4. Benarkah Kami Keluarga?
Sang pria misterius berdiri tegak, menatap tajam Hazel dengan intensitas yang membara. Namun, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, ia menarik napas dalam dan memalingkan wajahnya.
"Kembali ke ruang pesta," ucapnya dengan tegas, suaranya kembali tenang. "Malam ini belum berakhir bagimu."
Sebelum Hazel bisa menjawab, pria itu berbalik dan pergi dengan langkah mantap, meninggalkan balkon. Hazel tinggal berdiri di tempatnya, tubuhnya masih terasa hangat dari sentuhan ciuman mereka dan mantel yang melilit pundaknya.
Dia menatap langit malam, merasakan hembusan angin yang menyejukkan pipinya yang memerah. Dia menyadari kesalahan yang hampir saja dilakukannya. Di antara kebingungan dan hasrat, dia hampir saja membuat keputusan yang tidak semestinya, terutama di tengah-tengah keramaian seperti ini. Meski begitu, ada rasa lega di hatinya. Lega karena pria itu pergi sebelum segalanya berubah menjadi lebih buruk. Pasti akan sangat memalukan jika mereka melakukan sesuatu yang tidak senonoh di balkon.
Namun, selain kesalahannya, Hazel juga menyadari sesuatu yang lain. Pria itu telah meninggalkan mantelnya yang masih tergantung di pundaknya. Mantel itu masih hangat, membawa aroma maskulin yang menggoda.
Hazel segera kembali ke ruang pesta, matanya mencari-cari pria itu di antara kerumunan tamu. Namun, tidak ada tanda-tanda pria tersebut. Rasa panik mulai menghantui pikirannya.
"Dia pasti sudah pergi," gumam Hazel dalam hati, merasa sedikit kecewa dan bingung. "Tapi, ke mana dia pergi?"
Dia berjalan melintasi ruangan, mencari pria itu dengan pandangan hati-hati. Tetapi, tidak ada jejaknya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak terjawab, membuatnya semakin gelisah.
"Dia hanya meninggalkanku begitu saja," desis Hazel, merasa tersinggung oleh perilaku pria itu. Namun, di balik perasaan itu, ada rasa ingin tahu yang mendalam, ingin mengetahui alasannya mengapa dia pergi begitu cepat dan tanpa pamit.
Hazel bertanya pada beberapa tamu yang dikenalnya, tetapi tidak ada yang tahu mengenai pria yang dimaksudnya. Frustrasi dan sedikit putus asa, dia berdiri di tengah aula, merangkul mantel itu erat.
"Lady Hazel, apakah ada yang tidak beres?" suara Lady Liseaux terdengar di belakangnya. Hazel berbalik dan melihat wanita itu, salah satu kenalan dari keluarga Ellsworth.
Hazel mencoba tersenyum saat dia berbicara kepada Lady Liseaux, "Apakah Anda melihat seorang pria dengan rambut hitam dan mata biru yang tajam? Dia meninggalkan mantelnya dan saya ingin mengembalikannya."
Lady Liseaux mengerutkan kening, memikirkannya sejenak. "Maaf, saya tidak melihat orang dengan deskripsi seperti itu. Mungkin dia sudah pergi."
Kekecewaan memenuhi Hazel, yang kemudian mengangguk. "Terima kasih, Lady Liseaux."
Lady Liseaux tersenyum tipis sebelum kembali ke kerumunan tamu. Sementara itu, Hazel tetap berdiri di tempatnya, merasakan kekosongan yang aneh. Pria itu muncul tiba-tiba dan pergi dengan cepat, meninggalkan kesan yang mendalam di hatinya.
Dengan hati berat, Hazel memutuskan untuk pulang. Saat ia melangkah melewati aula, dia merasa pandangan beberapa tamu mengawasinya. Tapi kali ini, dia tidak mempedulikannya. Malam itu memberinya momen kebebasan yang tak terduga, meski singkat. Tanpa disadarinya, gosip mulai menyebar setelah ia dengan cemas mencari pria tersebut.
Tiba di rumah, Hazel langsung masuk ke kamarnya. Duduk di tepi ranjangnya, dia memegang mantel pria itu dengan lembut. Aroma maskulin masih terasa kuat, mengingatkannya pada pertemuan singkat mereka di balkon. Memandang keluar jendela, dia terus memikirkan pria itu dan pertemuan mereka yang aneh namun tak terlupakan.
Barnum, mendengar bahwa Hazel pulang lebih awal dari pesta bahkan sebelum acara mencapai puncaknya, segera memanggil pelayan yang mengantarnya untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Apa yang terjadi di pesta? Mengapa Hazel pulang lebih awal?" tanya Barnum dengan nada tegas.
Pelayan itu menundukkan kepala sebelum menjawab, "Tuan, Nona Hazel tidak banyak berinteraksi di pesta. Dia lebih banyak berada sendiri. Yang mengejutkan, Nona Hazel tiba-tiba mencari seorang pria dan bertanya kepada beberapa tamu tentang keberadaannya. Ini telah menjadi perbincangan di aula pesta."
Barnum mendengarkan laporan pelayan dengan marah dan tersinggung. Tanpa ragu, dia menuju kamar Hazel. Ketika Barnum membuka pintu dengan kasar, dia melihat Hazel duduk di pinggir ranjang, masih memakai mantel pria yang dipinjamnya.
"Hazel! Apa yang kau lakukan?" bentak Barnum dengan suara yang bergema di ruangan. "Kau gadis bodoh yang tidak tahu diri!"
Hazel menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, tidak tahu harus berkata apa.
"Kau tidak bisa berperilaku seperti ini dan merusak nama baik keluarga Ellsworth! Membuat skandal dengan seorang pria asing? Padahal kau sudah bertunangan dengan Duke Kingsley!" lanjut Barnum semakin meningkatkan nada suaranya. "Apakah kau tidak memikirkan sedikit pun tentang martabat keluarga ini?"
Hazel hanya diam, menundukkan kepala, menerima setiap kata tajam yang dilontarkan ayahnya. Air mata menggenang di matanya, tapi dia menahan diri agar tidak menangis.
Barnum kemudian melemparkan undangan ke arah Hazel. "Besok kau harus menghadiri pesta teh dari Countess Lora. Jangan sampai kau membuatku malu lagi! Kau dengar itu?"
Hazel mengangguk perlahan, mengambil undangan itu dengan tangan gemetar. "Ya, Ayah. Aku akan hadir," jawabnya dengan suara serak, menahan tangis yang hampir pecah.
Barnum menatap Hazel dengan tatapan tajam sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan kamar, meninggalkan Hazel sendirian dengan perasaannya yang hancur. Hazel merasakan air mata mengalir di pipinya. Dia menggenggam undangan itu dengan erat, mencoba mencari kekuatan dalam dirinya untuk menghadapi hari esok.
Di balik rasa sakit dan kecewa, Hazel bertekad untuk tidak lagi menjadi beban bagi keluarganya. Dia menyadari bahwa hidupnya diatur oleh orang lain, dan dia harus memaksa dirinya untuk bertahan di tengah badai demi menjaga kehormatan keluarga Ellsworth.
***
Keesokan harinya, Hazel sudah bersiap untuk menghadiri pesta teh yang diadakan oleh Countess Lora. Dia memilih salah satu dari dua gaun yang sudah disiapkan ibunya, yaitu gaun berwarna lembut dengan hiasan renda yang simpel namun anggun. Setelah mengenakan gaun itu, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan, dia merasa sedikit lebih percaya diri.
Sebelum bertanya tentang buah tangan kepada ibunya, Samantha Ellsworth, Hazel melihat kedua kakaknya, Alastair Ellsworth dan Jacob Ellsworth, baru saja pulang dari pelatihan militer khusus kerajaan dan sedang bercengkrama dengan ibu mereka di ruang tengah. Suasana ruangan itu dipenuhi dengan tawa dan keceriaan, sesuatu yang jarang dialami Hazel dalam kehidupan sehari-harinya.
Meskipun merasa ragu sejenak, Hazel akhirnya memberanikan diri untuk menyapa ibunya. "Ibu..."
Suara lembut Hazel membuat suasana yang riang itu menjadi canggung. Kedua kakaknya menghentikan obrolan mereka dan menoleh ke arah Hazel dengan terkejut. Samantha memandang putrinya dengan mata terbelalak, seolah tidak percaya bahwa Hazel benar-benar berdiri di hadapannya siap untuk berbicara.
"Hazel, sayang, apa yang ingin kau tanyakan?" Samantha tersenyum ramah, mencoba meredakan kecanggungan. "Tentang buah tangan untuk pesta teh Countess Lora, bukan?"
Hazel mengangguk, merasa semua perhatian tertuju padanya. "Ya, Ibu. Apakah ada yang harus aku persiapkan?"
Samantha menjawab dengan lembut, "Semuanya sudah disiapkan untukmu, sayang. Kamu hanya perlu membawanya," katanya, mencoba mengurangi kecanggungan. "Mengapa tidak duduk bersama kami sebentar? Pesta masih beberapa jam lagi, bukan?"
Alastair dan Jacob saling bertukar pandang, merasa situasi agak canggung. Alastair, yang lebih tua, berdehem dan mencoba memulai percakapan. "Sudah lama tidak bertemu, Hazel. Bagaimana kabarmu?"
Hazel menjawab dengan malu-malu, "Aku baik-baik saja, Kak Alastair. Terima kasih."
Jacob, yang lebih blak-blakan, menambahkan, "Kamu sepertinya sudah siap untuk pesta teh, ya? Pasti akan menyenangkan."
Hazel mengangguk, mencoba tersenyum. "Iya. Aku hanya berharap bisa menjaga nama baik keluarga kita."
Samantha melihat putrinya dengan tatapan lembut, perasaan senang dan sekaligus bersalah. "Hazel, sayang, ibu senang kamu mau berbicara dan ikut terlibat. Kami pikir kamu lebih suka sendiri, jadi kami tidak ingin mengganggu."
Hazel mengangguk, hampir meneteskan air mata. "Terima kasih, Ibu. Aku hanya ingin tahu apakah aku juga bagian dari keluarga ini."
Samantha mendekat dan meraih tangan putrinya dengan lembut. "Tentu saja, sayang. Kamu selalu menjadi bagian dari keluarga ini. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."
Alastair dan Jacob mengangguk, merasa canggung namun juga tersentuh. "Kami juga, Hazel. Kamu adik kami, dan kami selalu peduli padamu," kata Alastair dengan tegas.
Jacob menambahkan, "Benar, Hazel. Jangan ragu untuk berbicara atau meminta bantuan. Kami selalu ada untukmu."
Hazel merasa hangat di dalam hatinya, meski masih ada keraguan dan rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang. "Terima kasih, semuanya," ucapnya dengan suara yang hampir bergetar. "Aku akan pergi sekarang. Aku harap aku tidak mengecewakan kalian."
Samantha memeluk Hazel dengan lembut. "Kau tidak akan pernah mengecewakan kami, sayang. Kami bangga padamu."
Hazel mengangguk dan berjalan keluar, membawa buah tangan yang sudah disiapkan oleh ibunya. Saat melangkah, dia merasa sedikit beban di hatinya telah terangkat. Meski masih banyak hal yang harus dia hadapi, setidaknya hari ini dia merasa sedikit lebih kuat dengan dukungan yang baru saja dia rasakan dari keluarganya.
Dalam hatinya, Hazel bertanya-tanya, 'Apakah selama ini aku salah tentang Ibu dan para Kakak? Mungkin mereka memang peduli padaku, meski terkadang tidak terlihat begitu jelas.'
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top