9. Persiapan Pernikahan
Di dalam kamar yang sejuk dan nyaman, Hazel melangkah masuk dengan kelelahan yang tampak jelas, meski matanya menunjukkan rasa penasaran yang belum terpenuhi. Di dalam hati, keingin tahuan yang mendalam terus menyala.
Baru saja Hazel bersandar di ranjang, terdengar suara ketukan di pintu. Meskipun awalnya enggan membuka, suara lembut ibunya memaksanya untuk melakukannya.
"Hazel, bagaimana kabarmu, sayang?" tanya Samantha dengan nada penuh kepedulian.
Hazel menoleh ke arah ibunya, memberikan senyuman tipis. "Aku baik-baik saja, Ibu. Hanya merasa lelah setelah hari yang panjang."
"Kau tampaknya tidak sehat," ujar Samantha sambil menyentuh rambut Hazel yang tergerai, menyoroti wajah pucat putrinya. "Apakah kau merasa benar-benar baik-baik saja?"
Hazel berbalik dan berbaring kembali di ranjang. Rasa bersalah menyelimutinya, bertanya-tanya apakah ia harus membagikan semua beban ini kepada ibunya. Jika Samantha mengetahuinya, ayahnya pasti akan segera tahu. Hazel sangat memahami kemarahan ayahnya yang menakutkan.
"Ada masalah apa?" Samantha bertanya, merasa gelisah. Naluri keibuannya tidak bisa salah. "Kau tampaknya cemas."
"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Hazel, mencoba menipu dirinya sendiri serta ibunya.
"Kau khawatir tentang pernikahanmu, bukan?" tanya Samantha dengan empati.
Hazel menunduk. Bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan seseorang yang tidak dia cintai?
"Rasa khawatir itu wajar, sayang. Aku juga mengalaminya saat menikah dengan ayahmu. Percayalah, situasinya tidak akan seburuk yang kau bayangkan."
Hazel hanya mengangguk, tidak ingin melanjutkan pembicaraan lebih jauh.
"Baiklah, istirahatlah sekarang," kata Samantha sambil membelai kepala Hazel dengan lembut sebelum meninggalkan kamar.
***
Sementara itu, di ruang tamu, Count Barnum duduk dengan wajah tegang, menunggu laporan dari pelayan yang baru saja mengantar Hazel pulang. Begitu pelayan tersebut masuk, Barnum langsung menginterogasinya, "Ada kejadian apa yang perlu kutahu?"
Pelayan itu menelan ludah dengan ragu. "Tuan, saya melihat Nona Hazel sedang berjalan bersama seorang pria di taman belakang katedral. Mereka tampak berbincang dan berjalan bersama."
"Apa kau tahu siapa pria itu?" Barnum bertanya lebih lanjut.
Pelayan itu menggeleng dengan cemas. "Saya merasa pernah melihatnya, tapi saya tidak bisa memastikan siapa dia, Tuan."
Mendengar jawaban yang tidak memadai itu, wajah Barnum memerah karena kemarahan. Ia merasa sangat frustrasi, tetapi dia tahu saat ini bukan waktu yang tepat untuk menghadapi situasi tersebut secara terbuka. Barnum menahan emosinya dan berkata dengan nada dingin, "Berani sekali anak penyakitan itu melakukannya. Dan kau," ucapnya seraya menunjuk sang pelayan, "Jangan menyampaikan informasi yang belum jelas. Pergilah."
Dalam keheningan, Barnum merenung tentang langkah selanjutnya. Meskipun kemarahan masih menggelora di dalam dirinya, dia memutuskan untuk tetap bersabar dan menunggu waktu yang lebih tepat untuk bertindak.
***
Hazel merasakan nyeri kepala yang tajam dan tubuhnya lemas. Ia terhuyung beberapa kali, hampir jatuh ke lantai. Namun, ia merasa tidak berhak untuk mengeluh. Ia harus mengikuti semua rencana yang telah ditetapkan. Tidak ada yang benar-benar memperhatikan kepedihan batinnya.
Dalam kondisi yang belum sepenuhnya pulih, Hazel duduk di kursi empuk di ruang fitting butik ternama. Para staf yang bekerja untuk Duke Kingsley sibuk menata gaun dan aksesoris, sementara hiruk-pikuk mereka sedikit mengalihkan perhatian Hazel dari perasaannya yang tertekan.
Beberapa gaun dari koleksi butik dipamerkan di hadapannya, namun Hazel tidak merasakan ketertarikan pada satu pun. Hatinya tampaknya jauh dari persiapan pernikahan yang akan datang.
"Anda pasti akan terpesona dengan gaun ini," ujar pelayan butik sambil menampilkan gaun yang paling menakjubkan dari koleksi mereka.
Hazel memandangi gaun pengantin yang dipajang di depannya tanpa berkedip. Gaun ball gown yang megah itu terbuat dari satin putih dengan hiasan berlian yang memancarkan kilau saat terkena cahaya.
"Silakan coba gaun ini," kata asisten perancang busana sambil mendekatkan gaun tersebut dengan penuh kebanggaan.
Dengan bantuan beberapa orang, Hazel mengenakan gaun itu, dan ia merasakan betapa sempurnanya gaun tersebut membalut tubuhnya. Melihat pantulan dirinya di cermin, ia benar-benar terkesima.
"Betapa menawannya, Nona Hazel," puji asisten perancang busana itu dengan bangga, memuji hasil karyanya.
Hazel berusaha tersenyum, meski senyumnya hanya sebatas formalitas. Gaun itu memang sangat indah, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit bahagia karena mengenakan sesuatu yang begitu megah.
"Kau terlihat seperti seorang peri, Hazel," ujar Samantha dengan penuh kebanggaan, meneteskan air mata. "Aku tidak percaya putriku yang dulu kecil dan aku rawat dengan penuh kasih, kini menjadi wanita secantik ini. Kau akan segera menikah, Sayang."
Samantha tenggelam dalam suasana haru, merasakan betapa cepatnya putrinya tumbuh dewasa.
Hazel membalas senyuman Samantha dengan senyum tipis, meski di dalam hatinya masih ada kegelisahan dan ketidakpastian tentang masa depan.
"Ibu, jangan bersedih. Kita masih bisa bertemu."
Namun, suasana haru itu terganggu oleh langkah berat Count Barnum yang memasuki ruangan. Ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi kekecewaan saat melihat Hazel mengenakan gaun pengantin.
"Apakah ini yang disebut wajah pengantin bahagia?" Barnum menegur dengan nada tajam, menatap Hazel dengan penuh ketidakpuasan.
"Samantha, tidakkah kau menyuruhnya untuk cukup istirahat? Lihatlah wajahnya yang pucat," Barnum berkata sambil berdiri dengan tangan di pinggang, jelas menunjukkan ketidakpuasannya.
Hazel menatap ayahnya dengan terkejut sebelum menjawab dengan tertekan, "Aku hanya sedang mencoba gaun, Ayah. Aku akan melakukan yang terbaik."
Barnum tidak bisa menahan kemarahannya. "Kau tahu betapa pentingnya penampilanmu di hari pernikahan. Wajahmu harus mencerminkan kebahagiaan, bukan terlihat seperti orang sakit. Ini bisa mencoreng nama baik keluarga Ellsworth."
"Barnum, tenanglah. Ini bisa diatasi dengan make up," Samantha mencoba menenangkan situasi sebelum semakin memanas.
"Biarkan aku bicara dengan putriku," kata Barnum dengan tegas.
Hazel menelan ludah, berusaha menahan air mata di hadapan ayahnya. "Aku mengerti, Ayah. Aku akan berusaha lebih keras," ujarnya dengan suara bergetar.
Kemudian, Count Barnum melanjutkan dengan nada yang lebih menekan. "Dan mengenai kejadian di belakang katedral? Apa yang kau lakukan dengan pria itu sehingga pelayan harus melapor kepadaku?"
Hazel terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menyadari betapa ketatnya pengawasan terhadapnya. Ia tidak bisa lagi berbohong. Dengan suara gemetar, ia menjawab, "Aku hanya berjalan-jalan, Ayah. Tidak ada yang terjadi."
Barnum mendekati Hazel dengan langkah tegas. "Ingat, kau adalah calon istri Duke Kingsley. Jangan sekali pun bersikap sembarangan dengan pria lain. Kau harus menjaga reputasi dan kehormatan keluarga."
Hazel hanya bisa menghela napas panjang, menerima semua teguran itu. Di balik kepatuhan tersebut, ia merasa semakin tertekan dalam situasi yang membuatnya sulit bernapas.
"Apa kau mendengar kata-kataku, Hazel? Kau tahu apa akibatnya jika melanggar norma?" Barnum bertanya dengan nada ancaman.
"Ya, Ayah, aku tahu." Hazel mengangguk dengan lemah.
Ucapan itu hanya keluar dari bibirnya. Dalam hatinya, ia berteriak dengan perasaan yang berbeda. Ketika memikirkan pernikahannya yang akan datang, Hazel justru teringat pada pria yang sering ia temui belakangan ini. Pikiran itu semakin membingungkannya dan membuatnya merasa sesak.
'Apa yang harus kulakukan agar Ayah puas?' pikir Hazel dengan rasa tertekan yang mendalam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top