6. Hari Yang Panjang

Terpaku, Hazel nergeming saat pria itu dengan lembut menyentuh pipinya, mengelus lekuk wajahnya dengan sentuhan bagai aliran listrik yang menggetarkan seluruh tubuhnya, memunculkan sensasi yang belum pernah ia rasakan. Jantungnya berdetak kencang, wajahnya memerah bagaikan senja yang merona.

Hazel berteriak panik, "Apa yang Anda lakukan? Lepaskan saya, Tuan!"

"Sssttt... kau akan menyukainya, Lady..." Perlahan, pria itu mendekatkan wajahnya, matanya yang sebiru samudera memandang Hazel dengan penuh hasrat. Napas hangat mereka bertemu, menciptakan suasana yang intim dan penuh kerinduan. Tanpa peringatan, bibir pria itu menyentuh bibir Hazel, melabuhkan ciuman bagaikan air hangat, menenggelamkan mereka dalam lautan gairah. Lidah mereka bersatu, menari dengan lihai, menjelajahi setiap sudut mulut satu sama lain. Desahan kecil keluar dari bibir Hazel saat pria itu memperdalam ciumannya, membawanya ke puncak kenikmatan yang tak terbayangkan.

"Mmmpphhhh..." Erangan tak tahu malu lolos dari bibir Hazel.

Tangan pria itu menjelajahi tubuh Hazel dengan lembut, mengelus setiap lekuk tubuhnya dengan penuh perhatian. Dia mencium lehernya, turun ke bahunya, dan kemudian ke dadanya. Setiap sentuhannya seperti api yang membakar kulit Hazel, menyalakan kobaran yang melahap kewarasannya.

Hazel, yang kini duduk di pangkuan pria itu, merintih pelan saat merasakan bagian sensitifnya disentuh dengan lembut. Tubuhnya merespons dengan sendirinya, melengkungkan punggungnya dan meremas kain bajunya erat-erat. Dia merasa tersesat dalam lautan gairah, tak mampu lagi berpikir jernih.

"Apakah kau ingin melanjutkannya?" bisik pria itu di telinganya, suaranya rendah dan menggoda, seperti mantra yang membangkitkan hasrat terpendam Hazel.

Hazel berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu, meskipun tubuhnya menginginkan yang sebaliknya. "Saya harus pergi," katanya dengan suara yang terdengar putus asa, berusaha melawan godaan yang semakin kuat. "Lepaskan saya..."

Pria itu tersenyum samar, matanya berbinar dengan keinginan yang tak tertahankan. Dia mencium Hazel lagi. Bibir mereka mulai bergerak dengan lebih dalam, seperti tarian yang dipenuhi gairah dan keinginan. Setiap sentuhan bagaikan gelombang lautan yang menghantam pantai, penuh kekuatan namun tetap lembut.

Lidah mereka bersentuhan, menari dengan anggun seperti dua api yang menyatu, menghangatkan malam yang dingin. Hazel merasakan sensasi yang mendalam, seperti aliran sungai yang mengalir deras di dalam dirinya, membawa segala rasa yang tak terungkapkan.

Pria itu memperdalam ciumannya, menggali lebih dalam dengan kelembutan yang tak terbendung. Setiap helaan napas mereka seolah-olah menyatu, menciptakan harmoni yang hanya mereka berdua yang bisa rasakan. Hazel merasa dirinya terhanyut dalam lautan perasaan, tenggelam dalam pusaran yang penuh keindahan dan gairah.

"Bukankah kau ingin tidur denganku?" tanyanya, suaranya dipenuhi gairah. "Bagaimana kalau kita lakukan di sini?"

Hazel terperangah, matanya membesar karena terkejut. "Di sini?!" serunya, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan dan sedikit ketakutan. Dia tak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini, apalagi di tempat yang tak semestinya.

Pria itu tertawa pelan, suaranya terdengar merdu di telinga Hazel. "Ya, di sini. Tak ada yang akan tahu," bisiknya, matanya bersinar nakal.

Hazel menggigit bibirnya, merasa bingung dan terpojok. Di satu sisi, dia merasakan dorongan hasrat yang belum pernah ia alami sebelumnya. Di sisi lain, dia tahu ini salah, bahwa dia tak seharusnya menyerah begitu saja pada godaan yang begitu kuat.

"Tolong... lepaskan saya, Tuan, saya tidak bisa," bisiknya akhirnya, suaranya bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia merasa terjebak dalam dilema antara keinginan dan rasa bersalah.

"Apakah kau tak ingin merasakan lebih?" bisik pria itu di telinganya, suaranya rendah dan menggoda, seperti mantra yang mempesona Hazel. "Aku bisa membuatmu merasa sangat... nikmat?"

"Itu... Tuan... sa-saya..."

"Tenanglah, Nona..." Pria itu tersenyum samar, matanya bersinar penuh gairah. "Bukankah kau ingin merasakan ini?" tanyanya, suaranya menggoda. "Aku cukup berpengalaman untuk memahami bahwa sebenarnya kau menginginkannya."

Ciumannya kembali mendarat di bibir Hazel, kali ini lebih dalam dan penuh gairah, seolah-olah ingin menegaskan dominasinya. Napasnya yang panas membakar kulit Hazel, membuatnya terbuai dalam pusaran kenikmatan yang tak tertahankan.

"Kau sungguh tak ingin melanjutkannya?"

Hazel menunduk, "Ti-tidak... tolong biarkan saya pergi, Tuan..."

Pria itu menatap Hazel dengan intens, mencoba membaca isi hatinya. Dia melihat keraguan dan ketakutan di matanya, dan entah mengapa, hatinya tersentuh olehnya.

Bagaikan singa melepaskan buruan, dia membiarkan Hazel beranjak dari pangkuannya. "Baiklah," bisiknya, suaranya penuh kelembutan. "Aku tidak akan memaksamu."

Hazel terdiam, tak mampu berkata-kata. Hatinya dipenuhi rasa lega dan bersalah pada saat yang sama. Dia ingin berterima kasih kepada pria itu atas pengertiannya, namun kata-kata itu tertahan di lidahnya.

Hazel mengangguk pelan, masih diliputi kebingungan dan penyesalan. Dia menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan, tetapi hasrat yang membara sulit untuk dilawan.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membangunkan Hazel dari lamunannya. Seorang pelayan berkata, "Tuan, Nona, maaf mengganggu... Pesanan Lady Ellsworth sudah selesai, apakah Anda ingin saya membungkusnya sekarang?"

Hazel segera berdiri dan menjawab, "Y-ya... tolong bungkus sekarang, saya harus segera pulang."

Pria itu meraih Hazel sekali lagi, memberikan ciuman singkat sebelum melepaskannya, menatapnya dengan penuh intensitas. "Aku akan menunggumu," bisiknya saat Hazel pergi dengan wajah yang memerah.

Pria itu merapikan rambut hitamnya dengan tangan, matanya menyipit sambil tersenyum tipis. "Sungguh menarik," katanya pada dirinya sendiri.

Saat Hazel mengambil pesanannya dan kembali ke mobil, pelayan yang menunggunya segera mendekat dengan cemas. "Nona, apakah Anda baik-baik saja? Apakah Anda tidak demam? Apakah Anda merasa pusing?"

Hazel tersenyum tipis, meskipun hatinya masih berdebar mengingat kejadian yang baru saja terjadi. "Saya baik-baik saja," katanya, berusaha meyakinkan pelayan itu. "Tapi saya mulai merasa lelah. Tolong segera bawa saya pulang."

Pelayan itu mengangguk cepat. "Tentu, Nona," katanya, membantu Hazel masuk ke dalam mobil. "Kami akan segera membawa Anda pulang."

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Hazel dipenuhi oleh bayangan pria itu. Dia terus teringat tatapan tajamnya yang memikat, rambut hitamnya yang lembut, dan pelukannya yang memberikan rasa aman. Pipi Hazel memanas saat mengingat ciuman mereka yang penuh gairah, membuatnya merasa bingung dan malu sekaligus.

Pelayan itu, yang duduk di depan, memerhatikan Hazel dengan khawatir. Dia menoleh ke belakang dan melihat wajah Hazel yang memerah. "Nona, apakah Anda demam? Wajah Anda sangat merah."

Hazel tergagap sejenak, mencoba menenangkan dirinya. "Tidak, saya hanya kelelahan," jawabnya, berusaha terdengar tenang.

Sesampainya di rumah, pelayan itu dengan sigap membantu Hazel keluar dari mobil dan mengantarnya ke kamarnya. Hazel merasa lega bisa beristirahat, meskipun pikirannya masih kacau.

"Silakan malam dan selamat beristirahat, Nona," kata pelayan itu sopan. "Apakah ada hal lain yang Anda inginkan?"

Hazel menggeleng. "Tolong berikan kue ini kepada Ibu," katanya, menyerahkan kotak kue yang telah dibelinya. "Katakan bahwa ini adalah oleh-oleh dari pesta teh."

Pelayan itu mengangguk, menerima kotak kue dengan hati-hati. "Tentu, Nona. Saya akan menyampaikan pesan Anda."

Setelah pelayan itu pergi, Hazel duduk di tepi ranjangnya, merasa sendirian dan sedikit bingung. Bayangan pria itu masih menghantui pikirannya, mengingatkan pada momen intim yang hampir terjadi di toko kue. Setiap kali ia mengingat sentuhan dan ciuman pria itu, jantungnya berdetak lebih cepat. Namun, ada juga rasa malu dan penyesalan yang menyelimuti hatinya.

Hazel menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa di masa depan ia harus lebih berhati-hati. Dunia sosial yang keras dan penuh jebakan ini memerlukan kekuatan dan keteguhan hati yang lebih besar. Dalam kesunyian kamarnya, Hazel bertekad untuk menjadi lebih kuat dan tidak membiarkan dirinya terperangkap dalam godaan yang sama lagi.

Dengan pikiran itu, Hazel berbaring di ranjangnya, membiarkan kelelahan menguasainya. Malam itu, ia tertidur dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh bayangan pria misterius itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top