Playing With The Devil 9

Melenguh panjang, Eliz mengerjapkan matanya berulang kali. Tepat sebelum pada akhirnya mata cewek itu membuka hanya untuk memejam lagi di detik selanjutnya. Lantaran cahaya matahari yang menerobos ventilasi jendela kamarnya membuat silau.

"Astaga."

Eliz memegang kepalanya yang terasa berat kala itu. Dengan kerutan di dahinya, cewek itu lantas merasa ada bayangan aneh yang melintas di benaknya. Kilasan yang membuat ia merinding.

"Ya ampun. Kok bisa-bisanya aku mimpi kayak gitu sih?"

Eliz kembali memejamkan matanya. Berusaha untuk mengusir bayangan-bayangan erotis yang mendadak memenuhi kepalanya. Sesuatu yang membuat ia merasa mual.

"Kamu mimpi?"

Satu pertanyaan mendarat di indra pendengaran Eliz dan ia mengangguk. Menjawab tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Mimpi apa? Mimpi buruk?"

Eliz meringis. Pertanyaan yang kembali datang membuat ia lagi-lagi melihat bayangan itu di benaknya. Dan lebih parahnya, bayangan itu sekarang tampil dengan lebih jelas dari sebelumnya.

"I-itu bukan mimpi buruk. Tapi ...."

Eliz tidak meneruskan perkataannya. Alih-alih ia justru meneguk ludah. Karena beberapa detik kemudian jantungnya mendadak berdebar dengan lebih kencang. Lantaran bayangan itu yang berhasil membuat darahnya menjadi berdesir.

G-gimana bisa aku mimpi kayak gitu? Aku dan Dika?

Eliz tertegun. Dalam diam, bayangan itu bermain-main dengan amat erotis di benaknya. Menampilkan ia dan Dika dalam keadaan tanpa busana. Dan lebih dari itu. Mereka berdua saling memeluk. Saling mencium. Hingga kemudian saling ....

"Nggak nggak nggak. Itu pasti mimpi paling buruk yang pernah aku mimpiin seumur hidup."

Memejamkan matanya dengan teramat erat, Eliz menggeleng berulang kali. Berusaha untuk kembali mengusir bayangan erotis itu dari benaknya. Karena bagaimanapun juga itu membuat wajahnya terasa panas. Ia malu.

"Kok bisa-bisanya sih aku mimpi kayak gitu sama dia?"

"Ehm ... mimpi apa sih?"

"Itu aku mimpi---"

Ucapan Eliz menggantung di udara. Matanya yang sempat memejam sontak membuka seketika. Tatapan matanya kosong terarah lurus ke depan sana. Seolah tak melihat apa-apa lantaran ada hal lainnya yang mendadak turut melintas di benaknya.

T-tunggu dulu. I-ini yang dari tadi ngobrol sama aku ... siapa?

Rasa dingin seketika menyelimuti sekujur tubuh Eliz. Tidak bisa tidak, bahkan cewek itu mendadak merasa susah bernapas. Jantungnya pun seperti tak bisa bekerja lagi. Lantaran kengerian sudah berhasil membuat ia merinding.

"Liz?"

Napas Eliz tertahan di dada. Suara itu kembali terdengar. Malah lebih jelas dari sebelumnya. Terdengar parau dan serak. Dan diikuti oleh embusan hangat napas yang lantas membelai kulit telinganya.

Satu tangan meraih tubuh Eliz. Membuat wajah cewek itu menunduk hanya untuk memelototkan mata. Menyadari bagaimana jari-jari itu lantas mendarat di atas perutnya. Menariknya. Hingga punggungnya merasa sentuhan hangat kulit seseorang.

A-astaga. I-ini ....

Eliz berusaha untuk tenang. Tapi, dalam keadaan seperti itu bagaimana bisa ia tenang?

"Liz? Kok aku nanya nggak dijawab? Ehm ...."

Eliz meneguk ludah. Kali ini bukan hanya bisikan atau embusan napas di telinga yang ia dapatkan. Alih-alih satu kecupan samar di sisi kepalanya. Berikut dengan rengkuhan yang benar-benar membuat ia tenggelam dalam sepasang tangan kokoh itu. Yang bertahan tepat di dadanya dan itu membuat ia panik seketika.

P-pakaian aku di mana?

Sudah amat terlambat sebenarnya bagi Eliz untuk mempertanyakan hal itu. Karena pada kenyataannya tak ada pakaian yang melekat di tubuhnya. Alih-alih hanya ada sehelai selimut yang menyembunyikan tubuh polosnya.

"Liz?"

Jantung Eliz kali ini pasti sudah berhenti berdetak. Dan nyawanya pasti sudah pergi meninggalkan tubuhnya. Itu pasti. Karena Eliz tidak pernah merasakan dingin yang lebih membekukan diri selain rasa dingin ketakutan yang saat ini tengah ia rasakan.

Eliz menggigit bibir. Kemungkinan buruk itu memenuhi kepalanya dengan teramat cepat. Diiringi oleh pertanyaan-pertanyaan menakutkan yang tak mampu ia singkirkan.

G-gimana kalau itu bukan mimpi? Gimana kalau itu kenyataan? Gimana kalau ....

Eliz meneguk ludah. Dalam ketakutan menghadapi kenyataan, entah dari mana tubuhnya mendapatkan kekuatan. Untuk ia kemudian bergerak perlahan di dalam pelukan itu. Demi berbalik. Hanya untuk menjerit pada detik selanjutnya.

"Aaah!"

Tak hanya menjerit, Eliz langsung bangun dari tidurnya. Dengan tangan yang langsung mendorong dada polos itu. Lalu secepat kilat ia menyambar selimut. Menutupi tubuhnya yang polos.

"Dika! Ngapain kamu di sini?!"

Eliz melihat Dika dengan mata besar dan ekspresi horot. Ia meremas selimut di depan dadanya dengan kuat. Napasnya berubah, menjadi memburu. Dengan keringat yang serta merta memercik di dahinya.

"K-kamu ...." Eliz meneguk ludah. "Kamu kenapa ada di sini?"

"Eh?"

Dika melongo mendengar pertanyaan Eliz. Duduk dengan ekspresi bingung, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Dahinya pun sampai terlihat mengerut.

"A-aku---"

"Jawab!" sentak Eliz. "Kenapa kamu ada di kamar aku? Kenapa kamu ada di tempat tidur aku? Dan kenapa kamu nggak pake baju?!"

Melayangkan pertanyaan yang terakhir, Eliz tak mampu menahan suaranya untuk tidak menjerit. Hingga membuat Dika sontak memejamkan mata. Tidak mengira bahwa Eliz akan sehisteris itu.

"Ehm ...," dehem Dika beberapa saat kemudian. Matanya membuka lagi dengan gestur takut-takut. Tapi, jelas senyum di wajahnya menyiratkan hal yang sebaliknya. "Kamu juga nggak pake baju loh, Liz."

Ya ampun! Rasa panas dengan serta merta menjalar di pipi Eliz. Merah? Tentu saja warnanya juga berubah langsung merah.

Eliz semakin kuat meremas selimutnya. Berusaha untuk tidak terintimidasi, jelas adalah hal yang mustahil. Perkataan Dika membuat tubuhnya dialiri getar-getar kengerian.

Dika tergelak. Di saat Eliz membeku dengan kenyataan itu, ia justru bersikap sebaliknya. Tampak santai dan justru terlihat begitu tenang. Juga ... senang.

Hal itu jelas bukan sesuatu yang sedang dirasakan oleh Eliz. Ia panik. Ia bingung. Dan ia tidak yakin dengan apa yang telah terjadi.

Namun, dengan keadaan dirinya dan Dika yang tanpa busana? Bersama di atas tempat tidur yang sama? Bahkan sempat berpelukan tanpa celah? Apalagi yang perlu ditanyakan pada dunia? Tentu saja jawabannya hanya mengarah pada satu kesimpulan yang nyata. Bahwa Eliz dan Dika ....

Eliz menahan napas di dada. Menunduk dalam usaha mencari sedikit kemungkinan yang mungkin ada. Tapi, tubuhnya justru memberikan bukti yang memberatkan. Melalui warna-warna merah yang memenuhi kulitnya di beberapa tempat.

"I-ini ...."

Suara Eliz terdengar bergetar. Dengan ingatan yang kemudian melintas di benaknya. Ingatan yang melibatkan beberapa hal. Seperti lampu darurat, kartu remi, dan tantangan ciuman. Hingga selanjutnya ....

Eliz memejamkan mata. Jantungnya benar-benar tak berdetak lagi saat ini. Tubuhnya pun benar-benar terasa dingin. Sepertinya sekarang ia benar-benar sudah mati.

"Liz?"

Dika yang semula wajahnya tampak begitu cerah, seketika berubah. Ketika dengan pasti ia melihat bagaimana Eliz tampak membeku. Ketakutan. Terlihat begitu menyedihkan.

"Liz?"

Dika beringsut. Mendekati Eliz. Meraih tubuh cewek itu. Lalu mengusap sebulir air mata yang merembes dari matanya.

"K-kamu kenapa nangis?"

Itu adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah Eliz dapatkan di dunia ini. Hingga wajar saja bila kemudian ia langsung membuka mata. Melihat Dika dengan sorot menyala. Pertanda bahwa ada ribuan kemarahan yang siap untuk meledak.

"Kamu nanya kenapa aku nangis?!" bentak Eliz. "Kamu masih nanya kenapa aku nangis?!"

Kali ini Dika yang meneguk ludah. Ia tau bahwa saat ini Eliz benar-benar tengah berada dalam kemarahan yang amat besar.

"Aku---"

"Dengan semua yang udah terjadi di antara kita," potong Eliz membabi buta. "Menurut kamu aku harus ketawa?! Kamu jahat, Dik!"

Wajah Dika sontak memucat. Tepat ketika satu pukulan Eliz layangkan padanya. Mendarat di dadanya.

"Liz."

Eliz menarik diri. Melepaskan diri dari Dika. Bersamaan dengan air matanya yang kembali menetes.

"Kamu nggak seharusnya mainin aku sampe sejauh ini, Dik! Ini udah keterlaluan! Kamu bener-bener cowok yang nggak punya perasaan! Aku benci kamu!"

Bukan lagi memucat, Dika sekarang merasa tubuhnya seperti kehilangan nyawa. Wajah Eliz yang basah dengan cepat lantaran air mata membuat ia merasa kesusahan bernapas. Ia meneguk ludah. Ia harus meluruskan sesuatu yang salah kala itu.

"Liz," lirih Dika seraya kembali beringsut. Kembali berusaha untuk meraih Eliz. "I-ini bukan yang kayak kamu pikir. Aku---"

"Kenapa kamu tega banget sama aku, Dik?! Apa salah aku?! Kenapa kamu sampe mainin aku sejauh ini?!"

Eliz benar-benar kacau. Ia meremas rambutnya. Meradang dalam ketakutan, rasa ngeri, dan kenangan yang tak bisa ia singkirkan dari ingatannya. Jelas, teramat jelas malah. Semua hal yang terjadi di antara mereka malam tadi benar-benar terpateri kuat dalam pikirannya.

"Aku bukannya mainin kamu, Liz."

Dika meraih tangan Eliz. Berusaha melepaskan jari-jari itu dari rambut Eliz. Ia tidak ingin cewek itu menyakiti dirinya sendiri.

"Kamu tega banget, Dik! Kamu jahat! Aku benci kamu!"

Jeritan itu meluap. Dalam semua emosi yang memberontak di dada Eliz. Kemarahan, kekesalan, dan pastinya kekecewaan.

"Kamu bener-bener keterlaluan, Dik. Nggak seharusnya kamu mainin aku kayak gini! Kamu bener-bener cowok yang nggak hati! Aku benci kamu!"

Dua kali sudah Dika mendengar Eliz membenci dirinya dengan suara tinggi bernuansa kemarahan. Itu memercik api tersendiri di dada Dika. Ia tidak terima. Hingga ia enyahkan semua kemungkinan yang bisa didapatkan Eliz untuk mampu melepaskan diri darinya.

Tangan Dika menguat. Memastikan bahwa Eliz tidak lepas dari dirinya. Dan ia menyentak tubuh Eliz sekali.

"Liz, please!"

Dika memohon dengan frustrasi. Di antara tangis dan kemarahan Eliz yang semakin menjadi-jadi, sungguh Dika tidak ingin bertindak kasar pada cewek itu. Tapi, ia tidak bisa berpikir dengan jernih lagi ketika mendengar perkataan yang Eliz katakan.

Eliz terguncang dalam sentakan yang Dika berikan. Memutus rangkaian hardikan yang ia layangkan tanpa jeda sama sekali.

"Liz, aku mohon. Dengarin aku dulu."

Dika dengan cepat menangkup wajah Eliz. Memastikan bahwa mata cewek itu melihat padanya. Balas menatap dirinya. Dan Dika tertegun.

Ada satu goresan yang Dika lihat terpancar di mata Eliz. Sesuatu yang membuat ketakutan turut menjalari tubuhnya pula. Pada akhirnya ia tau. Seberapa terlukanya Eliz kala itu.

Dika merasa bersalah. Ia merasa berdosa.

"A-aku minta maaf."

Eliz terdiam. Permintaan maaf Dika tentu saja tidak berarti bagi cewek itu. Hal tersebut nyata tersirat dari caranya melihat pada Dika.

"Maaf?" tanya Eliz dengan nada satire. "Kamu bilang maaf?"

Tawa Eliz lantas terdengar memenuhi kamar itu. Tapi, itu pasti bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa dengan penuh rasa sakit.

"Untuk semua hal yang udah kamu lakukan ke aku, segitu gampangnya kan buat kamu minta maaf?"

"Liz, aku---"

"Coba jawab pertanyaan aku, Dik."

Eliz mengabaikan buliran air mata yang kembali menetes di pipinya. Ia menguatkan diri. Menghadapi tatapan Dika dan lantas bertanya.

"Kenapa kamu setega ini sama aku?"

Rasanya ada belati tumpul yang mendadak menghunjam jantung Dika. Menimbulkan rasa dingin dan ngilu. Membuat ia layaknya tubuh tanpa jiwa.

"Dari dulu kamu selalu jahilin aku. Kamu selalu ngangguin aku. Dan sekarang ... kamu sampe ngelakuin ini ke aku?" tanya Eliz dengan suara bergetar. "Kenapa kamu tega, Dik? Apa salah aku ke kamu?"

Dika menggeleng. Refleks menampik tuduhan itu.

"Nggak, Liz, nggak," ujar Dika berulang kali. "Ini bukan yang kayak kamu pikir. Aku ...."

Bahkan ketika Dika melihat Eliz yang tampak begitu hancur, cowok itu merasa tak ada lagi kekuatan yang ia miliki.

"Aku minta maaf," pinta Dika lagi. "Tapi, aku sama sekali nggak ada maksud buat mainin kamu. Dikit pun nggak. Jadi, please. Jangan ngomong kalau kamu benci aku."

Eliz berusaha menahan isakannya. Tapi, tetap saja air matanya tak berhenti mengalir. Mendorong pundak polos yang mulus itu berguncang berulang kali. Pemandangan yang sungguh menyakitkan perasaan Dika.

"Untuk semua yang udah terjadi ... menurut kamu gimana aku nggak benci kamu, Dik?"

Bahkan Eliz yakin. Kata benci pun tidak cukup mampu untuk mewakili dengan pasti apa yang ia rasakan saat ini.

"Kamu bener-bener buat aku kecewa, Dik. Aku nggak ngira kalau kamu setega ini sama aku."

Dika menggeleng. Kembali.

"Aku terima kamu mainin aku dari kita masih kecil, Dik. Aku terima kamu jahilin aku terus menerus sementara sejujurnya aku udah muak! Kenapa kamu selalu ngusilin aku?! Dan sekarang, kamu benar-benar keterlaluan! Kamu jahat!"

"Liz, stop!"

Kali ini Dika yang menjerit. Tak ingin sebenarnya, tapi kata demi kata yang ia dengar membuat Dika tak lagi mampu menahan dirinya. Ia tampak frustrasi. Seperti ingin gila sebentar lagi.

"Aku suka jahilin kamu, oke. Aku akui itu. Dari dulu aku emang suka jahilin kamu. Tapi, itu bukan karena aku jahat sama kamu."

Tubuh Eliz berguncang. Diam. Tapi, sorot matanya menunjukkan hal yang sebaliknya.

"Aku minta maaf, Liz. Aku tau aku salah karena udah ngusilin kamu selama ini. Tapi, please. Jangan benci aku. Dan jangan bilang aku jahat. Karena ...."

Bukan hanya Eliz yang tampak berguncang kala itu. Alih-alih juga dengan Dika. Yang ketika ia berusaha untuk menarik napas, dadanya terasa amat gelisah.

"Karena itu semua aku lakukan cuma buat dapetin perhatian kamu aja, Liz."

Ketika kalimat itu berhasil ia ucapkan, Dika merasa ada sedikit kelegaan yang menyeruak di dadanya. Walau tentunya kelegaan itu tak cukup besar untuk mampu mengubah warna wajah Dika. Yang tampak merasa bersalah dan juga putus asa.

"Aku sama sekali nggak ngelakuin itu untuk benar-benar jahatin kamu. Nggak."

Dika tidak berharap Eliz akan langsung percaya perkataannya. Itu tentu adalah hal yang mustahil. Tapi, bagi Dika itu tidak jadi masalah. Karena yang terpenting dari itu semua adalah ....

"Akhirnya aku bisa jujur."

Itu yang paling penting bagi Dika. Hingga ia mendapatkan keberanian untuk benar-benar menatap Eliz dengan lebih lekat lagi.

"Selama ini," lanjut Dika dengan suara yang terdengar sedikit lebih rendah dari biasanya. "Aku jahilin kamu, aku ngusilin kamu, atau aku yang mainin kamu, itu cuma biar aku bisa selalu dekat dengan kamu. Karena cuma dengan cara itu aku bisa dapetin perhatian kamu lagi, Liz."

Kebingungan membuat dahi Eliz mengerut. Tubuhnya sedikit berjingkat, reaksi spontan untuk pengakuan tak terduga yang ia dengar. Tapi, Dika berhasil menahannya. Cowok itu tetap memastikan bahwa Eliz tidak akan menghindar. Setidaknya hingga ia tuntas mengatakan semuanya.

"Kita dulu deket, Liz. Kita ke mana-mana selalu main bareng. Tapi, kamu sadar nggak? Makin lama kita makin jauh?"

Dika tidak tau Eliz menyadarinya. Tapi, di mata Dika itulah yang terjadi. Ketika kecil mereka masih bermain bersama dengan bahagia. Hingga kemudian ia menyadari bagaimana semakin besar mereka maka semakin berjarak pula hubungan antara dirinya dan Eliz.

"J-jauh?"

Eliz meringis mengulang satu kata itu. Ia mendengkus sekali dengan tawa satire yang tak mampu ia tahan.

"Itu yang aku rasakan, Liz. Dan aku nggak suka itu."

Mungkin memang ada satu masa di saat mereka masih kecil, bertambahnya usia membuat kedekatan sepasang anak yang berlainan gender itu menjadi berjarak. Itu alamiah. Terjadi dengan begitu saja.

"Aku tau aku salah. Tapi, aku ngerasa nggak ada pilihan lain. Dan ironisnya, kamu cuma ngeladenin aku kalau aku ngusilin kamu."

Kali ini tawa ironis Eliz benar-benar pecah. Ia tampak terkekeh dengan ringisan yang menyertainya.

"Liz, please. Jangan kayak gini. Aku ngelakuin itu semua bukan karena aku bener-bener jahat sama kamu. Percaya aku. Aku nggak bohong."

"Hahahahaha."

Tak peduli dengan perkataan Dika, Eliz tetap tertawa. Tentu saja. Di mata Eliz itu hanyalah akal-akalan Dika saja. Semacam pembelaan untuk membenarkan semua hal buruk yang telah ia lakukan selama ini.

"Menurut kamu ... aku bakal percaya?" tanya Eliz masih tertawa. "Iya? Hahahaha."

Merah padam wajah Dika. Rahangnya sontak mengeras. Entah apa tepatnya yang ia rasakan kala itu. Marah, benci, atau ....

"Kamu boleh ngeledek aku untuk apa pun, Liz. Tapi, nggak untuk yang satu ini. Karena ini emang benar-benar apa yang aku rasakan."

Eliz tidak peduli. "Kamu pikir aku bakal percaya kamu, Dik? Untuk semua yang udah kamu lakukan? Aku bakal percaya gitu?"

Dika tau Eliz tidak akan semudah itu percaya dengan apa yang ia katakan. Itu memang terdengar mustahil dan seolah hanya sekadar alasan saja. Tapi, bagaimana kalau memang sebenarnya itu adalah kenyataan?

"Kamu mau bukti apa biar bisa percaya omongan aku, Liz?" tanya Dika nyaris putus asa. "Apa pun bakal aku lakuin bisa kamu bisa percaya sama aku. Kalau yang aku katakan emang benar. Kalau emang selama ini aku selalu berusaha untuk ngedapetin perhatian kamu kayak orang begok. Dan nahasnya itu justru ngebuat kamu jadi benci setengah mati sama kau."

Eliz menggeleng. Menolak semua perkataan Dika. Tidak, ia tidak akan terjebak lagi.

"Aku nggak butuh bukti apa-apa. Yang aku butuhkan cuma satu."

Dika menatap Eliz. Menanyakannya. "Apa?"

"Jauhin aku."

Jawaban tanpa tedeng aling-aling yang Eliz katakan membuat Dika membeku total. Tubuhnya seperti mati rasa.

"J-jauhin kamu?"

Eliz mengangguk. "Jauhin aku dan jangan pernah muncul lagi di hadapan aku," jelasnya. "Dan pastikan malam tadi adalah permainan kamu yang terakhir."

Layaknya itu adalah panah yang melesat cepat dalam keheningan, Dika merasa ada hunjaman perih yang menusuk pada jantungnya. Yang memberikan luka tak berdarah. Yang dengan cepat menciptakan kemungkinan mengerikan dalam pandangan matanya.

Dika menggeleng. Mempertahankan Eliz yang kembali berusaha melepaskan diri darinya.

"Nggak, Liz. Aku nggak mungkin bisa jauhin kamu. Nggak."

Eliz tidak membutuhkan persetujuan cowok itu. Bahkan kalaupun Dika tidak ingin menjauhinya, maka Eliz yang akan mengupayakannya. Apa pun akan ia lakukan agar tidak lagi bertemu dengannya.

"Aku nggak mungkin jauhin kamu. Dan aku ingatkan untuk yang pertama dan terakhir kalinya, Liz."

Ada yang berubah dari cara Dika bicara. Itu disadari jelas oleh Eliz. Hingga ia yang semula berusaha untuk berontak, justru menjadi tertegun. Melihat pada Dika yang memerah wajahnya. Mengeras rahangnya. Dan menggebu napasnya.

"Yang terjadi di antara kita malam tadi," lanjut Dika dengan suara bergetar. "Itu bukan permainan."

Ingin menampiknya, tapi Eliz bisa merasakan bagaimana jantungnya yang bagai tertohok tatkala Dika mengatakan itu. Bukan hanya karena kata-kata yang ia ucapkan. Alih-alih juga ekspresi yang tercetak di wajahnya. Sorot matanya. Dan ketegasannya.

"Itu bukan permainan," geleng Dika. "Bukan. Karena gimanapun juga ... aku nggak mungkin mainin kamu untuk hal seperti itu."

Apa Eliz merasakan keseriusan itu? Bahwa ketika Dika mengatakan hal tersebut, ia seperti merasakan ada kepastian tak terbantahkan yang tersirat.

Tidak. Eliz berusaha untuk menampiknya. Ia tidak ingin terjebak lagi. Ia tidak ingin---

"Demi apa pun aku bersumpah. Bahwa yang malam tadi bukan permainan. Bukan kesalahan. Dan pastinya bukan kecelakaan."

Entah dari mana asalnya, tadi Eliz merasakan dingin membuat ia membeku. Membuat ia tak bisa bergeming. Terdiam. Dengan tatapan Dika yang lantas melembut padanya.

"Itu karena ...," lanjut Dika dengan pasti. "Aku cinta kamu."

*

bersambung ....

note: besok cerita ini tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top