Chapter 9

Selamat datang di chapter 9

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkan yang suka bergentayangan

Thanks

Happy reading everybody

Hope you like and enjoy this story like I love this story

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Bagaimana mungkin dari jarak yang cukup jauh ini dia kembali menginvasi area berpikirku?

Alejandro Rexford
____________________________________________________

Musim dingin
Santander, Madrid, 18 Februari
12.11 p.m.

Aku tidak tahu ini berlebihan atau tidak. Yang pasti, tubuhku tidak bisa bekerja sama dengan otakku untuk mencegah diri sendiri mengendarai Tesla hitamku menuju salah satu toko perhiasan terbaik di Paris yang membuka cabang di Santander.

Orang-orang memang bisa memesannya melalui katalog online di website resminya. Sayangnya, aku bukan jenis manusia yang kuasa menanti. Aku tidak puas kalau tidak melihat koleksi-koleksi mereka secara langsung sambil mengira-ngira manakah di antara yang terbaik itu yang cocok untuk Quorra.

Dan alasanku tidak mengajak Beatrisa dengan alibi makan siang bersama klien khusus, tentu saja karena ini rahasia. Jangan sampai ada seorang pun yang mengetahui tentang betapa tidak berdayanya aku jika menyangkut Quorra. Tidak ada yang boleh melihat sisi lemah memalukan itu.

Tesla hitamku sudah terparkir sempurna di bahu jalan yang khusus disediakan bagi kendaraan roda empat. Angin semilir sejuk pun menerpa wajahku saat tubuhku keluar dari mobil menuju depan toko.

“Selamat datang di Orva la Copen. Ada yang bisa kubantu?” sapa seorang pegawai wanita ramah sembari membukakan pintu untukku.

Sejujurnya, baru pertama kali ini aku singgah di toko seperti ini karena tidak pernah belanja perhiasan—atau yang lainnya, kecuali makan di restoran—untuk wanita yang dekat denganku. Seharusnya Quorra merasa senang dan paling spesial atas apa yang kulakukan ini.

“Aku mencari perhiasan,” jawabku. Dalam hatiku memaki: tentu saja, bodoh! Memangnya kau mau mencari kapal pesiar?

Syukurlah pegawai itu tidak membodoh-bodohkan aku seperti yang pikiranku lakukan.

“Mari ikut denganku. Duduklah sebelah sini. Omong-omong kau mau mencari perhiasan apa?” Wanita itu pun mempersilakan aku duduk di satu set sofa khusus yang kosong. Letaknya agak kiri dari etalase-etalase.

Toko ini ramai, tetapi pelayanannya sangat baik. Pertanda dari datangnya pegawai lain yang memberiku minuman pembuka serta camilan. Sedangkan pegawai tadi memberiku katalog yang memamerkan banyak perhiasan indah rancangan khusus brand mereka.

“Sebenarnya aku tidak tahu. Apa kau bisa membantuku memilihkannya?” tanyaku sembari membolak-balik halaman demi halaman. Semuanya bagus, mungkin juga semuanya cocok dengan Quorra. Kepalaku jadi pusing.

Senyum merekah yang mungkin sudah dilatihnya kini menghiasi wajah pegawai itu. “Dengan senang hati. Oh ya, kau mau beli perhiasan untuk siapa? Ibu, adik, kerabat, pacar, tunangan, atau istri?”

“Pacar,” jawabku lugas. Sekelebat bayangan Quorra menarik sudut-sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman menari-nari dalam benakku dan aku tidak menyukai hal tersebut. Bagaimana mungkin dari jarak yang cukup jauh ini dia kembali menginvasi area berpikirku? Selalu dan selalu. Benar-benar menyebalkan.

“Apa kau mau melamar pacarmu?” tanyanya antusias. Ada harapan begitu besar pada tatapan matanya. “Karena kebetulan kami punya koleksi cincin lamaran baru,” tambahnya. Kemudian menunjukkan halaman bagian cincin.

Gagasan itu memang sangat bagus bagi sebagian banyak orang, tetapi tidak bagiku. Dengan hadirnya Quorra sebagai pacar, aku sudah kerepotan mengendalikan diri seperti ini. Bagaimana jadinya nanti kalau pacarku itu kujadikan istri? Aku yakin bisa mati berdiri karena tidak bisa melepaskan diri dari Quorra.

Di satu sisi, aku membenci bayangan senyuman Quorra yang—seandainya—menerima lamaranku. Senyuman itu pasti begitu indah sampai-sampai aku tidak rela dia membaginya dengan orang lain. Yang mana itu jelas pikiran orang sinting. Bagaimana mungkin seorang pria begitu mengekang seorang wanita? Aku tidak ingin dikekang, jadi aku juga tidak mengekang.

Di sisi lain, aku membenci diriku yang mau-mau saja kerepotan berusaha mengendalikan diri seperti ini demi Quorra seolah dia merupakan oksigen tempatku bergantung hidup.

Lagi pula, kami baru pacaran tiga hari. Tidak mungkin aku akan melamarnya secepat itu. Bisa dipastikan dia akan kesurupan atau mungkin mendiang ayahku akan bangkit dari kubur untuk mencegahku melakukannya.

Kabar baiknya, kami belum terlalu mengenal satu sama lain. Bagaimana kalau ternyata Quorra yang sudah terlanjur kujadikan istri tiba-tiba berubah jadi alien seperti dia mengira aku manusia setengah robot? Itu tidak lucu sama sekali.

Jadi, aku pun menjawab, “Tidak. Hanya hadiah.”

Binar bahagia kembali menghiasi wajah pegawai tersebut sampai-sampai dia menepuk tangan sekali. “Kau sungguh romantis. Kalau begitu kurekomendasikan memberinya sebuah kalung. Apa kau bisa menceritakan bagaimana dia? Karena itu akan sangat berguna untuk pemilihan kalungnya. Bisa dibilang perhiasan haruslah berdasarkan personaliti seseorang.”

Aku memandang satu poros lalu membayangkan Quorra lagi. “Dia cantik. Apa lagi kalau natural. Tapi kalau dibandingkan dengan wanita lain, dia yang paling bersinar. Selain itu dia sangat mandiri, ceria, dan cerdas. Kulitnya pucat, warna matanya turkuois dan rambutnya pirang stroberi.”

Masih dengan ekspresi antusias dan seceria tadi, pegawai itu pun menanggapi, “Kurasa dia cocok memakai kalung yang ini, ini, dan, ini.” Dia menunjukkan foto kalung di halaman khusus dan menjelaskan satu per satu keunggulan masing-masing.

Diriku pun mereka-reka mana dari ketiganya yang cocok hingga mataku tak sengaja bergeser ke manekin dalam kotak kaca yang terletak di tengah ruangan yang memajang kalung berbandul bunga kecil. Dari jauh, desainnya begitu sederhana. Namun sebaliknya, ketika aku melihatnya dari dekat, desain bunga itu sangat rumit. Di antara kelompok-kelopaknya yang terbuat dari emas putih seperti ditaburi ribuan berlian berkilauan.

“Kurasa aku ingin yang ini. Tapi aku ingin taburan berliannya diganti berwarna turkuois. Sama seperti warna mata pacarku.”

Pegawai tersebut mengikuti tatapanku tertuju setelah menjelaskan tentang kalung tersebut. “Oh! Señor ... pilihanmu memang tepat. Kebetulan itu rancangan edisi terbatas dari Orva la Copen. Hanya dijual sepuluh buah di setiap cabang negara. Dan kau harus memesannya lebih dulu.”

Aku menimbang-nimbang keputusan jadi memesan kalung tersebut atau memilih yang lain dan bisa kubawa pulang detik ini juga untuk segera kuberikan pada Quorra. Sayangnya, diriku ragu menemukan yang lebih baik sebab kalung emas putih berbandul bunga kecil bertabur berlian itu seolah memikatku sejak pertama kali aku melihatnya, sama seperti Quorra.

Maka dari itu, aku pun menjawab, “Ya, aku akan membayar yang ini.”

Aku benci mengatakan ini—tetapi, apa yang tidak kulakukan untuk Quorra? Khususnya kalung ini. Sekali-kali bersabar demi yang terbaik, kenapa tidak?

Siang ini aku makan seadanya di restoran cepat saji dan kembali ke kantor untuk buru-buru menemui Quorra. Sayang seribu sayang, kekecewaan harus menghampiriku sebab wanita itu rupanya tidak ada di ballroom. Kata Luzi, Quorra sedang pergi mengecek barang pesanan. Apa boleh buat, aku harus bersabar dan menemuinya kalau dia sudah tidak sibuk.

Tidak seberuntung itu, alam juga tampaknya tidak ingin bekerja sama denganku untuk beberapa waktu karena rupanya selain proyek hotel baruku yang menyita begitu banyak perhatian, Quorra juga tak kalah sibuk. Baru setelah hampir dua pekan berlalu, akhirnya aku bisa menemui Quorra di ballroom Paraíso del Mundo.

Sekali lagi aku mengamatinya dari jarak beberapa kaki padahal seluruh tubuhku berteriak untuk mendekapnya detik ini juga. Sekali lagi aku berjuang mengendalikan diri dari dia yang sedang menata matrioska di meja batu granit lalu mundur beberapa langkah untuk mengamati hasil tatanannya. Dia juga memanggil Luzi untuk meminta saran ketepatan posisi boneka-boneka itu. Sebelum datang menghampiri Quorra, Luzi mendeteksi kehadiranku dengan menunjuk-nunjukku.

Quorra akhirnya menatapku yang berjalan ke arahnya lalu memejam sejenak sambil mengembuskan napas berat. Aku sedikit mengernyit lantaran tak memahami bahasa tubuh kekasihku. Apa itu sesuatu yang lumrah?

Kuabaikan hal tersebut dengan meminta Luzi meninggalkan kami berdua. Agar aku bisa memeluk Quorra dari belakang.

“Alex, aku sedang bekerja. Lagi pula, tidak seharusnya kita seperti ini di tempat kerja,” ucap Quorra. Suaranya terdengar bergetar dan pilu.

“Kalau begitu, aku ingin kau menginap di penthouse-ku malam ini.” Dengan amat terpaksa, aku mengurai tangan-tanganku pasca membubuhkan ciuman di puncak kepalanya.

Tanpa menatapku, Quorra menjawab, “Maaf, aku tidak bisa. Nanti malam aku sudah ada janji menginap di apartemen sahabatku, Zurina Tanis. Kami harus membahas beberapa hal penting karena waktunya mepet.”

Aku mencoba. “Bagaimana kalau akhir pekan?”

“Maaf, Alex. Aku tidak bisa. Aku harus mengunjungi ibuku.”

“Aku akan mengantarmu.”

Quorra kontan menatapaku. “Terima kasih, tapi itu tidak perlu.”

“Kenapa tidak?”

“Aku belum siap mengenalkanmu pada ibuku.”

Setelah mengatakan itu, Quorra kembali bekerja seakan-akan aku tidak ada di sana, terdiam dan berpikir: apa jadinya apabila seseorang terlalu memperhatikan orang lain secara saksama—yang menurutnya—dalam jangka waktu lama? Orang tersebut pasti akan hafal di luar kepala setiap detail objek perhatiannya. Sehingga akan merasakan adanya perbedaan terhadap setiap perubahan walau hanya dalam kapasitas sejumput atau setipis garis cakrawala.

Begitu pula dengan apa yang kutemukan pada dari Quorra Wyatt sekarang.

Cara Quorra menatapku tak lagi sama. Bukan tatapan penuh binar bahagia. Melainkan sebaliknya. Cahaya yang terpancar dari sepasang iris turkuoisnya redup seolah seseorang baru saja mematikan pijarnya.

Cara Quorra berbicara padaku, bukan penuh keceriaan seperti biasanya, melainkan dengan nada rendah dan tidak lagi ada senda gurau yang terselip pada setiap kalimatnya.

Cara Quorra tersenyum padaku, bukan lengkungan garis bibir yang terbentuk alami bin apa adanya, melainkan senyum yang dipaksakan hadir. Seolah-olah ada tangan-tangan tak kasat mata yang menarik sudut-sudut bibirnya sehingga senyum itu tidak sampai ke matanya.

Sesungguhnya apa yang terjadi? Aku sungguh tak mengerti. Apakah sesuatu telah menimpa Quorra dan hal tersebut luput dari perhatianku?

Keanehan itu terjadi hampir sebulan lamanya. Lebih sialnya lagi, aku tak punya waktu untuk terlalu memikirkannya lantaran sibuk mengurusi hotel baruku. Meski hanya melalui pesan, aku masih menyempatkan diri memberitahu soal jadwalku pada Quorra, termasuk keberangkatanku ke Castellón de la Plana hari ini.

Quorra pun membalas pesan tersebut.

Quorra Wyatt:
Bisakah kau ke Delicio di jam makan siang sebelum pergi ke Castellón? Ada yang ingin kubicarkan.

Ketika aku hendak menelepon Quorra untuk menanyakan kenapa tidak makan siang ke penthouse-ku saja sambil mengobrol—setelahnya kami mungkin bisa bercinta untuk mengisi energi kami masing-masing, pihak Orva la Copen meneleponku lebih dulu dan memberitahu soal pengiriman kalung tersebut. Sehingga pikiranku terpusat pada kalung itu.

Ya sudah, aku akan memberikan kalung itu pada Quorra saat menemuinya di Delicio nanti.

Semoga Quorra-ku menyukainya.

___________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

It’s a lot to me

Bonus foto Alejandro Rexford

See you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 18 Juni 202

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top