📓 1. Darah
"Ini buruk."
|TE:DR|
...
Purnama memamerkan keindahan cahayanya dibarengi kemerlap bintang-bintang yang bertaburan bagai kerikil. Tidak ada awan yang menghalangi pesona mereka.
Naas, simfoni langit malam itu harus terhalau oleh kabut tebal di sebuah tempat yang disebut sesuai dengan keadaan geografisnya, yaitu Perbukitan Gersang.
Di atas salah satu permukaan tandus Perbukitan Gersang yang gelap karena tertutupi kabut, serta-merta tercipta titik-titik cahaya putih yang kemudian jumlahnya bertambah banyak dan berkumpul membentuk sebuah spiral.
Cahaya tersebut adalah perwujudan dari yang disebut dengan Venevisium, yakni sebuah energi magis yang mampu memanipulasi materi.
Spiral itupun semakin lebar. Cukup lebar hingga dari tengah-tengahnya terlemparlah seorang pemuda berpakaian zirah compang-camping.
Sebelum seluruh tubuhnya terjatuh di atas tanah, wajah pemuda malang itulah yang menghantam permukaan keras terlebih dahulu. Ia merintih, sensasi ngilu menjalar di rahangnya. Rasa memar di sekujur tubuhnya pun semakin bertambah.
Ia lalu mengangkat kepala. Sulit baginya membedakan antara berkedip dan tidak sebab kabut tebal benar-benar menutupi sumber cahaya yang ada di langit. Namun yang pasti, pemuda itu tahu kalau ia sekarang berada di tempat yang telah lama ia rindukan. Bumi.
Perlahan ia membalikkan tubuh agar dadanya menghadap ke atas. Ia rentangkan kedua tangannya yang memiliki bercak darah. Senyuman perlahan terukir pada wajah berkulit sawo matangnya.
"Aku tidak percaya ini," gumamnya dengan napas tersengal-sengal. Spiral Venevisium berwarna putih di atasnya menyusut lalu menghilang.
Jemarinya yang gemetar dan tampak kemerahan oleh darah mulai mencengkeram butiran-butiran tanah. Tanah itu menjadi bukti baginya bahwa ia telah berhasil keluar dari tempat kelam yang disebut dengan Neteril.
Ia lalu memejamkan mata, mengingat penantian yang sudah tak terkira lagi lamanya. Cairan bening pun akhirnya melintasi pipi tirusnya yang kotor oleh debu.
Perlahan ia bangkit. Memar di tubuhnya terasa masih amat menyiksa. Bahkan caranya berdiri pun seperti orang pincang.
Lalu pemuda itu meraba-raba sekitarnya. Hanya ada desiran angin menggerakkan rambut kecokelatannya yang panjang hingga menutupi daun telinga.
"Akh," rintihnya perih. Bercak darah di kedua tangannya berasal dari cedera berat di bahu kirinya. Luka terbuka itu disebabkan oleh sebuah cairan ungu yang mengenainya.
Uhh, padahal cuman setetes dari darah mahkluk itu tetapi rasanya benar-benar menyakitkan, keluhnya dalam benak ketika memegangi sekitaran bahu kirinya yang seolah terasa terbakar dari dalam.
Ia lalu mencoba memusatkan pikiran, berusaha mengaktifkan kemampuan Venevisiumnya. Namun, tidak ada apapun yang terjadi.
Ini buruk. Aku tak bisa menggunakan kekuatanku. Kondisiku pun semakin memburuk.
Berkeputusan bulat, ia lalu memberanikan diri melangkah tanpa tahu arah dan tujuan. Bahkan untuk melihat jalan di depan pun ia tidak bisa karena tidak adanya cahaya yang bisa ditangkap oleh iris amber kuningnya.
Langkahnya yang tertatih-tatih kerap kali membuatnya hampir terjatuh karena tersandung batu. Hingga akhirnya ia benar-benar tersungkur karena tubuhnya yang semakin lemah.
Ah, sial, umpatnya dalam hati.
Angin malam yang begitu dingin perlahan tidak lagi ia rasakan. Kepala yang terasa pening hebat mengiringi kesadarannya yang juga semakin menipis.
|TE:DR|
"Kakek yakin merasakan aura Vis Vea itu di dekat sini? Aku tidak melihat apapun yang aneh," keluh seorang gadis agak nyaring.
Vis adalah sebutan singkat untuk Venevisium.
"Hmm, ini aneh. Kakek tidak bisa merasakan aura apapun, padahal dari rumah, aura Vis Vea itu sangat terasa tadi," timpal Si Kakek.
Dua orang tersebut tengah mencari-cari ke sana sini di lingkungan yang berkabut. Masing-masing dari mereka mengenakan pakaian tebal dan memegang sebuah lentera agar dapat melihat dalam kegelapan.
Kemudian si gadis menemukan sesuatu di atas tanah. Ia pun mendekatkan lenteranya agar dapat melihat lebih jelas.
"Kek! Lihat ini, ada darah! Masih baru!" serunya.
Si Kakek lekas menghampiri. "Sudah kuduga, pastinya ada sesuatu yang aneh jika kabut sedang setebal ini."
Saat melihat darah tersebut, Si Kakek bergeming. "I-ini darah manusia!" Awalnya ia mengira, darah tersebut tidak berwarna merah.
"Lihat, Kek. Jejak darah ini mengarah ke suatu tempat."
Saat melihat jalur bekas darah itu mengarah, Si Kakek mengangkat lentera yang ia letakkan. "Ayo, Adel. Kita ikuti darah ini!"
Gadis yang dipanggil Adel itupun mengangguk. Ia berjalan lebih dulu.
Biasanya Vis Vea dari kabut ini membawa monster-monster dari tempat asing. Namun kali ini, Vis teleportasi itu membawa seseorang yang terluka. Kira-kira siapa sosok yang baru datang ini? pikir Si Kakek.
Terletak masih di tempat yang sama, Perbukitan Gersang yang berkabut tebal. Berdiri kukuh sebuah rumah kayu tepat di bawah kaki tebing yang tidak dapat didaki. Rumah menyendiri yang cukup besar jika hanya untuk seorang kakek dan gadis yang tengah membopong pemuda pingsan yang mereka temukan. Lelaki muda itupun ia rebahkan di ranjang.
"Adel, gunakan lagi Vis Sanomu," pinta Si Kakek setelah melepas zirah compang-camping dan menyisakan kaus hitam polos yang membalut badan Si Pemuda. Tampak jelas sobekan kaus dan luka terbuka yang masih mengeluarkan darah pada bahu kirinya.
Adel mengangguk. Ia lalu menyatukan kedua telapaknya dan mulai berkonsentrasi. Energi berwarna merah muda membara pada telapaknya yang lalu ia dekapkan pada bahu kiri si pemuda.
Sano adalah aspek Vis yang bersifat pemulihan bagi mahkluk hidup. Walau begitu, Sano milik Adel hanya membantu pemulihan alami Si Pemuda karena tingkat kemampuan Vis gadis itu yang masih rendah.
Berbeda dengan sebelumnya saat menemukan Si Pemuda pertama kalinya, kali ini Adel merasakan sesuatu yang menggangu Visnya bekerja. "Kek, sepertinya ada yang menghambat Vis Sanoku."
"Ya, Kakek tahu. Luka seperti ini sudah pasti disebabkan oleh darah Behemoth."
Adel tertegun, "Be-behemoth?! Jadi dia sempat melawan monster i-itu?"
"Jangankan melawan, untuk bisa melarikan diri dengan selamat saja kemungkinannya kecil. Pemuda ini, sepertinya bukan sembarang orang."
Bukan sembarang orang. Kalimat itu menancap dalam benak gadis tersebut. Bagaimana tidak, jika pemuda ini bertarung dengan behemoth, itu artinya ia datang dari Neteril. Sebab behemoth hanya bisa ditemukan di sana. Sedangkan satu-satunya gerbang menuju dan kembali dari Neteril sudah lama sekali disegel, sehingga tidak mungkin ada yang bisa datang ataupun kembali dari sana.
Adel menghentikan pemulihan Vis Sanonya karena sudah tidak memberikan pengaruh, atau dikenal dengan istilah cooldown. Dalam keadaan ini, terus memfokuskan Visnya sama saja dengan membuang-buang stamina. Kondisi ini juga disebabkan tingkat kemampuan Vis yang tergolong rendah.
Si gadis lalu bertanya, "bukankah Kakek pernah bercerita jika setelah perang raya, gerbang menuju Neteril disegel. Sehingga tidak ada yang bisa datang atau pergi lagi ke sana. Lalu, dia ... b-bagaimana bisa?"
Si Kakek tengah mempersiapkan sesuatu yang ia tumbuk di dalam mangkuk menjawabnya tanpa menoleh, "yah, kenyataannya sudah terjadi. Kabut saat sudah setebal itu memang sering membawa sesuatu yang tidak biasa. Biasanya monster asing yang muncul, tapi kali inilah hal paling tidak biasa yang muncul."
Adel bisa mengetahui kesungguhan kalimat pria yang sudah botak itu dari nadanya. Ia mengetahui perihal kabut tersebut juga tentang si kakek yang tentu tidak main-main namun entah kenapa ia merasa tak dapat mempercayainya. Ia mengira jika pemuda ini hanya seseorang yang sudah cedera dan berusaha untuk melakukan teleportasi namun terhenti di tengah prosesnya sebab jalur perpindahannya melewati tempat berkabut ini.
Kemudian Si Kakek menghampiri Si Pemuda. Ia mengambil segenggam bubuk hitam pada mangkuk yang dibawanya lalu meratakan bubuk tersebut pada luka si pemuda.
Adel mengernyit, ia tak pernah melihat sesuatu yang seperti itu selama tinggal bersama Si Kakek. "Kek, bubuk apa itu?"
"Darah Behemoth memiliki kandungan Vis Esuritio di dalamnya."
"Ah, jadi karena itulah Vis Sanoku tadi tidak bisa bekerja dengan maksimal."
"Ya, berkat Vis Esuritio, darah mahkluk itu mampu menghisap Vis lain dan dengan begitu akan menjadi semakin kuat. Itu bisa membahayakan kondisi anak ini. Sedangkan bubuk ini adalah esens yang dipadatkan dari Vis Auram."
"Begitu rupanya, maka bubuk Auram itu akan menetralisir kemampuan Vis Esuritio," tebak Adel.
"Tepat."
Pertanyaan pun timbul di benaknya, "berarti, bukannya tadi sama saja aku memberi makan darah Behemoth itu, Kek?"
Si Kakek memaklumi karena gadis itu memang perlu banyak belajar. "Tidak perlu khawatir. Kakek sudah memastikan jumlah Vis yang Adel berikan takkan membuat cairan tersebut menjadi membahayakan. Lihatlah."
Adel mengamati arah yang kakek tunjuk. Terlihat bercak ungu di sekitar cedera si pemuda. "Cairan itu telah memakan sebagian besar Vismu tadi dan sekarang mulai menyebar. Pemulihanmu berguna agar sebagian lukanya tidak membesar. Membatasi ruang gerak cairan tersebut."
Tidak mengejutkan bagi Adel jika Si Kakek mengetahui hal-hal tersebut.
"Beristirahatlah, kini kakek tinggal menutupnya dengan perban."
"Baik, Kek." Adel pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu kamar.
"Oh, ya," pekikan Si Kakek yang tiba-tiba menghentikan langkah Adel, "setelah ini Kakek harus pergi dan akan cukup lama. Jika anak ini siuman, pasti agar ia tidak menggunakan Vis dan Adel juga jangan menggunakan Vis Adel padanya, karena darah Behemoth itu masih belum sepenuhnya ternetralkan. Jika sudah sepenuhnya ternetralkan, anak ini takkan bisa melakukan memfokukan Vis dalam beberapa hari. Jadi, Adel perlu mengecek kondisinya."
"Baik, Kek."
Gadis itupun berjalan melewati pintu kamarnya. Karena ranjang tidurnya sudah ditempati si pemuda, maka tempat ia untuk beristirahat melewati malam yang cukup menghebohkan tersisa dua, yakni kamar Si Kakek atau sofa kaku di ruang utama.
Tidak ada pilihan lain selain sofa, sebab kamar Si Kakek selalu penuh dengan buku-buku dan lembaran-lembaran dokumentasi yang menjadikan kondisi kerapian kamar tersebut sangat mengkhawatirkan. Ketidakrapian itu membuat Adel sulit untuk beristirahat dengan tenang.
Si Kakek pun menyelesaikan balutan perban yang terakhir. Kemudian ia melirik ke arah pintu. Sunyi. Adel pasti sudah tertidur. Sadar akan situasi yang sesuai, Si Kakek pun memfokuskan Vis berwarna abu-abu pada jari tengah dan telunjuk kanannya yang disatukan.
Dengan skeptis ia menatap Si Pemuda, ini untuk berjaga-jaga jikalau kau melakukan sesuatu. Aku tidak menyangka kau akan kembali, setelah dua tahun berlalu sejak terakhir kabarmu diketahui. Kebetulan yang luar biasa kau justru tiba di sini.
Dengan jarinya, Si Kakek menulis sebuah aksara putih yang berkilau remang abu-abu pada leher pemuda tersebut. Setelah itu aksara tersebut lenyap seperti tak ada sama sekali.
Aku tahu kau sebenarnya adalah anak yang baik. Tapi, kemunculan seperti ini tidak bisa lepas dari kecurigaan. Aku hanya berharap, peristiwa buruk takkan terjadi.
Kemudian pergilah Si Kakek sesuai yang ia katakan pada Adel sebelumnya. Dengan lentera dan tongkat kayu berujung melingkar, ia melangkah dalam gelapnya malam berkabut tebal, menjauhi rumahnya, menuju tempat di mana ia seorang yang tahu.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top