Chapter 20
Selamat datang di chapter 20
Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
♥️♥️♥️
____________________________________________________
Siapa yang sanggup mengendalikan perasaannya sepenuhnya bila menyangkut pria yang dicintainya?
—Quorra Wyatt
____________________________________________________
Musim panas
Solares, 17 September
08.30 a.m.
Kurasa ini keputusan terbaik yang bisa dipikirkan otakku. Setelah Emilia menceritakan seluruh kisahnya bersama Alejandro dengan muka dan tata bahasa sangat menyebalkan, paling tidak, aku memiliki gambaran lebih jelas tentang pria macam apa Alejandro.
Apabila Zurina mempengaruhiku untuk jangan pernah memercayai omongan Beatrisa karena berpikir sekretaris Alejandro itu hanya iri sekaligus membual untuk merenggangkan hubunganku dengan bosnya, lalu bagaimana dengan Emilia? Wanita yang notabenenya tidak kenal sama sekali dengan Beatrisa tiba-tiba datang mencariku karena gosip hubunganku dan Alejandro sudah menyebar ke semua kalangan.
Ibarat satu bukti—Beatrisa—tidak cukup membuatku percaya. Bukti lain yang lebih kuat—Emilia—dihadirkan. Maka, untuk alasan apa lagi aku harus bertahan atau rekonsiliasi dengan Alejandro?
Luzi tak henti-hentinya meminta maaf padaku soal itu. Namun, aku justru berterima kasih padanya. Kalau bukan karena dia, aku mungkin juga akan jatuh ke lubang yang sama.
Aku tidak akan pernah bisa menjalin hubungan dengan pria playboy seperti ayahku atau aku memang mencari perkara sakit hati. Oleh sebab itu, aku memilih proyek yang paling jauh dari Santander untuk menjernihkan pikiran sekaligus menyembuhkan kondisi hatiku yang tak karuan dengan bekerja keras. Terlebih, mendesain interior rumah sakit yang merupakan bidang keahlianku.
Seperti biasa, sebelum menggarap rancangan lengkapnya, rapat revisi dan keputusan yang melelahkan dilanjutkan belanja bahan, aku selalu melakukan survei. Raung tunggu poli anak penyitas kanker ini memiliki ruang cukup luas, tetapi terkesan dingin dan suram. Aku berencana membuat ruang ini menjadi lebih hangat dengan warna-warna yang cerah dan ceria. Sehingga anak-anak penyitas tidak merasa sedang di rumah sakit karena sakit. Melainkan sedang ke tempat mengasyikkan.
Selain menjalani hidup sehat dengan menjaga pola makan, olahraga, istirahat cukup, dan obat-obatan yang berkaitan dengan suatu penyakit, para peneliti yang ahli dalam bidangnya mengatakan: keceriaan seseorang dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Otak akan menstimulasi produksi hormon dopamin yang dikenal sebagai hormon perasaan baik. Katanya, hormon itu yang berperan sebagai pengantar zat-zat ke berbagai jaringan saraf dan otot sehingga melakukan fungsinya masing-masing secara tepat.
Sehari setelah rapat pengambilan keputusan, aku belanja bahan. Sembari menunggu interior-interior yang kupesan datang, aku membongkar serta mengeluarkan interior-interior ruang tunggu tersebut bersama beberapa tim Belleza Pura. Dan dibutuhkan waktu dua hari lamanya untuk mengosongkan ruangan itu sebelum rencananya akan dicat ulang.
Seperti biasa, aku mengenakan kaus lengan pendek dilapisi jins kodok dan sepatu kets. Aku juga mencepol rambutku dengan muka tanpa riasan untuk bekerja. Aku mengambil kaleng-kaleng cat yang bisa kutenteng di tangan kanan dan kiri dari ruang peralatan lalu membawanya ke ruang tunggu poli anak sebab tidak menemukan troli.
Ketika aku kembali mengambil kuas dan pengencer cat, gerakanku tiba-tiba berhenti akibat melihat pria yang sangat kukenali sedang berdiri di depan ruang kepala rumah sakit tidak jauh dari tempatku berdiri.
Pria yang notabenenya mantan kekasihku itu tidak sendirian. Dia sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya yang jika dilihat dari baju serta stetoskop yang menggantung di leher, kuprediksi itu seorang dokter.
Kenapa Alejandro pergi ke rumah sakit penyitas kanker dan konsultasi dengan dokter?
Didera rasa penasaran tak tanggung-tanggung sekaligus ingin memastikan tidak ada hal buruk yang menimpa kesehatannya, aku pun menunggu mereka selesai mengobrol. Saat Alejandro sudah berpamitan dan hendak pergi, aku menderap ke arahnya sambil memanggilnya.
“Alex, apakah itu kau?”
Alejandro Rexford kontan berhenti. Berbeda dariku yang sempat kaget menemukannya di sini, pria itu justru tampak tenang sambil memandangku lalu melempar tatapannya ke kuas dan tiner yang kutenteng.
Akibat tidak sabar, aku buru-buru bertanya, “Alex? Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau baik-baik saja?”
Seperti biasa. Dengan alis menyatu di pangkal-pangkalnya, Alejandro menjawab sinis dengan berbalik tanya, “Menurutmu?”
Debaran jantung dalam rongga dadaku meningkat. Seharusnya aku tidak boleh merasa khawatir dengan Alejandro. Namun, siapa yang sanggup mengendalikan perasaannya sepenuhnya bila menyangkut pria yang dicintainya?
Aku mengamati Alejandro secara saksama. Pria itu memang berdiri tegak dengan setelan kerja yang terpotong menyesuaikan bentuk tubuhnya—seperti normalnya dia. Bedanya, tatanan rambut hitam tebalnya tidak serapi biasanya. Helaian-helaian yang menjuntai di dahi Alejandro menutupi bekas lukanya di tempat itu. Untuk golongan orang yang memiliki kulit sewarna zaitun, Alejandro tidak terlihat pucat. Namun, tulang pipinya jauh lebih menonjol dan dia berkantung mata seperti orang tidak tidur berabad-abad. Oh, satu lagi. Dia tidak bercukur sehingga cambangnya sedikit lebih lebat daripada terakhir kali kami bertemu serta berpisah di apartemenku.
Aku bukan dokter sehingga tidak ahli menganalisa keadaan fisik seseorang dan membandingkannya dengan gejala sakit yang terlihat. Jadi, aku tidak sanggup melawan dorongan untuk mencari tahu keadaan Alejandro yang sebenarnya dengan bertanya, “Apa kau sakit? Karena itu kau ke sini?”
“Hanya mengecek sesuatu.”
“Sesuatu? Apa itu? Apa kau menunggu hasil lab atau sejenisnya?” tanyaku. Lagi-lagi ketidaksabaran membuatku bertindak impulsif. Jawaban Alejandro tidak terlalu spesifik sehingga aku takut salah menyimpulkan.
Pria itu menunduk untuk menatapku dengan tatapan tajam. “Ck, kenapa kau berkeliaran dengan alat-alat itu dan dengan wajah tercoreng cat?”
“Ha? Sebelah mana?”
Aku menurunkan barang-barang tentenganku di lantai guna mengusap-usap wajahku. Dan Alejandro menggeleng sambil ber-cak lagi. Dia benar-benar kelihatan sebal. Selanjutnya menarik daguku lalu menepis tanganku sambil menggerutu, “Kenapa kau selalu serampangan seperti ini? Coba lihat itu! Coretan catnya bertambah lebar. Singkirkan tanganmu dari sana dan bersihkan saja wajahmu di toilet.”
Oh, Tuhan .... Bisakah jantungku berdetak normal dengan perlakuan spontan Alejandro?
Aku melihat tanganku. Cat dari pipiku jelas berpindah ke telapakku. “Baiklah .... Em, apa kau sudah mau pergi? Apa kita bisa mengobrol setelah aku membersihkan cat di wajahku?” tanyaku tidak yakin.
Syukurlah dia menjawab, “Ya, aku akan menunggumu di kursi itu.”
Alejandro menunjuk sederet kursi berlengan yang kosong depan ruang tunggu apotek tak jauh dari kami. Aku pun pamit. Sebelum pergi ke toilet, peralatan yang kutenteng kubawa ke tempat seharusnya. Dan dalam beberapa waktu singkat, aku sudah berhasil membersihkan coretan cat hijau di pipi dan telapak tanganku lantaran buru-buru ke Alejandro. Takut dia tiba-tiba pergi dan membiarkanku dengan rasa khawatir.
Di lain sisi, aku berpikir; haruskah aku melakukan ini? Kenapa aku tidak bisa bersikap biasa aja dan membiarkan kesehatan Alejandro bukan menjadi bagian dari urusanku? Demi Neptunus! Pria itu playboy. Mungkin sudah ada wanita yang menggantikanku yang lebih berhak mengkhawatirkannya. Mungkin juga keluarganya jauh lebih berhak mengurusi pria itu.
Keluar dari toilet dan berkelok ke selasar rumah sakit, aku memperlambat jalanku menuju Alejandro sambil mengamatinya. Pria itu duduk di salah satu kursi yang kosong sambil menatap lurus ke depan dengan tangan terlipat di dada. Beberapa orang—terutama wanita—memperhatikannya sambil bisik-bisik. Seperti biasa, Alejandro selalu mengundang banyak perhatian kaum Hawa.
Jujur saja, beberapa waktu berlalu tanpa pria itu membuat luapan rinduku hadir tanpa permisi. Padahal, aku tidak boleh seperti ini. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak terpengaruh pada Alejandro meski secara alami dia telah melakukannya padaku sekarang; mempengaruhiku dengan rasa khawatir.
“Jadi, kau baik-baik saja? Kenapa ke sini?” tanyaku setelah duduk di sebelah Alejandro. Semoga dia tidak mendengar suara jantungku yang bertabuh kencang bak genderang perang.
“Aku membeli sayap donasi di rumah sakit ini.”
Jawaban itu tidak lantas mengenyahkan kekhawatiranku. Sehingga aku menuntut, “Tapi kau tidak sakit, kan? Kau sehat-sehat saja, kan?”
Satu dengankusan lolos dari bibir Alejandro yang kemudian merakit senyum miring. “Aku sakit atau tidak, apa pedulimu?”
Benar. Kenapa aku harus peduli? Namun, aku tidak bisa tidak peduli pada Alejandro jika tahu dia sedang sakit, terlepas dari bagaimanapun bentuk hubungan kami karena aku masih sangat mencintainya.
“Tapi aku ..., maksudku, kita saling mengenal. Bukankah wajar kalau aku peduli?” Aku mengarang alasan yang sepenuhnya merupakan kenyataan. Semoga jawaban standar itu cukup membuatnya mengerti untuk memberitahuku keadaan kesehatannya.
“Saling mengenal, ya?” gumamnya dengan senyum kaku. “Begitu rupanya. Saling mengenal.”
“Dengar, Alex. Aku minta maaf soal terakhir kali kita bertemu. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk ... ekhm ..., kau tahulah. Proyek ini sangat tiba-tiba. Jadi, aku harus segera pindah sementara ke sini untuk bekerja dan tidak sempat memberitahumu,” akuku yang separuhnya merupakan dusta belaka.
Aku memang sengaja tidak ingin menghubungi Alejandro karena berniat menghindarinya untuk memperkecil potensi sakit hatiku. Rupanya, alam semesta mengatakan sebaliknya. Aku justru bertemu dengan Alejandro secara kebetulan.
Aku benar-benar tidak mengerti kinerja alam. Kenapa kosmis seolah mempermainkanku?
“Ternyata kau lumayan primitif, ya?” ledek Alejandro dengan senyum tipis yang terlihat tampan. Cambang tebal itu membuatnya jauh lebih dewasa dan sangat matang. Lebih berkarisma.
“Maksudmu?”
“Bukankah kau membeli ponsel pintar dengan fungsi bisa memberi pesan kenapa seseorang tanpa bertemu?”
“Sudah kubilang, aku tidak sempat,” bantahku. “Jadi, kau baik-baik saja, kan? Tidak sakit, kan?” ulangku, kembali menekankan pertanyaan yang masih bercokol di otakku.
Pria itu tidak langsung menjawab yang membuatku semakin gemas dan cemas. Sampai-sampai, aku menggamit lengannya dan kugoyang-goyangkan. “Alex, jangan diam saja. Bicara padaku.”
“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.”
Betapa leganya aku mendengar itu. “Jadi, kau hanya benar-benar sedang mengecek sayap donasimu? Tidak memeriksa kesehatanmu?” yakinku sekali lagi.
“Ya. Jadi, apa lagi yang perlu kau tanyakan? Karena masih ada urusan lain yang harus kuselesaikan. Kau tahu aku bukan pengangguran,” kata Alejandro seketus biasanya.
“Kalau begitu, kenapa kau rela menungguku mencuci muka dan tidak langsung saja memberitahuku tentang keadaanmu?” tanyaku benar-benar tidak mengerti.
Alejandro merakit smirk smile. “Kau sungguh ingin mendengar alasannya?”
“Ya, katakanlah padaku, Alex.”
“Kalau begitu, beritahu alamat tempat tinggal sementaramu di sini. Akan kuceritakan sambil makan malam.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah komen, vote, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Quorra Wyatt
Well, see you next chapter teman-teman
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 27 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top