Chapter 24
Selamat datang di chapter 24
Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
♥️♥️♥️
___________________________________________________
Hei, siapa yang bisa berharap dengan playboy? Yang benar saja!
—Quorra Wyatt
____________________________________________________
Musim panas
Casares-Costa, 23 September
07.20 a.m.
Terus terang, aku tertegun mendengar jawaban itu. Dari balik kacamata hitam yang masing-masing kami kenakan, aku tidak bisa menembus mata Alejandro Rexford. Sehingga, tidak bisa menyelidiki arti tatapannya. Pria itu pun tak mengizinkanku bertanya lebih lanjut. Karena detik berikutnya genggaman tangannya menariku masuk ke Dinas Sosial di hadapan kami.
Aku kembali tertegun saat Alejandro menyapa beberapa orang yang berpapasan dengan kami seolah-olah sangat mengenal mereka dengan amat baik. Benakku pun tidak bisa berhenti bertanya. Apakah dia sedang menunjukkan padaku bahwa dirinya menjadi donatur di sini selayaknya dia membeli sayap donasi di rumah sakit tempatku bekerja?
“Alex .... Oh! Tuhan! Alex ....” Seruan dari wanita paruh baya memotong pikiranku.
Wanita itu nyaris melompat dari meja resepsionis demi memeluk Alejandro yang sudah melepaskan genggaman tangan kami. Sejenak, aku merasa hampa sekaligus bertambah bingung. Apa hubungan antara wanita itu dengan Alejandro? Apakah kenalannya? Atau, jangan-jangan ibunya? Apabila benar, kenapa mereka tidak ada kemiripan? Ataukah Alejandro sangat mirip ayahnya? Bisa jadi.
“Oh Tuhan! Belakangan ini kau jarang kemari. Kami merindukanmu, Alex,” ucap wanita berseragam Dinas Sosial dalam dekapan Alejandro.
Sedangkan pria itu bertanya, “Begitulah. Akhir-akhir ini aku sibuk. Bagaiman kabarmu, Solina?”
“Aku baik,” jawab wanita berbadan gemuk itu pasca pelukan mereka terlepas. Kemudian melihatku dengan senyum cerah. “Siapa ini, Alex? Kau tidak pernah membawa wanita ke sini sebelumnya. Pasti dia sangat spesial.”
Spesial menjadi kata yang amat membingungkan sekaligus cukup mengejutkan bagiku saat ini. Bila Alejandro adalah pria playboy, kenapa ia tidak mengajak salah satu wanitanya kemari? Benarkah aku begitu spesial? Meski setiap detik rasanya kadar cintaku pada Alejandro bertambah, tetapi aku harus selalu berhati-hati kepada dia, bukan? Aku tidak ingin sakit hati dengan memupuk harapanku pada hubungan kami.
Hei, siapa yang bisa berharap dengan playboy? Yang benar saja!
Aku membiarkan Alejandro merangkulku sambil mengenalkanku dan Solina. “Dia Quorra Wyatt, Solina.” Lalu dia mengenalkan Solina padaku. “Mi, Querido, ini Solina. Dan seperti yang kau lihat, dia resepsionis di sini.”
“Wah, wah, wah, memang pacar rupanya.” Solina tersenyum lebar dengan tatapan jail. Aku ingin protes bahwa hubunganku dengan Alejandro tidak seperti itu lagi. Namun, dia terburu memelukku dan berkata, “Senang bertemu denganmu, Quorra Wyatt.”
“Omong-omong, di mana Sergio?” tanya Alejandro kepada Solina.
Wanita itu menjawab, “Sedang di belakang. Kebetulan dia baru selesai menangani anak-anak. Kalian tunggu saja di sini. Aku akan memanggilnya.”
Alejandro menuntunku duduk di sofa sebelah resepsionis. Dia sudah melepas kacamata hitamnya dan dikaitkan di leher bajunya. Sedangkan kacamata hitamku kujadikan bando. Rasa ingin protes terhadap bentuk hubungan kami berganti menjadi rasa penasaran lagi. Sehingga, aku menuntut penjelasan darinya. “Jadi? Apa kau sedang menerangkan kalau berdonasi di sini? Maka dari itu kau begitu mengenal petugas-petugas di sini?”
Selayang pandang, tatapan Alejandro turun ke meja rendah hadapan kami dan melihatku lagi. Dia sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi terburu disela oleh seorang pria paruh baya yang sama-sama mengenakan seragam seperti Solina. Tebakanku, dia adalah Sergio.
“Hei .... Alex .... Apa kabar?” seru pria paruh baya itu sambil merentangkan tangan lebar-lebar, menyambut Alejandro selayaknya ayah menyambut kepulangan putranya.
Alejandro pun berdiri untuk membalas pelukan hangat tersebut. Dengan kikuk, aku pun turut berdiri.
“Solina bilang kau mengajak pacarmu, Alex.”
Sekali lagi, aku ingin membantah omongan pria itu bahwa kami memang pernah pacaran, tetapi kini tidak. Namun, dengan senyum lebar hangat, dia terburu mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Kami pun berkenalan dan tidak lama kemudian Solina datang bergabung dengan beberapa gelas minuman segar di nampan. Kami pun mengobrol ringan, saling menanyakan kabar satu sama lain.
Di waktu Solina dan Sergio harus melanjutkan pekerjaan mereka, Alejandro menuntutku berdiri. Dia merangkulku menuju koridor depan yang dindingnya terdapat banyak pigura dan pajangan-pajangan lain.
“Kau pasti semakin penasaran. Kenapa aku bisa tahu dan kenal orang-orang yang bekerja di sini,” tebak Alejandro.
Dengkusan pelan keluar dari mulutku. “Ya. Tentu saja.”
“Jawabannya ada di sini.” Alejandro mengambil salah satu pigura yang memajang foto remaja-remaja berseragam Dinas Sosial. Mereka berdiri sejajar. Remaja-remaja laki-laki yang lebih tinggi mengapit di pinggir. Di sebelah petugas-petugas Dinas Sosial. Termasuk Solina dan Sergio. Ada pula foto remaja-remaja perempuan yang duduk di depan barusan remaja-remaja laki-laki. Bila dilihat dari kualitas kamera yang dihasilkan, kelihatannya foto itu diambil sudah lama. Mungkin sekitar beberapa tahun lalu.
Aku terus menelusuri wajah-wajah remaja itu dari kiri ke kanan. Kemudian menemukan wajah remaja laki-laki familier dengan muka masam dengan perawakan lebih kurus dan pendek daripada remaja-remaja di samping kiri dan kanannya.
“Apa ini kau?” tanyaku secara hati-hati. Padahal terkejut luar biasa.
Alejandro merapatkan posisinya yang berdiri tepat di belakangku sampai dada bidang pria itu menempel di punggungku. Menambah pacu detak jantungku. Lebih-lebih, kala dia membalasku sambil menunjuk fotonya. “Ya ini aku. Aku dulu tinggal di sini.”
Bagai disambar petir di siang hari. Kejutan apa ini? Aku pikir, pria itu berasal dari kalangan atas sejak lahir sehingga bisa sukses di usia muda. Televisi pun menggadang-gadang pria itu mewarisi kekayaan keluarganya meski jarang membahasnya. Rupanya, itu hanya spekulasi masyarakat. Alejandro jelas tidak seperti itu.
Ingin sekali aku mengetahui bagaimana dia bisa tinggal di sini. Namun, pastilah itu menyakitkan kalau Alejandro mengingatnya. Dikarenakan rasa cintaku kepada Alejandro, aku menjadi takut menyakiti hatinya.
Berkebalikan dari itu, bak cenayang yang bisa membaca pikiranku yang dipenuhi rasa penasaran, Alejandro dengan senang hati menjelaskan. “Ibuku terlilit utang judi yang tidak diketahui ayahku. Karena bingung harus melunasi utang itu, ibuku malah bunuh diri. Sejak saat itu ayahku jadi pemabuk dan suka memukulku. Apa kau ingat bekas luka di dahiku?”
Secara impulsif, kuputar tubuhku menghadap Alejandro dan tanpa sadar, tanganku terulur menyentuh bekas luka itu. Seakan-akan dengan hanya menyentuhnya, aku merasakan penderitaan Alejandro. “A-apa yang terjadi setelahnya?” Lagi-lagi aku impulsif.
“Suatu hari dia berangkat bekerja dan menggelapkan dana perusahaan untuk melunasi utang-utang ibuku. Polisi lantas menangkapnya. Dia di penjara. Lalu mengikuti jejak ibu bunuh diri. Saat itu aku masih sepiluh tahun. Jadi, Dinas Sosial merawatku. ” Di akhir penjelasan, pria itu pun mengambil tanganku dan menciumnya lembut. Aku merasa disihir sampai merinding.
Aku juga bersyukur dengan keadaanku yang jauh lebih baik daripada masa lalu Alejandro. Ayah dan ibu memang bercerai, tetapi ibuku sangat menyayangiku dan terus berjuang merawatku.
Aku tersentak kala genggaman tanganku dilepas Alejandro. Dia lantas mengambil pigura yang masih kupegang. Lantas mengembalikannya ke tempat semula.
“Pasti sangat berat untukmu, Alex.”
“Sangat. Aku harus mendapat penanganan khusus karena depresi berat. Beberapa tahun aku mengkonsumsi obat penenang atas resep Sergio. Lalu aku sekolah asrama sampai bisa kuliah dan jadi seperti sekarang. Tapi, aku akan selalu mengingat jasa Sergio dan Solina yang tulus merawatku. Mereka sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri.”
“Aku sama sekali tidak tahu harus berkata apa selain, kau hebat karena bisa melewatinya, Alex,” ucapku tulus. Suasana kami pun berubah menjadi melodramatis. “Tapi, kenapa kau menceritakannya padaku?”
Alejandro menjawab enteng. “Kau ingin tahu tentangku. Dan aku baru saja memberitahunya.”
“Tapi, malam itu aku mabuk. Mungkin aku hanya meracau.”
“Mabuk atau tidak, aku memang ingin memberitahumu tentang diriku. Aku ingin kau lebih mengenalku.”
Mulutku terkunci rapat dengan pandangan baru mengenai Alejandro. Bahwa dia pria kesepian. Mungkin sikap playboy-nya itu untuk mengusir rasa sepinya. Apakah aku bisa menoleransi ini? Aku tidak tahu. Playboy adalah playboy. Itu susah sembuh. Sebaiknya aku tidak berlaku bodoh, bukan? Aku hanya berempati kepada sesama manusia. Lagi pula, aku masih mencintai Alejandro.
Aku tak bisa membalas. Hingga akhirnya Alejandro mengajakku berjalan-jalan di sekitar sini. Kami memakai topi dan kacamata hitam untuk menghalau matahari musim panas yang terik. Alejandro menerangkan setiap sudut kota bak pemandu wisata dan selalu menggandengku seolah aku gadis kecil yang bisa hilang kapan saja.
“Bagaimana menurutmu Casares-Costa?”
“Luar biasa indah. Aku suka nuansa klasiknya di sini,” jawabku.
“Apa kau penasaran dengan rumah masa kecilku?”
“Kalau kau tidak keberatan mengajakku ke sana. Asal kau baik-baik saja, tidak sedih. Maksudku, aku—”
Kalimatku terhenti karena Alejandro baru saja mecium bibirku kilat dan mengatakan, “Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku baik-baik saja denganmu. Jadi, ayo.”
Akibat ciuman dan senyum hangat Alejandro, otakku mendadak tidak bisa digunakan untuk berpikir. Aku membiarkan diriku ditarik Alejandro masuk mobil. Dengan rikuh, aku memangku buket bunga dari Alejandro sambil menghidunya sepanjang jalan. Semata-mata untuk menutupi senyumku yang nyaris tidak pernah surut.
Rasanya seperti tamasya ke luar kota dengan pasangan. Dan sedang terjadi proses pengenalan lebih jauh pada individu masing-masing.
Kami berhenti di sebuah rumah kecil. Bentuk bangunannya sama persis seperti rumah-rumah lain. Bedanya rumah berlantai dua ini berhalaman sangat luas. Kata Alejandro, dia berkeras membeli rumah yang dulu pernah ditinggalinya itu dan akan meratakan bangunan tersebut dengan desain lebih modern. Sayangnya, pemilik rumah itu tidak ingin menjual rumah tersebut sampai Alejandro harus menawari harga tiga kali lipatnya. Dan aku mengerti kenapa rumah ini begitu layak didapatkan. Selain sejarahnya, juga karena pemandangan di sekitarnya yang begitu menawan.
“Masuklah. Aku yakin kau pasti akan lebih menyukainya,” kata Alejandro pasca membukakan pintu utama.
Begitu masuk, aku langsung terkagum-kagum.
“Wah, aku rumah masa kecilmu benar-benar indah. Semua interiornya klasik,” pujiku tidak mengada-ada.
“Tunggu sampai kau melihat pemandangan di balkon kamar kita, Mi Querido.”
Tunggu sebentar. Kamar kita?
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah komen, vote, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Quorra Wyatt
Well, see you next chapter teman-teman
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Selasa, 30 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top