Chapter 22
Selamat datang di chapter 22
Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
♥️♥️♥️
____________________________________________________
Alejandro Rexford, kapan kau akan membiarkanku waras dan bertindak logis?
—Quorra Wyatt
___________________________________________________
Musim panas
Solares, 17 September
10.58 p.m.
“Aku tak percaya mereka punya raki,” ucapku riang ketika bartender tanpa kumis dan cambang meletakkan minuman pesananku di meja bar hadapanku sambil tersenyum tulus. Secara hati-hati, aku mengangkat gelas berisi cairan putih pekat itu, membolak-baliknya untuk mengamati minuman yang dijuluki susu singa dari Turki tersebut.
“Kudengar The Black Casino and Pub memang menyediakan minuman keras dari berbagai negara,” jawab Alejandro sebelum meneguk bir pesanannya.
Aku lantas mengikutinya dan wajahku mengernyit secara otomatis karena rasa raki yang terjun bebas mengalir ke lambungku. Saat melewati tenggorokan, secara normal minuman itu seolah membakarku. “Manis,” komentarku jujur.
“Oh, ya?” tanya Alejandro sambil mengeluarkan kotak rokok.
Sewaktu dia mengambil sebatang lintingan tembakau dan menyulutnya, aku pun bertanya, “Memangnya, kau belum pernah mencobanya?”
Alejandro menyelipkan dan mengapit batang rokok di bibirnya sambil menjawab singkat. “Belum.”
“Sangat mengejutkan.”
“Tidak juga. Kenapa harus terkejut?” tanyanya yang kemudian fokus mematik korek untuk ujung rokoknya.
Aku lantas mengutarakan pendapatku. “Kau seperti pria yang sudah menjajal semua minuman keras dari berbagai negara saat berkeliling dunia.”
Dengkusan disertai asap rokok pertama keluar dari mulut Alejandro. “Begitu rupanya kau menilaiku.”
“Bukan hanya aku. Aku yakin semua orang memiliki pendapat yang sama denganku,” balasku. Sadar mungkin terlalu berkata berani, aku mencoba membelokkan topik. “Omong-omong, apa kau mau mencobanya?” tawarku pada Alejandro seraya menyodorkan gelasku.
Pria itu mengembuskan asap rokok sekali lagi lalu meletakkan pematik di meja dan meraih gelas raki-ku. Alejandro menghidunya sebentar, kemudian menyesapnya takzim. Wajahnya sedikit mengernyit, lalu berkomentar, “Ya, manis.” Dia lantas mengembalikan gelasku. “Apa kau selalu memesan alkohol dengan kadar tinggi?”
Aku menerima gelasku yang dikembalikan Alejandro. Dia kini mengisap rokoknya lagi. “Tidak juga. Hanya suka mencoba-coba minuman keras dari berbagai negara. Kalau semua jenisnya ada di Pub ini, sepertinya aku bisa berlangganan di sini.”
Kedua alis Alejandro menyatu lagi di pangkalnya sama seperti saat menatap pelayan yang tersenyum di restoran tadi dan bartender di Pub ini. Dia tampak tidak sependapat. Apalagi diperkuat oleh pendapat sarkas, “Langganan? Kau berbicara seolah-olah akan pergi ke Pub ini sendirian dan setiap hari. Apa jadinya kalau kau tidak datang bersama seseorang lalu memesan alkohol kadar tinggi terus?”
Aku meneguk minumanku lagi dan kepalaku mulai berat. “Mana mungkin aku datang sendirian? Perlu kau tahu, Alex. Aku tidak pernah datang sendirian ke bar atas kemauanku sendiri.”
“Tapi kau jelas-jelas bercita-cita begitu sejak melihat Pub ini.”
Aku mengikuti Alejandro yang membawa pandangannya ke seluruh penjuru ruang lantai paling atas ini. Tepatnya di belakang punggung kami yang duduk di bar. Ke arah lantai dansa dengan musik kencang. Di bawah lampu disko, orang-orang meliuk-liukkan tubuh mereka mengikuti lagu berirama cepat. Di seberang ada panggung. Ada juga DJ yang sedang memainkan musik dan orang-orang bersorak atas aksinya. Tak sedikit pula dari para wanita yang baru datang dari arah samping bar menatap Alejandro sambil bisik-bisik. Kebanyakan dari mereka menatapnya dengan tatapan mendamba. Aku sebut itu sebagai sindrom Alejandro.
“Tampaknya aku salah memintamu membayar utang ke sini,” kata Alejandro lagi sambil membagi asap nikotin ke ruangan ini.
Aku kembali menyesap minumanku. Kepalaku makin bertambah berat, tetapi perasaanku menjadi ringan. “Bukan begitu. Dasarnya aku tidak suka minum alkohol. Tapi sesekali mencoba berbagai jenisnya. Kupikir lumayan juga. Jadi, aku tidak akan pergi ke sini sendirian. Aku akan mengajak Zurina atau orang-orang Belleza Pura.”
Sebenarnya, aku hanya penasaran dengan alkohol yang dilarang ibuku. Di umur yang sudah tidak remaja lagi, ditambah sudah hidup mandiri, aku tentu menggunakan kesempatan itu untuk meminum minuman keras. Aku juga mencoba mabuk beberapa kali ditemani Zurina yang sangat tahu diriku luar dalam.
Pria dalam balutan kaus abu-abu tua polos yang merokok sambil menghadapku itu seolah tidak menggubris kata-kataku barusan. Dia malah berkomentar, “Jangan serampangan seperti ini.”
“Kubilang, aku tidak akan datang sendirian ke Pub ini. Dan aku selalu waspada.”
Lagi-lagi, Alejandro tidak menyerap informasi sanggahanku. “Lihat bagaimana wajahmu sekarang. Baru kau bisa bilang kau selalu waspada atau justru serampangan,” ejeknya yang kemudian menyesap minumannya.
“Memangnya kenapa dengan wajahku? Aku baik-baik saja. Hanya pusing sedikit.”
“Ya. Kau beruntung karena ada aku.”
Aku mengudarakan tawa yang tanpa kuduga akan begitu meledak sehingga banyak kepala yang menoleh ke arahku. Meski aku tidak tahu maksud Alejandro; apakah yang dia mengatakan sesuai kondisi kami di waktu ini atau dia menyindirku soal hubungan kami yang kusudahi. Atau mungkin kombinasi dari semuanya, aku tidak tahu. Yang jelas, Alejandro telah membuatku menjadi wanita paling menyedihkan.
Lihat bagaimana hubungan kami! Kenapa kami bisa terjebak di situasi yang mirip orang yang baru berkenalan? Apakah kami manusia normal?
Jujur saja, aku mengingat lagi tawaran Alejandro untuk Belleza Pura yang terasa begitu menggiurkan. Apalagi dengan keuntungan besar seperti kontrak tunggal beberapa waktu lalu. Namun, aku ragu bisa menempatkan diri sebagai seorang profesional yang menggarap seluruh interior hotelnya. Berkebalikan dari itu, egoku terus menyuntikkan kalimat-kalimat bahwa aku bisa sangat profesional. Seperti kami sekarang. Sama sekali tidak membahas masa lalu—yang mana itu ialah hubungan percintaan kami yang luar biasa buruk dan singkat.
Dikarenakan efek alkohol yang kutenggak sudah makin naik, aku jadi tidak begitu bisa mengontrol omongan. “Kau benar, Alex. Aku beruntung karena ada kau.”
Tiba-tiba Alejandro mengulurkan tangannya yang bebas untuk menyugar rambut sisi kanan wajahku sambil berucap, “Lihat dirimu, kau sudah mabuk.”
Aku tahu aku tidak boleh membiarkan diriku terbuai. Dia pasti kerap melakukan ini pada wanita mana pun. Termasuk Beatrisa dan Emilia. Anehnya, tubuhku mengkhianati pikiranku untuk membiarkan Alejandro melakukannya.
“Ya, ya, ya, aku mabuk. Tapi ada kau. Jadi, aku tidak melihat adanya masalah di sini. Lagi pula, kau yang mengajakku minum-minum. Sudah sepatutnya kau yang harus bertanggung jawab,” bantahku sambil pura-pura memutar bola mata malas kemudian menyesap minumanku yang kini tinggal setengah gelas.
Aku sungguh tidak bisa menampik tangan Alejandro yang masih mengusap-usap rambutku. Sementara tangan yang lain sibuk memegang rokok. Dia bahkan menyipitkan pandangan sampai rasanya aku akan pingsan betulan.
“Memang benar. Tapi bukan untuk mabuk-mabukan. Melainkan untuk merilekskan diri dari pekerjaan.”
“Daripada kau sibuk menceramahi aku, lebih baik ceritakan padaku soal dirimu. Keluargamu, sahabat atau temanmu, dan lain-lain. Aku penasaran,” cerocosku yang kemudian meletakkan kepala di meja bar sambil menunggu Alejandro bercerita.
Berkebalikan dengan usapan Alejandro yang semakin intens di rambutku dan membuatku hampir melemparkan diri ke dekapannya karena merasa dicintai, pria itu justru mencercaku dengan pertanyaan, “Kenapa kau penasaran? Apa kau akan menulisnya menjadi tajuk utama di koran elektronik untuk mendapat Ortega y Gasset[5]?”
“Apa kau tahu, kau sangat menyebalkan?” Aku menowel-nowel bahu pria itu.
Alejandro lantas melepas tangannya dari rambutku untuk menyesap minumannya lagi. “Apa karena itu kau—” Dia menghentikan perkataannya dan tampak mencari kata yang tepat, tetapi sepertinya tidak menemukan yang cocok untuk dikatakan selain, “Sudahlah lupakan. Lagi pula, percuma aku menceritakannya padamu sekarang. Kau sudah teler. Dasar serampangan! Ayo pulang!”
“Kau cerewet—wuaaa ..., apa yang kau lakukan? Turunkan aku, Alex. Kepalaku pusing! Aku bisa muntah.”
Alejandro tidak menghiraukan aku yang meraung sambil memukuli punggung kekarnya. Dia tidak peduli dengan kepalaku yang rasanya sudah sangat berat seolah menyangga beban seberat satu ton plus perutku yang terasa diaduk-aduk. Setelah menyudutkan rokok di asbak tadi, dia tetap menggendongku seperti menggotong karung tepung. Sampai akut tak peduli lagi dengan semua ini sebab rasa kantuk yang tiba-tiba menyerangku, membuatku tertidur.
Paginya, aku terbangun di kamarku. Bajuku masih seperti tadi malam, hanya sepatu ketsku yang sudah ditanggalkan. Aku meringis saat bangun sebab kepalaku yang pusing.
Ketika menyasarkan pandangan ke nakas hendak memastikan jam berapa saat ini, pengelihatanku tidak sengaja mengarah ke catatan kecil di samping botol obat yang rasa-rasanya tidak pernah kubeli. Lekas-lekas aku mengambil catatan itu dan membacanya.
Aku tidak akan mengajakmu minum lagi dan pastikan kau tidak memesan alkohol berkadar tinggi saat pergi minum dengan Zurina atau teman-tema Belleza Pura yang lain.
Jangan serampangan, ingatlah batas alkohomu.
Sebagai gantinya, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.
Pastikan kau bebas di akhir pekan ini. Aku akan menjemputmu pagi-pagi.
Jangan menghilang seperti kemarin seandainya kau tidak bisa. Telepon aku dan katakan padaku alasannya.
Jangan lupa minum obat pereda mabukmu. Kau merepotkan sekali saat mabuk!
Alejandro Rexford
Aku melirik ke botol obat di nakas lalu meraihnya. Itu adalah obat pereda mabuk yang sepertinya dibeli Alejandro untukku. Entah kenapa tiba-tiba seolah ada yang menyulut kembang api dalam dadaku. Kehangatannya menjalar ke pipi dan seluruh tubuhku. Dan sejenak rasa sakit kepala dan pengar perutku hilang.
Lalu, aku celingukan mencari tasku yang rupanya diletakkan Alejandro di sofa seberang tempat tidurku ini. Aku segera mengambil dan mengeruku-ngeruknya untuk mencari ponsel. Lalu menelepon Alejandro.
Pada dering pertama, dia sudah mengangkatnya seolah memang bersiap menerima teleponku.
Dan alih-alih mengucapkan salam, Alejandro justru berkata, “Sudah bangun dan membaca catatanku rupanya.”
“Alex, maafkan aku soal semalam. Dan terima kasih sudah mengurusku saat mabuk.”
“Tidak masalah.”
“Apa kau sudah kembali ke Santander?”
Aku mendengar nada sengak Alejandro saat menantang, “Kenapa? Kau sudah merindukanku? Tenang saja, akhir pekan aku akan menjemputmu. Jadi, sebaiknya kau meneleponku untuk menyetujuinya.”
Aku menggigit bibir bawah untuk menghalau senyum yang ingin segera terbentuk. “Ya.”
“Iya apa? Kau sudah merindukanku atau kau menerima ajakanku?”
Astaga, apakah Alejandro memang ingin membuatku meleleh? Apakah aku boleh begini? Namun, ketika mengingat obrolanku dengan Emilia, aku memutuskan untuk tetap tenang.
“Aku setuju pergi denganmu.”
“Bagaimana dengan bagian kau merindukanku?”
“Apanya?”
“Apa kau tidak merindukanku, Mi Querido?”
Alejandro Rexford, kapan kau akan membiarkanku waras dan bertindak logis?
_______________
[5] penghargaan jurnalis terbaik di Spanyol
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah komen, vote, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Quorra Wyatt
Well, see you next chapter teman-teman
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 3 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top