19. Kau Membuatku Panas

Rainhard memandang Hazel dengan lembut, matanya penuh makna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ia menghela napas dengan lembut, berusaha merangkai kalimat yang tepat.

"Haz, kau bisa melihatku sebagai pria misterius atau Duke Kingsley. Pada dasarnya, keduanya adalah diriku," katanya dengan suara lembut namun mantap. "Itu tidak masalah bagiku."

Hazel mengernyitkan dahi, tidak puas dengan penjelasan itu. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang masih disembunyikan Rainhard. Dia merasa seperti berada di ambang tebing, bingung apakah harus melangkah maju atau mundur.

"Namun kau tampak kelelahan," Rainhard melanjutkan, "Pergilah ke ruang istirahat. Kau butuh waktu untuk beristirahat."

Hazel menatapnya tajam, jelas menunjukkan ketidakpuasan. "Kenapa kau selalu membuatku bingung, Rain? Apakah kau hanya merasa kasihan padaku?" Suaranya bergetar, mencerminkan ketidakpastian yang dirasakannya.

Rainhard terdiam sejenak sebelum meraih tangan Hazel dengan lembut namun mantap. Mereka berjalan keluar dari aula, ketegangan di antara mereka terasa semakin berat.

Di lorong hotel, sebelum mencapai ruang istirahat yang telah disiapkan, Rainhard mendadak menghentikan langkahnya. Dia menarik Hazel mendekat dan menyandarkannya lembut ke dinding lorong. Tanpa memberi kesempatan bagi Hazel untuk berbicara, Rainhard menunduk dan menciumnya dengan penuh gairah.

Ciuman itu dalam dan penuh perasaan, seakan ingin menyampaikan semua yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hazel terkejut, tubuhnya menegang sejenak sebelum akhirnya melebur dalam pelukan Rainhard. Bibir mereka bertemu dengan kehangatan yang mendalam, membangkitkan api yang telah lama tersembunyi di antara mereka.

Saat ciuman berakhir, Rainhard memandang Hazel dengan mata yang berkilau. "Haz, aku tidak pernah bermaksud mempermainkanmu. Aku hanya... aku hanya ingin kau tahu betapa berharganya dirimu bagiku. Ini bukan tentang kasihan, tapi tentang kepedulianku yang tulus."

Setelah ciuman itu, Rainhard menatap Hazel dengan tatapan serius namun lembut.

"Haz, aku perlu mengungkapkan ini," kata Rainhard dengan nada jujur. "Aku sangat tertarik padamu. Aku tidak ingin kau merasa canggung sebelumnya, karena meskipun kau merasa aku adalah orang asing, sebenarnya kita sudah memiliki banyak kenangan bersama, bahkan kita pernah..."

Hazel menyentuh bibir suaminya dengan raut wajah yang malu. "Tolong jangan katakan apa-apa."

"Kenapa? Bukankah kita sudah resmi menikah?"

"Ya, tetapi kita sudah melakukan dosa, kita bercinta sebelum resmi sebagai suami istri."

"Ah, kau benar-benar manis," kata Rainhard sambil mencubit lembut hidung Hazel. "Aku rasa aku sudah jatuh cinta."

Hazel tersenyum tipis, pipinya memerah. "Aku merasakannya juga, Rain," ujarnya dengan suara lembut. Ada nuansa kegembiraan dan malu dalam suaranya.

Rainhard menarik napas panjang. "Sepertinya kita perlu pergi ke tempat yang lebih pribadi untuk membahas hal-hal ini."

"Untuk apa?"

"Untuk segalanya. Tentang kita, tentang diriku dan dirimu, dan perasaan kita."

Hazel merasakan detak jantungnya semakin kencang. Ini adalah perasaan yang belum pernah dia alami sebelumnya.

"Di ujung lorong ada ruang istirahat," kata Rainhard sambil mengulurkan tangannya.

Hazel mengangguk dan mulai melangkah bersamanya. Namun, beberapa langkah kemudian, dia mulai kesulitan. Langkahnya melambat hingga akhirnya berhenti di tengah lorong.

Mengetahui ada yang salah, Rainhard segera berbalik. Dia melihat Hazel berdiri dengan ekspresi kesakitan. Tanpa ragu, dia mendekat dan mengangkat Hazel dengan lembut dalam gendongan bridal style. "Aku akan membawamu ke ruang istirahat," katanya dengan nada lembut namun tegas.

Hazel merasa terkejut tapi tidak menolak. Dalam pelukan Rainhard, dia merasa aman. "Terima kasih, Rain," bisiknya.

Rainhard mengangguk memahami. "Setelah kita sampai, aku akan memeriksa kakimu."

Setibanya di ruang istirahat, Rainhard membuka pintu dengan kakinya dan memasuki ruangan, lalu meletakkan Hazel dengan hati-hati di sofa.

Hazel menatapnya dengan mata berkilat. "Aku merasa sangat merepotkan, membuatmu harus bertindak seperti ini."

Rainhard menggenggam tangannya dengan penuh kasih. "Jangan berpikir begitu, Haz. Aku di sini untukmu."

Suasana di ruang istirahat terasa tenang, hanya terdengar detak jantung mereka yang menyatu. Di saat itu, mereka merasakan bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar ketertarikan; ini adalah awal dari perjalanan yang penuh arti.

Rainhard menghela napas panjang saat mereka tiba di ruang istirahat. Setelah upacara pernikahan yang megah, mereka akhirnya memiliki waktu sejenak untuk istirahat. Rainhard langsung menyadari ada yang tidak beres saat Hazel duduk, dengan luka dan memar terlihat di kakinya.

Top of Form

Bottom of Form

Rainhard menatap Hazel dengan kekhawatiran, menyingkap gaun pengantin untuk memeriksa kondisi kaki istrinya. "Haz, apa yang terjadi?"

Hazel berusaha tersenyum meskipun rasa sakit yang dirasakannya. "Oh, ini hanya masalah sepatu baru. Tidak perlu terlalu dipikirkan, Rain."

Rainhard terlihat tidak puas dengan penjelasan itu dan mengerutkan dahi. "Kenapa tidak meminta bantuan pelayan untuk menyesuaikan sepatumu? Mereka seharusnya memastikan kau nyaman."

Hazel menunduk, menyembunyikan ketidaknyamanannya yang lebih mendalam. "Kami terlalu terburu-buru. Tidak ada waktu untuk itu."

Rainhard menggelengkan kepala, tetap merasa tidak senang. "Itu tidak bisa diterima. Sekarang, izinkan aku merawat kakimu." Dia mengambil kotak medis dan mulai menyiapkan perban serta salep.

Hazel mengangkat tangan, berusaha menolak. "Rain, aku bisa menangani ini sendiri."

Rainhard tidak mau mendengar. "Dalam suka dan duka, kaya dan miskin, sehat dan sakit. Ingat?" Dia mengingatkan pada janji pernikahan mereka tadi. "Kita kini satu, Haz. Jika kau sakit, aku pun merasa sakit. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita." Dia mulai membersihkan luka-luka di kaki Hazel dengan lembut, meskipun Hazel terus berusaha menghentikannya.

Setelah selesai merawat luka-luka Hazel, Rainhard tampaknya masih merasa ada yang kurang. Dia mengangkat gaun pengantin Hazel lebih tinggi, hingga paha bagian dalamnya terbuka. Tangannya meraba paha Hazel, membuatnya terkejut.

"Rain, tunggu," bisik Hazel sambil mencoba menghentikan tangan suaminya.

"Ada apa, Sayang?"

"Aku... Aku..." Hazel tampak gugup.

Rainhard hanya tersenyum lembut, matanya memandang dalam ke mata Hazel sebelum mencium bibirnya dengan penuh gairah. Tangannya masih membelai paha Hazel dengan lembut, membuatnya merinding.

"Bagaimana kalau kita ulangi keintiman kita seperti malam lalu?" bisik Rainhard sambil melanjutkan ciumannya, suaranya penuh rayuan.

Hazel tertegun, napasnya tertahan. Hatinya berdegup kencang mengingat malam penuh gairah yang lalu. Namun, dia merasa tempat ini tidak tepat untuk itu. Dengan lembut, dia menolak.

"Rain, tapi...," bisik Hazel.

"Tenang saja, Sayang. Aku tahu kau akan menikmatinya." Rainhard tersenyum dengan senyum miring khasnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top