelas, tidak mungkin kau bisa ada di sini tanpa campur tangan Nekrolet!"
"Kalau begitu, bunuhlah saya."
Lefazio tergugah mendengarnya. Ia terdiam beberapa saat. Sedangkan Ruvian dengan pandangan tertunduk bertanya-tanya apa yang akan dilakukan pria tua botak itu, kenapa ia diam saja?
"Baiklah." Lefazio berucap. Ia lalu menghentakkan pangkal tongkatnya ke lantai kayu. Seketika muncul aksara berwarna abu-abu yang membentuk lingkaran dengan Ruvian menjadi pusatnya. "Sebelum itu, apa yang kau lakukan dengan membawa-bawa benda ini, Ruvian?"
Tak habis pikir. Ruvian tidak mengerti sekarang benda apa yang Lefazio bicarakan. Ia tidak melihat sebarang pun yang ia bawa.
Lefazio memfokuskan Vis berwarna abu-abu ditangannya. Kali ini bukan Vis Katena, ini adalah Vis kedua miliknya, Vis Inanis. Aksara-aksara yang ada dilantai pun bersinar semakin terang. Vis abu-abu ditangannya lalu membentuk seperti pedang yang lalu Lefazio tancapkan ke punggung pemuda tersebut.
Tidak mengeluarkan darah, tetapi Ruvian merasa seolah-olah punggungnya ditusuk oleh pedang sungguhan. Ia menjerit saat Lefazio terus menusukkan pedang tersebut semakin dalam. Hingga seluruh bagian pedang tersebut habis menusuknya, kini tangan Lefazio yang menembus punggung Ruvian.
Lefazio lalu menarik tangannya. Aksara-aksara di lantai yang membentuk lingkaran memudar. Ia memegang sesuatu. Sebuah kristal berwarna hijau bening berada di genggamannya.
"Awalnya aku samar-samar merasakan kehadiran benda ini saat merawatmu dan hanya menduga. Tapi, tak kusangka ini benar-benar ada padamu."
Ruvian terbatuk-batuk. "Ugh, ritual b-barusan, r-ritual debinding. S-siapa Anda sebenarnya?" Ia tahu tidak sembarang orang dapat melakukannya. Belum lagi dengan cara Lefazio memanggil lingkaran tadi.
Ritual debinding, ritual yang digunakan untuk menembus penyimpanan dari Vis Inanis.
Lefazio yang juga memiliki Vis Inanis seperti Ruvian baru saja menggunakan ritual tersebut untuk mengambil barang dari penyimpanan Vis Inanis pemuda itu.
"Ah iya, aku lupa memperkenalkan diri dengan benar. Mungkin Adel sudah menceritakannya, mungkin, karena aku melarang Adel bercerita banyak tentangku. Perkenalkan, Lefazio Meterata, Grandmagus ketiga dari daratan Trensia. Nah, Ruvian, kurasa cukup sampai di sini."
Ia lalu mengalirkan Vis berwarna krim pada tongkatnya. Itu adalah aspek ketiga miliknya setelah Katena dan Inanis, yakni Sagasitas.
Aspek Sagasitas, berwarna krim, bersifat pikiran. Pengguna Vis Sagasitas dapat memanipulasi pikiran.
Lefazio lalu memukulkan ujung tongkatnya pada kepala Ruvian. Seketika pemuda itu tak sadarkan hanya dari pukulan kecil. Itu karena Vis Sagasitas Lefazio yang mampu untuk menyerang pikiran.
Lalu Adel setelah sedari tadi hanya menyaksikan, ia menghampiri kakek tersebut.
"Kakek benar-benar akan membunuhnya?" tanyanya bernada sedikit ketakutan.
Lefazio tertawa. "Tentu tidak," Ia menarik napas sejenak, "seharusnya, dengan gertakan tadi, Nekrolet di dalam Ruvian mau keluar karena akan merasa keberadaannya sudah diketahui. Ternyata dugaanku salah. Walau bisa menghidupkan kembali tetapi Nekrolet tidak bisa mengendalikan keinginan inangnya. Mahkluk itu hanya dapat mendengar dan melihat apa yang inangnya dengar dan lihat. Selain itu juga, Nekrolet bisa keluar dari tubuh inangnya sewaktu-waktu ia perlukan."
Kini Adel mengerti situasinya. Kenapa Kakek Lefazio berlaku demikian. Ia lalu bertanya, "apa tidak ada cara lain untuk mendeteksi Nekrolet itu, Kek?"
"Sebenarnya ada. Diperlukan seorang Sorseror yang memiliki Vis Vita. Sayangnya, tidak ada orang yang berkemampuan semacam itu di sekitar sini."
Lefazio melepas konsentrasi Visnya sehingga rantai-rantai yang mengikat Ruvian menghilang. "Saat ini, kita belum benar-benar yakin apakah di dalam diri Ruvian bersemayam Nekrolet atau tidak. Tidak tahu juga kenapa kristal ini bisa ada padanya. Ini hampir seperti penyebab perang Gresendor, Nekrolet yang bersemayam pada seorang prajurit berhasil membawa kabur kristal. Untuk sekarang, Adel, kunci anak ini di ruang bawah tanah. Kakek mau istirahat." Lefazio lalu berjalan menuju ruangannya sembari membawa kristal hijau bening di tangannya.
Kini tinggal Adel dan Ruvian yang ada di ruang utama. Adel pun mulai mengangkat tubuh Ruvian dipundaknya untuk membawanya ke ruang bawah tanah seperti yang diperintahkan Lefazio. Untunglah ia pernah mengangkat sesuatu yang lebih berat daripada beratnya pemuda itu.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top