22. Nyonya Duchess
Perjalanan sepasang pengantin baru itu terasa sunyi. Rainhard sesekali melirik Hazel yang duduk di sebelahnya dengan wajah cemas.
"Sayang, mengapa kau begitu takut pada ayahmu?" tanya Rainhard lembut.
Hazel menoleh perlahan, matanya dipenuhi kecemasan. "Seumur hidupku, Ayah yang mengatur segalanya. Apa yang dia katakan harus diikuti tanpa ada bantahan," jawabnya dengan suara bergetar.
Rainhard menggelengkan kepala. "Sekarang, kau tidak perlu lagi patuh pada ayahmu. Kau adalah Duchess Kingsley, kedudukanmu jauh lebih tinggi sekarang."
Hazel hanya mengangguk pelan, mencoba memahami kata-kata Rainhard. Apakah benar dia memiliki kebebasan sekarang?
Tak lama kemudian, mereka tiba di kediaman Duke Kingsley. Mansion besar itu berdiri megah di hadapan mereka, lebih dekat ke pusat kota Verdantia daripada rumah keluarga Ellsworth.
Setelah turun dari mobil, Hazel terpana melihat halaman luas dan taman yang tertata rapi. Mansion bergaya neo-gotik itu berdiri dengan anggun, dikelilingi oleh pohon-pohon ek tua yang tinggi menjulang, tampak seperti bangunan dari kisah dongeng. Dinding-dinding abu-abu tua dengan detail arsitektur abad ke-19 terlihat kokoh. Jendela-jendela kaca patri berwarna-warni menghiasi setiap sisi mansion, memantulkan kilauan cahaya matahari yang menciptakan suasana memikat.
Pintu kayu besar di depan, dihiasi dengan ukiran-ukiran halus dan detail yang memukau, seperti pintu gerbang menuju dunia lain. Di dalamnya, lorong panjang dengan langit-langit tinggi menyambut setiap tamu. Lampu gantung kristal bergoyang lembut di tengah ruangan, memancarkan cahaya ke dinding-dinding yang dihiasi dengan lukisan-lukisan kuno. Lantai marmer hitam-putih yang mengilap membentang sepanjang lorong, menuntun langkah menuju ruang-ruang misterius di dalamnya.
Di taman belakang, air mancur marmer yang megah menambah sentuhan keanggunan. Bunga-bunga mawar merah dan putih mekar di setiap sudut, menyebarkan aroma manis yang terbawa angin. Burung-burung kecil berkicau riang, melengkapi suasana damai di sekitar mansion. Cahaya senja yang menyentuh setiap sudut bangunan, memancarkan warna keemasan yang membuat mansion itu terlihat semakin mempesona.
Semuanya terasa begitu asing dan menakutkan bagi Hazel. Dia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana semuanya akan berjalan? Apakah dia akan diperlakukan dengan baik atau tetap tidak terlihat seperti di keluarga Ellsworth?
Hazel menatap bangunan besar itu dengan jantung berdebar-debar. Dia akan meninggalkan rumah masa kecilnya, rumah keluarga Ellsworth, dan memulai hidup baru sebagai nyonya rumah di mansion Kingsley.
Rainhard menggenggam erat tangan Hazel. "Tanganmu gemetar," ucapnya.
"Maaf," lirih Hazel.
"Kau tidak perlu takut, Sayang. Ini adalah rumahmu sekarang," kata Rainhard lembut, berusaha menenangkannya.
Para pelayan sudah berbaris rapi di depan pintu utama saat Hazel dan Rainhard tiba. Mereka membungkuk hormat, termasuk kepada Hazel yang belum terbiasa dengan kemewahan semacam ini.
"Mari kita masuk, Sayang," kata Rainhard lembut.
Hazel, yang terlihat lelah dan hampir pingsan karena terkejut melihat semua kemegahan ini, menerima tangan Rainhard dengan senyum lemah.
"Terima kasih, Rain," ujarnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Kepala pelayan utama, Francisco, segera maju. "Selamat datang kembali, Tuan," katanya. Kemudian ia membungkuk di hadapan Hazel, "Selamat datang di kediaman Duke Kingsley, Nyonya." Francisco memberikan senyum sopan kepada Hazel, namun kegelisahan tampak di matanya saat melihat kondisi Hazel yang lemah. Ia bimbang apakah harus memperkenalkan dirinya atau segera memanggil dokter.
Rainhard cepat mengambil alih. "Francisco, siapkan air hangat untuk mandi dan sediakan teh madu hangat serta kudapan ringan di ruang tengah. Duchess Kingsley membutuhkan perawatan segera."
"Segera, Tuan," Francisco membungkuk lagi dan memberi isyarat kepada para pelayan lain. Dua pelayan wanita segera mendekati Hazel dan membimbingnya dengan lembut ke dalam rumah, menuju kamar mandi yang sudah dipersiapkan.
Saat mereka berjalan, Hazel bergumam, "Rain, ini tidak perlu. Aku bisa mengurus diriku sendiri."
Rainhard menahan senyum. "Di sini, kau akan diperlakukan seperti ratu, Sayang. Biarkan mereka melakukannya."
Mereka memasuki kamar mandi yang dipenuhi uap harum. Para pelayan membantu Hazel membersihkan diri dan mandi. Awalnya, Hazel merasa canggung dan tidak nyaman, namun kelembutan dan kecekatan para pelayan membuatnya merasa lebih baik. Setelah selesai, mereka memberikannya jubah sutra lembut dan mengantarnya ke ruang tengah.
Di sana, Rainhard sudah menunggu. Dia juga tampak baru selesai mandi, dengan rambut basah yang masih meneteskan air. Senyum hangat menghiasi wajahnya saat melihat Hazel.
"Silakan duduk di sini, Haz," kata Rainhard sambil menepuk pangkuannya.
Hazel merasa malu dan ragu. "Rain, ini..."
"Biarkan aku melakukannya," Rainhard memotong dengan nada lembut namun tegas.
Dengan enggan, Hazel duduk di pangkuannya. Rainhard dengan hati-hati mengangkat kaki Hazel, memperlihatkan perban yang membalut kakinya. Dia mulai membuka perban itu dengan teliti, tangannya bekerja dengan terampil.
"Kau tidak perlu melakukan ini," kata Hazel, pipinya memerah.
Rainhard tersenyum lembut. "Aku ingin melakukannya. Biarkan aku merawatmu."
Hazel menatap Rainhard dengan penuh rasa syukur. Sentuhan lembut tangannya terasa menenangkan. "Terima kasih," ucapnya perlahan.
Setelah membuka perban lama, Rainhard menggantinya dengan yang baru, memastikan bahwa luka di kaki Hazel bersih. Hazel merasa nyaman dalam pelukannya, meskipun masih ada rasa canggung.
"Aku tahu ini semua terasa baru bagimu, Sayang," kata Rainhard lembut. "Tapi sekarang kau adalah bagian dari hidupku. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia dan merasa aman di sini."
Air mata mulai membasahi mata Hazel. "Rain, aku..."
Rainhard menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk. "Tidak perlu mengatakan apa-apa. Istirahatlah dan nikmati waktu ini. Biarkan aku dan para pelayan mengurus segalanya."
Mereka diam sejenak, menikmati kebersamaan. Teh madu hangat dan kudapan ringan sudah tersedia di meja di depan mereka. Rainhard mengambil cangkir teh dan menyerahkannya kepada Hazel.
"Minumlah, ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya.
Hazel menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Rain. Kau sangat baik."
Rainhard tersenyum. "Ini adalah tugas seorang suami untuk membuat istrinya merasa nyaman."
Hazel merasakan kehangatan di hatinya. Di kediaman Duke Kingsley yang kini menjadi rumahnya, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa diterima, dihargai, dan dicintai. Ia meminum teh itu, merasakan kehangatan yang meresap ke dalam tubuhnya.
"Aku akan berusaha beradaptasi," kata Hazel dengan lembut.
Rainhard mengangguk. "Dan aku akan selalu di sisimu, membantu di setiap langkah, Nyonya Duchess."
Hazel menatap Rainhard sejenak sebelum kembali menunduk. "Kau memanggilku apa?"
"Memanggilmu dengan sebutan yang seharusnya. Nyonya Duchess," Rainhard menjawab sambil menyentuh dagu Hazel dan mengecup lembut. "Kurasa Nyonya Duchess juga perlu makan malam."
Hazel mengangkat wajahnya yang cantik namun lelah, menatap Rainhard sebelum menunduk lagi. "Aku tidak terlalu lapar," katanya pelan.
Rainhard tidak percaya. "Aku melihat kau tidak makan banyak di pesta. Kau butuh tenaga, Haz." Ia menoleh ke pelayan yang berdiri di sudut ruangan. "Bawakan kami secangkir teh madu hangat. Jangan lupa sandwich dengan Jamon Iberico dan keju Gruyere."
Pelayan segera meninggalkan ruangan untuk memenuhi permintaan Rainhard. Beberapa saat kemudian, mereka disajikan secangkir teh madu hangat dengan aroma yang menggugah selera serta sandwich berisi Jamon Iberico tebal dan keju Gruyere meleleh di depan mereka. Aroma thyme, basil, dan rosemary yang lezat sungguh menggoda. Rainhard memperhatikan Hazel yang tampak terdiam.
Tanpa banyak bicara, Rainhard mengambil sepotong sandwich dan menyuapkannya langsung ke mulut Hazel. "Makanlah," katanya dengan nada lembut namun tegas.
Hazel memandang Rainhard dengan tatapan malu, tetapi akhirnya membuka mulutnya dan menerima suapan tersebut. Setelah itu, dengan hati-hati, ia juga mengambil potongan sandwich lainnya dengan tangannya dan mulai memakannya.
Rainhard tersenyum puas sambil menyesap teh hangatnya. "Ini lebih baik. Kau perlu menjaga kesehatanmu, Haz."
Hazel hanya mengangguk pelan, terus mengunyah makanan yang disuapkan Rainhard. Meskipun merasa hangat di hatinya, ia juga merasakan sedikit rasa malu karena perhatian yang begitu mendalam dari Rainhard.
Namun, Hazel merasa tidak nyaman duduk di pangkuan Rainhard dalam waktu lama. Ia mencoba menggeser sedikit posisinya, tetapi tangan Rainhard dengan lembut namun pasti menahan pinggangnya.
"Biarkan dirimu tetap di sini sampai selesai makan," ujar Rainhard dengan suara tenang namun tegas, membuat Hazel tidak bisa menolak.
Saat Hazel hampir menyelesaikan makannya, terdengar ketukan di pintu ruang tengah. Francisco, salah satu pelayan, masuk dengan sopan sambil sedikit membungkuk.
"Maaf mengganggu, Tuan. Kamar tidur sudah siap," lapornya.
Rainhard mengangguk dan kemudian menoleh kepada Hazel. "Nah, Haz," katanya dengan senyum menggoda, "kita akhirnya memiliki waktu berdua."
Sebelum Hazel bisa merespons, Rainhard mengangkatnya dengan mudah, menggendongnya seperti karung beras. Hazel terkejut dan merona, mencoba protes namun suaranya tidak cukup kuat.
"Rainhard, tolong...," Hazel berbisik dengan suara lembut, namun Rainhard hanya tertawa kecil.
"Tenang saja, Sayang," jawab Rainhard sambil melangkah menuju kamar tidur yang telah dipersiapkan. "Kau aman bersamaku. Dan kita akan menikmati waktu sebagai pasangan pengantin baru."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top