Chapter 11 (End)

"Granger!" jerit Silvanna menggema di tengah malam itu.

Tanpa dilihat Silvanna, Granger berhasil melewati celah kecil pohon yang hampir tumbang ke jalan itu. Pohon itu roboh ke aspal tepat dua meter di belakang mobil Silvanna.

Merasa tidak terjadi apa-apa, Silvanna membuka matanya. Ia menoleh ke arah Granger yang tampak gugup. Kepalanya bersandar ke jok pengemudi, seperti memikirkan sesuatu. Ia heran, mengapa pria ini hanya sedikit berekspresi. Tak ada rasa takut sedikitpun meski nyawa mereka hampir melayang.

"Mungkin ini belum waktunya, Silvanna," kata Granger pelan. "Bisa kalau kita begini dulu, Honey?"

Kalimat yang tak ingin Silvanna dengar. Kesan ketidakseriusan. Hingga Silvanna berpikir kalau Granger hanya ingin bermain-main dengannya.

"Maksud kamu backstreet?" Silvanna marah di akhir kepanikannya barusan. Ditambah permintaan Granger yang tidak masuk akal baginya. "Sebenernya kamu anggep aku apa? Aku ini jadi orang ketiga buat kamu dan kekasih atau keluargamu? Aku cuma pelampiasan? Atau apa? Jelasin, Gran!" Tampaknya perempuan itu mulai naik pitam.

"Aku milik aku, Silvanna! Apa nggak cukup selama ini aku bilang dan meratukanmu? Coba bilang aku harus apa, akan aku kabulkan sekarang!"

"Tunjukin identitas kamu!" tegas Silvanna. Sepertinya permintaan perempuan ini sudah tidak bisa ditawar lagi.

"Selain itu," mohon Granger. "Aku yakin kalau aku tunjukin identitasku sekarang, kamu nggak mau kenal lagi sama aku."

Granger bergerak cepat untuk menarik Silvanna ke pelukannya. Tak ragu, ia mengulum bibir ranum milik sang aktris terkenal itu. Mengulumnya jauh lebih dalam ketika ia mendapat balasan dari gadis itu. Gerakan Refleks, Silvanna naik ke pangkuan Granger ketika kursi jok direndahkan.

"Do you love me?" lirih Silvanna ketika ciuman mereka berakhir.

"So much I love you."

"Sekarang, aku mau denger dari mulut kamu sendiri. Mau sampai kapan kita begini? Tak pernah ketemu secara rutin, nggak pernah saling ngasih kabar. Kamu selalu menghilang di malam yang sama. Kalau begitu terus, apa nama yang cocok buat hubungan kita?"

"Aku nggak yakin kamu bakal nerima aku apa adanya atau tidak. Yang aku tahu, aku sayang kamu dan kamu sayang aku. Makannya, aku beranikan diri untuk mengatakannya sejak awal," kata Granger dengan suara yang lembut mengingat wajah Silvanna hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. "Soal identitasku, lambat laun kamu akan mengetahuinya. Dan itu pastinya di waktu yang tepat."

"Aku tegesin ke kamu. Apa kamu bisa nemenin aku besok, lusa, dan seterusnya tanpa harus menunggu purnama muncul?"

"I'm not sure, Honey."

Wajah kecewa terpancar dari Silvanna saat itu juga. Matanya terpejam, merasakan kekecewaan dari pekataan pria yang dicintainya sekarang.

Bukan Granger namanya kalau tak pandai melakukan pergerakan. Sepuluh jemarinya merangkum kedua pipi Silvanna. Ia kembali melumat bibir gadis itu seperti biasanya. Makin dalam, dan lebih dalam dari sebelumnya. Hingga gadis itu terlena dan lebih merapatkan lagi tubuhnya.

Keduanya melekat tanpa jarak, apalagi ketika Granger mengisap leher Silvanna. "Ahhh~". Hingga berlanjutnya eksperimen mereka di dalam mobil.

***

"Lo nggak salah baca maps kan, Mel?" tanya Leomord yang kebingungan pada jalan yang diinfokan GPS di mobil Silvanna.

"Enggak salah, kak. Emang ke sini arah GPS-nya."

"Sampe masuk-masuk hutan? Gila!" Ling ikut bersuara dari kursi sebelah pengemudi.

"Udah mau sampe, Kak!" seru Melissa ketika jarak mobilnya dengan mobil Silvanna sudah dekat.

Namun, di jarak tertentu Leomord terpaksa mengerem karena ada pohon yang melintang di sana.

"Gimana kita lewatnya?" tanya Leomord.

Berbeda dengan Leomord, Melissa langsung keluar mobil itu untuk mencari celah agar bisa melewati pohon tumbang itu. Pergerakannya diikuti Ling dan juga Leomord.

Pohon yang lumayan besar, sangat menghalangi pandangan mereka ke arah depan. Beruntungnya, dengan kecerdikan Melissa, ia bisa menemukan sedikit celah untuk menembus pohon itu. Apalagi, ia melihat pantulan warna merah, pertanda ada kendaraan lain yang ada di balik pohon tumbang ini.

"Di sini ada jalan, Kak!" seru Melissa pada Ling dan Leomord sambil menunjuk pada celah itu.

Tanpa menunggu lama, Ling yang membuka jalan untuk yang lain. Meski terasa sulit, mereka harus melaluinya demi memecahkan satu misteri.

Mata Ling terbelalak ketika melihat mobil Silvanna berhenti di sana dalam keadaan menyala. Ia langsung menghampirinya tanpa menunggu yang lain.

Ling menuju pintu kemudi. "Keluar lo!" serunya sambil menggedor pintu mobil.

Silvanna yang sedang merapikan pakaiannya tersentak kaget. Matanya terbelalak ketika melihat sosok Ling di luar sana.

"Ling?"

"Keluar!" bentaknya yang terdengar samar dari dalam mobil.

Silvanna membuka kunci pintunya.

Mendengar kunci terbuka, Ling lantas membuka paksa pintu mobilnya. Ia segera menarik Silvanna untuk keluar dari mobil.

"Apa-apaan sih, Ling?!"

Ling tidak menghiraukannya. Ia malah menarik Silvanna untuk bersembunyi di balik punggungnya.

"Jauhin Silvanna atau lo bakal dapet akibatnya!" ancam Ling pada Granger sambil menunjuk.

"Apa urusan lo? Silvanna pacar gue sekarang!"

"Mana ada manusia pacaran sama iblis!"

"Apa maksud kamu, Ling?! Lepasin aku!" Silvanna terus berontak.

"Dia bukan manusia," kata Ling yang langsung disanggah Silvanna.

"Nggak mungkin!" sangkal Silvanna sambil memberontak. Cengkraman Ling begitu kuat di pergelangan tangannya.

Leomord dan Melissa datang menyusul setelah bersusah payah menerobos ranting-ranting tajam pohon yang tumbang tadi. Leomord mengambil alih untuk mengamankan Silvanna. Sementara Ling coba berduel dengan Granger.

"Apa sih maksud kalian?!" sahut Silvanna marah. Ia masih berontak di genggaman Leomord.

Dalam pikirannya sendiri, Melissa memprediksi hal-hal yang akan terjadi selanjutnya. Sesuai dengan tulisan-tulisan di buku herian Rafaela, Melissa sedikit tahu mengenai kejadian selanjutnya.

"Gue tau lo, dan gue tau kelemahan lo. Siap-siap aja wujud asli lo terlihat kali ini!" ujar Ling langsung menghadiahkan satu pukulan untuk Granger. Pertengkaran tak bisa dihindari. Kedua pria itu berjuang satu sama lain untuk mempertahankan diri.

"Stop!" seru Silvanna dari tempatnya. "Aku mohon!" ia terus berontak. Namun tenaga Leomord terlalu mustahil untuk dilawannya. Silvanna hanya berharap keduanya bisa baik-baik saja. Meskipun itu tidak mungkin karena keduanya saling pukul memulkul. Keduanya tampak terluka. Silvanna hanya bisa menangis di tempatnya.

"Gimana? Amarah lo udah tersulut?!" tanya Ling dengan nada menantang meskipun sudut bibir dan matanya sudah kebiru-biruan.

"Gue biasa bertengkar, meskipun tanpa amarah!" Granger menantang balik.

Terbesit di dalam otak Ling untuk melakukan hal lain yang dapat menyulut amarah Granger dengan cepat. Ia berbalik ke belakang, teringat sesuatu. Melihat Silvanna yang menangis membuatnya menemukan ide baru.

Ling menjauhi Granger untuk menghampiri Silvanna. Ia merangkum kedua pipi gadis yang masih terbelenggu oleh lengan kekar milik Leomord. Tanpa diduga, Ling mendaratkan ciuman ke bibir Silvanna yang masih bergetar.

Tak hanya Silvanna yang terkejut, Melissa bahkan langsung menutup matanya sambil berbalik badan. Leomord tersenyum miring.

"Ya Tuhan, Kak Ling tahu cara untuk menunjukkan wujud asli makhluk peralihan. Berarti, dia membaca buku Bunda Raffa sampai tuntas," kata Melissa dalam hati. Ia jauh lebih lega sekarang.

Dari kejauhan, Granger mengepalkan tangannya lebih dalam. Gerahamnya gemeretak. Gadis yang dicintainya mulai diusik pria lain. Sorot mata Granger mendadak menyala-nyala.

"Jangan sentuh dia!" Granger menarik kerah belakang Ling lalu melempar satu tinjuan keras di sudut bibir kiri Ling.

Setelah melakukan itu, Granger merasa tubuhnya penuh dengan aliran listrik. Kulitnya menghitam, badannya membesar, bahkan kemeja slimfit yang dikenakannya sobek seketika. Sayapnya mengepak beriringan dengan separuh kulit wajahnya yang mengelupas.

Mata Silvanna terbelalak. Sulit dipercaya jika Granger akan berubah wujud seperti ini. "G-granger?" lirih Silvanna. Dalam pikirannya ia membenarkan bahwa makhluk peralihan itu nyata.

"Itulah wujud asli dari pacarmu, Silvanna. Nggak heran dia nggak nunjukin identitasnya," kata Ling.

Satu injakan kuat diterima Leomord dari Silvanna. Terasa perih hingga ia melepaskan kaitan tangannya untuk menahan Silvanna.

"Granger!" sahut Silvanna menghampiri kekasihnya yang kini berubah wujud. Anehnya, beberapa kali Silvanna hendak menyentuhnya, Granger seperti tak nyata. Badannya terlihat samar.

"Jadi ini wujud asli kamu, Gran?" lirih Silvanna. "K-kenapa?"

"Aku bunuh diri sekitar tiga tahun yang lalu. Konsekuensinya, aku harus masuk ke dunia peralihan untuk menunggu alam keabadian menjemputku di sana."

Tangis Silvanna tak terbendung ketika mendengar pengakuan itu dari Granger.

"Maafkan aku, Silvanna. Aku sudah membohongimu. Meski begitu, rasa cintaku padamu tak ada kebohongan sedikitpun. Itu yang membuatku ingin kembali hidup meskipun itu sangat mustahil."

Tangis Silvanna semakin menjadi. Apalagi, ia tak bisa menyentuh Granger lagi.

"Jaga dirimu baik-baik, Silvanna. Aku mencintaimu, dan akan terus mencintaimu."

"Granger!!" lirih Silvanna disusul suara gemuruh. Tak lama, rintik hujan mengelilingi mereka semua.

Silvanna mengusap bagian pipi Granger meski tak bisa tersentuh, bersamaan dengan menunduknya Granger untuk meminta ciuman terakhir dari Silvanna. Namun terlambat, hujan deras mengempas tubuh Granger hingga tak berbentuk serta hilang dibawa air yang mengalir di atas permukaan aspal.

Silvanna terjatuh merasakan kehilangan yang begitu dalam. Menghadapi kenyataan yang begitu pahit dan harus terbongkar dengan cara seperti ini.

Ling menopang tubuh Silvanna yang tampak lemas. Bahkan ia sudah tidak bisa membedakan mana air mata dan mana air hujan. Semuanya menyatu di wajah Silvanna yang kini tampak pucat. Tak lama kemudian, Silvanna tak sadarkan diri.

***

Beberapa hari kemudian...

Buket bunga segar sudah terpajang cantik di samping brangkar rumah sakit tempat Silvanna dirawat. Wajah cantik yang biasanya menghiasi layar kaca itu, kini harus beristirahat sejenak.

Sejak kejadian malam itu, Silvanna langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi tubuhnya tidak stabil dan terus mengigau nama Granger ketika diperiksa di ruang IGD. Hingga akhirnya Silvanna harus merasakan tubuhnya diinfus selama satu minggu.

Berakhirnya pandangan hitam menjadi awal kulit tubuh Silvanna merasakan dinginnya AC. Pendengarannya berfungsi, kini suara tawa rendah yang menyambutnya ke dunia nyata.

"Kak Silva bangun."

Sahutan seorang gadis menyadarkan Silvanna kalau dia masih diberikan kesempatan hidup hari ini. Pelan-penan matanya terbuka, menyesuaikan pandangan hitamnya yang bertransisi ke penglihatan serba putih.

Ketika pandangannya sempurnya, tiga gadis di sekitarnya tersenyum senang.

"Melissa?" sebut Silvanna dengan suara lirih.

"Kak Silva! Syukurlah." Melissa baru saja melepaskan gundah-gulananya akan kondisi Silvanna. Ia lantas memegang tangan Silvanna yang tak diinfus.

"Kakak udah lama di sini?" tanya Silvanna sambil mengedarkan matanya di sekitar ruangan.

"Satu minggu, kak," jawab Melissa. "Masih ada rasa sakit yang dirasain, kak?" tanya Melissa.

"Sedikit pusing," jawab Silvanna.

"Mungkin karena kakak baru bangun. Istirahat lagi aja ya, Kak."

"Aku mau minum, Mel," pinta Silvanna.

Dengan sigap, Melissa membantu Silvanna bangun seraya menaikkan brangkarnya agar Silvanna bisa bersandar dengan nyaman. Setelahnya, ia menyodorkan pucuk sedotan yang sudah tertanam di segelas air putih. Silvanna tinggal menyesapnya.

"Kakak mau buah?" tanya Melissa setelah menyimpan gelas itu.

"Mau jeruk."

Melissa mengangguk, lantas mengupas satu jeruk segar yang baru diambilnya di parcel yang tersegel. Baru tadi pagi Melissa menerimanya dari Leomord.

"Maaf ya, kak. Aku bawa temen-temenku ke sini. Dia ngefans banget sama kakak," kata Melissa ketika kedapatan melihat Silvanna tersenyum pada dua gadis yang duduk di sofa.

"Nggak apa, Mel. Buat nemenin kamu juga kan di sini?"

"Iya juga sih, kak."

Silvanna kembali mengedarkan pandangannya. Ada beberapa buket bunga yang berjejer di nakas ruang rawatnya. "Banyak yang dateng ke sini, kah?" tanya Silvanna.

"Ada beberapa dari temen media, temen aktris, dan kak Ling," sahut Melissa. "Mereka ikut berdoa untuk kesembuhan kakak," lanjut Melissa.

"Makasih banyak ya, Mel. Aku nggak tau kalo kamu nggak di sini."

"Nggak cuma aku yang nemenin kakak. Kak Ling juga beberapa kali nginep di sini sebelum kakak sadar."

"Ling?"

"Dia khawatir banget sama kakak. Setiap hari dia ke sini, bawain bunga segar. Cuma, pagi ini dia belum ke sini. Katanya ada shooting iklan di luar kota."

Silvanna terdiam. Entah apa yang ada di pikirannya. Namun, ada kesan tersendiri ketika nama Ling disebut Melissa tadi.

"Jeruknya mau dimakan sekarang, kak?" tanya Melissa ketika jeruknya sudah siap dimakan.

***

Malam harinya, Silvanna terjaga ketika Melissa sudah terlelap di sofa bed ruang rawatnya. Menyambut rekan-rekan artis yang datang sampai selepas senja tadi membuat Silvanna kelelahan dan tertidur sejak jam tujuh malam tadi.

Masih pukul tiga dini hari, yang ia dengar hanya angin pendingin ruangan, dan beberapa staff rumah sakit yang berpatroli di luar sana.

Sair mata Silvanna berangsur turun. Kejadian seminggu yang lalu masih melekat di otaknya meskipun ia sudah tak sadarkan diri selama itu. Sesekali ia menahan isaknya agar Melissa tidak terbangun. Tangisnya mengandung pesan yang belum bisa dibaca.

Tahu-tahu pintu ruang rawatnya terbuka. Langkah kaki seseorang mendekatinya. Siluet seseorang bertubuh tinggi menjangkau matanya.

"Maaf, kamu kebangun gara-gara aku?" tanya Yuza Ling, pria yang baru datang dan duduk di kursi sebelah brangkar. Dari raut wajahnya pria itu kelelahan. Mungkin dia baru pulang dari aktivitasnya yang disebutkan Melissa tadi pagi.

Silvanna menggeleng pelan. "Aku kebangun dari tadi, kok."

"Aku dikabarin Melissa kalo kamu udah sadar. Makannya, selesai shooting aku langsung ke sini."

"Ling, makasih banyak ya." Tampaknya Silvanna tidak bisa berkata banyak di depan Ling.

Tanpa dijawab oleh kata, Ling langsung mengusap rambut Silvanna. "Udah kewajiban aku, Sil."

Air mata Silvanna kembali berontak di balik pelupuk matanya kala menatap sepasang iris sipit milik mantan kekasihnya itu. Silvanna hanya terisak rendah sambil mengusap air matanya.

Begitupun Ling yang tak mau ada air mata yang menodai pipi mantan kekasihnya itu. Ia lekas mengusapnya. "Kamu udah baik-baik aja. Nggak usah takut lagi, ya. Aku di sini."

Silvanna mengangguk lemah ketika Ling mengusap pipinya. Telapak tangannya terasa dingin, berbeda dengan suhu tubuh Silvanna yang lebih tinggi.

"Kamu akan cepet pulih, kok. Nanti, aku juga bakal temenin kamu ke psikolog."

"Psikolog?" tanya Silvanna heran.

"Kamu lagi ngadepin hal yang berat, Silvanna. Aku tau itu. Nggak ada salahnya kita minta bantuan ke ahlinya biar hati dan jiwa kamu kembali tenang," kata Ling yang hanya dijawab diam oleh Silvanna.

"Kamu istirahat lagi, ya," kata Ling lembut.

"Kamu tidur di mana?"

"Aku pulang ke apartemen dulu. Pagi-pagi, aku ke sini lagi." Ling mengusap kembali rambut Silvanna sebelum mengecup keningnya.

***

"Tuhan, terima kasih atas jalan terbaik yang Engkau tunjukkan untukku. Aku kini tersadar, hidup harus berlanjut. Kau memberikanku seseorang yang tak ingin melihat kumenangis, aku sakit. Bahkan dia rela mengalah untuk memberikanku kesempatan mencari kebahagiaan lain. Dia sosok penunjuk jalan yang Engkau kirimkan kala aku tersesat. Bahkan ketika ku hampir terjatuh ke portal dimensi lain, dia yang menarikku, merangkulku untuk tetap hidup dan berserah pada takdirMu. Terima kasih, Tuhan. Perlahan, kini aku bisa memaknai semua takdirMu."

Silvanna meletakkan spidol berwarna biru di atas kertas putih tampatnya mencurahkan isi hatinya.

Di seberang kursinya, duduk seorang wanita yang tersenyum amat lega untuk Silvanna. "Sudah menulisnya?" tanya seseorang berbaju serba putih itu.

Silvanna mengangguk, lalu menyerahkan kertas beserta spidol itu pada lawan bicaranya.

"Sekarang bagaimana perasaan kamu setelah menulis rasa syukur kamu?" tanya perempuan itu. Seorang psikolog yang dipilihkan Ling untuk memulihkan kondisi batin Silvanna.

"Perasaan saya jauh lebih lega, Dok," sahut Silvanna. "Terima kasih banyak."

"Kuncinya, bersyukurlah dengan apa yang kamu punya sekarang. Cintai apa dan siapa yang mencintai kamu secara nyata saat ini. Dengan begitu, kamu bisa merasakan kebahagiaan yang begitu luar biasa."

"Baiklah, Dok. Saya akan lebih banyak bersyukur dan berpikir positive mulai sekarang. Terima kasih atas bimbingannya. Jangan bosan untuk menerima konsultasi saya ya, Dok," kata Silvanna.

"Itu sudah tugasku sebagai Psikolog, Nona. Selamat beristirahat."

Bertepatan dengan dua perempuan itu berpamitan satu sama lain, Ling datang dari arah belakang Silvanna untuk menjemputnya. Seperti yang sering dilihat di layar kaca, Ling selalu menorehkan keceriaannya.

"Udah selesai?" tanya Ling.

Silvanna mengangguk. "Aku lebih lega sekarang."

"Syukurlah," sahut Ling. "Yuk!"

"Tuan Ling," panggil sang psikolog membuat Ling berbalik arah. Sementara Silvanna melanjutkan perjalanannya. "Jangan biarkan Silvanna sendiri."

Pesan dari sang psikolog diangguk setuju oleh Ling. Seulas senyum ditorehkannya sebelum dia benar-benar pamit.

***

Kejutan kerap kali hadir di dunia. Bentuknya, tergantung Sang Maha Kuasa. Begitupun dengan aku sekarang. Kejutan yang bertubi-tubi menghampiriku. Kepergian Valentina, orang terdekatku yang cukup menyesakkan, namun melegakan perasaanku karena terbebas dari semua paksaannya. Meninggalkan Ling dan memilih Granger, pria yang benar-benar aku cintai, meski pada akhirnya aku harus berjuang menghadapi fakta kalau aku dan dia tidak akan pernah bersama. Kemudian Ling, dia memilih tetap bersamaku meski kudengar dari Leomord kalau dia sudah memiliki kekasih lagi.

Seperti saat ini, aku makan malam bersama kekasih orang lain. Bisa dibilang, aku lebih diprioritaskan kali ini. Dia menemaniku check up ke rumah sakit, bertemu psikolog, serta menemaniku membeli beberapa kebutuhanku.

Ada yang mengganjal hatiku sekarang. Entah terlalu khawatir bila pacarnya akan melabrakku, atau aku takut ditinggal sendirian. Dua perasaan yang bertolak belakang, namun aku tidak bisa memastikan mana yang aku rasakan saat ini.

"Beef steaknya mau ditambah lagi?" tanya Ling menawarkan potongan terakhir steak yang masih di atas piring.

"Nggak untuk sekarang. Makananku juga belum habis," jawab Silvanna sambil menunjukkan piringnya.

"Disimpan saja, barangkali kamu mau makan nanti malam."

"Aku nggak pernah makan lebih dari jam sebelas, Ling," sahut Silvanna.

"Kamu masih sama kayak dulu berarti."

"Kamu pikir kebiasaanku berubah?" tanya Silvanna keki.

"Barangkali."

"Habisin makanannya, kasihan pacarmu nunggu kabar darimu."

Ling hanya tersenyum miring. Karina udah ngerti posisiku."

Bukan kebohongan kalau hati Silvanna mendadak mencelos. Menyebutkan nama perempuan lain di depannya membuat selera makannya hilang seketika.

Tapi dia tahu diri, dia bukan siapa-siapa lagi buat Ling.

"Cepetan, cewek nggak suka nunggu."

"Kamu ngusir aku?"

"Bukan gitu. Aku ngerti perasaan pacar kamu gimana. Nunggu kabar tuh nggak enak tau!" Silvanna merasa sebal. Namun, Ling mengartikan lain dari sikap Silvanna.

"Oke, aku pulang sekarang. Tapi, besok aku ke sini lagi."

"Terserah," kata Silvanna keki.

"Bye," pamit Ling setelah mengacak rambut Silvanna.

Silvanna membiarkan Ling menutup pintu apartemen. Sementara dia harus membereskan bekas makan mereka berdua. Mungkin sudah saatnya Silvanna menata kembali hatinya.

Sementara itu, di lorong apartemen, Ling teringat satu kalimat yang masih mengganjal di otaknya. "Jangan tinggalkan Silvanna sendirian."

Bukan hanya itu, pertimbangan dari berbagai perasaan yang berkecamuk di hatinya memberatkan hatinya untuk Silvanna. Ling lekas mengambil ponselnya untuk mengetikkan suatu pesan. Setelahnya ia berbalik dan kembali ke sebuah unit milik Silvanna.

Keheranan dengan bell apartemen yang kian berdering, Silvanna buru-buru mencuci tangannya selepas membersihkan meja. Perasaan, Melissa izin mau menginap di rumah temennya. Masa dia pulang secepat ini.

Baru saja membuka pintu, Ling langsung mendorong Silvanna masuk dan lekas mengunci pintunya.

"Ada yang ketinggalan?" tanya Silvanna dengan polosnya.

"Iya," sahut Ling. Dia menarik Silvanna lalu mendorongnya hingga merapat ke tembok. "Perasaan aku ke kamu. Masih tertinggal di sini." Ling mengarahkan tangan Silvanna yang dicengkramnya untuk menyentuh dadanya yang berdegup.

Silvanna terbelalak ketika merasakan detak jantung Ling yang di luar batas kecepatan normal. Ia menatap mata pria itu. "T-tapi pacarmu?"

"Aku udah nggak ada apa-apa sama Karina."

Entah kenapa Silvanna merasa lega. "Ling, apa kamu nggak benci sama aku? Aku pernah khianatin kamu, aku pernah...."

Satu jari Ling menempel di depan bibir Silvanna. "Sttt... itu udah berlalu. Kalo aku benci sama kamu, ngapain aku di sini?"

Belum pernah Silvanna merasakan selemah ini di depan Ling.

"Aku berjanji, aku nggak akan ngelepas kamu lagi," kata Ling sebelum bibirnya memagut Silvanna.

Silvanna terpejam, menikmati tiap pagutan Ling yang kian dalam. Tanpa ragu dia membalasnya. Belum pernah ia membalas pagutan Ling sebahagia ini. Bahkan ia tak menolak ketika Ling membawanya tidur, membiarkan Ling menyapa tiap inci kulit tubuhnya, merasakan degup jantungnya, hingga terlena pada kehangatan yang akan mereka rasakan tak lama kemudian.

Kedewasaan menyadarkan mereka jika suatu hubungan akan terasa lebih aman jika mereka saling memiliki. Saling memiliki pada satu ikatan kuat, ikatan suci, yang tak bisa ditentang oleh orang lain. Dan keduanya sepakat mewujudkan itu tak lama dari hari ini.

*** End ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top