📓 3. Belati

"Selamat tinggal."

|TE:DR|

...

Seorang gadis tengah berjalan menuju sebuah tenda terbesar untuk menemui sosok yang menjadi kepala kelompok perburuannya.

Sosok pria berumur dua puluhan tersebut ia temukan. Lantas si gadis pun tidak menyia-nyiakan kesempatannya. "Hai, Roni. Aku yakin jatahku turun pagi ini, bisa kuambil?"

"Ah, Adel. Ya, tunggu di sini sebentar." Roni pun berbalik dan memasuki tenda di belakangnya.

Adel mengikuti perkataan Roni. Sambil menunggu, pandangannya mengawasi tenda-tenda lain yang didirikan di tengah hutan. Ini adalah kamp kelompok pemburu dari Kota Rumabel. Pekerjaan rutin untuk menghasilkan uang. Gadis itu turut serta dalam kegiatan tersebut.

Berbeda dengan perburuan yang biasa Adel ikuti. Sasaran perburuan kali ini bukan monster yang bisa di ambil bagian tubuhnya seperti gading, taring, bulu atau kulitnya untuk dijual. Melainkan monster unggas seukuran domba, cockatrice.

Mahluk liar itu tidak memiliki sesuatu yang laku banyak di pasar. Namun karena populasi cockatrice melunjak, banyak permintaan dari kota agar mahluk tersebut dibasmi.

Bukan tanpa sebab. Cockatrice biasanya menghindari kontak secara langsung. Namun dengan bertumbuhnya jumlah mereka, tanpa sungkan monster-monster kecil itu mulai berbuat onar.

Merusak sawah, menggangu ternak, bahkan dilaporkan hingga menyerang beberapa warga di pesisir kota mengharuskan agar populasi cockatrice dikendalikan.

Dengan caping terpakai di kepalanya, Roni keluar dari tenda dan memberikan sebuah kantung pada Adel.

"Nah, ini. Tiga ratus arta."

Arta adalah nama mata uang.

Adel menimang kantung tersebut. "Keberatan aku menghitungnya dulu?"

Roni mengusap keringat di dahinya. "Tidak masalah," ujarnya dengan sedikit tertawa.

Tujuh koin emas. Satu bertuliskan nilai seratus, dua bernilai lima puluh dan empat bernilai dua puluh lima. Tidak ada kelebihan atau kekurangan yang Adel temukan.

"Pas. Baiklah, terima kasih." Tak lupa Adel menyuguhkan senyumnya.

Setelah Roni membalas terima kasihnya, gadis itupun pergi untuk menaiki kereta kuda yang membawa para pemburu menuju Kota Rumabel.

Lalu seseorang yang seumuran dengan pemuda bercaping itu keluar dari tenda dan menghampirinya. Tubuhnya yang agak besar disenggolkannya pada tubuh Roni.

"Hei, kau baik sekali memberinya lebihan dua puluh lima. Hehe, beri aku juga dong, pak bos."

Roni menaikan postur tubuhnya dan menyilangkan kedua tangannya. "Hmph, itu jika kerjamu sebagus dia. Berkat kemampuan Vis Ordo Adel, seorang anggota tim selamat dari racun ular saat perburuan tadi malam."

Aspek Ordo, berwarna putih, bersifat pemurnian dan persatuan. Sebagai pemurnian, pengguna Ordo dapat menghilangkan substansi yang bersifat racun.

Lawan bicara Roni terkekeh, "halah. Aku tahu tujuanmu. Aku masih ingat saat kau beri ia mawar merah, tidak tahunya bunga itu, tepat di hadapannya, kejatuhan tahi burung. Bruakakakak!"

Roni tak dapat menampik kejadian memalukan tersebut. Teringat itu, ia hanya bisa tersenyum miris.

|TE:DR|

Tidak berganti hari, kereta kuda yang Adel tumpangi tiba di pasar Kota Rumabel tepat ketika matahari akan berada di atas ubun-ubun.

Turun dan membayar jasa tumpangan. Gadis itu lalu mengeluarkan sebuah selebaran dari ranselnya, berisikan daftar bahan makanan. Ia pun mulai menghampiri stan-stan kayu dengan atap kain terpal beragam warna yang ramai pembeli.

Setelah beberapa saat, ransel Adel melebar hampir melebihi ukuran badannya. Kini tinggal mencari barang yang berada di urutan terbawah lembaran itu. Dengan suara kecil ia membaca tulisan tersebut. "Obat batuk. Biasanya dalam bentuk serbukan berwarna kuning. Jika tidak ada, beli saja segenggam mint."

Adel tidak yakin bisa menemukan obat dalam bentuk serbuk tersebut. Setahunya, alkemis penjual obat-obatan berada di desa bagian Barat Rumabel. Jika membeli di sana bisa dipastikan ia akan sampai di rumah pada malam hari.

Ia lalu memutuskan untuk mencari mint di toko herbalis. Tak lama ia pun menemukannya dan mendorong pintu kayu toko tersebut.

"Selamat siang. Ada yang bisa kubantu?" ujar wanita paruh baya yang berdiri di depan meja. Meja itu penuh oleh botol-botol transparan memuat tanaman kering.

"Um, saya mencari daun mint, segenggam saja."

"Oo, sebentar ya." Si wanita lalu memetik daun dari salah satu deretan tanaman yang tumbuh di pot kecil di atas meja. Mereka mendapat cahaya dari langit-langit ruangan yang menggunakan kaca.

Adel menatap sebuah botol yang berisikan cairan bening. Botol itu memiliki label dengan tulisan ‘obat tidur’. Melihatnya ia jadi terpikirkan sebuah rencana.

Aha! Ini pasti akan membantu. Tinggal satu masalah lagi yang perlu diselesaikan.

Kumpulan daun mint diletakkan di atas sebuah kain. Kemudian semua ujung kain tersebut disatukan lalu diikat.

"Harganya dua puluh arta."

Adel menunjuk pada botol yang ia perhatikan tadi dan bertanya, "kalau yang itu berapa?"

Si wanita mengambil botol yang Adel tunjuk. "Ini? Ah, maaf. Ini tidak untuk dijual."

Yaah, sayang sekali.

Wanita itu bisa melihat raut wajah kecewa pada gadis di hadapannya. Ia pun berubah pikiran. Awalnya obat ini ia gunakan sendiri sebab insomnia. Tapi karena penyakitnya sudah hilang, tidak ada alasan lagi obat itu ada di sini.

"Tapi ... kamu bisa membawanya. Ini, ambillah." Si wanita menyodorkan botol tersebut. "Kamu tidak perlu membayar yang ini, daun mint-nya saja."

Dengan senyum merekah. "Wah, terima kasih banyak, Tante." Adel lalu menyelesaikan pembayaran.

Pintu toko ditutup. Ia menatap pada hari yang masih siang. Gadis itu bisa tenang karena ia akan tiba di rumah tidak sampai malam hari.

|TE:DR|

Seorang pemuda berambut kecokelatan sedang menghadap dinding kayu. Iris mata berwarna kuning amber miliknya menatapi peta yang tertempel di sana.

Dengan jemari di dagu, ia bergumam, "hmm, jadi tempat ini ada di kawasan Trensia Tengah. Dari benua Trensia ini, untuk mencapai benua Amenoa aku bisa menumpang kapal dari pelabuhan di Kota Katalan. Kota itu arah Utara dari sini."

"Lalu setelah berada di Amenoa, aku bisa melanjutkan ke kontinen angkasa Hereodas."

Langkah awal dari rencana di benaknya sudah diatur. "Baiklah," tukasnya. Ia pun masuk ke dalam kamar. Kamar yang hanya berisikan ranjang tidur, meja berlaci dan almari di samping ranjang. Sederhana.

Si pemuda lalu mengambil zirah kulit miliknya yang berada di atas meja. Zirah itu mempunyai banyak goresan. Nampak pada bagian punggung dan badan depan zirah tersebut sobek seolah-olah tertembus benda tajam. Tidak peduli, ia pun tetap mengenakannya dengan bangga.

Ia lalu pergi dari kamar dan hendak menuju pintu keluar tetapi langkahnya terhenti karena ada sesuatu yang mengganggunya.

Hmm, tidak enak rasanya jika aku pergi begitu saja. Adel dan kakek itu sudah merawatku hingga pulih seperti ini. Ada baiknya aku menunggu hingga mereka pulang. Tapi, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika aku terus berlama-lama di sini.

Ruvian lalu melihat selebaran kertas pada rak buku yang terbuat dari dinding kayu yang diukir sedemikian rupa. Di samping selebaran tersebut, ada pena bulu dan tinta.

Ah, setidaknya aku harus meninggalkan pesan.

Ia mengambil selembar kertas dan mulai menulis. Saat sudah menulis dua kata, Ruvian menemukan sebuah tulisan yang bukan miliknya di kertas tersebut.

Ruvian menggumamkan tulisan tersebut, "untuk Ruso Kleura ...." Hanya itu. Tidak terlalu perduli, Ia lalu membalik kertas tersebut dan menulis lagi di sisi lain yang masih kosong.

Ia pun selesai menulis. Kertas itu dibiarkan di atas meja dekat sofa. Lalu Ruvian membuka pintu rumah, memperlihatkan langit yang nampak kejinggaan.

Mendongak ke atas, ia melihat sesuatu yang janggal melambung tinggi di udara. Sederet vertikal asap hitam.

Pasti ada sesuatu dengan asap itu. Ruvian lalu mulai berkonsentrasi. Sepasang matanya mengeluarkan sedikit cahaya berwarna biru. Ia memfokuskan Vis Sensus pada kedua sumber penglihatannya.

Aspek Sensus, berwarna biru, bersifat visualisasi. Sensus memampukan penggunanya untuk memvisualisasikan objek dalam radius tertentu sehingga mereka dapat melihat jarak jauh, walau terlihat berupa bentuk objek yang tergambarkan dalam garis-garis berwarna biru.

Berkat Vis Sensus, Ruvian dapat melihat ke arah sumber asap walaupun arah pandangannya terhalau oleh tebing.

"I-itukan?!" pekiknya tanpa sadar. Ruvian pun mulai berlari, mendatangi asal asap tersebut.

|TE:DR|

Sekali-kali langkahnya berdendang mengikuti dehaman bernada yang ia keluarkan. Ransel yang membesar hampir melebihi ukuran tubuhnya tidak terasa berat baginya. Di bawah kanopi hijau yang menghalau terik siang, sepatu kulit kerasnya memecah dedaunan kering pada jalan setapak.

Tibalah di mana ia harus meninggalkan jalur setapak utama dan turun mengikuti jejak di antara belukar yang arahnya hanya ia yang tahu.

Sekelibat, raungan keras menggema. Burung-burung beterbangan. Gadis itu menghentikan langkah dan dendangannya. Diamatinya arah burung-burung yang panik tersebut. Asal raungan tidak jauh dari tempat ia berada. Dengan mengendap gadis itu memeriksa sumber suara.

Dari balik pohon ia mengintip. Tampak ada ogre sedang menikmati seekor rusa yang malang. Monster tak berakal itu sendirian.

"B-bagaimana bisa ada ogre di sini?!" gumam gadis itu.

Setahunya, monster humanoid–berbentuk seperti manusia–setinggi pohon dan berbadan gemuk itu hanya ada di pegunungan. Sedangkan pegunungan terdekat dari sini berjarak ratusan ribu kaki.

Gadis itu berpikir untuk menghabisi makhluk berbahaya tersebut. Situasi menguntungkan dirinya, mahkluk itu tidak menyadari bahwa ajal akan menjemputnya.

Ia lalu mengaitkan ranselnya di dahan pohon dan meraih belati yang menggantung pada ikat pinggangnya. Dengan tenang, si gadis memusatkan pikirannya. Tangannya erat menggenggam ganggang belati yang bagian bawahnya memiliki imbuhan permata berwarna merah. Permata itu berfungsi sebagai penyimpanan sementara untuk Venevisium.

Vis adalah singkatan untuk Venevisium.

Ia menghimpun Vis Ardor pada belatinya. Perlahan permata merah pada belati tersebut bersinar warna merah. Setelah cukup banyak Vis yang terhimpun, gadis itu mulai berlari dengan senyap mengarah pada punggung ogre tersebut.

Aspek Ardor, berwarna merah, bersifat api. Memampukan pengguna Vis Ardor untuk menciptakan atau mengendalikan api.

Setelah mendapat jarak yang cukup, ia melompat dan langsung menancapkan belatinya pada bagian leher belakang ogre tersebut. Ia lalu menolak pada punggung makhluk itu dengan kedua kakinya.

Merasa seperti disengat lebah, makhluk bodoh itupun berbalik badan. Didapatinya seorang gadis manusia sedang berlari menjauhinya. Iapun tak ingin menyia-nyiakan mangsa lezat tersebut. Tanah bergetar pada tiap langkah kaki besarnya saat mengejar gadis berambut silver itu.

Dengan terkekeh si gadis berujar lantang, "mahkluk bodoh. Selamat tinggal!" Sambil berlari ia mengacungkan jari. Dengan begitu gadis tersebut mengaktifkan Vis Ardor yang tersimpan pada belati miliknya.

Belati yang menancap pada leher belakang ogre tersebut menyemburkan api. Makhluk itu
meraung murka. Melihat monster itu berhenti mengejarnya, si gadis pun berhenti berlari lalu berbalik agar ia dapat lebih fokus mengerahkan Vis Ardornya.

Api itu terus membakarnya tanpa ampun namun ogre tersebut belum juga tumbang. Tidak masalah bagi si gadis sebab jumlah Vis yang ia simpan pada belati itu baru terpakai belum sampai seperempatnya.

Walau terpuruk, ogre itu meraung kembali. Kini ia bangkit dan kembali mengejar gadis itu, lebih cepat dari sebelumnya. Tidak tinggal diam, si gadis pun berlari menjauhi makhluk tersebut sambil menjaga konsentrasi Visnya.

Badan lebar dan gemuk makhluk tersebut menerjang pepohonan hingga rubuh dan ambruk. Jarak antara mereka berdua semakin kecil hingga si gadis yakin monster itu tepat berada di belakangnya.

"Kenapa belum mati juga, sih?!" umpatnya kesal. Lalu situasi bertambah buruk. Kaki si gadis terjerat tanaman rambat. Ia terjatuh dan ogre itu pun langsung mengayunkan tangan besarnya saat kesempatan terbuka.

Gadis itu meredam hantaman ogre dengan merapatkan plat besi di sepanjang kedua tangannya. Ia terlempar beberapa langkah ke samping, terguling-guling di atas tanah. Beruntung karena kewalahan ogre itu mengayunkan tangannya secara horisontal, jika vertikal bisa jadi lebih buruk bagi si gadis.

Api yang membara pada leher belakang ogre itu menciut. Walau begitu, setelah terus terpanggang cukup lama, monster itu akhirnya ambruk. Punggungnya gosong. Api itu sudah banyak mengganggu kerja organ tubuh atasnya.

"Ugh, gawat!" ujar si gadis yang masih berusaha untuk bangkit. Ia mendengar ogre itu meraung. Monster itu masih belum mati juga.

Tubuhnya sakit, kedua tangannya memar. Ia mencoba berdiri dengan bertumpu pada satu tangan karena tangan lainnya memfokuskan Vis Sano pada tubuhnya. Vis itu meringankan rasa sakit yang ia derita.

Aspek Sano, berwarna merah muda, bersifat pemulihan.

Kemudian gadis itu mendongak ke atas setelah mendengar sesuatu yang retak. Benar saja, sebuah pohon yang menjulang tinggi akan rubuh menimpanya. Dengan kakinya ia mendorong tubuhnya ke samping dan berhasil menghindar. Pohon itupun rata dengan tanah.

Namun ia belum bisa bernapas lega karena masih mendengar gesekan ranting dan dedaunan di atasnya.

Ugh, jangan bilang masih ada lagi.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top