Chapter 18
Selamat datang di chapter 18
Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
♥️♥️♥️
____________________________________________________
Mungkinkah ini yang dikatakan orang-orang bahwa cinta memang bisa merenggut logika berpikir seseorang dan membuat diri mereka kuat untuk melakukan sesuatu yang belum atau tak pernah dilakukan?
—Quorra Wyatt
____________________________________________________
Musim semi
Santander, Madrid, 29 Mei
06.15 a.m.
Dengan napas memburu akibat jantung yang bertalu-talu tangkas, secara perlahan aku membuka kedua netra. Kepalaku yang menunduk menatap sepasang iris hitam Alejandro yang secara fisik mendukung perintahnya untuk mematikan ponselku.
Dia harus senang karena aku tidak memedulikan alat komunikasi tersebut yang sedari tadi berkoar-koar ingin diperhatikan. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian, aku justru membelai rahangnya menggunakan kedua tanganku sambil berbisik tepat sejengkal di depan wajahnya untuk meminta, “Bawa aku ke kamar, Alex.”
Tampaknya, bukan hanya Alejandro yang terkejut dengan kata-kata yang baru saja dibebaskan dari mulutku yang terengah-engah. Diriku juga mengalami gejala serupa.
Mungkinkah ini yang dikatakan orang-orang bahwa cinta memang bisa merengkut logika berpikir seseorang dan membuat diri mereka kuat untuk melakukan sesuatu yang belum atau tak pernah dilakukan?
Sebelum kesadaran merampok kaidah berpikirku, tubuhku tersentak kembali oleh helaan napas lega Alejandro. “Sebaiknya, kusingkirkan dulu ikat rambutmu.”
Tanpa menunggu waktu bergulir barang sedetik pun, Alejandro menarik ikat rambut cepolku sehingga helaian-helaian pirang stroberiku terurai serta berantakan.
“Jauh lebih baik,” gumam pria itu. Kemudian mendesis di cuping telingaku. “Nah, sampai di mana kita tadi?” Dia menyertai ucapannya dengan tangan yang berpindah di pantatku. Kemudian menekankan jari-jarinya di sana yang secara sukses menggodaku. Semakin memperlambat kinerja otakku untuk berpikir ketimbang merasakan. Mendominasi kebutuhanku akan Alejandro.
Aku mendongak untuk membiarkan kulit leherku dialiri embusan napas panas Alejandro yang membelai. Sehingga—sekali lagi—membuatku bertindak tidak biasa. “Kumohon, bawa aku ke kamar sekarang juga, Alex,” jawabku sekaligus meminta yang masih kulafalkan dalam bentuk bisikan.
Senyum puas melekuk di bibir Alejandro. “Apa kau menginginkanku, Mi Querido?”
“Ya, sangat,” jawabku jujur. Aku tidak peduli lagi mengenai akal sehat. Kalau ketertarikan fisik merupakan salah satu syarat untuk rekonsiliasi dengan pria ini, aku akan melakukannya.
Alejandro menyugar rambutku secara perlahan. Sekilas, dia mendaratkan bibirnya di bibirku. Kemudian secara otomatis, aku mengeratkan kaki-kakiku yang melingkari pinggang Alejandro dan mempererat peganganku pada pundaknya ketika pria itu berdiri dari kursi. Sembari kembali menyerang bibirku dengan intensitas kuat dan menggoda, pria yang menggendongku itu memindah bobot tubuh ke kamar. Tanpa melihat, dia membuka pintunya lalu menendang benda itu sampai tertutup.
Dengan penuh kehati-hatian, Alejandro meletakkan diriku di kasur. Permukaan empuk tempatku mendarat bagai menelan kami saat Alejandro ikut naik dan menjulang di atasku. Pria itu pun membimbingku duduk. Selanjutnya, dengan mata memicing dan smirk smile yang terlihat begitu seksi sekaligus bergairah, dia membagi kehangatannya melalui susuran tangannya dari tungkai ke pahaku sebelum meraih kaus biru yang kukenakan.
Keterampilan tangan Alejandro dalam membantuku membuang kaus itu membuatku makin berdebar. Tak mau kalah, aku juga membantunya melepas kemeja putih kusutnya. Dan tampaklah otot-otot liat Alejandro sampai aku kesulitan menelan saliva.
Pria itu kembali menjulang dan menekuri leher serta pundak kananku menggunakan hidung, indra pengecap serta gigi-giginya sambil memelorotkan tali bra pada pundakku. Satu erangan erotisku keluar tanpa bisa kutahan saat kepala pria itu turun.
Tiba-tiba, bel apartemenku berdentang nyaring. Mulanya, Alejandro dan aku mengabaikannya. Namun, saat bel itu terus-menerus meraung hingga mencapai taraf mengganggu, Alejandro sontak berhenti untuk ber-cak dan mendesis, “Demi neraka! Siapa yang bertamu pagi-pagi buta ke apartemenmu? Aku akan mengajarinya sopan santun!”
“T-tunggu sebentar, Alex.”
Tidak menggubris responsku sama sekali dan dengan sorot mata tajam, Alejandro turun dari kasur lalu keluar kamar secara tergesa-gesa. Gerakan grasah-grusuh itu menularkan kepanikan. Dengan cekatan, aku bangkit sambil membenahi tali braku yang melorot kemudian memungut kaus biruku untuk kukenakan secepat yang kubisa agar dapat menyusul Alejandro.
Aku tiba di pintu depan saat Alejandro baru saja membuka penutup itu. Mulanya, aku tidak bisa melihat siapa yang bertamu sebab orang itu terhalang oleh tubuh kekar Alejandro. Namun, ketika pria itu mengatakan, “Señora Luzi. Ada apa bertamu pagi-pagi?”
Aku segera menghamipir mereka. “Luzi,” panggilku rikuh luar bisa. “Ada apa?”
Aku bersumpah melihat rahang Luzi hampir lepas dari wajahnya karena terlalu lebar menganga. Pandangan wanita itu kemudian berpindah-pindah. Mulai dari tubuh kekar Alejandro yang tanpa atasan—yang membuatku ingin memukulnya karena lancang melihatnya seperti itu, kemudian ke leherku. Lalu dia menatap mataku dan Alejandro secara bergantian.
“M-maaf aku mengganggu kalian pagi-pagi,” ucap Luzi takut-takut.
Apakah ketakutan itu karena Alejandro yang menjawab ketus dengan kalimat, “Ya, kau sangat menganggu—”
“Masuklah, Luzi,” ucapku memotong perkataan Alejandro agar Luzi tidak tersinggung—kendati aku mengutuknya karena datang pagi-pagi buta dan mengganggu.
Alejandro menunduk dan menajamkan tatapannya padaku seolah-olah aku sudah kehilangan kewarasan. “Kau serius, Mi Querido?” lontarnya dengan alis semakin menukik di pangkalnya. “Kita belum menuntaskan apa yang kita mulai.”
Pada waktu bersamaan, Luzi kembali membuka suara. Perkataannya pun masih terbata-bata. “Ti-tidak perlu, Quorra. Aku hanya ... hanya .... Eh ..., sebenernya tadi aku meneleponmu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya. Jadi—”
“Tentu saja dia tidak akan mengangkatnya karena kami—”
Aku membekap mulut Alejandro sebelum pria itu mengatakan sesuatu yang berpotensi membuat pipiku memanas—walau sebenarnya itu sudah terjadi padaku sejak pria itu tiba-tiba menggeretku ke pangkuannya dan menciumku tanpa aba-aba. Sehingga membuatku berandai-andai peluang rekonsiliasi kami akan semakin besar.
“Kami baru akan sarapan. Masuklah, kita bisa mengobrol di dalam,” tawarku pada Luzi.
Alejandro yang berhasil meloloskan diri dari bekapan tanganku sekali lagi memelototiku seolah kegilaanku benar-benar sudah tidak tertolong.
“Kurasa itu ide terburuk, Mi Querido,” gagas Alejandro tanpa sungkan-sungkan.
Aku ingin mengusir Luzi. Sungguh. Lalu meminta Alejandro kembali menggendongku ke kamar dan kami akan menyelesaikan apa yang tadi kami mulai. Namun, apabila Luzi meneleponku beberapa kali dan tidak mendapatkan respons dariku sampai membuatnya datang kemari sepagi ini, berarti ada sesuatu yang sangat serius serta mendesak.
“Eh, sebenarnya aku hanya ingin mengatakan, kalau klienku tiba-tiba ingin dilayani olehmu, Quorra. Dan janji temunya jam tujuh pagi ini di Parrilla La Leña,” papar Luzi sambil menatap Alejandro. Dia kelihatan takut sekali pada pria itu.
Kini, tidak hanya Alejandro yang memelototi Luzi. Aku pun syok dibuatnya.
“Katakan pada klien itu, Quorra tidak bisa,” jawab Alejandro ketus dan semakin membuat Luzi menciut.
“Alex—”
“Kenapa? Kau keberatan dengan jawabanku?”
Aduh! Kenapa jadi seperti ini?
“Eh ..., sebaiknya aku pulang saja. Jadi, kalian bisa melanjutkan kegiatan kalian,” bisik Luzi sambil menggigit bibir bawahnya dengan mata memohon. Kemudian pergi begitu saja meninggalkan diriku dan Alejandro.
“Apa dia sudah gila?” protes Alejandro ketika pintu apartemenku sudah kututup. “Melimpahkan tugas padamu di jam enam pagi buta?” lolongnya.
Baru kali ini aku melihatnya sangat emosi. Yah, aku juga tidak akan menyalahkan Alejandro. Aku pun sebenarnya ingin marah pada Luzi. Namun, melihat wajahnya tadi, aku tidak tega.
“Em ....” Dengan tidak bangganya, aku bergumam karena tidak mendapat gagasan untuk menjawab Alejandro dan hanya bisa menggaruk leher menggunakan jari telunjuk.
“Demi neraka! Apa lagi sekarang?” desis Alejandro sambil membuang napas kesal ketika kami sama-sama mendengar dering ponselnya di meja ruang tamu.
Bola mataku hanya bisa mengikuti tubuh Alejandro yang berpindah dan meraih ponselnya di meja. Dia menempelkan alat komunikasi itu ke telinganya dengan tangan satu bertolak pinggang. “Sebaiknya kau memberitahuku sesuatu yang penting. Mood-ku sedang jelek Beatrisa!” sembur Alejandro.
Aku yang masih berdiri di tempatku tadi memperhatikan pria itu memelotot. “Ya! Aku akan berangkat tepat waktu hari ini. Jadi, siapkan saja rapatnya!”
Setelah memaki-maki Beatrisa, Alejandro menuju kamarku lalu keluar sambil memakai kemeja. Dia juga mengambil barang-barangnya yang kusimpan seperti orang diburu-buru waktu. Ketika hendak melewati pintu keluar, Alejandro berhenti sejenak di depanku.
“Urusan kita belum selesai. Dan aku tidak mau alasan apa pun. Aku akan menjemputmu dan kau akan menginap di penthouse-ku malam ini.”
Alejandro menjatuhkan satu ciuman panas di bibirku kemudian pergi tanpa menunggu responsku yang merosot kelantai sambil menutupi kedua wajah menggunakan kedua tangan lalu memekik, “Ini benar-benar membuatku gila!”
Parrilla La Leña dipenuhi orang-orang sarapan ketika akhirnya aku tiba di sana pasca memakan dua porsi masakanku—yang sebenarnya kumasak untuk membuat kesan bagus pada Alejandro— guna mengusir stres. Kepalaku celingukan mencari wanita berambut hitam sebahu yang kemudian mengangkat tangan untuk memanggilku.
“Hai, apa kabar?” sapaku dengan senyum yang kuusahakan setulus mungkin sambil mengambil duduk di depannya.
Wanita bernama Emilia Alanza itu membalasku dengan senyum miring yang terlihat meremehkan.
Kenapa?
“Langsung saja, tidak perlu basa-basi. Sebenernya, aku ingin bertemu denganmu karena penasaran, Señora Quorra Wyatt.”
“Penasaran dengan rancangan interiorku?” tebakku.
“Bukan. Aku sama sekali tidak peduli soal itu,” jawab Emilia sambil tersenyum kecil. “Aku penasaran dengan wanita yang dipacari Alejandro Rexford.”
Jantungku kontan berdebar kencang dan emosiku semakin naik. Jadi, inilah yang dimaksud Luzi klien mendesak? Yang bahkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan? Dan hubunganku dengan Alejandro yang menjadi taruhannya, padahal sedikit lagi kami bisa rekonsiliasi.
Luzi, demi Neptunus, aku akan mencincangmu!
“Maaf, kalau pertemuan kita tidak ada korelasinya dengan pekerjaan, aku—”
“Ck, bajingan itu!” potong Emilia tampak begitu emosional. “Aku tidak mengerti. Padahal aku sudah berubah banyak demi menjadi wanita idealnya karena yakin dia mendekatiku untuk menjadikanku pacar. Tapi, dia malah meninggalkanku seolah tidak terjadi apa pun. Dan sekarang orang-orang melapor kau berpacaran dengannya. Tapi, aku lega setelah melihatmu. Aku yakin tidak lama lagi dia juga akan mencampakkanmu seperti wanita-wanita yang didekatinya. Kau, jelas bukan seleranya.”
“A-apa?”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah komen, vote, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Quorra Wyatt
Well, see you next chapter teman-teman
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 20 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top