Chapter 15
Selamat datang di chapter 15
Tinggalkan jejak dengan vote, komen, atau benerin typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
♥️♥️♥️
____________________________________________________
Bahwa, aku harus terkendali; benar-benar harus memisahkan antara urusan pribadi dengan pekerjaan.
Atau unsur-unsur yang dicampuradukan menjadi satu hingga merata itu akan mengacaukanku
—Alejandro Rexford
____________________________________________________
Musim semi
Santander, Madrid, 28 Mei
19.00 p.m.
Kilatan-kilatan lampu kamera wartawan terlihat bersahut-sahutan dari berbagai sudut. Beberapa dari mereka mengarahkan alat potret itu ke desain-desain interior yang ada di ballroom. Ada juga yang kelihatan sibuk mewawancarai tamu-tamu. Pun, calon-calon klien tersebar dan berbincang dengan sesama rekan sambil menikmati minuman serta ketering yang tersedia.
Kegiatan-kegiatan penghuni ballroom berhenti sejenak dan memusatkan perhatian penuh pada pembawa acara yang ada di panggung di belakang podium untuk membuka acara malam ini. Serangkaian acara pun dibacakan, hingga tiba giliranku memberi sambutan.
“Semoga berhasil, Alex,” ucap Quorra di antara suara bisingnya tepuk tangan orang-orang.
“Terima kasih,” gumamku sebelum melangkahkan kaki menuju panggung kecil yang terletak di tengah ballroom. Lalu tanpa basa-basi lagi, aku menyapa para undangan, “Buenas noches, semuanya. Apa kabar?”
Pandangan mataku berpindah ke seluruh orang yang tersebar ke segala penjuru ballroom. Secara fisik sengaja menunggu respons dari mereka. Dan acungan gelas anggur disertai senyum formal serta ucapakan beragam kondisi mereka menjadi pertanda timbal balik sapaanku. Dengan begitu, aku bisa melanjutkan, “Pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada bintang utamaku malam ini yang telah membantuku merancang desain interior ballroom Paraíso del Mundo. Yaitu, Señora Quorra Wyatt bersama tim Belleza Pura. Tolong beri tepuk tangan untuk mereka.”
Lampu sorot yang semula mengarah padaku kini tertuju pada Quorra Wyatt dan rekan-rekan Belleza Pura yang berdiri tidak jauh darinya. Begitu pula dengan tatapan tamu-tamu. Sebagai balasan, mereka memberi senyum manis sambil menganggukkan badan sedikit sebagai sopan santun. Meski tidak menyukai banyak atensi yang harus Quorra dapatkan dari semua orang—terutama pria-pria predator yang memusatkan tatapan padanya seolah Quorra merupakan mangsa buruan super lezat yang harus didapatkan sesegera mungkin, tetapi aku harus mengubur bayangan menendang wajah mereka yang mesum itu dan menunjukkan wibawaku.
Aku mengalihkan pikiran tergila tersebut—yang tidak pernah sekalipun merasuki akal pikiran jika menyangkut wanita lain yang dekat denganku—dengan kembali berbicara pada tamu-tamu. Menuntaskan ucapan-ucapan terima kasih kepada semua pihak yang menyukseskan acara malam ini. Hingga aku pun mengatakan, “Kurasa aku akan menyerahkan bagaimana penjelasan tentang ballroom ini kepada Señora Quorra Wyatt.”
Tepuk tangan para tamu kembali mengisi ballroom selagi aku berjalan menuruni tangga kiri. Sedangkan Quorra menaiki panggung dari tangga berlawanan arah untuk menggantikan posisiku di podium. Setelah mendapat posisi pas, aku memperhatikan wanita itu secara saksama sambil menggelontorkan pinot noir pekat ke tenggorokanku yang dahaga.
Seusai menyapa para tamu dan mendapat respons sebelas dua belas sepertiku tadi, Quorra mulai menjelaskan tentang ballroom ini. “Sebenarnya, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin, ada baiknya dari segi pemilihan tema.” Wanita itu berhenti sebentar, selanjutnya menyambung kalimatnya. “Mulanya aku bingung sekali tema apa yang sebaiknya kuusung untuk ballroom ini. Maksudku, coba lihat bagaimana ballroom ini sebelum mendapat sentuhan desain interior Belleza Pura. Sudah sangat bagus. Dan itu sangat membuatku berpikir keras, harus lembur untuk menggali ide-ide yang cocok. Sungguh benar-benar memusingkan.”
Quorra yang menyentuh kepalanya sambil memutar bola mata disertai senyum rikuh berhasil menularkan tawanya kepada semua orang. Selama beberapa detik waktu bergulir, dia lantas kembali mengambil atensi mereka.
“Beruntungnya, ada Señor Alejandro yang sangat aktif membantuku menuntaskan kebingungan tema ballroom ini dengan ide-ide ajaibnya. Karena itulah aku menyebut tema atau ballroom ini sendiri dengan mágico. Mari kita beri Señor Alejandro hadiah berupa tepuk tangan.”
Tepuk tangan Quorra dan orang-orang mengiringi lampu sorot yang berpindah padaku. Sebagai sopan santun, aku mengacungkan gelas minumanku. Padahal dalam hati tergoda bertanya-tanya bagaimana mungkin Lampo sorot yang kembali mengarahnya bisa membuat manik mata wanita itu berbinar-binar?
Mengesampingkan tentang betapa terlihat cerdasnya cara mantan kekasihku itu bertutur kata, sekali lagi kuperhatikan bagaimana cara wanita itu tersenyum. Rasanya, sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melihat Quorra mengumbar senyum tulus yang dulunya pernah dieksklusifkan untukku semata seperti itu. Kendati tidak rela, sayang sekali aku harus mengikhlaskannya berbagi dengan orang lain.
Untuk alasan yang tidak ingin kupahami, diam-diam amarah mulai menyentuhku dan hampir mengusaiku seutuhnya. Sekali lagi aku menggelontorkan pinot noir pekat ke tenggorokanku dengan harapan anggur merah itu bisa melunturkan emosi tersebut sampai tak tersisa. Lalu kusuntikkan kata-kata dalam diriku sebagai pengingat. Bahwa aku harus terkendali; benar-benar harus memisahkan antara urusan pribadi dengan pekerjaan. Atau unsur-unsur yang dicampuradukan menjadi satu hingga merata itu akan mengacaukanku.
Secara anggun dan berkharisma, Quorra membawa pandangan serta tangannya pada objek yang dituju ketika menyembutkannya satu per satu. “Lihatlah wayang golek dari Indonesia itu, matrioska dari Rusia di sana, lalu munecas lime khas negara kita, dan miniatur-miniatur boneka keramik lainnya yang tertata sesuai tempatnya. Kami sungguh berharap siapa pun yang melihat atau berada di antara boneka-boneka khas itu seolah-olah bisa merasakan sedang berada di negara-negara tersebut.
“Kemudian, tim kami juga menambahkan okulsi dari pencahayaan barisol di setiap dinding yang membingkai ballroom ini tanpa menghilangkan kekhasan dari jendela-jendela Prancis. Kami mengecat kusen-kusennya menjadi putih agar kontras dengan barisol itu sehingga terkesan hangat dan lebih terang dan tegas.
“Kami juga menanam tanaman-tanaman sesuai musim di bawah barisol itu agar ballroom tampak hidup dan asri. Juga jenis interior lainnya. Kuharap semua orang menyukai ballroom ini seperti aku, semua rekan Belleza Pura secara pribadi yang mencintai interior-interior di ballroom ini. Terima kasih. Buenas noches. Semoga hari kalian menyenangkan.”
Melalui ekor mata, aku bisa melihat keantusiasan orang-orang yang saling berbisik sambil menatap Quorra. Aku lega karena itu merupakan respons positif yang kami dapatkan. Sayanganya, meski tidak kaget, yang menjadikan urat-urat di pelipisku mulak menegang, orang-orang tidak hanya mengagumi interior yang menyusun ballroom ini, melainkan juga pada kepriabdian Quorra.
Beberapa orang memberi sorakan wanita itu dan tampak hendak mengerubungi Quorra. Mereka bagaikan penggemar yang menunggu artis mereka turun dari panggung untuk bercengkrama dengan mereka. Dan ketika wanita itu menuruni anak tangga panggung, dia kontan mendapat beberapa jabat tangan serta sambutan hangat. Sebelum kebisingan itu akhirnya berhasil disenyapkan oleh pembawa acara yang datang dari tangga arah kanan. Lalu membacakan acara selanjutnya.
Permainan-permainan hasil tim kreatif dari pihak pengelola pesta dilakukan. Aku tak ikut lantaran kedua netraku ingin terus mengikuti ke mana arah Quorra melangkah. Apakah akan kembali ke sisiku seperti tadi? Ataukah bergabung dengan rekan-rekan Belleza Pura? Atau lebih memilih memperluas mitra dengan cara berbaur dengan calon-calon klien karena ini merupakan kesempatan emas bagi kantornya?
Sayangnya, selain hampir kehilangan sosok Quorra yang ditelan kerumunan, Allesandro Baltasan terburu menghampiriku. Dia pun berkomentar, “Pantas saja aku merasa tidak asing dengan garapan ballroom ini. Rupanya kau mengandalkan Belleza Pura. Jadi, aku tidak kaget kalau hasilnya bisa sebagus ini. Selamat untukmu. Mari bersulang.”
Gelas anggur merah yang digenggam pria itu dia acungkan ke arahku sebagai tanda memberi selamat. Sebelum aku melakukan hal serupa, Lozaro datang dan protes, “Hei, kalian anak-anak muda. Kenapa tidak mengajakku bersulang?”
Desah memuakkan gagal kutahan-tahan. “Sudah berapa gelas yang kau minum? Kau mulai mabuk, orang tua.”
“Hahaha ... ayolah ...aku hanya minum sedikit ....” Lozaro mengacungkan gelas minumannya dan menambah ucapannya. “Ayo kita bersulang, Alex, Allesandro.”
Sebab tidak ingin acara ini mengalami kejadian serupa dengan pesta tahun baru, dengan buru-buru, aku meminta izin pada Allesandro untuk menjauh guna menelepon Beatrisa.
“Ya, ada apa, Señor?”
“Tolong panggilkan asisten Lozaro atau istrinya, atau keamanan untuk mengurusnya. Dia sudah mulai mabuk.”
Saat aku kembali ke Allesandro dan Lozaro, tukang pembuat onar itu berkata, “Senora Quorra Wyatt. Ckckck ..., betapa cantik dan cerdasnya wanita itu. Andaikan aku seumuranmu, Allesandro. Pasti akan—”
“Sudah waktunya kau tidur, Zolaro. Omonganmu sudah melantur ke mana-mana,” potongku yang ingin sekali melayangkan tinju ke wajah tuanya. Namun, karena tidak ingin mencari keributan, aku lebih memilih meletakkan minumanku di nampan yang di bawa pelayan, untuk mendorong pria tua merepotkan itu ke pintu keluar. “Maaf, kau harus melihat ini, Allesandro.”
“Ya, tidak masalah.”
“Hei ..., Alex. Aku tidak mabuk. Lihat, aku masih mengenali wanita cantik itu. Señora Quorra Wyatt.”
“Sebaiknya kau bungkam mulutmu atau aku yang melakukannya, Lozaro. Kau tnetu tidak ingin berhadapan dengan istri dan anak-anakmu yang memusuhimu atau bagaimana kau akan mendapatkan kertas kerja sama kita sudah sobek-sobek di meja kantormu besok pagi,” bisikku pada pria itu.
Lozaro mendelik dan mengalah. “Baiklah ..., baiklah ... kau memang kejam, Alex. Aku akan pulang.”
Beruntungnya sebelum aku berhasil melempar pria itu keluar dari ballroom, Beatrisa bersama asisten Lozaro segera mengambil alih pekerjaanku sehingga untuk sementara, acara ini akan aman dari bencana.
Aku kembali membelah kerumunan dan baru menemukan Quorra di akhir pesta. Dia sedang menyandarkan punggung di pilar paling belakang. Sementara itu, badannya sedikit membungkuk dan tangannya mengais sspatunya.
“Di sini kau rupanya. Sedang bersembunyi?” ejekku.
Quorra mendongak sebentar lalu kembali fokus melepas sepatunya. “Begitulah. Aku merasa jadi artis dadakan.”
“Baguslah. Sepertinya Belleza Pura akan kebanjiran kerja sama setelah ini. Omong-omong kenapa kau melepas sepatumu?”
“Sepatu ini membuat tumitku lecet karena tadi tidak sempat duduk.” Kedua sepatu itu kini sudah teronggok di lantai dan Quorra bernapas lega.
“Jauh lebih baik?” tanyaku tak tega. “Kau harus segera mengobatinya. Ayo, kuantar kau pulang.”
“Tapi, bagaimana dengan acaranya?” tanya Quorra polos sampai-sampai membuatku ingin menghapus kepolosan itu dari wajahnya.
“Kau tidak dengar? Acara ini sudah selesai.”
“Sudah selesai?” tanya Quorra dengan mata membelalak.
“Ya. Jadi, ayo.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah komen, vote, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Alejandro Rexford
Well, see you next chapter teman-teman
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Senin, 11 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top