Chapter 21
Selamat datang di chapter 21
Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
♥️♥️♥️
____________________________________________________
Dia bagai kelinci kecil yang penasaran dengan elang, sang pemburunya
—Alejandro Rexford
____________________________________________________
Musim panas
Solares, 17 September
08.30 p.m.
Tentu saja aku sudah mengetahui di mana tempat tinggal sementara Quorra dari detektif swasta yang kusewa beberapa waktu lalu. Aku hanya sedang bermain peran sebagai pria tanpa beban. Sambil memantau perkembangan hubunganku dengan Quorra berdasarkan rekaan-rekaan yang telah kupikirkan jauh-jauh hari. Lalu memutuskan ke mana akan kubawa hubungan ini.
Setidaknya, dengan sikap Quorra yang seperti inilah aku bisa menyimpulkan bahwa wanita itu memang memiliki bakat alami mempermainkanku.
Bagaimana tidak? Masih segar dalam ingatanku wajah Quorra yang memerah, napasnya yang memburu, jantung yang berdebar kencang, tatapan matanya yang sayu, dan sentuhan-sentuhan dari kulitnya yang sehangat musim panas sehingga membuatku merasa seperti berlibur dari hal-hal penat. Respons-respons fisik Quorra itulah yang mungkin mengirim sinyal ke kemampuan bicaranya untuk mengatakan betapa dia sangat menginginkanku. Dan satu-satunya hal yang kupercayai darinya ialah respons fisik yang alami seperti ini.
Perubahan fisik seseorang tentu tidak bisa dibohongi oleh pengelihatan, bukan?
Untuk yang terjadi berikutnya, aku jelas menganggap sikap bagai hantu Quorra yang menghilangkan tanpa tedeng aling-aling atau memberi peringatan sebelumnya—bukan berarti aku mendukungnya semisal dia berpamitan ingin menghilang dariku—sebagai bentuk ketidakpeduliannya padaku. Dan ketika aku sengaja menemuinya di Solares, dia kembali bersikap seakan-akan tidak pernah berperilaku memuakkan dengan sok memedulikan kesehatanku.
Dasar wanita penggoda!
Kemudian, senyum tipis yang terbentuk dari sebelah sudut bibirku melekuk dengan sendirinya kala mataku melihat pintu apartemen Quorra. Tidak apa-apa. Setidaknya aku senang dia memedulikanku. Itu berarti rencanaku untuk menarik perhatiannya berhasil. Rencana yang sudah kususun rapi dengan penuh, pertimbangan persiapan dan antisipasi untuk memperoleh tujuanku sebenarnya. Oleh sebab itu aku mulai menggerakkan tanganku untuk mengetuk pintu sambil memasang tampang lempeng.
Tak lama setelahnya Quorra membukakannya.
“Hai,” sapa wanita itu.
“Sudah siap makan malam denganku?” tanyaku dengan suara rendah dan dalam sambil mentapnya dengan tatapan yang kuharap bisa mengintimidasinya. Yang kuharap bisa menjeratnya.
Dia berpaling sebentar lalu kembali membalas tatapanku. Astaga, dia bagai kelinci kecil yang penasaran dengan elang, sang pemburunya. Menggemaskan, sampai-sampai ingin kuguncang-guncang kedua pundak rapuhnya itu untuk menyadarkan dirinya dari apa yang telah dilakukannya padaku. Dampak yang begitu besar terhadapku.
Quorra lantas mengangguk. “Ya, ayo kita makan. Aku sudah lapar.”
Aku mencermati wanita itu sejenak. Penampilan Quorra jelas bertolak belakang dengan tadi pagi sewaktu dia bekerja. Malam ini wanita itu mengenakan gaun musim panas lengan pendek warna putih polos yang membuat tanganku gatal karena penasaran. Ingin memastikan seberapa tebal gaun itu sehingga bisa pas dan membentuk lekukan-lekukan di tempat-tempat tepat di tubuhnya.
Tanganku pun penasaran apakah panjang gaun yang di atas lutut itu akan kesulitan kusibak? Atau justru sebaliknya?
Tidak hanya itu, jari-jariku juga gatal ingin menyusuri rambut halus dan indah Quorra yang dibentuk bergelombang serta digerai. Aku membayangkan jari-jariku menyisiknya. Mempersiapkan leher Quorra untuk kulumat dan kugigit guna meninggalkan jejakku di sana.
Dia berdandan natural yang mengubahnya dari wanita cantik menjadi luar biasa menarik. Seluruh tubuhku berteriak ingin mendorong Quorra masuk ke apartemennya untuk melakukan sesuatu yang bisa membuatnya meneriakkan namaku sambil mencakar punggungku.
Jadi, lebih baik aku menjejalkan kedua tangan ke saku celana jins guna melawan dorongan bayangan liar itu dan membimbing Quorra masuk ke mobilku. Layaknya pria sejati yang tahu cara memperlakukan wanita tanpa mengingat seberapa kacau dan tanpa arahnya keadaan mereka sebelumnya.
“Aku sudah memesan tempat di Restaurante Cenador de Amós. Kuharap kau belum pernah ke sana,” ucapku di tengah musik yang kusetel pelan untuk menemani perjalanan kami menuju restoran fine dining yang baru saja kusebutkan itu.
“Sebenarnya, aku belum pergi ke mana-mana selain apartemen, rumah sakit dan supermarket dekat sini. Aku memasak untuk makan.” Quorra menjawab dengan tubuh agak ditelengkan ke arahku. Kibasan pelan rambutnya membuat helaian itu menutupi sebagian wajah. Secara anggun Quorra menyematkannya ke belakang telinga.
Sesekali aku melihatnya. “Baguslah. Jadi, kita akan sama-sama memiliki pengalaman pertama makan di restoran itu.”
“Walau kita salah kostum?”
“Sebenarnya aku tidak peduli sama sekali pakaian yang kita kenakan untuk makan malam. Kecuali diharuskan mengenakan kode pakaian. Sementara restoran ini tidak,” komentarku realistis.
Aku mendengar wanita di sebelah kananku tertawa kecil. Suaranya begitu merdu sampai-sampai aku khawatir akan tertidur pulas.
“Akhirnya kita sepakat akan sesuatu, Alex,” tanggapnya.
“Aku yakin masih banyak hal lain yang memang sudah atau akan segera kita sepakati,” lontarku tak sependapat.
Quorra tidak membuka suara untuk menanggapi omonganku hingga akhirnya kami tiba di depan Restaurante Cenador de Amós. Pelayan yang bertugas menyambut pengunjung di bagian depan membukakan pintu untuk kami. Aku pun mengatakan, “Atas nama Quorra Wyatt.”
Melalui ekor mata, aku bisa melihat wanita di sebelahku membuka mulut yang kuduga hendak menyuarakan protes. Namun, pelayan tadi masih menyunggingkan senyum terburu menyelanya dengan mengatakan, “Mari kuantar. Sebelah sini.”
Kami digiring menuju salah satu meja bundar bertaplak satin merah dengan dua buah kursi. Letaknya di tengah ruangan dengan jarak antar meja lain yang lumayan renggang. Ada lampu gantung yang menerangi meja kami serta pot putih yang menampung bunga peony putih dan oranye cerah.
Aku menarik kursi itu untuk Quorra. Dia menggumaman teriaemudian duduk. Saat aku melintasi meja menuju kursi di seberangnya, aku melihat Quorra mengamati restoran bergaya klasik dan modern ini. Persis seperti kesukaan Quorra.
Pelayan datang membawakan serta menuangkan minuman pembuka berupa sampanye perrier-jouet buatan Prancis. Disusul pelayan pembawa menu untuk mencatat pesanan kami.
Pasca mengatakan pesanan masing-masing dan pelayan tadi pergi dari meja kami, Quorra membuka suara. “Kenapa kau menggunakan namaku untuk memesan meja?”
Aku menghidu perrier-jouët-ku sebelum menyesapnya dan berbalik tanya, “Apa ada peraturan yang tidak memperbolehkannya?”
“Bukan begitu maksudku, aku—ya sudahlah. Tidak usah dipermasalahkan lagi.” Quorra lantas mengikutiku menyesap minuman pembuka tersebut. “Omong-omong, dari mana kau tahu restoran ini?”
“Temanku yang merekomendasikannya.”
Kedua mata Quorra yang besar dilebarkan sehingga tampaklah sepasang iris turkuois yang berkilat-kilat akibat terkena cahaya lampu gantung. “Temanmu?” tanyanya yang tidak menyembunyikan rasa kekagetannya.
“Ya, temanku.”
“Kau punya teman?”
“Maksudmu? Kau menghinaku?”
“Bukan. Begini, sejauh ini, kau tidak pernah terlihat bersama teman-temanmu,” paparnya bernada lemah. Kemudian dengan ragu-ragu mengatakan, “Maksudku, kau tampak seperti orang yang tidak butuh teman. Hanya rekan kerja dan ..., dan ..., wanita.”
Aku menatapnya serius, sejurus dan tanpa berkedip. “Jadi, itukah yang kau pikirkan tentangku?”
“Bukan hanya aku. Tapi semua orang melihatmu seperti itu. Para pegawai hotelmu bergosip seperti itu. Kau seperti orang yang sulit dijangkau.”
Aku baru hendak menjawab, tetapi kedatangan pelayan menghentikanku. Menu yang kami pesan kini ditata di meja. Atensi Quorra lantas tercurah pada makanan itu sepenuhnya. Kelihatannya dia sudah tak sabar ingin menyantap makanan tersebut.
“Bon appétit,” ucap pelayanan pria yang sedari tadi berusaha merangkai senyum menawan kepada Quorra.
Demi Neptunus! Ingin kucolok mata pria itu! Apakah kehadiranku ini hanyalah sebuah benda tak kasat mata bagi pria itu?
“Gracias,” balas Quorra yang kemudian beralih kepadaku. “Bagaimanapun juga, aku senang temanmu merekomendasikan restoran ini, Alex.”
“Ya. Restoran yang mendapat penghargaan bintang Michelin memang tidak sulit ditemukan dan selalu menjadi tempat terbaik untuk makan,” balasku diplomatis. “Lagi pula, aku tahu kau suka desain klasik yang dipadukan dengan modern. Restoran ini cocok untukmu. Punya kedua unsur itu dengan cara terpisah,” paparku lagi.
“Kau sangat paham kesukaanku, Alex.” Quorra berkata sambil menatap bunga peony dengan tatapan menerawang. Suaranya terdengar jauh sewaktu melanjutkan, “Sangat tidak adil.”
“Apanya yang tidak adil?” tanyaku penasaran. Untuk jenis wanita penggoda, Quorra tidak terlalu ekspresif. Kemuraman yang tiba-tiba mengelilinya seolah bukan sesuatu yang dibuat-buat.
“Lupakan soal itu. Aku hanya bergumam tidak jelas. Ayo kita makan. Aku sudah sangat lapar. Dan makanan ini sepertinya tidak ingin lebih lama lagi menunggu kita santap,” ucap Quorra dengan aura yang kembali ceria.
Meski diserang rasa penasaran oleh keadilan yang digumamkan Quorra dengan gestur dan cara pelafalan murung, aku terpaksa makan. Sejenak kami takzim dengan makanan masing-masing hingga akhirnya Quorra membuka obrolan lagi.
“Jadi, apa yang membuatku rela menungguku membersihkan cat di wajahku tadi? Apakah hanya ingin makan malam denganku?”
“Kau ingat Paraíso del Mundo di Castellón de la Plana?”
Quorra tidak langsung menjawab. Dengan gugup, dia bertanya, “Ya, ada apa dengan itu? Apakah proyeknya lancar?”
Aku pun tergoda untuk bertanya, “Tidakkah kau bisa menebak ke arah mana pembicaraan kita?”
“S-soal apa?” bisiknya tebata.
Dan kuputuskan untuk tidak menyiksanya lebih lama lagi. “Aku ingin kau menandatangani kontrak tunggal kerja sama antara Belleza Pura dan Paraíso del Mundo. Aku ingin kau menggarap semua interior hotel baruku,” terangku.
Entah apa alasannya kini Quorra mengembuskan napas lega yang dia tutupi dengan menyesap minumannya. “Akan kulihat jadwalku dulu.”
Aku pun menegaskan, “Kapan pun jadwal kosongmu, tidak masalah. Aku tidak ingin orang lain. Aku hanya ingin kau yang mengerjakannya.”
“Baiklah kalau kau bersikeras .... Aku akan mencoba bertukar jadwal dengan rekan-rekanku.”
“Terima kasih. Kau memang prosesional. Karena itulah aku memintamu yang melakukannya.”
Quorra tersenyum kecil. “Memangnya desainer interior lainnya tidak profesional?”
“Biasanya tidak. Mereka lebih sering membunuh waktu mereka dengan memandangiku,” akuku.
“Begitu rupanya,” balas Quorra sambil lalu. Dia kembali memakan makanannya hingga kami sama-sama sudah menghabiskan makanan kami.
“Terima kasih, sudah mentraktirku makan malam, Alex. Pasti akan kubayar kapan-kapan.”
“Aku tidak ingin dibayar.” Bagaimana mungkin dia kembali menginjak-injak harga diriku sebagai seorang pria? Namun, aku memiliki rencana dadakan. “Tapi kalau kau memaksa, aku tidak keberatan sama sekali. Jadi, kenapa kita tidak pergi ke lounge untuk sedikit merilekskan pikiran dari pekerjaan kita sekaligus membayar traktiranmu?”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah komen, vote, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Alejandro Rexford
Well, see you next chapter teman-teman
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Sabtu, 30 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top