📔 11. Perasaan

"Namaku bukan Sreya, namaku Lika!"

|TE:DR|

...

Fuh, akhirnya langkahku tiba di atas bukit batuan karst hitam ini. Lantas kumenengadah, memperhatikan langit kelam Neteril yang tak pernah berubah. Kemerlap titik cahaya yang banyak di atas sana selalu sukses membuat sudut bibirku terangkat. Sedikit mengingatkanku pada kenangan kecil yang manis.

"Uaarr--ahh!!"

Ah, tidak, suara itu, suara seperti orang baru bangun tidur yang datang dari dalam tubuhku sendiri.

"Kau sudah mati?" tanyaku, supra sinis. Terkadang terasa lucu sebab aku terlihat seperti berbicara pada diri sendiri. Namun kenyataannya, aku memang memiliki lawan bicara.

Seketika sebuah tentakel dari energi hitam muncul di samping bahu dan melilit leherku. Ugh, seperti biasa, ia pasti akan melakukan ini, entah apa maksudnya. Lilitannya tidak sakit, karena ia tahu, membunuhku sama dengan membunuh dirinya sendiri.

"Hehehe," kekehnya.

Aku menghelap napas lalu berucap datar, "dasar mahkluk bodoh." Lantas kutempelkan jari telunjukku pada energi hitam yang melilit leherku, memberikannya sengatan cahaya putih, Vis Ordo.

"Argh!" jeritnya, Nekrolet yang bersemayam di dalam diriku. Tantakel hitam yang melingkar itupun menyusut lalu menghilang. "Berani-beraninya kau Sreya tidak tahu diri!" murkanya.

"Namaku bukan Sreya, namaku Lika!" sahutku, sama tingginya. Namun seketika itu juga aku langsung menghela napas. Aku lupa walau secara fisik mahkluk ini tidak menampakkan kepalanya, tetapi secara mental, kepalanya lebih keras dari batu. Batunya kosong pula. Cuih!

Aku pun berdiri, mengakhiri sesi istirahat sejenak. Dari atas bukit karst hitam ini, kulihat jalan di depanku pun tidaklah berbeda, yakni bukit-bukit lainnya.

"Tidak! Kau tetaplah Sreya mati yang masih saja kurang ajar dengan menumpang nyawa padaku!"

Haaaah, mahkluk ini selalu saja mengesalkan. "Berisik!" Kuselimutkan Vis Ordo ke sekujur tubuhku. "Kau bisa diam tidak?!"

"Aaaah! Baiklah! Baiklah! Jangan kau lakukan itu!!!"

Hehe, nada mengiba itu selalu bisa membuatku tertawa. Tentu akan terasa sakit baginya bila kemampuan Vis Ordoku tadi kuaktifkan.

Lantas aku mulai menggerakkan kaki, melanjutkan perjalanan. Tidak lama, aku kembali berhenti. Bukan untuk istirahat, tetapi jalur yang akan kulalui nampaknya sedikit ekstrim. Salah langkah bisa-bisa membuatku terperosok ke tepian curam di depan.

Beruntungnya, aku punya kemampuan tambahan. Kusebut sebagai kemampuan tambahan karena awalnya aku hanya mempunyai dua aspek Vis, yakni Ordo dan Vita. Namun, berkat Nekrolet di dalam tubuhku ini aku bisa mengendalikan dua aspek Vis miliknya, Telum dan Noks. Juga, aku bisa menggunakan tentakel hitam yang merupakan substansi tubuh Nekrolet itu sendiri.

Kuulur tanganku ke depan. Mengendalikan kemampuan Si Nekrolet bisa kulakukan layaknya menggunakan kekuatanku sendiri. Dua tentakel hitam muncul dari lenganku. Dengan ini, aku bisa menuruni tebing curam seperti seekor laba-laba.

"Hish, seenaknya memakai tubuh orang," protes Nekrolet itu dengan nada datar. Seperti ia masih ketakutan dengan ancaman Vis Ordoku.

Aku hanya menyunggingkan tawa selagi mendaki dengan enam tambahan tentakel.

"Fyuh." Akhirnya aku sampai di atas bukit yang lebih tinggi. Walau aku menggunakan kekuatan milik Nekrolet tetapi stamina yang dipakai tetaplah staminaku.

"Kau mau ke mana, huh? Sampai-sampai bersusah payah," tanyanya. Akhirnya ia berhenti meracau.

"Seperti biasa. Tidak arah dan tujuan," sahutku. Lantas kuberbaring untuk rehat. Detak jantung dan napasku menjadi cepat gara-gara mendaki.

Memang, selama ini aku hanya berjalan tanpa arah dan tujuan di Neteril sejak Si Nekrolet hinggap di tubuhku, menjadi pengganti jiwa yang menopang ragaku.

Kuangkat kedua tanganku ke atas. Meremas jemari. Aku takkan pernah lupa kalau yang membunuhku pada perang waktu lalu adalah Nekrolet yang bersemayam di dalam diriku ini. Ironisnya ia pula yang membangkitkanku dari kematian.

Kejadian itu telah berlalu lama sekali. Aku tidak tahu tepatnya karena Neteril berbeda dengan di bumi, tidak ada pergantian antara siang dan malam. Tetapi di sini tidak gelap, aku masih dapat melihat sejauh mata memandang berkat sebuah bintang yang bersinar terang. Hanya saja langit Neteril tetap kelam dan takkan pernah berubah.

Bumi ....

Aku tidak tahu apa aku bisa kembali lagi ke sana karena saat aku mendatangi gerbang penghubung menuju ke bumi, Rune yang terukir pada sisi-sisi batuan yang menyusunnya sudah tidak aktif. Bangunan itu kini tidak lebih hanya sekedar batuan yang disusun.

Kuhela napas panjang. Itu adalah hal berat bagiku. Menunggu keajaiban kalau-kalau gerbang itu akan kembali aktif pun percuma.

Aku berdiri dan kembali mengedarkan pandangan, memantau perbukitan yang telah kulalui. Terkadang, terselip sebuah rasa takjub ketika dapat melihat seluas dan sejauh ini.

"Tidak ada arah dan tujuan? Hmph! Jangan kira aku tidak tahu kalau kau mencoba mencari cara untuk kembali ke bumi," cetusnya serta-merta.

Yah, harus kuakui dia tidak salah. Tetapi aku benar-benar tidak memiliki petunjuk apapun yang dapat membawaku kembali ke sana. "Terserah mau percaya atau tidak," balasku terkesan abai. Aku pun kembali melanjutkan mendaki tebing.

Tentakel hitam dari lenganku menembak ke atas dan menancap pada sisi tebing. Tubuh Nekrolet ini dapat diubah menjadi lunak seperti sehelai rumput atau menjadi keras seperti besi.
Kemampuan yang sangat luar biasa. Kugunakan tentakel itu sebagai tali pengaman tatkala aku terpeleset. Sebenarnya aku bisa saja membuat tentakel itu langsung menarikku ke atas tetapi aku ingin merasakan yang namanya memanjat tebing, hehe.

"Gah!" Batu pijakan dan yang kuraih tidak menancap kuat dan lantas terjatuh menggelinding. Beruntung 'tali' tangan Nekrolet sebagai pengaman membuatku tergantu--

"Uuaaakkkhhh!!!" Aku terjatuh. Ujung tentakel hitam pengaman yang menancap pada permukaan tebing pun ikut runtuh!

"Cih, dasar Sreya bodoh!" ketus Si Nekrolet. Seketika muncul tentakel besar dari punggungku yang ujungnya bercabang banyak dan menancap dalam pada sisi tebing. Muncul pula benda hitam itu di atas kepalaku yang lalu membentuk mangkuk terbalik, melindungiku dari batuan yang runtuh. "Kalau kau mati, aku juga mati bodoh!" umpatnya lagi.

"Hehe, iya maaf." Tentakel besar barusan bukan aku yang mengendalikannya, tetapi ia. Tubuhku pun terangkat dan dengan mudah aku sampai di atas tebing. Kutoleh ke bawah. Eh, ternyata cukup tinggi juga. Andai kalau benar-benar terjatuh tadi pasti rasanya sakit sekali. Jika aku merasakan sakit, tentunya Si Nekrolet pun juga ikut mengalaminya.

"Ah, tidak seru. Aku ingin mendaki," protesku, sedikit menggodanya. Walau sering menyebalkan, terkadang mahkluk itu bisa protektif, atau mungkin hanya naluri bertahan hidup.

"Pff, lupakanlah. Kau tidak usah bersikap sok manja seperti itu. Aku tahu semua yang kau pikirkan."

Yah, itu salah satu efek dari jiwa dan raga kami yang bersatu. Ia bisa mengetahui semua isi pikiran di kepalaku. Namun, aku tidak bisa mengetahui isi pikiran mahkluk itu, karena--Si Nekrolet pernah menjelaskan--sistem saraf milik Nekrolet berbeda tingkatan dengan milik mahkluk yang ada di bumi. Jadinya, ya, aku tidak bisa mengetahui apa yang ia pikirkan.

Aku mulai berjalan, entah ke mana. Kulihat di depan masih membentang perbukitan karst hitam. Aku belum berada di puncak rupanya.

"Huh? Ini ...." Kutempelkan tanganku ke permukaan. Sempat aku merasakan getaran, seperti sebuah gempa, hanya saja cukup samar.

Tidak hanya itu, melalui pendengaranku yang tajam, aku mengindera suara gemuruh. Arah datangnya tepat dari depanku.

"Tidak, sebaiknya kita tidak ke sana," keluh Si Nekrolet seketika.

Oh, aku sudah terlanjur penasaran.

"Ck."

Hihi, ia tentu tak bisa melawanku berkat Vis Ordo yang kumiliki. Tubuh Nekrolet berupa Vis korup Vitium. Dengan Ordo sebagai pemurnian, tentu akan membawa dampak negatif bagi aspek Vitium. Jadinya, Ordo adalah kelemahan bagi Nekrolet.

Semakin kuberjalan, suara gemuruh mulai terdengar dengan jelas. Namun asalnya masih cukup jauh di dalam perbukitan sana. Samar-samar terdapat suara lain yang menghalangiku mendengar gemuruh tersebut.

"Awas, ada sekelompok hound." Si Nekrolet memperingatkan.

"Di mana?"

"Lihat ke kanan, di balik batuan sana."

Ah, benar. Suara lain yang kudengar itu ternyata berasal dari mahkluk-mahkluk tersebut.

Disebut hound karena mahkluk itu memang mirip seperti anjing liar. Hanya saja mereka memiliki taring yang lebih panjang dan rambut di sekujur tubuh mereka lebih sering berwarna abu-abu gelap, membuatnya sulit untuk dilihat karena warna rambut yang serupa dengan batuan karst hitam di perbukitan ini.

Kuintip sekelompok hound itu dari balik sebuah batu besar. Nampak mahkluk-mahkluk itu sedang memakan sesuatu. Oh, tanduk besar itu. Mangsa mereka adalah seekor kerbau pemakan batu. Darah kerbau berkulit gelap itupun terlihat masih segar. Memang, di Neteril beberapa mahkluk lebih beragam ketimbang di bumi.

Dari tanganku, kuciptakan energi hitam milik Nekrolet yang lantas kubentuk menjadi sebuah senjata. Aku berniat untuk mengusir hound-hound itu. Maksudku, mereka pastinya tidak menerima tamu untuk diajak makan bersama dengan ramah, bukan? Aku juga kelaparan. Daging kerbau pemakan batu itu sangat enak.

Dengan senyap aku mulai berlari. Energi hitam Nekrolet kuacungkan lurus dan membentuk tombak berujung tumpul yang menjulur cepat ke depan. Benda itu mengejutkan para hound tersebut ketika berhasil mengenai salah satu dari mereka.

Binatang-binatang liar itu cukup kubuat ketakukan saja, tidak perlu sampai membunuh mereka. Kuciptakan banyak tentakel hitam di balik punggungku yang lalu membesar dan bergerak-gerak. Hound-hound itu mulai nampak terintimidasi, semakin kuberjalan mendekat mereka pun melangkah mundur. Haha, sepertinya aku benar-benar menakutkan. Sebagai penutup, kuarahkan tentakel-tentakel itu menjulur dan menghantam permukaan batuan di dekat mereka. Hound-hound itu pun berlarian tunggang langgang.

Kutarik kembali semua tentakel itu lalu kubentuk menjadi sebuah pedang. Memotong daging kerbau takkan sulit dengan pedang hitam ini. Huwah, paha depan si kerbau benar-benar tebal. Cukup empat potong daging seukuran dua kepalan tanganku aku pasti sudah kenyang. Aku berdiri, dengan empat potong daging itu dibawakan oleh tentakel hitam. Kulihat hound-hound itu masih mengawasiku dari jauh dengan lidah mereka yang menjulur.

Baiklah, aku tidak makan banyak kok. Kalian bisa kembali menikmati hasil buruan kalian. Aku hanya meminta sedikit, hehe, meminta. Padahal aku mengambil paksa dengan menakuti mereka.

Sengaja aku menjauh agar hound-hound itu kembali. Usai menemukan lokasi yang pas, aku pun mulai memasak daging ini.

Di Neteril, tidak ada pohon. Tidak ada pohon berarti tidak ada kayu. Bahkan tanaman yang ada di sini pun hanya berupa jenis jamur-jamuran. Jadinya, membuat api adalah hal yang hampir mustahil. Tetapi, Si Nekrolet mengajarkanku bagaimana caranya memasak tanpa api.

"Ini, aku sudah menyiapkannya," sahut Si Nekrolet seketika.

Dua tentakel hitam yang bukan dalam kendaliku berayun ke hadapanku. Ujung dari tentakel hitam itu berbentuk lempengan tipis persegi panjang yang sudah berwarna kemerahan.

"Woah, kau sudah tidak sabar rupanya," jawabku terkekeh.

Salah satu daging kerbau itu lalu diapit oleh dua lempengan tersebut. Ini yang disebut memasak tanpa api. Lempengan itu berwarna kemerahan karena telah saling digesekkan satu sama lain sehingga membuatnya menjadi sangat panas.

"Aku tidak suka merasakan lapar," keluhnya. Aku hanya terkekeh mendengarnya.

Kuciptakan lagi sepasang tentakel yang ujungnya membentuk lempengan. Kedua lempengan bersatu lalu kuarahkan masing-masing berputar berlawanan. Bersiap untuk memasak daging lainnya.

Sulit untuk mendapatkan daging yang matang dengan pas jika dimasak seperti ini. Daging yang dipotong terlalu tebal akan membuat bagian dalamnya tidak terlalu matang, bahkan masih mentah sedang bagian luarnya sudah hampir gosong. Lalu jika dipotong tipis, ugh, aku selalu meleset ketika motong daging dengan tipis. Alhasil, potongannya jadi berantakan dan membuatnya semakin sulit untuk dimasak pada lempengan.

Setidaknya ini lebih baik daripada memakan daging mentah. Aku ingat saat masih baru-baru terbangun dari kematian, mencari makanan adalah hal yang paling membingungkan. Maksudku sesuatu benda yang memang layak untuk dimakan. Rasanya di Neteril hampir tidak ada.

Jenis-jenis tanaman yang ada pun semuanya sangat asing bagiku. Aku tidak tahu mana yang beracun dan yang tidak. Padahal untuk seorang Sreya--ras yang dekat dengan hutan, karena kami tinggal di sana--mengenali berbagai jenis tanaman semudah membalikkan telapak tangan, sesuai yang diajarkan para tetua. Sayangnya tanaman-tanaman di sini tidak semuanya sama dengan yang ada di bumi.

Tepat ketika aku merasakan lapar, Si Nekrolet mengeluh tiada habisnya dengan sensasi perut kosong tersebut.
Ia bilang Nekrolet tidak pernah merasakan lapar, karena mereka tidak perlu makanan. Yang diperlukan hanya masuk dalam kondisi tidur agar energi mereka pulih kembali.

Itu cukup lucu, karena ia sampai memohon padaku agar sensasi yang turut ia alami itu untuk segera dihilangkan. Padahal aku hanya merasakan lapar seperti biasa.

"Uwoh." Suara gemuruh kembali terdengar. Aku sedikit terkejut karenanya. Sambil mengunyah daging, telingaku mengacung lurus agar dapat mengindera suara itu dengan jelas. Kedengarannya seperti batuan yang runtuh.

"Arh, kenapa kau cuman mengambil empat potong saja? Dagingnya sangat enak." tanyanya tetiba.

"Aku tidak ingin terlalu kenyang."

Si Nekrolet memang tidak ikut makan. Tetapi ia ikut merasakan sensasi daging tersebut saat aku memakannya.

"Uhh, ayolah, jangan pelit."

"Kau tidak memiliki perut, tidak perlu makan. Yang memiliki perut itu aku." Aku menyeringai usil, sepertinya ia memang menyukai rasa daging kerbau tersebut. Aku pun juga, hanya saja aku tidak ingin terlalu kenyang karena akna membuatku kesulitan bergerak.

"Chih!" dengusnya.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top