3. Ciuman Pertama
Dalam diam, Hazel menikmati semilir angin malam yang membelai wajahnya. Pria tampan di sampingnya tertawa pelan mendengar ucapannya tadi, memperlihatkan senyum berlesung pipi yang mempesona. Hazel memutuskan untuk tidak menanyakan namanya, membiarkan pria itu tetap misterius. Baginya, itu cukup menyenangkan.
"Apa yang salah?" tanya Hazel akhirnya, merasa ada kehangatan yang merambat di hatinya melihat tawa pria itu. "Pria setampan Anda seharusnya sedang menggoda para gadis di lantai dansa saat ini."
Pria tampan itu tersenyum sambil menyesap anggur dari gelasnya. "Di dalam terlalu membosankan," jawabnya dengan suara rendah namun menenangkan. "Keramaian, percakapan basa-basi, itu semua hanya membuat jenuh."
Mereka terdiam sejenak, hanya menikmati bintang yang bertaburan di langit malam dan suasana sunyi. Pria itu menyesap anggurnya perlahan, matanya yang dalam memandang jauh ke cakrawala. Hazel menatapnya dalam-dalam, merasa ada sesuatu yang menarik terpancar dari dirinya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya pria tampan itu, mata birunya beralih menatap Hazel.
Hazel mendesah sebelum menjawab. "Saya hanya ingin tahu, mengapa Anda memilih menghabiskan waktu dengan orang membosankan seperti saya?"
Pria itu menatap Hazel dengan tatapan intens. Diam-diam ia pun tertarik pada rambut coklat karamel tergerai indah oleh hembusan angin. Kontras dengan wajah pucatnya yang hanya ditutupi oleh lapisan make up tipis.
"Apakah kau bahkan tahu siapa aku?" tanyanya dengan suara tenang, tetapi matanya tetap tajam.
Hazel tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Anda ada di pesta ini, jadi jelas Anda bukan orang biasa dan memiliki status tertentu," katanya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia masih ragu.
Pria itu tersenyum dengan senyum misterius, seolah memiliki pengetahuan tersembunyi. "Jadi, kau tidak familiar dengan identitasku yang sebenarnya," katanya sambil menatap Hazel dengan tajam.
Hazel merasa detak jantungnya meningkat, namun dia memilih untuk tetap terkendali. "Setidaknya saya sadar bahwa Anda bukan orang biasa."
Pria itu tertawa lagi, suaranya menggema di malam yang sunyi. "Kau cukup cerdas," katanya sambil meneguk sisa anggur dalam gelasnya.
Mendengar suara tawa itu, Hazel merasa semakin tidak nyaman. "Mengapa Anda tersenyum seperti itu?" tanyanya tiba-tiba, mencoba mengungkap arti di balik senyuman pria itu. "Apakah Anda sedang menilai apakah saya layak untuk diajak menghangatkan ranjang Anda?"
Pria itu menatapnya dengan penuh perhatian. Dia bisa melihat bahwa Hazel adalah seorang perawan yang polos, tatapannya lugu dan tidak terlihat seperti seorang wanita yang berusaha memikat.
"Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa mungkin kau sedang mabuk?" tanya pria itu dengan tegas, mencoba meredakan kegelisahan Hazel. "Apa aku terlihat seperti pria brengsek yang akan memanfaatkan gadis-gadis untuk kepentingan seksualku?"
Hazel mengalihkan pandangannya ke depan. "Saya bahkan masih sakit-sakitan dan lemah meskipun hanya makan makanan terbaik. Bagaimana bisa saya minum?"
Pria itu mendekat sedikit, memandangnya dengan serius. "Aku hanya tidak yakin, tapi dari ucapanku tadi... bukankah itu berarti kau sedang mencoba memprovokasiku?"
Hazel merasa sedikit tersinggung oleh pertanyaan itu, namun dia juga merasa ada kebenaran di baliknya. "Mungkin Anda benar," ucapnya akhirnya, mencoba menyembunyikan kekecewaan di balik senyumnya. "Saya mungkin lebih baik kembali ke dalam. Yah, pria tampan seperti Anda pasti tidak tertarik untuk berhubungan dengan saya."
Pria itu tersenyum sekali lagi, tapi senyumannya kali ini tampak lebih misterius. "Apa kau bahkan mengerti arti dari apa yang kau katakan?"
"Saya ini sering sakit, tapi bukan berarti bodoh." Hazel sedikit tersinggung. "Apakah Anda tidak berminat menyentuh saya karena saya terlihat seperti gadis penyakitan?"
Pria tampan itu tersenyum miring, ada maksud tersembunyi dalam tatapannya. "Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti akan menyesalinya."
Hazel mengangkat bahu, berusaha bersikap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. "Pria seperti Anda pastilah bisa memilih wanita mana saja yang Anda inginkan. Lalu kenapa Anda memilih untuk berada di sini, bersama saya, seorang wanita sakit-sakitan yang jarang keluar rumah dan tidak dikenal banyak orang?"
Pria itu tertawa kecil, suaranya rendah dan hangat. "Aku hanya merasa bosan di pesta itu. Bukankah kau juga merasakan hal yang sama?"
Hazel menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Tuan bicara seolah-olah Anda mengenal saya. Jadi kenapa kita tidak segera ke ranjang sekarang juga?"
Pria itu terkejut atas keberanian Hazel, ujung matanya menatap mengejek pada Hazel, "Kau tidak akan menyesali kata-katamu itu, kan?"
Hazel menggeleng. Saat dia hendak berbicara, bibir keringnya merasakan hembusan napas hangat sang pria. Di tengah kegelapan malam yang sunyi, saat angin malam menyentuh kulit mereka dengan lembut, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang penuh gairah. Pria itu memulai dengan lembut, bibirnya mengecup bibir Hazel dengan penuh penghargaan akan kecantikannya yang halus. Hazel merespons dengan gairah yang membara, bibirnya menanggapi ciuman pria itu dengan keinginan yang sama kuatnya.
Saat ciuman berlanjut, kedua mereka terlibat dalam tarian keintiman yang membuahkan kehangatan di antara mereka. Lidah pria itu menyelinap ke mulut Hazel dengan penuh keahlian, menemukan dan menantang lidahnya dalam gerakan yang menggoda. Desahan kecil keluar dari bibir mereka, mengisyaratkan hasrat yang terpendam. Setiap sentuhan, setiap gesekan bibir mereka memancarkan listrik yang memenuhi udara di sekitar mereka.
Detak jantung mereka saling bersahutan, mencerminkan kegembiraan dan ketegangan yang mereka rasakan. Hazel merasa seperti tenggelam dalam sensasi yang belum pernah dirasakannya sebelumnya, lupa sejenak akan dunia di sekitarnya. Bibir mereka akhirnya berpisah, membebaskan nafas-nafas mereka yang terengah-engah dengan gairah.
Mata mereka bertemu, penuh dengan kilatan gairah dan keinginan. Tatapan itu memancarkan keintiman yang baru saja mereka alami, membuat mereka merasa seperti dunia telah berubah dalam sekejap.
Pria itu tersenyum, memandang bibir Hazel yang belepotan lipstik setelah ciuman intens mereka. "Aku yakin kau punya penilaian terhadapku sekarang. Betul, kan?" tanyanya dengan suara rendah, penuh godaan.
Hazel menelan ludah, berusaha menenangkan jantung yang berdebar kencang. "Saya... Saya tidak tahu harus berkata apa," jawabnya akhirnya, suaranya gemetar. "Ini... ini pertama kali bagiku."
Pria itu mengangkat alisnya, sedikit terkejut tapi tetap tersenyum. "Pertama kali, ya? Aku merasa tersanjung."
Pria itu biasanya tidak terlalu ekspresif. Meskipun sedikit enggan melihat Hazel sedang berdebar-debar, ia tetap menjaga jarak emosionalnya. Namun bagi Hazel, ciuman itu membawa sensasi yang baru dan menyenangkan. Pria itu memperhatikannya, mencoba memahami ekspresi Hazel.
"Bagaimana perasaannya?" tanyanya dengan suara datar. "Apakah kamu akan menyerah sekarang?"
Hazel, dengan keberanian yang baru ditemukannya, menatap pria itu. "Saya baik-baik saja," jawabnya mantap. "Kita bisa melangkah ke tahap berikutnya. Apakah Anda ingin kita menginap di hotel atau Anda akan mengantar saya pulang?"
"Apakah kau ingin naik ke kamar tidur saya?"
Hazel menatap lurus ke mata pria itu. "Mengapa tidak?"
Pria itu mengerutkan kening, merasa kurang puas dengan jawaban Hazel. Awalnya, dia mencium Hazel hanya untuk mempermainkannya, mengira dia hanyalah gadis naif dan polos yang mudah terbawa suasana, seperti bunga indah yang tumbuh di dalam rumah kaca. Namun, jawaban Hazel membuatnya bingung.
"Kita berhenti di sini. Tidak semua pria pantas didekati, Miss," katanya dengan serius. "Kau tidak seharusnya menyerahkan dirimu begitu saja kepada siapa pun. Pikirkan baik-baik. Pergilah."
Pria itu mulai beranjak pergi, tetapi Hazel, dengan tangan gemetar, menarik ujung kemejanya, menghentikannya.
"Tunggu," bisiknya, matanya penuh dengan tekad. "Kenapa Anda melakukannya? Mengapa Anda pergi sekarang? Apa saya tidak cukup menarik?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top