Chapter 4

Selamat datang di chapter 4

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everybody

Hope you like and enjoy this story as well

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Hal yang termasuk normal, tetapi tetap saja, bersama Alejandro, entah kenapa aku merasa istimewa

—Quorra Wyatt
____________________________________________________

Musim dingin
Santander, Madrid, 21 Januari
17.03 p.m.

“Belum selesai rupanya.”

Dari layar komputer, pandanganku berpindah pada Zurina yang berdiri di ambang pintu sambil bertolak pinggang. Aku pasti terlalu fokus bekerja sampai-sampai tidak menyadari kedatangannya. Omong-omong, fluenya sudah sembuh dua hari lalu. Sehingga secara otomatis sudah kembali bekerja semenjak hari itu.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku, lebih kepada diri sendiri. Selain baru menyadari jingga sudah menyebar di langit dari luar dinding kaca ruanganku yang tidak tertutup vertikal blind, aku juga menyibak pergelangan tangan balzer merahku untuk mengecek jam.

Oh, tidak! Gawat!

“Pukul lima dan orang-orang sudah pulang untuk bersiap-siap, Quorra. Mereka bilang kau masih bertahan di sini, jadi aku harus menyeretmu pulang,” pungkas Zurina, mewakiliku bicara mengenai jam sembari mendekati meja kerjaku dan melongok pekerjaanku di komputer.

Berhubung salah satu proyek kami menggarap galeri seni telah rampung, pihak penyelenggara—sebut saja klien—mengundang kami untuk datang di acara peresmian sekaligus soft opening-nya malam ini. Masalahnya, aku belum bisa pulang karena ....

“Bagaimana bisa aku menyelesaikan ini dalam waktu sempit? Paraíso del Mundo memintaku memeras otak dan aku harus menyerahkannya besok. Sepertinya aku akan bertahan di sini sebentar lagi,” cetusku. Setengah putus asa, juga setengah ingin menangis.

Manusia bernama Alejandro Rexford itu memang benar-benar kejam. Namun, aku tak bisa membantah sebab itu merupakan ulahku sendiri yang telah kurang ajar melontarkan pendapat terlalu berani mengenai ballroom hotel megahnya. Seharusnya aku pasif dan mendengarkan keinginannya saja waktu itu.

Jadi, selama beberapa hari terakhir, aku terus lembur dan bolak-balik ke kantor penthouse Paraíso del Mundo untuk bolak-balik revisi. Alejandro sungguh penyiksa ulung sejati dengan keinginan-keinginannya yang tidak umum alias mustahil.

Pertama, dia menginginkan ballroom-nya dihiasi bunga sakura asli. Maksudku, halo ... apa pria itu waras? Di mana aku bisa mendapatkan sakura asli di musim dingin? Terlebih, di Spanyol? Di Jepang pun, aku yakin seribu persen pasti tidak ada!

Kedua, pria itu ingin sentuhan-sentuhan budaya kental dari berbagai manca negara seperti: wayang kulit dan wayang golek asli dari Indonesia. Dia juga menginginkan matrioska asli dari Rusia, dan masih banyak lagi. Malah kupikir dia pasti akan memintaku memindah piramida ke ballroom hotelnya. Sungguh memusingkan.

Lalu bisa-bisanya dengan antusias tinggi, Zurina menyeletuk, “Lebih tepatnya pria seksi itu, kan?”

Pandanganku pun bergeser ke Zurina lagi. “Pria seksi? Siapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku dan mungkin seluruh wanita di muka bumi atau planet-planet lain juga tahu siapa pria seksi yang dibicarakan Zurina.

Tangan Zurina mengibas di depanku. “Ayolah Quorra! Jangan berlagak tidak tahu. Alejandro Rexford maksudku, memangnya siapa lagi? Memangnya ada pria yang lebih seksi dari dia di Paraíso del Mundo atau seluruh daratan bumi?”

“Oh, kukira siapa,” jawabku pura-pura tidak tertarik dan berusaha menetralkan degub jantungku yang entah kenapa mendadak tidak ramah hanya karena Zurina menyebut nama pria itu. Yang secara tidak langsung membuatku teringat tatapan mata segelap malam milik Alejandro. Tatapan yang seolah-olah memenjarakan, menyita, dan melarangku pergi ke mana-mana selain dalam pelukannya.

Astaga! Rupanya aku sudah gila karena mulai tertular virus pemuja Alejandro.

“Tapi, ambillah sisi baiknya. Kau jadi sering bertemu dengannya, Quorra.”

Aku hanya mengedikkan bahu dengan komentar Zurina yang satu ini. Kendati tidak ingin mengakui, tetapi benar apa yang Zurina katakan. Terlepas dari sifat Alejandro yang kejam, aku rela bolak-balik revisi ke kantor penthouse Paraíso del Mundo demi melihat kerutan-kerutan alis tebal pria itu, atau bagaimana cara bibirnya mencembung yang malah membuatnya semakin menarik.

“Omong-omong, sudah saatnya keluar dari sini, Quorra!” Zurina pun menarik-narik lenganku.

“Tapi, pekerjaanku belum selesai,” bantahku.

“Lalu bagaimana? Kau tidak akan datang? Kau tahu kau harus datang, kan?” hardik Zurina yang sudah berganti acara bergolak pinggang lagi.

Aku pun menjelaskan, “Aku akan datang. Tapi aku akan mengerjakan ini sebentar lagi. Aku janji.”

“Baiklah,” kata Zurina yang akhirnya mengalah dan membiarkan diriku bekerja lagi.

Sayangnya, Zurina sangat baik karena setelah tiga puluh menit meninggalkan ruanganku, dia merecokiku dengan meneleponku setiap waktu untuk memastikan kehadiranku. Aku ingin mematikan ponsel agar fokus bekerja, tetapi memikirkan siapa tahu sewaktu-waktu ada klien atau seseorang yang tergolong amat penting lain menelepon, maka tidak jadi kulakukan. Akhirnya aku menyerah, pulang ke apartemen dan bersiap-siap secara kilat.

Selain mandi kilat, aku juga tidak sempat memilih gaun. Hanya menyambar yang berwarna biru gelap berkilauan. Gaun itu memang memiliki panjang setumit, tetapi belahan depannya mencapai paha. Leher gaun itu memang tinggi, tetapi punggungnya rendah nyaris mencapai pinggang. Aku memadukannya dengan sepatu silver dan tas kecil warna senada sepatuku. Aku bahkan tidak sempat menata rambut. Hanya menyemprot hair spray dan menyugarnya ke sisi kiri sehingga kulit punggungku terekspos lumayan banyak.

Syukurlah, seperempat jam sebelum acara dimulai, taksi sudah mengantarku sampai sana. Setelah menitipkan mantel, sarung tangan, dan menunjukkan eksistensiku ke tuan rumah, aku mengubek tas untuk mencari ponsel yang rupanya tertinggal. Jadi, aku terpaksa mencari keberadaan Zurina. Beruntungnya tidak lama kemudian aku menemukannya bergerombol di dekat meja kudapan bersama orang-orang dari Belleza Pura.

Namun, belum sempat aku memindah bobot tubuh menuju kelompok kecil tersebut, aku dikejutkan oleh seorang pria yang menyapaku, “Señora Wyatt? Tidak saya sangka kita akan bertemu di sini.”

Aku bersumpah jantungku hampir jatuh ke perut hanya karena mendengar kualitas suara pria itu yang berat, dalam dan seksi. Yang secara langsung bisa mendirikan bulu kudukku.

Ketika aku menatapnya, dia mengunciku dengan tatapan penuh intimidasi dan alis tebalnya berkerut seolah-olah aku telah mengusiknya, mengusik ketenangannya. Lalu dengan susah payah, aku mengontrol diri untuk balas menyapa, Señor Rexford? Bagaimana Anda bisa ada di sini?”

“Sederhana. Tuan rumah mengundang saya,” jawabnya sinis. Selalu begitu.

“Tentu saja,” bisikku sambil tersenyum paksa dan merutuki kedunguanku dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Aku baru hendak pamit untuk bergabung dengan teman-temanku karena lama-lama bersama Alejandro bisa membuatku sinting—di satu sisi aku mengaguminya, di sisi yang lain aku tidak menyukai keketusannya. Sayang sekali, kehadiran salah satu pelayan yang membawa senampan minuman terburu meyelaku. Sebab Alejandro menghentikannya dan mengambil segelas untuk diberikan padaku. “Saya lihat Anda belum memegang minuman,” katanya.

Aku pun terpaksa menerima gelas itu sambil menjawab, “Em, ya, saya baru datang, langsung menyapa tuan rumah dan mencari rekan-rekan saya. Jadi, belum sempat mengambilnya. Terima kasih.”

“Begitu rupanya. Lalu, bagaimana perkembangan proyeknya? Apa sudah selesai?”

Hampir saja aku menyemburkan isi gelas yang baru saja kusesap sedikit.

Sudah kuduga Alejandro akan menanyakan ini!

Jadi, aku memberitahunya soal perkembangan proyek tersebut yang belum rampung sepenuhnya karena menghadiri acara yang tidak bisa kutinggalkan ini. Dengan harapan diberikan keringanan. Sekali lagi, sayang seribu sayang, Alejandro tidak sebaik itu.

“Anda harus mengingat proyek itu harus selesai musim semi ini. Jadi, aku punya ide yang lebih baik,” ungkap Alejandro.

Oh, tidak! Jangan katakan dia akan mengubah keinginannya! Tidak lagi!

“Ide apa?” tanyaku mulai waswas.

Peganganku pada gelas sampanye mulai mengetat. Berbanding terbalik dengan Alejandro yang tenang dan dengan santainya berkata, “Saya menawarkan diri untuk membantu Anda menyelesaikannya malam ini. Sehingga besok bisa mengerjakan langkah selanjutnya.”

“A-apa?” Apa aku tidak salah dengar?

“Malam ini, saya akan ikut pulang ke rumah Anda untuk membantu menyelesaikan rancangan proyek itu. Tentu saja kalau kekasih Anda tidak keberatan.”

“Ke-kekasih? Saya sedang tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun.”

Astaga! Apa yang sudah kutakan? Kenapa aku malah berkata jujur?

“Bagus. Saya juga tidak sedang menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Jadi, tidak ada yang akan salah paham kalau saya mengantar dan membantu pekerjaan Anda di rumah.”

Alih-alih berpegang pada prinsip yang diajarkan ibu untuk tidak jatuh cinta, kenapa aku justru terperangkap rasa senang dan mengiyakan kata Alejandro tanpa kompromi?

“Silakan masuk dan duduklah. Buatlah dirimu senyaman mungkin. Aku akan menyalakan pemanasnya,” ujarku setelah sukses membuka pintu apartemenku dan menggantungkan mantelku lalu mantel Alejandro sambil berdebar-debar.

Rupanya, aku memang sudah gila karena menyetujui ide Alejandro. Pasca pembicaraan tersebut, aku menemui Zurina. Sampai puncak acara berlangsung, tiba-tiba Alejandro muncul dan memintaku menunggu di lobi menggunakan bahasa non formal yang baru saja kami sepakati. Secara otomatis membuat Zurina salah paham. Meski pada kenyataannya, aku juga salah paham dengan mengartikan perhatian lebih Alejandro terhadapku sebagai bentuk ketertarikan.

“Sudah kuduga rumahmu bagus,” puji Alejandro.

“Terima kasih,” balasku.

Padahal sudah banyak kerabat, sahabat, atau teman-temanku yang memujinya dan tidak menimbulkan efek apa pun. Aneh saja hanya karena Alejandro si manusia ketus yang mengatakannya, pipiku jadi terasa panas dan membuatku rikuh.

Aku memutuskan mengalihkan perasaan itu dengan membuat cokelat panas untuk kami. “Ini minumlah.”

“Terima kasih,” ucapnya lantas mengambil salah satu mug dan menyesapnya.

Sementara itu, aku pamit menukar gaun ini menjadi baju tebal hangat, membawa laptop dan gulungan-gulungan rancangan-rancanganku sebelumnya yang diminta Alejandro.

Beruntungnya kami pulang lebih cepat dari acara itu sehingga tengah malam sudah bisa menyelesaikan proyeknya. Alejandro berencana menjemputku di akhir pekan karena ingin dilibatkan belanja bahan-bahan untuk renovasi ballroom hotelnya. Hal yang termasuk normal, tetapi tetap saja, bersama Alejandro, entah kenapa aku merasa istimewa.

“Kupikir warna ini lebih—”

“Awas, perhatikan langkahmu!” potong Alejandro yang kemudian menangkap seorang bocah laki-laki yang jatuh akibat tersandung rak sepatu. Beruntungnya tidak roboh. Bocah itu kemudian menangis. Alejandro menenangkannya dengan sabar padahal kusangka dia tidak suka anak kecil. Dan itu membuat hatiku menghangat.

Kupikir, aku sudah jatuh cinta pada Alejandro.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto Quorra Wyatt

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Rabu, 1 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top