5. Pria Misterius
Saat Hazel memasuki pesta teh yang diselenggarakan oleh Countess Lora, suasana ruangan langsung berubah. Tatapan penuh rasa ingin tahu dari para tamu yang sebelumnya riuh, kini memfokuskan perhatian pada Lady Hazel Ellsworth, sosok yang jarang terlihat di acara sosial semacam ini.
"Apakah dia benar-benar Lady Hazel Ellsworth?" bisik seorang wanita paruh baya pada temannya.
"Iya, dia. Aku mendengar gosip bahwa dia bertemu dengan seorang pria misterius di pesta Marquess Margaux," balas temannya dengan semangat gosip.
"Pria misterius? Bukan tunangannya? Sungguh mengejutkan!"
Hazel, yang sudah terbiasa dengan perbincangan semacam itu, mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi. Dia tahu bahwa tugasnya adalah menjalani perjamuan ini sampai akhir, tanpa mempedulikan omongan orang. Tetapi dia juga sadar bahwa pelayan yang diutus ayahnya untuk mengawasinya adalah mata-mata, yang akan memberitahukan segala gerak-geriknya pada Barnum.
Dengan hati-hati, Hazel memilih sudut ruangan untuk duduk, berusaha agar tidak terlalu mencolok. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai pemikiran tentang ibu dan kedua kakak laki-lakinya. Sejauh yang dia ingat, ibunya tidak pernah membela dirinya di depan ayah mereka, dan demikian juga dengan kedua kakaknya. Mereka selalu membiarkan Hazel sendirian setelah dia dimarahi oleh Barnum. Apakah perhatian mereka kemarin hanyalah basa-basi belaka?
"Lady Hazel, sungguh suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda di sini," kata Countess Lora dengan senyum lembut, mendekati Hazel. "Kami jarang melihat Anda hadir di acara semacam ini."
Hazel tersenyum tipis, menahan gugup yang tiba-tiba muncul. "Terima kasih, Countess Lora. Saya senang bisa hadir di sini hari ini."
"Tentu saja, silakan nikmati pesta teh ini. Kami menyediakan berbagai macam teh dan kue yang saya yakin Anda sukai," ujar Countess Lora ramah, sebelum pergi menyambut tamu lainnya.
Hazel menghela napas pelan, mencoba menikmati suasana perjamuan. Namun, tatapan dan bisikan dari para tamu terus mengganggu. Dia berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya masih terasa ada ketidaknyamanan.
"Apakah Anda baik-baik saja, Lady Hazel?" tanya seorang wanita muda dengan nada prihatin, duduk di sebelahnya. "Saya mendengar ada beberapa rumor yang beredar, tetapi saya tidak percaya semuanya."
Hazel menatap sebentar ke arah wanita muda itu, mencoba menilai ketulusannya. "Saya baik-baik saja, terima kasih. Percakapan ringan seperti ini sering terjadi di acara semacam ini," jawabnya tenang.
Wanita muda itu tersenyum lega, merespons jawaban Hazel. "Anda benar, Lady Hazel. Saya yakin Anda bisa menghadapi semuanya dengan baik."
Hazel hanya mengangguk pelan, tanpa berniat melanjutkan pembicaraan lebih jauh. Sambil menikmati aroma teh yang harum, dia berusaha untuk tetap fokus pada perjamuan ini. Dia sadar bahwa setiap langkahnya akan diperhatikan oleh ayahnya. Karena itu, dia harus berhati-hati, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan.
Setelah pesta teh berakhir, meskipun lega, hati Hazel masih dipenuhi dengan berbagai pemikiran. Dia menyadari bahwa masih ada waktu sebelum dia harus pulang. Dengan cepat, dia meminta supirnya untuk singgah sebentar di sebuah toko kue terkenal yang sering dikunjungi ibunya. Ibunya sering membawa pulang kue-kue dari sana setelah menghadiri acara sosial, dan Hazel berharap dengan membawa pulang kue ini, dia dapat mempererat hubungannya dengan ibunya.
"Pelayan, tunggulah di sini sebentar. Saya hanya akan membeli kue untuk ibu," ucap Hazel saat tiba di toko kue tersebut.
Pelayan itu mengangguk patuh, membiarkan Hazel masuk ke dalam toko sendirian. Saat Hazel memesan kue dan harus menunggu beberapa saat, suara yang akrab mengagetkannya.
"Lady, kau terlihat menawan dengan gaun berwarna lembut itu," kata suara pria itu. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi begitu cepat."
Hazel berbalik dan melihat pria yang sudah ditemuinya sebelumnya di pesta Marquess Margaux. Pria bertubuh atletis dengan rambut hitam dan mata biru tajam itu tersenyum kepadanya.
"Anda..." Hazel belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pria itu telah menawarkan sesuatu.
"Bagaimana kalau kita duduk bersama sebentar dan menikmati secangkir teh?" tawarnya dengan ramah.
Hazel menggeleng. "Terima kasih, tapi saya hanya singgah untuk membeli kue dan harus segera pulang."
"Tapi pesananmu belum selesai, kan?" Pria itu tertawa kecil. "Oh, dan tentang mantelku yang belum kau kembalikan, Lady. Mungkin kau bisa memberikan sedikit waktu untuknya?"
Mengingat mantel yang masih dipegangnya, Hazel merasa sedikit bersalah dan akhirnya mengangguk. "Baiklah, sebentar saja."
Pria itu tersenyum lebar dan mengajaknya masuk ke ruangan VIP yang tertutup di dalam toko tersebut. Ia memerintahkan pelayan untuk menyiapkan pesanan Hazel dengan baik sementara mereka berbincang dan menikmati teh.
"Jadi, bagaimana pesta tadi?" tanya pria itu setelah mereka duduk dan teh mulai disajikan. Hazel terlihat bingung, dan pria itu menjelaskan, "kau mengenakan gaun, pasti baru pulang dari pesta sosial." Hazel merasa sedikit canggung. "Tidak buruk, meskipun aku tidak terlalu akrab dengan banyak orang di sana."
Pria itu mengangkat alisnya. "Jadi, kau merasa bosan karena tidak bertemu denganku?"
Hazel menatap mata biru itu dengan datar. "Jangan coba menggoda saya."
Hazel duduk dengan gelisah, menyadari tatapan pria berambut hitam dan bermata biru setajam elang itu yang menembus pertahanannya. Pria itu mendekat, wajahnya semakin dekat dengan Hazel, sampai ia bisa merasakan napasnya yang hangat.
"Kenapa wajahmu memerah, Lady?" tanya pria itu dengan suara rendah dan menggoda.
Hazel tersipu malu, wajahnya semakin merona. Pria itu terkekeh pelan, suaranya penuh godaan.
"Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan hal yang tidak pantas," katanya sambil tersenyum. "Aku hanya ingin menuangkan secangkir teh untukmu."
Hazel menunduk malu, merasa bodoh karena salah sangka. "Maaf, aku... aku pikir..."
Pria itu menyeringai. "Oh, jadi kau mengira aku punya niat lain?"
"Tidak! Bukan begitu!" bantah Hazel cepat.
Pria itu tertawa pelan, suaranya menggetarkan hati Hazel. "Bukankah waktu itu kau bilang ingin tidur denganku?"
Wajah Hazel memerah seketika, ia merasa tubuhnya membeku. "Aku... aku kehilangan kendali waktu itu," jawabnya dengan suara hampir berbisik.
Pria itu mendekatkan wajahnya lagi, matanya menatap tajam ke dalam mata Hazel. "Tapi bukankah kau mengakui bahwa saat itu kau berpikir jernih dan tidak mabuk?"
Hazel terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menghindari tatapan pria itu. "Aku... aku akan mengembalikan mantelmu di pertemuan berikutnya," katanya lirih.
Tanpa diduga, pria itu menarik tangan Hazel dan dengan mudah mengangkat tubuh mungilnya ke pangkuannya. Hazel terkesiap, wajahnya memerah padam, tapi pria itu hanya tersenyum tipis.
"Apa yang Anda lakukan?!" tanya Hazel dengan suara terkejut dan malu.
Pria itu hanya menatapnya dengan mata birunya yang tajam, seolah-olah melihat langsung ke dalam hatinya. "Hanya memastikan kau tidak lari kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.
Hazel terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Rasanya tubuhnya melemah dalam dekapan pria itu.
Di dalam ruang tamu VIP yang diterangi cahaya lembut dari lampu-lampu hias, Hazel merasakan getaran aneh saat duduk di pangkuan pria misterius itu. Wajahnya merah padam, dan dengan malu-malu ia mencoba turun, namun pria itu dengan cepat menahan tangannya dan memeluknya erat.
"Apa yang Anda coba lakukan?!" seru Hazel, suaranya bergetar antara marah dan malu.
Pria itu menatapnya dengan tatapan yang penuh teka-teki. "Bukankah kau yang menginginkan keintiman ini, Lady?"
Hazel menggeleng cepat, tetapi wajahnya yang memerah semakin menarik perhatian pria itu. Kulitnya yang pucat kini terlihat kemerahan, menambah daya tarik yang memikat.
"Apakah sekarang kau tidak berminat lagi padaku?" tanya pria itu, suaranya rendah dan menggoda.
Hazel bingung dan tertegun. "Apa maksud Anda?"
Pria itu mengangkat alisnya sedikit, senyum tipis bermain di bibirnya yang tipis. "Bukankah kau pernah bilang ingin tidur denganku?"
Wajah Hazel kembali memerah, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ketika ia hendak membuka mulut untuk menjelaskan, pria itu tiba-tiba membungkamnya dengan ciuman panas, basah, dan intens. Bibir mereka bertemu dalam satu ledakan gairah yang dalam dan tak terduga.
Hazel merasakan tubuhnya melemas dalam dekapan pria itu, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba menolak, tetapi akhirnya ia menyerah pada perasaan yang meluap-luap itu. Ciuman itu seolah membawa mereka ke dunia lain, di mana hanya ada mereka berdua.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, pria itu akhirnya melepaskan ciumannya. Mereka berdua terengah-engah, saling menatap dengan mata yang penuh emosi. Hazel masih merasakan panas ciuman itu di bibirnya, dan ia tidak bisa menghindari tatapan pria yang memancarkan ketertarikan mendalam.
"Jadi, apa yang kau rasakan sekarang, Lady?" bisik pria itu, suaranya serak penuh gairah. Itu adalah pertanyaan yang sama seperti saat pria itu menciumnya di pesta beberapa waktu lalu.
Hazel hanya bisa terdiam, tidak mampu menjawab. Segala emosi dan perasaan berputar dalam dirinya, membuatnya bingung dan tersipu malu. Dalam dekapan pria itu, ia tahu bahwa sesuatu telah berubah, sesuatu yang tak lagi bisa dihindari.
"Le- lepaskan saya!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top