📓 10. Angkasa
"Demi delapan samudera!"
|TE:DR|
...
Derap sepatu kuda berlomba pacu dengan gesitnya langkah seekor cheetah. Si pengendara cheetah mengumpulkan bola api dari Vis Ardor, siap untuk ia tembakkan ke arah si pengendara kuda.
"Tamat kau bocah!!!" pekik lantang Aron saat menembakkan meriam tersebut.
Dengan timing yang pas dan memanfaatkan jarak maksimum penggunaan Vis Praesidiumnya, Leriat menciptakan barrier biru yang menghalangi meriam api serta jalan di hadapan cheetah tersebut.
"Argh." Geram Aron langsung memacu cheetahnya mengambil jalan samping yang penuh tanaman rimbun dan rumput tinggi.
Jalur kabur yang lurus menguntungkan Leriat sehingga ia dapat menaruh perhatian lebih pada lawan yang sedang mengejarnya. Tak lupa ia kembali mengumpulkan Vis biru Praesidium sebagai persiapan.
Cheetah yang Aron tunggangi berhasil kembali ke jalur setapak. Namun karena barrier tadi, jarak dirinya dengan Leriat semakin jauh. Untuk mengakalinya, ia memanfaatkan batang pohon yang rubuh sebagai pijakan dan memerintahkan cheetah tunggangannya untuk melompat. Di waktu yang bersamaan ia mengubah cheetah yang ditungganginya kembali dalam bentuk Vis Bestia. Aron dengan cepat menggunakan tambahan Vis cokelat tersebut untuk menciptakan sepasang sayap elang di punggungnya dan meluncur di udara.
Sayangnya Aron harus terkapar ke tanah setelah Leriat dengan timing yang sempurna menciptakan barrier tepat di hadapan manusia bersayap elang tersebut.
Gelak tawa bocah itu pecah melihat wajah Aron yang duluan menabrak tembok Visnya.
Aron tumbang tak sadarkan diri. Kini, Leriat bisa berlega hati dan terus memacu kudanya tanpa perlu khawatir.
Nenek Kleir, Kak Antoni, Kak Edvan dan Teres. Aku bersumpah tidak akan menyia-nyiakan perjuangan kalian dalam mencari Sang Utusan!
Semangat membara saat menyebut janji itu dalam hatinya. Kuda itu terus ia pacu di kala mentari usai menemani hari, menuju destinasi yang sempat terhalangi sebelumnya, yaitu Kota Katalan.
|TE:DR|
Seribut angin malam menerpa pirang emas hingga menjulur ke belakang milik seorang lelaki berusia dua puluh delapan. Di atas balkon kapal angkasa yang kerap disebut dengan airship itu ia menikmati pemandangan angkasa malam yang kerlap-kerlip walau suara dari baling-baling dan turbin-turbin yang menggerakkan airship cukup mengganggunya.
Ia berdiri sendirian dengan pikirannya kembali menerawang tentang yang ia dan Lefazio lakukan beberapa jam lalu.
Saat itu, Arkan tengah mengkaji dokumen dan menemukan sehelai rambut pirang emas di segelas kopinya. Itu tidak terlalu mengusiknya, justru pintu kamar yang tiba-tiba dibanting yang mengejutkan Arkan hingga menyenggol kopi panasnya.
"Demi delapan samudera!" Arkan refleks berdiri dari sofa untuk menjauhi ceceran air kopi yang telah memandi hitamkan separuh dokumennya. Ia menoleh ke sumber suara. "Hei, pak tua, apa yang kau-"
Arkan tidak mendapati Lefazio berada di dekat pintu kamar yang tertutup rapat itu. Namun ia merasakan terdapat satu lagi kehadiran aura Vis selain milik Lefazio dari dalam kamar. Aura Vis yang ia rasakan itu bukan aura Vis manusia.
Saat Arkan memasuki kamar, beberapa untaian rantai Vis memenuhi penjuru ruangan dan berpusat di sebuah mahluk yang berbentuk seperti kain hitam. Rantai-rantai dari Vis Katena Lefazio itu mengekangnya erat tak berdaya.
Aspek Katena, berwarna abu-abu. Bersifat pengekangan dan segel.
Cukup mengejutkan baginya, sesosok yang dikenal sebagai Nekrolet itu bisa sampai di sini. Monster hitam itu dalam kondisi lemah dan hanya berupa sebagian tubuh aslinya saja.
Dengan tangan kiri memfokuskan Vis Katena untuk merantai tubuh Nekrolet tersebut, tangan kanan Lefazio pula berselimut Vis berwarna krim yang ia gunakan untuk mengorek informasi dari monster itu.
Aspek Sagasitas, berwarna krim. Bersifat manipulasi pikiran.
"Bagian tubuh yang sebenarnya dari Nekrolet ini masih ada di Neteril," ucap Lefazio masih berkonsentrasi pada Nekrolet di hadapannya. "Tempatnya cukup jauh dari portal." Lefazio terus memfokuskan Vis Sagasitas pada mahluk itu.
"Hehehe," Nekrolet itu mendesiskan tawa, "kalian manusia kira bisa menghentikan kami? Hehehe," ocehnya.
Lefazio yang hendak membalas perkataan mahluk itu tiba-tiba dikejutkan dengan Vis abu-abu yang melingkupi Nekrolet tersebut.
Aspek Eversio, berwarna abu-abu. Bersifat perpecahan dan kehancuran.
"Tuan kami akan kembali! Dan kalian manusia akan menjadi budak persembahan kepadanya!!!" pekik monster itu lantang memperlihatkan mulut dan matanya yang berupa sinar ungu.
Konsentrasi Vis Eversio yang melingkupi Nekrolet itu diaktifkan. Seketika Vis dalam jumlah besar itu melenyapkan seluruh tubuh si Nekrolet menjadi debu hingga tak bersisa.
"Mahluk memuakkan," umpat Arkan yang baru saja menggunakan Vis Eversio tersebut.
Lefazio hanya bisa menghela napas terhadap sikap Grandmagus muda itu. Toh pula informasi yang didapat sudah cukup baginya. "Kita harus menuju Neteril sekarang," ungkap Lefazio dan mendapat anggukan dari Arkan.
Mereka berdua berjalan cepat secara bergantian melewati lorong di belakang meja. Setelah turun sebanyak dua puluh anak tangga, tibalah mereka di ruang bawah tanah yang redup pencahayaan.
Lefazio lalu berkonsentrasi, mengumpulkan Vis mentah tak beraspek. Vis itu ia salurkan ke tengah tiga buah menhir setinggi badannya. Vis mentah tersebut bagai air yang mengalir di udara, melingkari tiga menhir dan menyalakan aksara-aksara yang terukir pada pilar batu tersebut.
Arkan dan Lefazio pun memasuki area tengah ketiga menhir tersebut. Lefazio lalu mengaktifkan Visnya, memunculkan aksara melingkar di alas mereka berpijak. Kemudian perlahan cahaya putih melingkupi keduanya hingga semuanya tertutupi dan dalam satu ledakan Vis, secepat kedipan mata mereka tiba di portal penerima yang berada di Neteril.
Lefazio ingat kondisi sekitar portal penerima selalu gelap karena berada di dalam sebuah gua. Namun kini ia bisa melihat langit Neteril dari sana. "Ah, Ruvian ternyata tidak berbohong perihal behemoth," gumam Lefazio saat menatap celah besar di atasnya.
Batuan-batuan runtuh bercecer di mana-mana. Bekas pertarungan tak seimbang sangat kentara. Untungnya tiga menhir portal penerima masih utuh.
Arkan mendekati sebuah genangan berwarna ungu yang tampak lengket. Itu adalah darah behemoth, darah yang mampu menyerap Venevisium.
"Behemoth mengejar Ruvian sampai kemari. Apa behemoth itu bersama Nekrolet yang asli?" tanya Arkan.
"Tidak ada informasi mengenai itu," balas Lefazio gamblang.
Tanpa banyak penundaan, keduanya langsung bergerak sesuai informasi yang Lefazio peroleh. Berpatokan pada titik cahaya yang paling terang pada langit Neteril yang selalu kelam, arah utara dari bintang itu adalah tempat yang Lefazio cari, sebuah lembah raksasa di balik gunung.
Awalnya saat menginterogasi bagian tubuh Nekrolet itu, Lefazio sangat terkejut jika melalui pikiran mahluk itu ada sebuah pesan yang menyebutkan namanya walau bicara si Nekrolet itu kebanyakan, bahkan hampir semuanya, tidak berguna.
Mahluk itu memiliki kemampuan telepati ke sesama mereka. Karena itulah, Nekrolet yang sedang Lefazio cari mengatakan jika Ruvian memanglah seorang reinkarnat. Melalui Nekrolet Ruvian, dia bisa mengetahui tentang portal Neteril serta mengenali Lefazio.
Jebakan, adalah hal pertama yang Lefazio pikirkan. Namun pendapatnya berubah ketika si pengirim pesan--Nekrolet yang ia cari--menyatakan identitas dirinya, yakni nama yang sama dengan yang tertulis di jurnal Alesta. Nama itu adalah Lika Archeir. Jika bukan karena nama itu, Lefazio takkan sudi buang-buang tenaga untuk melangkahkan kaki.
Cukup jauh, namun bagi mereka berdua perjalanan itu tidaklah lama. Menuruni lereng curam dengan bantuan Vis Arbor milik Arkan, ia menciptakan dahan kayu besar dari Vis tersebut yang bergerak membawanya juga Lefazio ke dasar lembah.
Aspek Arbor, berwarna cokelat, bersifat kayu.
Aura Vis Nekrolet terasa dekat, bahkan sumber aura itu telah hadir di hadapan kedua Grandmagus tersebut. Bukan mahluk yang berupa energi hitam, Nekrolet itu bersemayam dalam tubuh seorang gadis dari ras Sreya.
"Reinkarnat," tukas Arkan menatap was-was. Dari aura yang ia rasakan, inilah Nekrolet yang sebenarnya. Satu dari mahluk itu mampu merusak batalion dua ratus orang.
"Nekrolet mampu menghidupkan dan mengendalikan orang yang sudah mati. Tunjukkan kalau kau tidak dalam kendali mahluk itu," seru Lefazio.
Gadis reinkarnat bernama Lika itu mulai mengonsentrasikan Vis Vita pada dirinya. Setelah Vis itu melingkupi tubuhnya, ia bentuk energi merah muda itu menjadi bola yang memiliki inti dan lapisan luar. Inti bola itu berwarna merah muda dan lapisan luarnya berwarna hitam, membuktikan bahwa ia tidak dikendalikan namun jiwanya bersandar pada kekuatan Nekrolet.
Lefazio lalu menatap pada Arkan. Pemuda itu pun memahami maksud tatapan tersebut. Arkan yang juga memiliki Vis Vita turut serta memeriksa energi kehidupan Lika. Arkan menembakkan Vis miliknya ke arah gadis itu dan setelah melingkupinya, energi itu kembali lagi lalu membentuk bola. Hasil bola Vis Vita Arkan pun tidak berbeda dengan milik Lika.
Seketiba mengejutkannya mencuat lengan yang terbentuk dari energi hitam pada pundak Lika yang lalu mengepal dan membentuk mata serta mulut berwarna ungu pada punggung ujung lengan tersebut.
Sosok yang muncul tiba-tiba itupun tersenyum lebar dan tertawa. Ujung lengan itu mulai meraba-raba kepala Lika, sesekali menjambak rambut putih abunya dan dua kali menarik telinga kucingnya. "Hahahaha, kedatangan kalian berdua di sini hanyalah daging dalam kandang singa!!!"
Mahluk itu berseru keras namun baik Arkan maupun Lefazio tidak tergerak sedikitpun untuk memerdulikannya.
Lika menghela napas setelah berhasil memberi sengatan Vis Ordo pada lengan hitam itu.
Aspek Ordo, berwarna putih, bersifat pemurnian dan persatuan. Sebagai pemurnian, Ordo memberikan pengaruh negatif pada Nekrolet yang berupa Vis tak murni.
"Kau juga Sreya terlaknat. Bisa-bisanya kau menumpang nyawa padaku!!!"
"Mahluk bodoh," ucapnya sambil bergeleng, "mungkin aku bisa menangkal pengendalian dari Nekrolet, tapi ternyata aku tidak bisa mengendalikan mulut mahluk ini."
"Hehehe, awas saja. Saat aku berhasil lepas darimu, kau akan berharap takkan pernah menginjakkan kaki ke tanah, mwahahaha."
Tidak ingin percakapannya diganggu, Lefazio mengerahkan Vis Sagasitasnya, menuju ke pikiran si Nekrolet dan menjadikannya tertidur.
Lefazio tahu bahwa Nekrolet itu tidak bisa dibunuh, karena jika dibunuh maka Lika akan kehilangan penopang jiwanya.
"Ah, terima kasih, itu benar-benar membantu membuatnya diam."
"Baiklah, gadis Sreya," Lefazio sedikit menjeda untuk berdeham, "seperti yang kau ceritakan dalam Nekrolet yang kau kirim ke rumahku."
Lika menggangguk. Ia mengeluarkan sebuah liontin yang memiliki lambang Kerajaan Illitium. "Tentu, akan kuberitahu tujuan Ruvian mengumpulkan Kristal Primordial."
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top