📘 2. Rasa
"Tuan Lefazio Meterata."
|TE:DR|
...
Aku tidak menyangka dapat kembali menyaksikan terbitnya matahari. Dari jendela, udara terasa begitu sejuk dan sudah lama, bahkan sangat lama sekali, hangatnya cahaya fajar tidak menyentuh wajahku seperti ini.
Sinar pagi sang surya menyerbu ke dalam kamar yang hanya berisikan tempat tidur bersebelahan dengan meja berlaci dan sebuah almari. Hanya itu, tidak ada yang lain. Terlalu sederhana.
Sekarang aku bertanya-tanya, siapa pemilik rumah ini? Namun yang pasti ialah yang telah menyelematkanku. Hal terakhir yang kuingat, wajahku membentur tanah dan yang nampak hanyalah gelap. Kemudian aku mencoba berdiri dan berjalan pelan. Tidak lama, udara yang dari awal terasa begitu dingin dan rasa sakit pada tubuhku menimbulkan pusing yang luar biasa. Oleh karenanya, aku terjatuh lagi, tak sadarkan diri sampai aku membuka mata, aku berada di atas ranjang dengan luka di bahu yang telah dibalut perban, rasa sakitnya pun sudah mereda.
Siapapun ia, aku harus membalas kebaikannya. Ini adalah hutang nyawa. Sebaiknya aku segera mengucapkan terima kasih daripada berlama-lama di depan jendela. Tentu saja, sekadar ucapan takkan cukup untuk membalasnya.
Pintu kamar kubuka. Nampak ada seorang anak perempuan tengah tertidur di atas sofa panjang di pusat ruangan. Tidak salah lagi, noda darah di sekitar lengan bajunya bukan miliknya, pastinya itu darahku.
Ia sangat pulas. Satu kakinya berada di atas sandaran sofa padahal kepalanya ada di dudukan. Untungnya ia mengenakan celana panjang, bukan rok. Haha.
Anak perempuan itu nampak seumuran denganku, mungkin lebih muda. Hal yang unik darinya adalah rambut silver panjang menyentuh bahu miliknya. Sangat menarik. Keserasiannya pun bertambah dengan putih seri kulitnya.
Kini, terlintas pertanyaan lagi-entah siapa yang akan menjawabnya-di benakku. Rumah ini nampak terlalu besar jika hanya ia yang tinggal di sini. Belum dengan pemandangan dari jendela kamar tadi, tak nampak satu pun rumah lain kecuali tebing dan bukit gersang. Jangankan pohon, rumput pun kebanyakan berwarna kuning.
Dan pertanyaan itupun terjawab seketika aku melihat lukisan seorang pria. Dengan garis kerutan dan beberapa dari rambut hitamnya yang menjadi uban serta jubah putih yang dikenakannya, lukisan setengah badan berlatar merah itu terlihat gagah. Aku menyipitkan kelopak mata, ada nama yang tertulis di sana.
"Tuan Lefazio Meterata."
Eh? Segera aku berbalik untuk mengetahui pemilik suara tersebut. Ternyata anak perempuan yang tadi tidur di sofa.
"Hehe, hai. Sudah merasa baikan?" tanyanya setelah tersenyum. Ia memegang sebuah buku yang kulihat ada di meja dekat sofa tadi.
"Uh, umm, yah, kurasa." Mengejutkan sekali, padahal aku yakin beberapa detik lalu ia ada di sofa, dan sekarang sudah berdiri di depanku.
Ia sedikit tertawa, "kamu ini kaku sekali ya."
"Eeh, haha." Aku tidak tahu harus berkata apa, jadinya aku melirik arah lain dan entah kenapa belakang telingaku jadi agak gatal.
"Perkenalkan, namaku Adel Varfleffof. Siapa namamu?"
Ah, pantas saja terasa canggung. Aku lupa memperkenalkan diri.
Adel menyodorkan tangan untuk bersalaman. "Namaku Ru-" Sekelibat ada secarik kertas terjatuh dari sela buku yang ia pegang. Salah tingkah aku langsung mengambilkan kertas tersebut, padahal seharusnya aku menjabat tangannya dulu.
Sekilas melihat tulisan di kertas itu, tidak sengaja aku menemukan kebetulan yang aneh. "Wah, namaku ada di sini."
Adel terbelalak, sampai-sampai buku yang ia pegang terjatuh. "A-A-APA??!!"
Ah, aku tidak terkejut dengan sikapnya yang begitu. Sebab bagian teratas kertas ini bertuliskan daftar nama 'prajurit yang gugur'.
"Iya, Ruvian Lusentin. Itu namaku."
"Ruvian?" Adel menatapku hampa. Sepertinya ia larut dalam pikirannya. Ia langsung mengambil bukunya yang terjatuh dan membalikkan halaman demi halaman dengan cepat, entah bagian apa yang ia cari.
"Ini adalah salinan dari jurnal yang ditulis oleh Alesta Kalvard."
Ah, Alesta! Aku ingat beliau adalah guruku dulu.
"Tertulis dengan jelas di sini, saat Perang Gresendor salah satu muridnya yang bernama Ruvian Lusentin terbunuh. Aku tidak menyangka si empunya nama adalah kamu. Itulah mengapa namamu ada di daftar prajurit yang gugur, bukan prajurit yang hilang. Dan sekarang, kamu ada di depanku, masih hidup. Ini benar-benar gila."
Sejenak aku menghela napas. "Aku tahu, aku yakin seharusnya aku sudah mati." Ini mengingatkanku pada kenangan yang sangat buruk, buruk sekali.
"L-lalu apa yang terjadi?"
Aku tidak tahu apakah kalimat yang akan kuucapkan ini bisa ia percayai. Sebab, pada saat itu, aku sendiri pun tak mempercayainya.
"Aku sendiri juga tidak tahu. Saat itu, aku terbangun. Sempat mengira aku ada di alam lain, ternyata tidak. Aku masih di sana, Neteril. Kamu tahu tentang tempat itu?"
"Tempat yang menghubungkan antar dunia. Ya, aku pernah ke sana."
Mengejutkan. Awalnya aku menduga ia tidak tahu tempat itu. Bahkan ia juga bilang pernah ke sana.
Cerita itupun aku teruskan, "seperti yang jurnal Alesta ceritakan. Aku terjatuh ke dalam jurang di Neteril. Sebelumnya tubuhku sudah tertembus oleh benda tajam. Lalu setelah aku merasa akan mati dan yakin seperti itu sesudah merasakan tubuhku terhentak keras. Entah kenapa, di saat yang kulihat hanyalah gelap, tiba-tiba aku bisa membuka mata dan masih bernapas. Luka di tubuhku pun hilang semuanya, namun tidak dengan zirahku yang compang-camping. Saat itu aku yakin, aku hidup kembali. Namun aku tidak tahu kenapa bisa terjadi."
Adel terdiam hingga beberapa saat. Sulit membaca ekspresinya. Mungkin antara bingung, heran, takjub, dan takut menjadi satu. Apapun yang dipikirkannya, entah akan percaya dengan cerita itu dan menganggapku gila atau percaya dan menjadi gila, setidaknya aku menceritakan apa yang aku alami.
Lagipula, senang rasanya bisa berkomunikasi lagi dengan sesama manusia setelah sekian lama berada di tempat itu.
Cukup lama berdiam, ia akhirnya bicara, "aku ... akan membuatkan sarapan dulu. Tunggulah di sini."
Aku hanya mengangguk menjawabnya, sebab ia langsung pergi begitu saja. Oh, baiklah. Kurasa aku akan duduk di sofa itu dan membaca jurnal Alesta. Aku penasaran, bagaimana ia bisa memiliki buku-buku seperti ini.
Ngomong-ngomong tentang buku. Aku baru menyadari jika dinding kayu ruangan ini diukir sedemikian rupa hingga menjadi rak buku. Tidak ada tempat rak yang kosong. Rumah yang unik.
Alesta menulis banyak hal di sini. Diriku dan ia juga ikut serta dalam Perang Gresendor, perang yang bertempat di Neteril. Syukurlah guruku ini berhasil pulang dengan selamat.
Ah, ternyata Alesta juga menulis kejadian ini. Peristiwa mimpi buruk bagiku, mimpi buruk yang menjadi nyata. Aku mengalihkan pandangan ke arah kertas yang bertuliskan daftar nama prajurit yang gugur. Walau ada banyak nama yang tertulis di sana, tapi nama yang aku cari itu tidak jauh dari namaku berada. Aku tidak menemukan nama-nama teman seperjuanganku di sini, berita baik, kecuali satu nama.
Lika Archeir. Aku tidak terkejut. Sebab aku melihat kejadian itu dengan mata kepala.
Selalu saja. Aku masih merasakan seperti ada duri yang melekat di hati ini tiap kali mengingatnya walaupun seiring berjalannya waktu-yang bisa dikatakan telah berlalu sangat lama-aku sudah merelakannya pergi. Ugh, pilu. Sulit sekali untuk melupakannya.
Lalu Adel pun tiba dengan dua piring penuh masing-masing berisikan nasi, sayur brokoli dan telur dadar yang dibagi dua.
Wah, nasi.
|TE:DR|
"Baiklah, aku pergi dulu." Setelah sarapan dan dengan ransel di punggungnya, Adel pergi di bawah siang yang cerah.
Ia meninggalkanku sendirian di rumah. Katanya terpaksa sebab persediaan bahan makanan di rumah kurang. Rumah yang ternyata adalah milik Kakek Lefazio.
Banyak yang aku dan Adel bicarakan selama makan.
Ia bilang, jika racun di bahu kiriku ini adalah racun behemoth. Lalu Adel memintaku untuk melakukan channeling Vis, sebutan untuk teknik mengalirkan Vis namun belum pada tahap menggunakannya.
Aku tak bisa merasakan channeling tersebut. Yang mana artinya-sesuai ucapan Adel-racun behemoth ini sudah ternetralkan sepenuhnya. Hanya tinggal menunggu efek dari sesuatu yang menjadi penawar racun tersebut menghilang. Karena penawar itu, aku jadi tidak bisa menggunakan Vis sama sekali.
Kurasa bukan hal buruk. Ia bilang efek samping penawarnya sekitar sehari atau kurang.
Huh, padahal aku yakin aku hanya terkena darah dari makhluk itu. Siapa sangka ternyata cairan itu berbahaya. Waktu itu, yang kulihat paling berbahaya dari monster kelas berat tersebut adalah ayunan tangannya. Tebing batu saja roboh olehnya. Nasib baik monster itu hanya ada di Neteril.
Berdasarkan cerita Adel. Gerbang menuju Neteril telah disegel tepat setelah Perang Gresendor berakhir dua tahun yang lalu. Sehingga tidak mungkin gerbang itu bisa berfungsi lagi.
Jadi, aku sudah berkelana tanpa arah di Neteril selama dua tahun.
Jika perkiraanku benar, berarti yang kutemukan saat itu adalah semacam 'gerbang mini' yang membawaku ke mari. Tapi setahuku, gerbang teleportasi saling berhubungan, sehingga seharusnya ada dua, satu sebagai pengirim dan satu sebagai penerima. Tapi malam itu, setelah meraba-raba dalam gelap, aku tiba di atas tanah datar. Tidak menemukan adanya struktur apapun yang menjadi gerbang sebagai penerima seperti saat di Neteril yang sebagai pengirim.
Setelah membaca sebuah buku yang ada di rak. Aku jadi yakin, tidak mungkin proses teleportasi itu terjadi jika tidak ada gerbang penerimanya. Pasti ada.
Karena aku tiba di daerah sini. Bisa kupastikan gerbang penerima itu tidak jauh dari tempatku tiba. Tapi di mana?
Aku menghela napas. Buku yang kubaca kututup. Sepertinya aku terlalu penasaran dengan bagaimana aku bisa sampai di sini. Tapi bukan tanpa maksud, itu bisa menuntunku menuju Neteril lagi. Yah, walau rencana kembali ke sana masih akan sangat lama. Setelah tujuan utamaku terpenuhi.
Hmm, benar juga. Aku ingat Adel bilang ia pernah ke Neteril. Ada kemungkinan ia tidak menggunakan gerbang utama yang disegel. Aku harus bertanya padanya nanti. Tapi, apa yang dilakukannya di sana? Tidak ada kesimpulan yang runtut untuk seorang perempuan sepertinya pergi ke tempat itu.
Kecuali jika ia bersama kakek itu. Dari bagaimana rumahnya ini, Tuan Lefazio tidak nampak hanya sekadar pria tua. Kenapa juga harus mendirikan rumah yang terpencil di perbukitan gersang ini?
Ugh, terlalu banyak pertanyaan sampai-sampai tidak terasa hari sudah sore. Sebaiknya aku menyalakan pelita. Mereka berdua takkan kembali hingga esok.
Hingga malam pun tiba, aku hanya seorang diri, duduk di teras rumah menatap ke atas. Sedikit berkabut, walau tidak setebal malam pertama aku sampai di sini.
Luka di bahu ini kuelus pelan. Kuharap efek samping penawarnya hilang saat esok sehingga aku tidak berlama-lama di sini. Yah, setidaknya aku harus berterimakasih dulu kepada Kakek Lefazio.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top