Chapter 05
Untuk yang baca chapter ini, mohon tahan iman~
Kalo nggak kuat tinggalin aja.
Adegan berbahaya yang hanya dilakukan orang berpengalaman.
Purnama yang ditunggu sekian lama akan datang malam ini. Beberapa jam ke depan, Hellbringer akan merasakan transformasi menjadi manusia meskipun durasinya kurang dari 12 jam saja.
Hellbringer memastikan kalau malam ini tidak akan dilewatinya begitu saja. Begitu juga dengan pertemuan dengan gadis bangsa manusia yang telah dibuat penasaran setengah mati olehnya. Seperti yang diminta gadis itu pada malam-malam sebelumnya, Granger, wujud manusia Hellbringer, akan menemuinya dan bertanggung jawab atas semua sarannya.
Mengubah diri menjadi manusia setelah bulan tampak bulat sempurna. Luka-luka di wajah kanannya tersamar oleh wajah tegas manusianya yang terlihat sempurna. Postur tubuh yang tegap dan berotot membuatnya tak pernah dicurigai kalau dirinya tidak lagi diakui sebagai manusia.
Hellbringer mengikuti langkah kakinya yang menuntunnya ke suatu tempat. Kemarin dan beberapa malam belakangan ini ia sempat ke tempat itu untuk memantau manusia pilihannya.
Sementara itu, di lokasi show Silvanna di sebuah butik mewah, Silvanna duduk di belakang panggung. Ia melepas high heels lima belas sentinya karena kakinya sudah mengeluh sesak.
Berjalan dan bergaya di catwalk dengan sepatu itu membuat sepasang kaki jenjangnya terasa mau patah. Namun ia harus profesional, kontrak kerja yang sudah disetujuinya harus dijalankannya sepenuh hati demi kepuasan brand yang mempercayainya menjadi brand ambassador.
Valentina datang membawa serta obat anti sakit dan krim kaki untuk mentreatment Silvanna agar kakinya baik-baik saja. Sebenarnya managernya ini begitu telaten dalam mengurus artisnya, apalagi untuk artis kelas atas seperti Silvanna yang punya jadwal super padat.
"Ling mau ke sini dulu katanya. Tadi Leomord telepon aku," tutur Valentina sambil mengoleskan krim kaki ke kaki jenjang nan mulus itu. Tak ada satupun bekas luka di sana.
"Bukannya dia harus ke luar kota, ya? Mau syuting iklan katanya."
"Apa salahnya kalo dia mau pamit ke kamu dulu," Valentina sempat mengerlingkan matanya sebelum duduk di kursi kosong samping Silvanna.
"Ling udah telepon aku duluan," kata Silvanna. "Cuma terserah aja kalo dia mau ke sini dulu."
Valentina menemukan topik pembicaraan lain. "Tadi pas di catwalk, kamu keliatan agak berisi, ya. Keliatan dari lengan kamu, sih. Apalagi, ukuran baju yang biasanya kamu pake udah mulai nggak muat." Valentina berkata jujur tentang apa yang dilihatnya beberapa waktu ini.
"Sudahlah Valentina. Aku nggak mau maksa lagi buat bikin badan aku kurus. Segini aja udah proporsional menurut aku. Lagi pula, sampai saat ini belum ada brand baju yang komplen soal modelnya, kan?"
"Iya juga, sih. Cuma bisa lebih baik lagi kalo kamu kurusin badan kamu dikit lagi," usul Valentina.
"Cukup, ya. Aku nggak mau nurutin kamu lagi kalau soal ini. Aku udah nyaman sama diri aku yang sekarang. Jadi, tolong jangan paksa aku lagi soal penampilan yang belum berlebihan ini!" tegas Silvanna beranjak dari belakang panggung. Ia keluar venue pementasan untuk mendapatkan udara segar malam hari.
Ternyata Valentina mengejarnya. Kali ini mereka kembali berada di satu tempat yang sama. Silvanna agak risih dengan perlakuan Valentina yang terus mengendalikan kehidupan nyatanya seperti ini.
"Apa kamu nggak berpikir kalo perubahan tubuh kamu juga bakal berpengaruh ke beberapa hal lain?" ucap Valentina dari belakang Silvanna yang tengah bersandar di sebuah pohon.
Bukan tidak mendengarnya, Silvanna hanya malas menggubris.
"Pertama, tawaran produser buat film-film kamu karena mereka ngeliat kamu almost perfect kalo di depan kamera. Dengan perubahan postur kamu kayak gini, kemungkinan besar mereka jadi mikir dua kali buat percayain kamu main film mereka lagi!" jelas Valentina.
Silvanna hanya mendengarkan.
"Kedua, kalau kamu masih membiarkan hal ini, kemungkinan terburuknya adalah para brand yang udah pilih kamu jadi brand ambassador, terpaksa ngebatalin kontrak kerja kita." Valentina mendekat ke arah belakang telinga Silvanna. "Paling parah adalah, apakah nanti Ling masih tertarik sama kamu?" bisik Valentina licik. Ia mengeluarkan senyum iblisnya.
Silvanna sontak berbalik, berhadapan dengan Valentina dengan perasaan yang meledak-ledak. "Kalo aku nggak takut atau nggak peduli, gimana?" tanya Silvanna. Dia mulai berani melawan.
"Baiklah, karir kamu akan dipertanyakan nanti," Valentina masih punya senjata yang paling ditakuti Silvanna. Yaitu karir cemerlangnya yang redup dalam sekejap. "Kalo aku terserah. Aku tinggal cari artis lain yang mau aku manage. Belum lagi, aku pegang kartu as kamu. Siap-siap aja media tau kalau kamu pacaran dengan Ling hanya buat popularitas."
Silvanna menghentakkan kaki. Begitu licik managernya ini.
Sepeninggal Valentina, Silvanna bersandar ke pohon di dekatnya. Tubuhnya seakan kehilangan topangan. Ia tak peduli dengan pakaian yang masih dikenakannya. Gaun panjang tanpa lengan yang menjadi look-nya ketika bergaya di atas catwalk.
Tak jauh dari tempatnya, sesosok pria bertubuh tegap dengan pakaian kasualnya menghampiri Silvanna.
"Halo,"
Dalam ketidaksemangatannya, Silvanna seakan menemukan sumber udara baru. Pria berparas tegas itu kembali lagi. Entah dari mana pria itu tau keberadaannya.
"Hai!" sambut Silvanna menegakkan kembali punggungnya. Seperti sedang bertemu para fansnya, Silvanna mampu mengubah bad mood-nya menjadi wajah penyambutan yang begitu ramah. "Kamu tau aku di sini?" tanya Silvanna.
"Aku baca di billboard depan. Ada kamu di sini," jawab Hellbringer. "Gimana? Urusan kamu udah selesai?"
Silvanna menunduk, beberapa detik kemudian ia menggeleng. "Dan kamu harus bertanggung jawab!" Silvanna menatapnya tajam.
"Apa?" Granger kebingungan.
"Semua saran darimu sudah kulakukan. Tapi, aku belum berhasil mencintai Ling sampai detik ini."
"Tenanglah, semuanya butuh proses," sahut Granger.
Perkataannya hanya disahut belaian angin malam di sekitar lehernya. Ia menatap Silvanna yang lagi-lagi menunduk. Ia tahu, gadis ini pasti sedang memikirkan sesuatu.
"Apa kamu sibuk malam ini?"
"Tidak, aku ada waktu luang malam ini. Ling ke luar kota, dan aku lagi males bareng Valentina."
"Oke, jadi aku lagi yang nganter kamu pulang malam ini?" tanya Granger.
"Kalo kamu keberatan sih nggak usah," kata Silvanna. "Tapi ada yang mau aku obrolin ke kamu."
"Baiklah, kalau begitu jangan langsung pulang,"
"Tapi aku nggak ada ide kita mau ke mana," kata Silvanna kemudian.
Terdengar helaan napas kecil dari Granger. "Kamu tenang aja, aku bakal bawa kamu ke tempat yang paling berkesan."
Terdengar begitu menarik bagi Silvanna. Ia bergegas pamit untuk mengganti pakaiannya dulu. Granger dilarangnya untuk ikut karena bakal banyak media yang akan mempertanyakan perihal 'siapa dia'.
***
Dalam pakaian kasual beserta perlengkapan penyamarannya, Silvanna berjalan berdampingan dengan Granger. Sesekali, pria itu menuntun Silvanna untuk menyebrang jalan. Tak hanya ketika menyeberang jalan, tangan keduanya terikat sepanjang jalan yang mereka tempuh dengan berjalan kaki.
Sampai saat ini Silvanna belum dapat bocoran perihal tujuan perjalanan mereka.
"Sebenernya kita mau ke mana, sih?" tanya Silvanna begitu duduk di kursi trotoar yang cukup luas.
Granger duduk di sebelahnya. "Sebelumnya, apa yang harus aku pertanggungjawabkan dulu?"
"Soal saran-saranmu saat kita pertama ketemu," sambar Silvanna. "Kamu bilang, aku harus cari sesuatu yang bisa buat aku jatuh cinta pada Ling. Tapi sampai saat ini, aku belum menemukan sesuatu yang bisa bikin aku jatuh cinta."
"Mungkin usahamu belum keras," kata Granger. Ia langsung menerima sambaran tangan dari Silvanna.
"Beberapa momen aku coba untuk mencarinya. Bahkan ketika kami melakukan adegan pernikahan untuk film kami. Harusnya itu jadi momen yang sempurna buat aku menemukannya. Tapi, tetap saja belum berhasil," jelas Silvanna. "Termasuk saat aku tidur sama dia. Nggak ada rasa apapun setelahnya."
"Lalu, kenapa kamu masih mau bertahan dengan situasi ini?" tanya Granger membalas tatapan Silvanna yang bersembunyi di balik kacamata bening.
"Ninggalin Ling sama aja jerumusin karir aku sendiri, Gran. Aku belum siap."
"Selain itu, ada lagi yang bikin kamu bertahan?"
Silvanna menghela napasnya. "Aku menghargai perasaan Ling. Dia benar-benar mencintai aku. Udah berbagai cara dia lakukan buat buktiin rasa cintanya ke aku." Silvanna mengacak rambutnya sendiri. "Orang bodoh mana yang nggak menyukai Ling? Apa itu cuma aku?" kutuknya pada diri sendiri.
"Lalu, bagaimana soal managermu? Apa dia masih memaksamu seenak hatinya?"
"Semakin menjadi, Gran," mata bening itu berkaca-kaca ketika menatapnya. "Aku bener-bener berada di jalan buntu sekarang. Aku juga bingung mana yang mau aku korbanin saat ini. Apa karir aku? Atau perasaan aku? Aku nggak siap kehilangan keduanya, Gran." Ini saatnya untuk Silvanna meminjam bahu Granger. Daripada ia menangis tanpa ada sandaran.
Untungnya, Granger bersedia meminjamkan bahu, bahkan dadanya untuk menampung air mata kesedihan Silvanna.
"Valentina semakin semena-mena sama aku, Gran. Dia terus maksa aku buat jadi apa yang dia mau," adu Silvanna dalam isak. "Aku cuma mau bebas, Gran. Bebas dari tekanan ini, bebas dari Valentina, dan bebas mencintai orang lain selain Ling." Silvanna semakin erat memeluk Granger di saat tangisnya semakin menjadi.
Sangat jelas terlihat kalau Silvanna tidak punya seseorang yang bisa diajaknya berbincang sangat dalam.
Granger mengusap rambut hingga punggung gadis itu hingga merasa tenang.
Mencurahkan semua isi hatinya ke pria berparas tegas ini membuat Silvanna sedikit lega. Pasalnya, apa yang barusan dikatakannya adalah suara hatinya yang sengaja dibekap untuk waktu yang cukup lama.
"Kamu udah tenang?" tanya Granger ketika Silvanna hendak bangkit dari pelukannya.
"Sedikit tenang, tapi belum bebas."
Granger menuntun jemarinya untuk menyentuh dagu gadis itu. Diarahkan pandangan Silvanna untuk menatapnya?
"Dengan sedikit berani, kamu bisa bebas seperti apa yang kamu inginkan," ujar Granger sambil menatap gadis itu dalam-dalam.
Ketika bertatapan begitu lama dan dalam, Granger mengantarkan sebuah energi ke mata Silvanna. Energi yang hanya dia yang tahu untuk apa. Yang jelas, ketika energi itu tak terlihat lagi, Silvanna seperti tunduk kepadanya.
"Kamu ingin bebas, kan?"
Silvanna mengangguk, seperti terhipnotis tatapan Granger yang meluluhkan hatinya.
***
Telapak tangan kanan Granger mengadah, meminta Silvanna untuk menerimanya. Kala gadis itu menangkupkan telapak tangannya di atas, Granger lekas mengunci jemari mereka agar genggaman itu tak terlepas begitu saja.
Entah hanya perasaan atau bagaimana, Silvanna merasa kaki jenjangnya mulai meninggalkan permukaan tanah. Ia melayang, benar-benar seperti burung yang baru meninggalkan ranting pohon yang dihinggapinya.
Silvanna menatap ke atas, ada Granger dengan dua sayap yang mengepak sempurna di punggungnya. Tangan pria itu menggenggam tangannya kuat-kuat. Rasa tak percaya mengikis perasaan Silvanna kali ini. Namun, tak bisa dipungkiri kalau kini ia merasa tubuhnya seringan kapas.
Sang bintang film itu mulai percaya kalau ini benar-benar nyata ketika angin-angin malam dengan usilnya mengusik rambut Silvanna hingga berkibar bak gorden-gorden tipis di kamarnya. Ia kembali menatap Granger takjub. Sebenarnya, siapa pria misterius ini?
"Who are you, Granger?" tanya Silvanna bersamaan dengan air mata yang menggenang.
Granger mengangkat Silvanna lalu meraih lututnya agar Silvanna tenang di topangan kedua tangan kekar pria itu.
Kini Silvanna hanya bisa melihat ke arahnya, tepatnya ke arah wajah tegas Granger yang memiliki karisma tersendiri di mata Silvanna. Agar lebih kuat, kedua tangan Silvanna melingkar mengelilingi leher pria itu.
"Kamu nggak perlu tau siapa aku, Sil. Kamu cukup merasakan keberadaanku, menjadi tempat curhatmu, dan memperhatikanmu dari jauh," sahut Granger kemudian.
Seulas senyum terukir di bibir ranum bintang film muda itu. Terdengar singkat dan sederhana, namun kalimat barusan memiliki makna yang tersirat. Makna yang selama ini Silvanna cari, yakni ketenangan.
"Sekarang, anggap saja kamu sedang main paralayang, di mana aku menjadi coach-nya," ucap Granger.
Tepat di hadapan bulan yang tampak bulat sempurna, Silvanna diturunkannya.
Silvanna sedikit ragu karena ia tidak memiliki sayap seperti halnya Granger. "Aku takut, Granger," kata Silvanna panik ketika ia turun dari topangan tangannya.
"Kamu aman, Silva. Aku di sini," kata Granger meyakinkan kalau Silvanna bisa melakukan apa yang pria itu lakukan.
Jauh di luar ekspektasi, Silvanna benar-benar bisa melayang. Tanpa sayap, bahkan hanya dengan genggaman tangan Granger. Tak percaya, Silvanna menengok ke bawah. Ia benar-benar berada di atas gemerlapnya kota yang terlihat bagai bintang dari atas sana. Setelahnya, ia menatap Granger haru.
"Ini kan yang kamu mau? Sejenak bebas dari tekanan yang selama ini membebanimu?" tanya Granger pada Silvanna yang tampaknya sedang menikmati pemandangan di atas sana.
"Ini lebih dari sekedar apa yang aku harapkan, Gran," sahut Silvanna seiring tubuh mereka berusaha berdamai dengan angin yang terus menggoyahkan tubuh keduanya. "Sebenarnya kamu siapa, Gran?"
"Teriakan saja beban yang sekarang mengganggu pikiranmu!" usul Granger.
"Aku boleh teriak?" kata Silvanna.
"Itu tujuanku membawa kamu ke sini," sahut Granger yang seakan mengerti keinginan Silvanna. "Teriaklah sesuka hatimu. Sampai kamu tenan," lanjut pria berparas tegas itu. "Kamu boleh teriak ke arah kota yang penuh kebohongan ini, atau ke arah bulan yang udah nggak sabar dengar keluh kesahmu." Granger menunjuk dua objek kalimatnya secara bergantian.
Silvanna menengok ke bawah. Menarik napas sebentar sebelum mengeluarkan unek-unek hatinya. "Aku benci drama ini! Enyahlah kau dari hidup aku, Valentina!" jerit Silvanna kencang dari atas udara. "Damn you, Valentina!"
Setelah meneriakkan itu, Silvanna merasa jauh lebih lega. Ia merasakan bebas yang dicita-citakannya selama ini. Setelahnya, ia menengok ke samping, menemukan Granger yang masih senantiasa membawanya terbang. Ia semakin erat menggenggam tangan pria misterius itu.
***
Setelah meneriakkan semua gundah gulananya, Silvanna seperti menjadi pribadi yang baru. Hatinya kini merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia menatap Granger. "Aku lebih tenang, Gran!" sahutnya ceria.
Granger hanya tersenyum sambil mengelus punggung kedua tangan Silvanna dengan kedua ibu jarinya. "Itu yang aku harapkan, Sil." Tubuh Granger merapat, memperpendek jaraknya dengan gadis cantik ini. Lagi-lagi, pria itu mengelus pipi gadis itu yang memang terawat. Hanya saja terlihat kemerahan karena habis menangis.
Seperti anak kucing yang sedang dielus, Silvanna memejamkan matanya nyaman. Kelembutan elusan itu sama lembutnya dengan semilir angin yang menyapa kulit luar tubuhnya.
Granger mulai menunduk, menyempitkan ruang udara untuk menyusup di antara mereka. Tak peduli ada di mana. Tak peduli ia masih melayang bersama gadis itu bersama dengan sayapnya yang mengepak, Granger mengecup bibir sang bintang cantik itu.
Di hadapan bulan purnama malam itu, Granger menunaikan ciumannya yang sempat tertunda beberapa waktu lalu. Kini ia benar-benar mengecap bibir manis gadis cantik ini.
Tidak ada penolakan apapun dari Silvanna. Ia malah mengimbangi lumatan yang diberikan pria misterius ini. Sejujurnya, ciuman Granger terkesan lebih lembut dan halus dibandingkan dengan ciuman Ling yang terkesan penuh nafsu. Meski baru pertama berciuman dengan Granger, Silvanna yakin momen ini akan berkesan dalam hidupnya.
Tanpa diduga, ciuman itu semakin dalam. Terlihat dari posisi keduanya yang seakan tanpa jarak. Apalagi, Granger dengan gemasnya memainkan tangannya di tengkuk gadis itu.
Penuh penerimaan, Silvanna memberikan sedikit sentuhan di leher Granger sebagai pelengkap permainan lidah mereka di satu peraduan. Rasa hangat mulai menjalar ke seluruh tubuh Silvanna. Terasa sangat kontras dengan sebelumnya. Ternyata, sayap besar berwarna ungu milik Granger merangkulnya, memberikannya perlindungan dari angin malam yang terkenal kejam. Di dalam naungan kedua sayap berbulu halus itu, mereka belum mau mengakhiri peraduan lidah keduanya.
***
Granger menggendong Silvanna ala bridal ketika hinggap di balkon apartemen. Dalam sekejap, sayap Granger hilang entah kemana. Silvanna turun ke permukaan lantai dengan tenang. Pengalamannya malam ini benar-benar tidak boleh dilupakannya.
"Aku harus pergi," kata Granger setelah melepaskan Silvanna.
Gadis itu menggeleng. "Bisa kalo nanti aja? Aku mau kamu tetep di sini," pintanya. "Sebentar lagi." Silvanna menatapnya tidak rela.
"Kamu harus tidur."
Silvanna maju untuk mendekat. "Aku belum berterima kasih padamu," bisik Silvanna yang membuat bulu leher Granger berdiri. Tanpa menunggu lama, Silvanna menariknya masuk ke apartemennya.
Silvanna lekas berdiri tegak di depan Granger. Jemarinya mengelus bahu hingga dada bidangnya. Setelah itu, tangannya naik untuk menarik Granger kembali ke ciumannya. Aktivitas mereka di depan bulan beberapa saat yang lalu terulang lagi di sini. Bedanya, mereka kini tidak canggung seperti sebelumnya. Aura panas mulai menguar ke seluruh ruangan ber-AC ini.
"Jangan mengusik macan yang mengantuk, Silva!" sahut Granger diiringi senyum miring dari Silvanna ketika ciuman mereka terlepas seketika.
Tatapan dan senyuman nakal gadis itu diartikan Granger sebagai penyambutan atas kehadirannya untuk bertindak lebih lagi. Kali ini Granger tak main-main, direngkuhnya tubuh Silvanna, diajaknya berputar selama belum menemukan tempat ternyaman untuk bersandar.
Menemukan tempat terbaik, Granger mendorong Silvanna hingga terbaring di tempat tidur. Sepersekian detik setelahnya, Granger menindih gadis itu. Tubuh kekar Granger berhasil menenggelamkan tubuh Silvanna. Tanpa ampun, pemuda itu melahap habis bibir perempuan yang menemaninya malam ini. Ia tak peduli dengan remasan lembut di sekitar punggungnya.
Tangannya tidak tinggal diam, ia melepas butir demi butir kancing kemeja yang membungkus tubuh molek Silvanna saat ini. Menemukan mainan baru, Granger membenamkan wajahnya di sana, sambil terus mengoyak salah satunya dengan kelima jemari nakalnya.
Nafsu keduanya sudah tak terbendung. Bahkan desahan halus mulai muncul dari bibir manis Silvanna. Tanpa sadar ia sudah mengkhianati pacarnya malam ini.
"Bisa-bisanya aku mau diperlakukan seperti ini oleh pria yang baru kutemui dua kali, aahh," Silvanna mendadak mendesah ketika salah satu area sensitifnya terisap. Tanpa sadar, Silvanna merasakan udara menyisip di area perut bawahnya. Ketika kepalanya mendongak untuk mengecek, sudah tak ada sehelai benang pun yang menyekat antara tubuhnya dengan pria itu.
"Oohhh~," desah Silvanna lagi ketika area intimnya terjamah. Seiring pahanya yang melebar, Granger naik untuk menatap mata Silvanna lagi.
"Sekarang, rasakan akibat dari kemarahan macan yang kau usik," kata Granger setengah berbisik di depan wajah Silvanna yang terbaring di bawahnya.
Tiga serangan dirasakan Silvanna dalam waktu yang bersamaan. Genggaman tangan Granger yang menahan tangannya untuk bergerak, isapan kuat di lehernya, serta desakkan sesuatu di bawah sana yang membuatnya mengerang sambil menggigit bibirnya.
"Oh my Goddes! Ahh~," Silvanna menganga kala sesuatu menyeruak masuk di area intimnya. Terasa perih dan sesak. Sama seperti ketika Ling pertama kali mengambil kesuciannya.
Area-area sensitif gadis itu terusik, membuahkan sebuah hormon yang harus segera dituntaskan. Ciuman Granger tanpa henti menghujani tiap lekuk leher dan wajah Silvanna sebelum benar-benar berakhir di bibir rekahnya.
Meski tak terdengar desah, gerakan tubuhnya yang terus menggeliat menandakan bahwa Silvanna begitu menikmati permainan pria misterius ini. Entah berapa sport remasan yang dibuat Silvanna di atas seprei putih tulang itu.
"Ooohh, Granger!" ucapnya halus sambil mengelus dada bidang hingga lengan berotot pria ini. Ketika wajahnya bebas dari gangguan pria ini, Silvanna membuka matanya, menemukan pria berbadan kekar ini tengah menikmati sesuatu.
Matanya menangkap perut pria itu yang membentuk beberapa kotak, serta lekuk ototnya yang lebih tampak daripada Ling.
"Oh, Shit! You're so sexy Silvanna!" seru Granger dengan suara basahnya. Ia menggenjot sambil mendongak ke atas, membiarkan jemari lentik gadis itu menjamah tubuh berototnya meski sebentar. Sepertinya, menambah tempo dan kecepatan akan terasa lebih nikmat.
"Aaahhh, calm down, Granger," keluh Silvanna ketika merasakan pompaan Granger yang semakin cepat. "Ooohh yeahh." Meski terasa perih, Silvanna menikmatinya.
Granger kembali menghadapkan wajahnya di depan wajah Silvanna yang keenakan. "Ingatlah, gadis cantik. Kau sedang mengkhianati pacarmu malam ini," peringat Granger sambil terus melanjutkan aktivitasnya. Tanpa ragu, hujamannya semakin menjadi, membuat gadis yang ditindihnya tersentak.
"Ooohh, yaaa," desah Silvanna. "A—aku ti—dakk mencintainya, oohhh dear!" Sillvanna kembali dihadiahkan ciuman agresif dari Granger sekaligus menerima tempo yang lebih cepat dari sebelumnya.
Granger tersenyum iblis, membiarkan nafsunya membara saat ini.
Ketika menerima ciuman yang kesekian kalinya dari Granger, ada sesuatu yang hampir sampai di rasakan oleh Silvanna.
"F—faster, Granger. Please, aaahhh ohhh!"
Sesuai permintaan, Granger menambah laju kecepatannya. "Ohh Silvanna, aaaaahhh."
Silvanna mengejang untuk menyambut pelepasannya. Tak dapat dipungkiri bahwa ia telah membawa Granger masuk terlalu dalam. Selain punya cerita terpendamnya, Granger juga sudah melihat isi hati dan tubuh Silvanna. Semuanya.
Belum juga diberi jeda yang cukup, Granger kembali menghantam area itu sehingga ketidak siapan Silvanna berbuah erangan yang terdengar begitu manja di telinga Granger. "Aaaahhh Mmmppphh..."
Sudahlah, Silvanna hanya meminta posisi ini. Dengan begini, Silvanna dengan leluasa menatap mata Granger yang begitu menenangkan baginya. Meskipun bibirnya tidak akan selamat dari sambaran nafsu bibir pria itu. Namun Silvanna menikmatinya, selama itu membuatnya tenang.
"Bagaimana pacarmu mau meninggalkanmu, Silva. Kau pandai dalam urusan ini," suara serak Granger kembali muncul di antara desahan keduanya. "Ooohhh." Granger semakin dalam menusuk dan memompanya dengan irama yang teratur.
"Ooohhh, Gran-nger. More than this, pleas," mohon Silvanna yang seakan jiwa dan raganya sudah terpisah. Ia memejam manja di tengah belaian lembut pria itu, juga ketika tubuhnya menerima rangsangan berupa gerakan-gerakan dalam mengimbangi pompaan Granger di sana.
Begitu Granger akan meledakkan sesuatu, buru-buru Granger menambah tempo permainannya. Sepertinya, tempat Silvanna kali ini lebih bisa dinikmati ketimbang beberapa tempat yang pernah disinggahinya dulu.
"I'm gonna come, Honey!" bisik Granger kembali menggugah nafsu Silvanna.
"Stay there. Ahhh ohhhh." Silvanna masih menikmati tempo permainan pemuda itu. Saat hujamannya semakin menjadi, Silvanna merasakan sesuatu yang hampir sampai, sama seperti beberapa saat yang lalu.
"Ohhh..."
"Grang-nger, Ahhh.... Hmmm.. yess dearrr!" Silvanna menikmati pelepasan keduanya, begitu juga ketika merasakan kehangatan yang dikirim Granger.
Sebagai pelampiasan pelepasannya, Granger mengusik wajah Silvanna lagi dengan ciuman-ciuman tak masuk akalnya.
"Kau gila, Granger. Aku sampai tak bisa mengimbangimu!" protes Silvanna ketika Granger ambruk di belakangnya. Ia merapatkan tangan Granger yang melingkar di tubuhnya. Ya, pria itu memeluknya dari belakang. Bahkan, benda kenyal Silvanna masih dimainkannya saat itu.
"Kamu yang terlalu seksi," balas Granger sebelum mendaratkan kecupan manis di tengkuk Silvanna. "Nggak heran kalau pacar kamu nggak mau kehilangan kamu." Pelukan itu semakin merapat.
"Stay with me, for a while." Silvanna memohon dalam bisikan.
"I Cann't, baby!" sahut Granger mengecewakan.
"Apa kamu udah punya pacar? Atau keluarga?" tanya Silvanna meski ia khawatir pada jawaban 'Iya' dari pemuda ini.
"Tidak!" jawab Granger melegakan hati Silvanna. "Aku hanya merasa, ini bukan tempatku."
Silvanna menghela napas berat sambil meresapi tiap embusan napas dari pemuda itu di lehernya.
"Tidurlah, sudah hampir terang," pinta Granger.
"Enggak, aku masih mau sama kamu."
"Aku temani kamu sampai tertidur, Sillvanna," ucap Granger.
Silvanna mengelus rambut Granger yang masih memeluknya dari belakang. Setelahnya, ia merasakan lagi desakkan dari belakang. Sepertinya, Granger masih ingin lebih.
"Ahhh~"
"Aku janji, Silvanna. Apa yang buat kamu nggak nyaman, akan segera musnah dari sini!" bisik Granger yang entah didengar Silvanna atau tidak karena gadis itu sudah kembali menikmati desakan dan irama keluar masuk benda yang mengoyak tubuhnya dari dalam.
Hal itu berlanjut sebelum hari benar-benar siang. Sebelum Granger kembali ke tempat asalnya. Jangan lupa, Granger harus membuat Silvanna melupakan malam ini.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top