Bonus Chapter : Yoshi & Delia

Ruangan itu hampir seluruhnya putih. Dindingnya, langit - langitnya, lantainya, pencahayaannya, jendelanya, semuanya putih. Seperti sebuah sel yang sengaja diciptakan agar penghuninya jadi gila karena warna putih di sekelilingnya. Walau begitu, ruangannya sangatlah bersih, sampai rasanya kau bisa berkaca di dindingnya dengan mudah. Kelihatannya seperti sebuah ruangan yang cukup bagus, meski ruangan ini tetap memberikan sebuah kesan aneh.

Seorang pria tengah duduk di sebuah kursi kayu yang juga berwarna putih. Dia melirik ke beberapa lembar kertas yang ada di atas meja yang juga berwarna putih, kemudian mengambil sebuah gitar berwarna biru muda. Sesaat, dia melirik ke arah sebuah ranjang bernuansa puih yang ada di seberang ruangan, tepatnya ke arah seorang perempuan yang ada di sana. Si pria tersenyum, kemudian dia memainkan gitarnya dengan nada - nada lembut, dan membiarkan dirinya terlarut dalam musiknya.

Entah berapa lama momen hening itu berlangsung. Hanya ada musik yang mengisi keheningan yang tercipta. Si pria terlalu asyik dengan musiknya, hingga dia tidak menyadari kalau perempuan yang berada di ranjang itu kini membuka matanya dengan perlahan.

Si perempuan ini adalah Delia. Hal terakhir yang bisa dia ingat adalah, kalau dirinya berada di kamarnya dan pergi tidur sebelum hari yang menegangkan baginya datang. Tapi kini, dia bingung ketika melihat apa saja yang ada di sekelilingnya.

Ruangan putih ini memberikan kesan aneh bagi Delia, meski di sisi lain dia merasakan kalau ruangan ini memang seharusnya begini. Tapi, tentunya Delia tidak tahu kenapa dia bisa tiba - tiba berada di sebuah ruangan yang tidak dikenalinya, dan di sekelilingnya hanya ada warna putih.

Mengingat kalau terakhir kali Delia berada di kamarnya dan dia pergi tidur, sepertinya dia tidak perlu panik. Mungkin saja ini hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang sepertinya cukup aneh, karena tentunya tidak setiap orang punya mimpi yang sangat spesifik seperti ini. Entahlah, mimpi itu sering kali aneh dan tidak masuk akal, yang membuat Delia penasaran akan apa yang bisa saja terjadi setelah ini.

Delia kini menyadari kalau dia berada di atas ranjang. Dia bisa merasakan kalau ranjang tempatnya berada ini sangatlah lembut. Dia mengucek matanya, berusaha untuk mengenali lingkungan tempatnya berada. Meski kelihatan aneh, Delia bisa merasa kalau ada sesuatu yang familiar dari tempat ini. Tapi kenapa? Kenapa Delia merasa kalau dia pernah berada di sini sebelumnya?

Setelah beberapa saat terdiam dan berdebat dengan pikirannya sendiri, Delia memutuskan untuk mencari tahu semua jawaban yang ada di dalam kepalanya itu. Dengan perlahan, dia berdiri dan melirik ke sana dan kemari. Hanya ada warna putih di sepanjang matanya memandang. Tentunya ini bukanlah pemandangan yang biasa dia temui di dunia nyata, tapi ... Delia merasa kalau dia pernah berada di sini.

Jadi, Delia kini memutuskan untuk melangkahkan kakinya menelusuri ruangan putih itu. Meski kakinya tidak beralaskan apapun saat menginjak lantai, dia tidak merasa kedinginan. Malah, lantai di bawahnya seolah memberikan kehangatan yang tidak biasa. Perasaan ini membuat Delia merasa kalau semuanya jadi makin aneh saja.

Hingga akhirnya Delia bisa melihat seorang pria tengah duduk di sebuah kursi berwarna putih, memainkan gitar dengan melodi yang indah sambil memejamkan matanya. Kakinya seolah tidak bisa menolak untuk mendekati pria itu. Kulit si pria berwarna cerah, dan rambutnya sewarna dengan jahe. Ketika pria itu membuka matanya, Delia bisa melihat kalau dia memiliki iris berwarna biru. Mata si pria dan gitar yang dia pegang adalah satu dari beberapa hal yang tidak berwarna putih di ruangan itu.

Ketika melangkah mendekatinya, beberapa ingatan seolah kembali ke dalam diri Delia. Dia memang pernah berada di ruangan ini. Bukan pertama kalinya Delia mendapatkan mimpi di tempat serba putih ini. Malah, Delia ingat mimpi penting apa tempatnya berada saat ini. Ketika melihat pria yang memainkan gitar itu, Delia bisa mengingat semuanya.

Delia mengenal pria itu. Dia sudah pernah menemuinya sekali. Tempat ini adalah sebuah tempat persinggahan yang dia jaga. Pria ini adalah seseorang yang menunggu dan memberikan penjelasan bagi setiap jiwa yang datang ke sini. Si pria masih duduk di kursi yang sama seperti terakhir kali Delia mengingatnya. Dia juga masih memainkan beberapa melodi yang sama, dan juga sebuah lagu yang Delia ingat saat dia terakhir kali berada di sini

Counting the stars, in an empty portal
You're looking dead, like an empty mortal
What will I see, when my eyes stop working?
What if I'm right, that there is no king?

I was born with an imagination
I once believed in your faulty promise
Are you that weak, that you follow fiction?
Then again, what do I even know?

"Daniel? Kaukah itu?" tanya Delia, yang kini tidak tahan ingin menyapa pria itu.

Si pria kini membuka matanya sepenuhnya, dan menoleh ke arah Delia. Dia menatap Delia sejenak, kemudian dia tersenyum. Pria itu terlihat santai sekali, sebelum akhirnya dia meletakkan gitarnya di sebelah kanannya.

"Oh? Delia, kan? Aku senang karena akhirnya kamu bangun," kata si pria yang dipanggil Daniel itu.

Meski sudah pernah berada di mimpi ini, tetap saja Delia merasakan kalau ada sesuatu yang aneh di sini. Entahlah, rasanya tidak biasa. Apalagi ketika Delia mengingat penjelasan apa yang pernah Daniel berikan kepadanya. Tempat ini bukanlah tempat biasa. Atau kalau mau lebih tepatnya, ini bukanlah alam mimpi biasa.

Terakhir kali Delia berada di sini, hal itu mungkin terjadi beberapa bulan lalu. Saat itu, Hendra berada dalam keadaan koma, dan entah kenapa Delia bisa bermimpi kalau dirinya berada di ruangan serba putih, sebelum akhirnya dia bisa melihat taman yang ada di luarnya, penuh dengan keindahan, dan Daniel menjelaskan bahwa pak gurunya hanya butuh waktu untuk mengistirahatkan pikirannya dari semua hal gila yang melelahkan dalam hidupnya sejenak.

Masalahnya, karena Delia tahu tempat apa ini, dia jadi penasaran kenapa dia bisa berada di sini. Tentunya dia tidak mungkin terlempar ke alam ini tanpa alasan, kan? Apa yang harus dia ketahui dari alam ini?

Jadi, Delia memutuskan untuk duduk di satu kursi lainnya yang ada di seberang Daniel. Pria yang ada di hadapannya ini adalah semacam penjaga dari ruangan ini. Tentunya dia tahu banyak soal alam ini dan apa saja yang harus Delia ketahui seputar alam ini. Daniel pastinya bisa memberi penjelasan kenapa dirinya bisa berada di sini.

"Sudah cukup lama kita tidak bertemu, Delia. Bagaimana kabarmu? Kehidupanmu baik - baik saja, kan?" tanya Daniel.

"Kalau ini hanya mimpi seperti saat terakhir kali aku kemari maka ya, aku baik - baik saja. Yah, sebaik apa yang bisa aku dapatkan. Karena aku baru saja melewati sebuah momen paling kacau dalam hidupku beberapa waktu lalu. Aku harap aku bisa melupakan kejadian buruk itu dengan segera. Aku tidak mau mengingat kejadian bodoh itu lagi," sahut Delia

Daniel mengangguk, "Kedengarannya cukup berat. Pekerjaan sebagai polisi tentunya tidak mudah, ya?"

"Kadang akal sehatku mempertanyakan semua pilihan yang sudah aku ambil di dalam hidupku. Tapi, aku tahu, segila apapun hal yang aku lalui, ini adalah salah satu pilihan terbaik yang pernah aku buat."

"Aku senang karena kau bisa menerima kenyataan dan pilihan yang ada di dalam hidupmu. Tidak sekali aku menemui orang yang datang ke sini dan mereka merasa kalau mereka telah membuat pilihan yang salah. Bahkan aku sendiri ... pada awalnya aku menyesal karena apa yang sudah aku lakukan malah membawaku ke sini. Tapi pada akhirnya, aku berusaha menerima konsekuensi dari pilihan yang aku buat itu."

"Yah, setidaknya aku bisa bertahan dalam kegilaan itu. Jadi, kenapa aku bisa berada di sini, Dan? Aku tahu kamu tidak mungkin mengetahui semuanya, tapi karena kamu selalu berada di sini, tentunya ada beberapa hal yang menurutmu bisa memberi penjelasan, kan? Apakah aku memang seharusnya mati sekarang juga, atau aku hanya singgah saja di sini? Karena aku tidak yakin kalau aku bisa membedakan keduanya kalau berada di alam ini."

Daniel mengerutkan alisnya, kemudian dia melirik ke pintu yang ada di belakangnya. Pintunya berwarna hitam, dan terbuka dengan lebar menuju ke tempat yang agak gelap. Setelahnya, Daniel melirik ke arah Delia, yang masih kelihatan penasaran.

"Pintunya terbuka. Berarti, kau hanya akan singgah saja di sini. Kuharap itu bisa membantu untuk menenangkanmu."

Delia menghela napasnya, "Oke, berarti aku belum mati, bagus. Lalu, kenapa aku ada di sini? Apakah kamu punya sesuatu yang harus dijelaskan?"

"Tidak, aku tidak melihat kalau aku harus jadi pemandumu seperti sebelumnya. Jadi kurasa, akan lebih baik jika kau cari tahu sendiri kenapa kau bisa berada di sini. Mungkin ada seseorang yang ingin menemuimu di luar sana. Bisa jadi dia ingin bicara padamu."

Delia mengangguk. Dia tahu alam apa ini, jadi dirinya bisa menyusun kemungkinan apa yang sebenarnya yang harus dia lakukan di sini. Meski begitu, tetap saja Delia penasaran akan siapa yang mencarinya. Jadi, Delia langsung saja berdiri, bersiap untuk mencari tahu.

"Eh, kurasa kau ada benarnya, Dan. Baiklah, aku akan coba cari tahu, karena kalau memang ada yang mencariku, maka aku harus menemuinya. Aku juga tidak bisa berlama - lama di sini, kan?"

Daniel tersenyum, "Semoga kau menikmati kunjunganmu kali ini. Tentunya kau tahu kan, di mana pintunya?"

Si perempuan mengangguk, kemudian dia menuju ke satu arah. Ada sebuah pintu putih yang warnanya nyaris melebur dengan dinding. Tapi dengan bantuan gagang pintunya yang berwarna keperakan, Delia bisa membukanya dengan mudah. Ketika pintunya terbuka, Delia bisa melihat sebuah padang hijau yang lembut.

Kedengarannya bukan tempat yang biasa, tapi memang ini bukan tempat sembarangan. Daniel menyebut tempat ini sebagai The Afterlife, yang sebenarnya bisa menjelaskan sepuar tempat ini dengan mudah. Penjelasan singkat yang Delia dapatkan adalah, ini tempat di mana para jiwa orang yang telah tiada berada. Tempat peristirahatan terakhir mereka.

Karena pengetahuannya ini, Delia jadi penasaran akan siapa yang mau bicara dengannya. Dia tentunya tidak akan bisa mengunjungi tempat seperti ini andai saja dia tidak harus bicara dengan orang ini. Tapi kalau dipikir lagi, seberapa banyak orang yang Delia kenal telah tewas? Mungkin akan ada cukup banyak nama, tapi hanya beberapa yang merupakan orang terdekat bagi Delia.

Dia terkekeh, karena ada satu pemikiran aneh yang ada di dalam kepalanya. Karena rasanya tidak mungkin kalau Ramon yang sudah mati ingin menemuinya di sini dan bicara. Taman indah semacam ini bukan tempat yang cocok sebagai tempat peristirahatan terakhir untuk Ramon. Seharusnya sekarang ini dia sudah meleleh di dalam kerak neraka.

Delia berjalan ke sembarang arah, membiarkan kakinya melangkah ke arah yang dia rasa benar. Wangi bunga yang semerbak dan rumput hijau yang terasa sangat lembut di kakinya membuat Delia merasa lebih rileks. Hal ini benar -  benar dia butuhkan, karena ada banyak hal gila yang terjadi akhir - akhir ini dalam hidup Delia. Relaksasi adalah hal yang terakhir dia pikirkan, tapi sepertinya dia memang memerlukan hal ini.

Hingga akhirnya Delia bisa melihat adanya seorang pria di kejauhan. Kakinya membawa mendekati orang itu, sementara di dalam pikirannya dia hanya bisa bertanya siapa yang ada di sana.

Ketika jarak mereka sudah semakin dekat, Delia bisa melihat lebih jelasnya lagi pria itu. Dia memiliki rambut hitam keriting, yang memanjang sampai ke lehernya. Warna kulitnya kecoklatan terbakar matahari, dan iris matanya berwarna cokelat gelap. Meski apa yang dia lihat ini berbeda dari apa yang bisa terakhir kali Delia ingat, dia bisa mengenali siapa yang ada di hadapannya dengan mudah.

"Kak Domi?" ujar Delia.

Meski terlihat berbeda, Delia bisa meyakini kalau sosok yang ada di hadapannya itu adalah kakaknya, Dominic. Saat itu, kakaknya masih berusia 12 tahun, tapi Delia yakin kalau apa yang dilihatnya saat ini adalah sosok kakaknya, andai saja dia bisa tumbuh dewasa. Delia bisa melihat seorang pria yang kini berdiri dengan kokoh sambil menatap langit. Andai saja kakaknya masih hidup sampai sekarang, tentunya dia akan jadi sosok yang sangat mengagumkan.

Si pria yang dipanggil kini menoleh ke arah Delia. Wajahnya seperti yang terakhir Delia ingat, lembut dan penuh kasih sayang. Mereka kini hanya berjarak beberapa kaki dari satu sama lainnya, dan Delia memandang sang kakak dengan penuh ketakjuban dan kerinduan. Dominic melihat siapa yang datang, kemudian dia tersenyum lebar.

"Halo dik. Sudah lama ya, kita tidak bertemu? Kamu sudah tumbuh besar, ya?" kata Dominic.

Suaranya membuat Delia merasa rindu. Semua kenangan indah masa kecilnya seolah menari di benaknya, membuatnya merasa setelah semua yang terjadi, dia masih tidak beranjak dari semua keindahan itu. Mereka bertatapan selama beberapa saat. Delia tidak dapat membendung lagi kerinduannya, dan dia langsung saja menerjang dan memeluk kakaknya erat - erat. Sang kakak terkekeh, dan dia hanya bisa menerima pelukan sang adik sambil terkekeh.

Tak terasa, kini Delia meneteskan air matanya. Delia tahu kalau semua ini hanya mimpi. Tapi dia tahu kalau kakaknya yang memanggilnya kemari. Setidaknya, kini Delia tahu kalau kakaknya akan selalu ada di sisinya. Delia tahu kalau kakaknya akan selalu ada dan memperhatikannya. Kehangatan dari kakaknya ini membuat Delia percaya kalau semuanya bisa saja jadi nyata.

"Sudahlah Del, kamu jangan nangis gitu dong. Aku kan sering bilang kalau aku enggak mau punya adik yang cengeng," kata Dominic.

Sang kakak mengusap air mata Delia. Mereka berpelukan selama beberapa saat, dan kalau bisa, Delia tidak mau melepaskannya sampai kapanpun. Pria ini adalah pria pertama yang membuat Delia bisa merasakan cinta yang utuh, dan dia tidak mau kehilangan Dominic. Setidaknya, selama Delia berada di sini, dia ingin selalu berada di dekapan kakaknya.

"Maafkan aku, Kak Domi. Tapi aku kan sangat kangen sama kakak," sahut Delia.

Dominic terkekeh, "Aku mengerti itu. Kakak juga kangen sama Delia kok."

"Kumohon kak, bisakah kakak jangan pergi lagi?"

"Tentu saja itu tidak bisa. Aku kan bisa ada di sini karena kebaikan Tuhan padaku. Tapi, selama kamu bisa bertemu denganku kali ini, mari kita nikmati saja momen ini, ya?"

Delia mengangguk. Dia tahu kalau kakaknya tentu tidak akan bisa untuk tetap ada bersamanya. Delia sendiri tidak seharusnya ada di sini, dan dia tidak mengerti kenapa dia bisa berada di sini. Hanya Tuhan yang bisa menjelaskan kenapa hal ini terjadi. Jadi, sepertinya akan lebih baik jika Delia menikmati saat dia bisa bersama dengan Dominic.

Setelah Delia jadi lebih tenang, keduanya memutuskan untuk berjalan - jalan, sambil Delia membagikan kisah yang sudah dia alami di dalam hidupnya. Dominic menyimaknya dengan baik, dan dia senang karena bisa mendengarkan cerita dari adiknya yang kini sudah tumbuh dewasa. Lelah dengan berjalan - jalan, mereka duduk di atas rumput dan menikmati angin semilir. Delia meletakkan kepalanya di pangkuan Dominic, sambil mereka membagikan kisah mereka.

Kisah mereka sudah mulai habis, dan kini Dominic memandang langit selama beberapa saat. Setelahnya, dia menatap ke arah adiknya dan tersenyum. Meski sudah tumbuh dewasa, Delia tetaplah seorang adik kecil bagi Dominic. Dia tetaplah adik yang akan selalu dia kasihi dan cintai dengan sepenuh hatinya. Meski dia tidak bisa menjaganya secara fisik, setidaknya dia akan selalu mendoakan agar adiknya selalu baik - baik saja.

"Hei Del, kamu benar - benar mencintai Yoshi, kan?" tanya Dominic.

Delia terdiam sejenak, dan memandang ke arah kakaknya. Otak Delia berpikir dengan cepat, dan rasanya kini semuanya jadi masuk akal. Tidak salah kalau Dominic memanggilnya kemari, karena tentunya dia ingin membahas akan pernikahannya. Pertanyaan ini membuat Delia jadi khawatir, dan dia berharap kalau kakaknya tidak masalah dengan hal ini.

"Tentu saja, kak. Aku mencintainya dengan sepenuh hatiku. Tidak ada seorangpun yang bisa membuatku merasa spesial seperti ketika aku bersama dengan Yoshi. Seolah dia melengkapi sesuatu yang hilang dari diriku," kata Delia.

Dominic mengangguk, "Begitu? Kakak bisa lihat kalau dia memang orang yang akan melakukan apa saja untuk seseorang yang dia cintai. Jadi, sepertinya aku tidak perlu merasa terlalu khawatir lagi di sini ya? Kan kamu sudah punya Yoshi."

Delia menghela napasnya, "Aku tahu itu. Tapi tanpa Kak Domi, semuanya terasa tidak lengkap. Terkadang semuanya terasa agak menyakitkan untukku, terutama setelah apa yang baru saja terjadi itu. Aku menginginkan sosok seperti kakak yang selalu ada untukku. Aku ingin Kak Domi ada di saat aku membutuhkan seseorang yang bisa aku percaya."

"Aku mengerti soal itu, dik. Tapi kan aku sudah bilang kalau kamu punya Yoshi. Aku yakin dia bisa menjagamu sebaik saat aku menjagamu. Tuhan itu tahu apa yang terbaik untukmu, Del. Aku yakin dengan hadirnya Yoshi dalam hidupmu, dia bisa memberimu banyak pelajaran dalam kehidupanmu. Dia bisa menjadi sosok pengganti untuk keberadaanku, dan dia juga akan jadi seseorang yang menemanimu sampai akhir hayatmu."

Delia mengangguk, "Aku sudah merasakan hal itu. Yoshi sudah mengubah banyak hal dalam hidupku. Dia membuatku bisa merasakan kembali apa yang namanya cinta. Dia bisa membuatku percaya pada orang lain lagi. Dia mengerti semua hal tentangku. Dia adalah sosok paling lembut dan penyabar yang pernah aku temui. Yoshi itu ... entahlah. Sepertinya dia punya semua hal yang aku butuhkan dari seseorang yang bisa menemaniku seumur hidupku."

"Tuh kan? Bersama dengan Yoshi, aku bisa lihat kalau kalian bisa menjalani kehidupan yang lebih bermakna lagi. Aku yakin kalau Yoshi bisa membahagiakan kamu seperti aku membahagiakanmu. Yoshi juga bisa menjagamu seperti saat aku menjagamu."

"Jadi, Kak Domi mengizinkan aku untuk bersama Yoshi?"

Dominic terkekeh, "Hei, ngapain coba aku jauh - jauh memohon agar aku bisa bertemu seperti kamu di saat begini? Andai saja bisa, aku mau untuk bisa ketemu kamu terus, tahu. Aku sengaja menahan diriku, setidaknya sampai kamu akan menikah, untuk menemui kamu. Tentu saja aku merestui kalian, apalagi karena aku bisa melihat bahwa kamu bahagia bersamanya."

"Yakin nih? Biasanya kan kakak laki - laki paling nggak rela kalau adiknya akhirnya menikah."

Dominic tertawa. Dia jadi agak geregetan dengan perkataan adiknya, jadi dia mengacak - acak rambut Delia. Sang adik hanya bisa berseru, sambil berusaha untuk meraih rambut kakaknya, yang sayangnya gagal. Seperti Delia, Dominic juga menikmati saat ini, dan dia ingin agar momen ini bisa bertahan lebih lama lagi.

"Menikahlah dengannya. Kurasa, hal itu wajar jika seorang ayah atau kakak laki - laki agak tidak rela jika adik perempuannya akan menikah. Mereka sudah mengenal sang adik seumur hidupnya, dan tahu cara membahagiakan si adik. Mereka pada dasarnya hanya khawatir kalau pria baru ini tidak akan membahagiakan sang perempuan dan hanya akan menimbulkan perasaan sakit hati. Tapi hei, aku sudah tidak berwujud fisik lagi, dan aku bisa melihat kalau kamu bahagia ketika bersama dengan Yoshi. Jadi ... kurasa aku bisa memercayakan Yoshi padamu. Tapi kalau sampai kamu kenapa - napa, jangan kaget misalnya aku tiba - tiba malah menghantui Yoshi."

Delia tertawa karena perkataan abangnya itu. Rasanya, seolah tidak ada yang berubah dari masa lalu mereka. Andai saja kakaknya masih hidup, mungkin dia akan mengatakan hal yang senada. Tapi, Delia senang karena Yoshi bisa mendapatkan kepercayaan kakaknya, bahkan ketika sang kakak berwujud gaib.

"Masuk akal juga. Rasanya wajar kalau tidak rela, ya, kalau kita melihat seseorang yang kita kenal baik dekat dengan orang lain yang bisa melukai tanpa disadari?"

"Nah, itu kamu tahu. Tapi tenang saja, aku sudah lihat kalau Yoshi bisa membuktikan dirinya layak untukmu, dan aku merestui hubungan kalian berdua. Kamu tidak usah khawatir tentangku, jalani saja hidupmu yang seru itu sebaik yang kamu bisa. Walaupun aku jauh darimu, aku akan selalu memperhatikan kamu. Selama kalian bahagia, aku juga akan bahagia bersama kalian."

Delia tersenyum, "Terima kasih, Kak Domi. Aku akan berusaha untuk melakukan yang terbaik."

"Bagus. Aku bangga padamu, Del. Kamu sudah melakukan lebih banyak hal dalam hidupmu daripada aku, dan aku bangga karena semua pencapaianmu itu. Tapi, jangan lupakan tugas utamamu. Kamu harus tetap menjaga Rima dan Ayah. Jadilah istri yang baik. Jadilah polisi yang bisa menegakkan keadilan untuk semua orang. Buatlah semua orang yang menyanyangimu merasa aman dan bangga karena mereka memiliki kamu."

"Iya kak. Aku akan ingat pesan kakak."

"Bagushlah. Sepertinya, sekarang sudah saatnya kamu pergi, Del. Jangan sampai kamu terlambat ke hari pernikahanmu sendiri gara - gara kamu bangun kesiangan. Jangan bikin malu kakak, ya?"

Delia tertawa, "Tenang saja kak, aku tidak bakalan bikin malu. Mana mau aku jadi seperti Pak Hendra yang doyan ngaret nyaris setiap saat."

"Nah, ayo aku antar kamu ke pintu itu. Kamu baik - baiklah, ya? Setiap kali kamu merasa ragu, ingatlah kalau aku akan selalu ada di dalam hatimu. Kalau sudah saatnya, nanti kita pasti akan bertemu lagi."

Delia mengangguk, dan Dominic melangkah bersama sang adik menuju ke pintu putih tempatnya masuk tadi. Setelah sampai di depan pintu itu, mereka menyampaikan salam perpisahan, sebelum akhirnya Delia kembali ke dalam ruangan serba putih tempat di mana Daniel berada.

Ketika Delia memasuki ruangan serba putih itu, Daniel tengah menuliskan sesuatu di atas kertas. Dia mendongak ketika melihat Delia masuk, dan tersenyum. Delia melirik ke arah Daniel, dan terkekeh.

"Oh, baguslah kau sudah kembali. Aku sempat agak khawatir, karena tadi itu cukup lama juga kamu pergi. Jadi, bagaimana pertemuanmu? Menyenangkan?" tanya Daniel.

"Kau punya saudara semasa hidup, Dan? Kakak, misalnya?" ujar Delia, bertanya balik.

"Uh, aku punya seorang adik perempuan. Memangnya kenapa? Kamu menemui saudaramu?"

Delia mengangguk, "Kakak laki - lakiku, Kak Dominic. Kau sendiri Dan, sebagai kakak laki - laki, apa memang benar kalau kau akan khawatir kalau misalnya adik perempuanmu akan menikah?"

"Eh, kurasa ya. Tentunya aku tidak mau kalau adikku menikah dengan orang yang salah, kan?"

Delia terkekeh, "Karena itulah aku ada di sini. Sepertinya kakakku sangat khawatir kalau aku kenapa - napa, sampai dia ingin untuk bicara padaku beberapa jam sebelum pernikahanku berlangsung. Untungnya, dia merestui pria pilihanku."

"Ah, begitu rupanya. Pantas saja. Tidak sekali ada orang yang kemari karena alasan seperti itu. Kalau begitu, aku mengucapkan selamat lebih awal untuk pernikahanmu. Semoga kau dan suamimu bisa bahagia dan langgeng."

"Terima kasih, Dan. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya? Kan tidak lucu juga kalau aku sampai terlambat di hari pernikahanku sendiri. Sampai jumpa lagi, Daniel."

"Sampai jumpa, Delia. Semoga kau baik - baik saja."

Delia mengangguk, kemudian dia menuju ke sebuah pintu hitam yang terbuka lebar. Gerbangnya menuju ke dunia nyata. Karena sekarang saatnya Delia menghadapi salah satu hari terbesar dalam hidupnya. Dia tidak boleh terlambat untuk hari besarnya ini.

~~~~~

Setelah melewati kegelapan itu, hal terakhir yang bisa Delia rasakan adalah, kesadarannya mulai menghilang. Ketika dia bisa mendapatkan kembali kesadarannya, Delia bisa merasakan sebuah guncangan di tubuhnya. Selama beberapa saat, dia terdiam, berusaha mencerna akan apa saja yang sudah terjadi dan bagaimana proses perpindahan alam yang dia alami itu.

"... Kak? Halo? Bangun kak ... cepetan bangun woi!"

Guncangan yang dia terima tidak berhenti, yang membuat Delia agak bingung. Dengan perasaan yang masih mengantuk berat, Delia dengan perlahan membuka matanya. Setelah mengusap matanya selama beberapa saat, Delia bisa melihat kalau dirinya masih berada di kasur kamarnya, yang merupakan pertanda bagus.

Masalahnya, guncangan itu masih tidak berhenti. Jadi, Delia menoleh ke arah asal guncangan itu dan dia bisa menemukan kalau kini Rima sedang mengguncang lengannya. Cahaya redup subuh meruak masuk ke matanya, yang membuat Delia harus menyipitkan matanya. Dari apa yang dia lihat, sepertinya hari sudah pagi dan Rima tengah berusaha untuk membangunkannya.

"Rima? Oh, ini sudah pagi ya?" tanya Delia.

Rima menghela napasnya. Rasanya, pertanyaan tadi tidak perlu ditanyakan lagi. Tentu saja harinya sudah pagi, karena buat apa coba dia ngerjain kakaknya? Tapi, Rima tidak mengetahui soal "mimpi" Delia, sehingga dia tidak bisa menangkap nada kebingungan dari suara kakaknya.

"Iyalah! Kalau enggak, ngapain aku ngebangunin kamu coba? Kamu ini, kok bisa - bisanya sih tidur dengan enak begitu? Setahuku, pengantin itu gugupan, jadi susah buat tidur. Lah kamu?" kata Rima.

Delia terkekeh, "Yah, kan kaliin kamu iseng ngebangunin aku tengah malam. Lagi, itu kan nggak musti harus berlaku buat semua orang. Ada saja tuh orang yang bisa tidur tenang untuk melupakan masalahnya."

"Ngapain juga aku ngerjain kakak? Kayaknya tipuan macam itu cuma orang macam Sensei yang bakalan mau mencobanya. Dia kan kebangetan. Doyan banget bikin orang panik beliau itu."

"Wah, kalau Pak Hein, kamu jangan tanya deh. Makhluk yang satu itu kan kadang agak keterlaluan."

Rima terkekeh, "Ah sudahlah, jangan bahas makhluk itu pagi - pagi. Toh, nanti kan bakalan ketemu sama dia nanti. Nah, kok bisa kamu tidur dengan nyenyak, sampai kelihatannya nggak mau dibangunin gitu? Kamu mimpi indah sama Yoshi ya?"

Delia tertawa karena pernyataan Rima tadi. Setelah tawanya selesai, Delia memutuskan untuk merenggangkan tubuhnya, kemudian berpindah ke posisi duduk. Kalau mau dipikir lagi, mimpi yang Delia alami itu tidak sepenuhnya indah, tapi juga tidak sepenuhnya buruk. Semuanya terasa nyata, dan karena tempat macam apa yang dilihatnya itu, rasanya mimpi ini cukup aneh dan agak sulit untuk dijelaskan bagaimana rasanya.

"Eh, gimana ya? Untuk catatan, aku nggak mimpiin soal Yoshi. Aku merasa ... kalau aku seolah terlempar ke sebuah alam tempat peristirahatan terakhir manusia, dan di taman yang entah ujungnya di mana, aku ketemu dengan Kak Domi."

Mendengar nama kakak kandung yang tidak pernah Rima lihat secara langsung itu, si adik mengerutkan alisnya. Hal ini tentunya tidak biasa. Jarang - jarang kakaknya menyebutkan soal Dominic, apalagi karena katanya Delia mendapatkan mimpi tentangnya. Hal ini tentunya memicu rasa penasaran Rima.

"Eh? Kedengarannya penting. Lalu, apa yang terjadi? Kak Domi bilang apa sama kamu?"

"Panjang ceritanya, Rim. Nanti sajalah aku ceritanya, aku mau mandi dulu. Pas siap - siap nanti, aku bisa cerita soal itu. Aku harus segera bersiap, ini kan hari yang bersejarah."

Rima tersenyum, lalu menyikut kakaknya, "Iya deh, yang mau menikah! Kalau begitu, buruan deh mandi sana!"

Delia mengangguk, lalu melompat turun dari kasurnya dan bersegera mandi. Ya, hari ini dia akan menikah dengan Yoshi. Hari yang paling dinantikannya di sepanjang hidupnya akhirnya datang. Delia berharap kalau semuanya akan berjalan dengan lancar hari ini.

~~~~~

Di saat yang sama, di kediaman Yoshi juga sedang terjadi sedikit kekacauan di hari yang masih relatif pagi. Si mempelai pria sudah siap dengan pakaian formalnya, dan rambutnya juga sudah ditata dengan rapi. Yoshi berada di kamarnya, bersama dengan Rei, Rendi, Pak Indra, Hendra, dan Om Ryo. Sementara menunggu Rendi mengambil beberapa perlengkapan riasnya, kini Yoshi memandang ke luar jendela kamarnya.

Pikiran si mempelai pria kini tengah melayang ke sana dan kemari. Di satu sisi, dia tidak percaya kalau saat ini akhirnya datang juga. Tapi di saat yang bersamaan, dia agak takut akan apa yang terjadi di masa depannya. Yoshi takut, karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi. Akankah semuanya bisa berjalan sesuai dengan keinginannya, atau ada hal lainnya yang bisa membuat keadaannya jadi lebih kacau?

Jawabannya mudah saja. Yoshi tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depannya. Dia hanya bisa melakukan yang terbaik, dan berharap kalau semuanya akan baik - baik saja. Walau begitu ... apa yang dikatakan oleh Pak Kazuki kini terngiang di dalam kepala Yoshi. Kalau sekarang tanggung jawabnya akan jadi semakin berat lagi. Kalau Yoshi harus berusaha lebih baik lagi bagi semua orang yang disayanginya.

"Halo? Yoshi? Kamu melamun? Atau, kamu malah gugup?" tanya Om Ryo.

Perkataan omnya itu membuat Yoshi kembali terlempar ke dunia nyata. Pikirannya memang melayang kemana - mana, dan itu bisa jadi karena dia ingin menenangkan dirinya dari semua kekacauan yang dia rasakan saat ini. Entahlah, Yoshi tentunya merasa aneh karena apa yang dia rasakan saat ini.

"Entahlah, om. Aku gugup, tapi ada perasaan campur aduk lainnya yang susah untuk dijelaskan. Ini adalah salah satu momen mendebarkan dalam hidupku, dan aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya," jawab Yoshi.

Pak Indra terkekeh, "Aku juga begitu kok pas mau menikah. Bahkan pengalaman keduaku sama anehnya dengan yang pertama, apalagi dengan apa yang terjadi setelahnya. Rasanya memang aneh, Yo. Jadi, kamu tidak perlu menjelaskannya," kata Pak Indra.

"Masa sih Yo? Kamu gugup karena upacara pernikahannya, atau jangan - jangan kamu malah gugup karena nanti malam bakalan jadi malam pertamamu dengan Delia? Bener nggak Om Ryo?" canda Hendra.

"Enak saja! Itu sih kamu! Aku tidak mikir sampai ke sana kok!" sahut Yoshi, lalu meninju lengan Hendra yang kebetulan ada di dekatnya.

Rei menggelengkan kepalanya, karena apa yang baru saja Hendra nyatakan tadi. Sementara itu, Rendi sudah membawa seperangkat peralatan rias bersamanya, dan bersiap dengan krim fondasi untuk wajah Yoshi.

Melihat kalau tukang rias dadakan mereka sudah siap, Yoshi membiarkan Rendi melakukan pekerjaannya. Yoshi tidak banyak protes karena dia harus dirias, hanya saja dia tidak yakin kalau dirinya akan terbiasa dengan riasan itu. Tapi, siapa yang tahu, kan?

"Yah, kan kaliin saja. Siapa tahu kamu mikirnya ke sana, kan?"

"Dasar kamu itu, Ndra. Aku juga gugup karena prosesinya kok Yo, jadi kurasa itu wajar saja. Kalau kamu tidak gugup kan aneh juga. Lalu, soal pemikiran Hendra tadi, kan tidak ada yang mewajibkan pengantin baru untuk melakukan hal seperti itu di malam pertama, kan? Kadang ada beberapa bacaan di luar yang menyesatkan. Percayalah, kalian akan sama - sama terlalu mengantuk untuk memikirkan hal itu nanti malam. Kamu sendiri Ndra, memangnya malam pertama ngapain coba?" tanya Om Ryo.

"Eh, iya sih. Rasanya, aku nggak pernah dengar kisah malam pertama yang nyata sama persis seperti yang ada di buku bacaan. Aku sendiri, pas malam pertama nggak ngelakuin yang macam itu kok sama Nira. Habisnya, kami sama - sama kesal karena kelakuannya Yoshi dan Delia, lalu capek karena kejar - kejaran."

Yoshi terkekeh, karena dia teringat akan apa yang dia lakukan pada Hendra saat itu. Dia dan Delia dengan sengaja menyiapkan ranjang yang akan dikenakan oleh Hendra dan Nira. Mereka menaruh banyak lilin dan taburan kelopak mawar. Ini semuanya ide Delia, dan EG Group juga membantu mereka untuk melakukan hal ini.

"Bohong tuh, aku nggak percaya. Gak mungkin, tampangnya Hendra nggak meyakinkan begitu!" komentar Rei.

"Eh, malah nggak percaya nih anak! Tanyain saja sama Nira sana!" sahut Hendra.

"Aku hanya sedikit melamun tadi. Soalnya ... tadi malam aku mimpi kalau aku bertemu dengan Ayah dan Ibu. Mereka ... menemuiku di sebuah taman luas, dan membahas masa depan kami. Ayah juga banyak memberiku petuah dan saran. Aku jadi memikirkan perkataan beliau, terutama soal tanggung jawab. Aku kan sebentar lagi akan mengemban tanggung jawab yang lebih besar lagi," ujar Yoshi.

Om Ryo mengangguk. Hal ini tentunya tidak mengejutkan, karena dengan pernikahan memang akan datang tanggung jawab yang lebih besar lagi. Yoshi mungkin masih tidak yakin kalau dia akan bisa memegang semuanya dengan baik, tapi Om Ryo tahu kalau Yoshi mirip dengan ayahnya. Mereka sama - sama akan melakukan apa saja demi apa yang sudah menjadi tanggung jawab mereka. Keduanya sama - sama orang yang loyal.

Di sisi lain, Hendra malah merasa tertarik dengan apa yang Yoshi katakan. Tentunya tidak sering kalau kau bermimpi bahwa ada orang yang sudah mati menemuimu dalam mimpi. Mau tidak mau Hendra teringat akan pengalamannya selama koma, ketika dia bertemu dengan Daniel, serta keluarganya yang sudah tiada. Meski ini hanya teori, rasanya masuk akal juga kalau hal itulah yang terjadi dalam mimpi Yoshi.

"Pada awalnya memang berat, Yo. Setiap orang pasti akan merasa tidak siap kalau memikirkan soal tanggung jawab pernikahan. Tapi, kalau memang sudah saatnya kamu memikulnya, secara tidak sadar kamu tentunya sudah siap. Seiring dengan waktu, kamu akan mengerti dengan apa yang harus kamu lakukan kok. Kamu akan belajar melalui proses yang akan kamu alami," kata Om Ryo.

Yoshi mengangguk, "Terima kasih, om. Ya cuma itu, memikirkannya bisa jadi seram juga."

"Aku tahu. Tapi kamu tidak akan merasakannya ketika kamu menunanikan kewajiban itu. Khayalan manusia itu kadang memang berbahaya, karena bisa melebih - lebihkan apa yang ada. Apalagi kalau sudah soal menilai diri sendiri. We are our own worst critique."

"Iya Yo, beliau benar. Kamu nikmati saja deh prosesnya, jangan kebanyakan dipikirin," kata Pak Indra.

"Hmm, baiklah. Terima kasih," sahut Yoshi.

Om Ryo terkekeh, "Baguslah kalau pikiranmu nggak ngawur kayak si Hendra. Nanti malam jangan aneh - aneh kalian, karena pasti capek. Kalau memang mau, jangan terlalu sadis sama istrimu. Kasihan nanti dia tepar," tambah Ryo, lalu terkekeh.

Yoshi tidak tahan untuk tidak terkekeh karenanya. Meski Om Ryo adalah sosok yang lebih bijaksana dan dewasa di antara sang om dan ayahnya, kedua kembar ini tetap memiliki banyak kesamaan. Salah satunya adalah kalau sudah membahas soal perempuan atau sesuatu yang sepertinya tidak perlu diperjelas lagi apa maksudnya.

"Nggak lah om. Nggak seru kalau dia nggak bisa ngimbangin aku."

"Lah! Tadi kalian nuduh aku yang aneh - aneh! Lalu ini apa lagi coba? Dasar ya!" seru Hendra.

Om Ryo tertawa keras karenanya, yang membuat Pak Indra jadi geleng - geleng. Rei dan Rendi hanya bisa menghela napas karena pembahasan mereka yang bikin pikiran kemana - mana itu.

"Ah, pemikiran yang bagus. Aku suka ke mana kamu berpikir, Yo. Persis seperti ayahmu," canda Om Ryo.

Rendi memulaskan sentuhan terakhirnya di wajah Yoshi, kemudian dia mundur beberapa langkah. Setelah mengamati wajah Yoshi dari berbagai arah, akhirnya Rendi mengangguk.

"Kelihatannya sudah bagus! Ayo, siapa korbanku yang selanjutnya?" tanya Rendi.

Rei memutuskan untuk mengajukan diri, jadi Yoshi menjauh dari kursi yang dia duduki. Om Ryo berada di sebelahnya, dan beliau mencolek lengan si keponakan. Yoshi melirik omnya, penasaran akan apa alasannya. Om Ryo mengambil sebuah amplop dari saku dalam jasnya, dan memberikannya kepada Yoshi. Si keponakan menerimanya, dengan sebuah kerutan di kepalanya.

"Anggaplah ini sebagai hadiah pernikahan kalian dariku. Semoga kalian suka akan apa isinya," kata Om Ryo, lalu mengedipkan sebelah matanya.

Yoshi menimang amplop itu. Warnanya cokelat, jadi Yoshi tidak bisa menerawang dan menebak apa isinya. Setelah meliriknya dari berbagai sisi, Yoshi menatap omnya.

"Makasih om! Boleh aku buka nggak? Penasaran nih sama apa isinya," kata Yoshi.

"Eh, jangan dong! Nanti malam saja kamu lihat isinya, biar Delia juga bisa lihat."

Yoshi menghela napasnya. Dasar, omnya memang doyan bikin penasaran. Seperti ayahnya. Meski sudah ada kecurigaan akan apa isinya, tetap saja Yoshi penasaran akan apa yang diberikan oleh Om Ryo ini.

"Iya deh, iya. Kalau begitu, aku simpan dulu deh."

Yoshi meletakkan amplop yang diterimanya itu ke dalam laci yang ada di meja kerjanya. Setelah benda itu bisa tersimpan dengan aman, Yoshi menunggu Rendi menyelesaikan pekerjaan meriasnya, sambil memikirkan apa yang sebenarnya direncanakan oleh Om Ryo dan apa isi amplop itu.

~~~~~

Pernikahan Yoshi dan Delia bisa berlangsung dengan lancar. Tidak ada kendala apapun, dan keduanya terlihat sangat menawan di hari spesial mereka ini. Seperti acara pernikahan pada umumnya, ada banyak hal yang terjadi, tapi semuanya terlalu biasa untuk diceritakan. Hari itu terasa sangat cepat berlalu, dan tak terasa malam hari telah datang.

Selayaknya pasangan baru lainnya, Yoshi dan Delia juga mengalami suatu malam mendebarkan yang disebut dengan malam pertama. Meski begitu, Yoshi dan Delia sudah sepakat untuk tidak melakukan apa - apa malam itu. Mereka ingin melalui malam mereka dengan santai, setelah seharian berinteraksi dengan banyak orang.

Rei, sebagai adik yang baik, dia sengaja mengungsi ke rumah Hendra selama seminggu karena dia ingin memberikan kesempatan bagi kakaknya dan istri barunya untuk menikmati minggu pertama kehidupan mereka. Sang adik berharap kalau mereka bisa membiasakan diri, Rei kembali ke rumah itu minggu depan.

Malam itu berlangsung dengan santai. Tidak ada hal yang spesial, malah. Yoshi dan Delia baru saja selesai membersihkan diri dan mengganti pakaian. Keduanya sepakat kalau mereka akan pergi ke ruang tengah untuk duduk dan bersantai. Ketika mereka sudah berada di sofa, keduanya saat bertatapan satu sama lainnya.

Tatapan mereka berlangsung cukup lama, dan tidak ada yang berniat untuk memalingkan wajah. Keduanya sadar kalau sekarang keadaannya jadi agak berbeda dari yang sebelunya. Mereka merasa agak bersemangat, tapi agak canggung juga. Hingga akhirnya, entah kenapa mereka malah meledak dalam tawa. Mungkin mereka sama - sama sepakat kalau terlalu banyak memikirkan soal apa yang sudah terjadi pada mereka ini membuat keduanya sama - sama merasa goblok.

"Ya ampun! Mimpi apa semalam aku, Yo? Perasaan baru semalam kamu jadi pacarku, kok sekarang aku sudah jadi istrimu ya?" tanya Delia.

"Nah, jangan tanya aku. Aku juga nggak nyangka. Semuanya terasa cepat sekali berlalu. Aku harap kita akan terbiasa nantinya. Nah, sekarang kita perlu untuk ngobrol soal masa depan kita, terutama soal berapa anak yang akan kita miliki nantinya!" sahut Yoshi.

"Hah? Anak? Tunggu dulu, jangan sekarang! Aku belum siap buat jadi seorang ibu!"

"Aku kan nggak bilang mau bikinnya sekarang, kan? Kecuali kalau kamu memang mau. Tapi, ada banyak yang harus kita obrolkan. Jadi, ayo!"

Yoshi dengan tiba - tiba mengangkat tubuh Delia dan menggendongnya dengan gaya bridal. Delia hanya bisa menjerit kecil karena kaget dan melingkarkan lengannya di leher Yoshi. Candaan membuat suasana tegang yang ada jadi mencair, dan kini keduanya malah tertawa histeris. Sang suami membawa Delia ke kamar dan merebahkan tubuh istrinya di kasur.

Ketika sudah sampai, mereka langsung memulai dengan sebuah perang gelitikan. Perang mereka terlihat seperti gulat, yang membuat keadaan kasur mereka jadi berantakan. Entah berapa lama mereka bergulat, hingga akhirnya Yoshi menciumi kening istrinya. Delia hanya bisa menerima perlakuan sayang yang diberikan suaminya, sambil tertawa dan menepuk lengan Yoshi ringan.

"Nah, karena bercandanya sudah, ayo kita bahas yang serius. Jadi, kamu mau mulai dari mana?" tanya Yoshi.

"Tadi kamu sudah nyebut soal anak, nah, kalau kamu memang mau punya anak sekarang, aku akan kasih tahu kalau ini adalah masa yang tepat," sahut Delia.

"Eh, eh, eh! Tunggu dulu! Kan aku cuma bercanda soal itu! Nanti kalau memang sudah siap, aku bilang deh!"

Delia tertawa, "Habis, kamu semangat banget sih pas bahas itu! Memangnya kamu mau punya berapa sih?"

"Aku mau bikin klub bola yang isinya anak - anak kita boleh nggak?"

Delia langsung melotot, lalu menepuk lengan Yoshi dengan keras. Serangan itu agak tidak terduga, yang membuat Yoshi mengaduh karenanya. Sang suami kini berbaring di sebelah istrinya, karena serangan mendadak tadi membuatnya meringis. Sementara itu, Delia malah tertawa keras, sebelum akhirnya menatap Yoshi dengan serius.

"Kalau mau punya anak sih boleh, kan itu sebuah tugas mulia untuk meneruskan generasi kehidupan umat manusia, tapi mikir dikit lah Yo! Kalau sebanyak itu, aku mana kuat! Kamu sih enak!"

Yoshi tertawa, "Iya, iya. Aku bercanda kok. Memang kamu kuatnya berapa coba?"

"Dua cukup deh. Sekalian mengikuti nasihat pemerintah. Kecuali kalau memang dikasihnya lebih, boleh juga tuh. Yang namanya rezeki kan nggak boleh ditolak."

Yoshi kembali terkekeh, kemudian dia memeluk Delia. Sang suami memberikan sejumlah kecupan sayang untuk istrinya, dan membelainya lembut. Delia tidak terbiasa dengan perlakuan semacam ini, jadi dia merasa agak aneh karenanya. Walau begitu, Delia tetap bisa merasakan sebuah kenyamanan dari dekapan Yoshi.

"Sudah ah, katanya mau ngobrol yang serius, kok malah jadi kayak begini coba?" tanya Delia.

"Ah, masa iya aku nggak boleh sih ngasih perlakuan sayang ke istriku yang tercinta?" ujar Yoshi

Delia menghela napasnya, karena tentu saja Yoshi akan melakukan hal semacam ini. Dia tahu kalau Yoshi adalah tipe orang yang suka memberikan perhatian tanpa disangka. Yoshi adalah sosok yang bisa melindungi orang lain dengan kelembutannya. Meski Delia tidak terbiasa, dia bisa merasakan kalau Yoshi akan memberikannya lebih banyak perhatian mulai dari sekarang.

Yoshi sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Dia hanya menginginkan Delia. Yoshi ingin perempuan ini jadi wanitanya, dan ada di sisinya selamanya. Dia hanya ingin memberikan semua kasih sayang yang dia miliki hanya pada Delia seorang.

"Kamu memangnya mau ngomong hal serius apa sih Yo?" tanya Delia.

"Aku ... aku mau kamu, Del. Aku hanya ingin bersama denganmu selamanya. Jangan tinggalkan aku. Aku ingin menjadi pria yang akan selalu mencintaimu. Aku ingin menghujanimu dengan semua kasih sayang yang aku miliki. Aku ingin agar kita membesarkan anak - anak kita bersama, dan menghabiskan sisa hidupku hanya denganmu."

Pernyataan Yoshi itu sangat romantis, dan Delia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa seperti tokoh utama sebuah novel roman. Hanya saja, perasaan Yoshi ini tulus, dan Delia bisa merasakannya. Yoshi tidak pernah jadi seseorang yang posesif, tapi perkataannya tadi sangat menggambarkan kalau Yoshi hanya mau Delia di dalam hidupnya. Sebagai suaminya, tentu saja ini adalah haknya.

Perasaan ini agak aneh, tapi bagi Delia, rasanya dia tidak keberatan kalau dia harus dimiliki oleh Yoshi. Karena Delia tahu kalau dia juga memiliki Yoshi. Mereka sama - sama memiliki, dan sekarang mereka akan jadi sebuah tim yang akan melawan kerasnya arus kehidupan bersama.

"Aku juga, Yo. Ayo kita melakukan semuanya bersama, dan mengendalikan kapal kehidupan ini dengan baik. Kita akan lalui semuanya bersama."

Yoshi mengangguk, kemudian membelai wajah Delia. Mereka berdua berpandangan selama beberapa saat. Yoshi memberikan sedikit isyarat dengan matanya, dan Delia mengangguk dengan pelan. Melihat isyarat itu, Yoshi mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Delia dengan lembut. Sang istri pasrah dan dia menerimanya dengan sepenuh hati.

Selama ini Delia selalu dianggap sebagai perempuan yang tahu apa saja yang harus dia lakukan dalam hidupnya. Perempuan yang mandiri lagi kuat. Tapi dia tahu kalau dirinya tidak seperti apa yang orang lain lihat. Masih ada beberapa hal yang bisa melemahkan pertahanannya. Tapi setidaknya, Delia senang karena kini Yoshi ada di sini dan bisa menguatkannya.

Setelah beberapa saat, ciuman itu berakhir. Napas keduanya sama - sama tidak teratur, tapi mereka saling bertatap dengan penuh cinta. Delia kemudian memejamkan matanya, dan bisa merasakan kalau jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Yoshi terkekeh, kemudian mengusap kepala Delia.

"Aah~ cie yang malu - malu. Kamu kelihatan lucu kalau malu begitu," kata Yoshi.

"Ish, Yoshi ...." ujar Delia, lalu menepuk lengan Yoshi.

"Iya, kenapa sayang? Kamu mau apa?"

"Yang pasti sih bukan itu. Aku mau tidur, capek banget nih. Ngantuk."

Delia menguap, dan Yoshi melirik jam dinding yang ada di kamar. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, sepertinya sudah saatnya mereka untuk pergi tidur. Dia sendiri sudah mengantuk, jadi memang lebih baik kalau mereka akhir saja dulu malam ini.

"Tunggu dulu ... aku baru ingat sesuatu."

"Huh?"

Delia mengalihkan pandangannya pada Yoshi, bingung. Sementara itu, Yoshi sendiri sudah beranjak dari posisinya, dan duduk di pinggir ranjang. Tak lama kemudian, Yoshi berdiri dan menuju ke meja kerjanya. Dia membuka laci meja itu, dan mengeluarkan sesuatu.

"Ada apa Yo?" tanya Delia.

"Tadi pagi Om Ryo memberi aku sesuatu. Isinya sebuah amplop tipis dan aku penasaran sama apa isinya. Katanya sih, kita harus buka ini barengan."

Delia kini jadi ikut penasaran akan apa yang diberikan oleh Om Ryo, jadi dia duduk di atas kasur. Yoshi kembali ke kasur sambil membawa sebuah amplop berwarna cokelat yang isinya masih jadi misteri itu. Mereka berdua duduk behadapan, dengan amplop itu berada di tengah mereka berdua.

"Om Ryo itu kakak kembar ayahmu, kan? Kalau dilihat, mereka memang mirip banget ya? Sampai aku mengira jangan - jangan beliau adalah sosok gaib dari ayahmu. Kamu sama Rei pernah tertukar nggak di antara mereka berdua?" tanya Delia.

Yoshi terkekeh, "Mereka malah sengaja iseng pakai baju yang sama. Aku sama Rei nggak bisa bedakan mana yang Ayah, mana Om Ryo," kata Yoshi.

Delia terkekeh, "Sama isengnya juga rupanya."

"Yah, tapi mereka sama - sama sosok yang jadi panutanku. Aku kadang menganggap Om Ryo sebagai pengganti dari ayahku, meski mereka tentunta tidak bisa menggantikan satu sama lainnya."

"Nama depannya Om Ryo siapa sih?"

"Ryozuki. Ryozuki Ikemasa namanya.

"Ryozuki dan Kazuki. Nama kembar yang keren. Kayaknya keren deh, kalau nanti anak kita mewarisi margamu. Keluargamu juga pasti akan lebih suka kalau kita pakai nama keluargamu, kan?"

"Serius nih? Nggak mau ditambah margamu? Ayahmu punya marga yang bagus juga loh."

"Hm, bisa sih. Tapi namamu lebih keren. Kita bisa bahas itu nanti sih, meski kayaknya ayahku nggak akan keberatan kalau kita pakai namamu."

"Iya deh, nanti kita bahas."

"Nah, sekarang kita buka gih amplopnya! Aku jadi penasaran nih! Warna amplopnya cokelat sih, jadi nggak bisa diterawang."

Yoshi terkekeh, kemudian tanpa banyak ngomong lagi melakukan apa yang harus dia lakukan. Sang suami berusaha untuk membuka lidah amplopnya, lalu mengeluarkan isinya. Ada beberapa lembar kertas di sana, dan yang paling menarik adalah ada sebuah kertas kecil dengan tulisan tangan yang Yoshi kenali sebagai tulisan tangan omnya.

Aku harap kamu dan Delia menyukai hadiah kecilku ini dan bisa menikmatinya. Selamat menempuh hidup baru, dan semoga kalian langgeng ya! -Ryo-

Yoshi dan Delia bisa menemukan beberapa lembar kertas di dalam amplop itu. Keduanya membaca sejenak apa yang tertulis di atas kertas itu. Setelah beberapa saat memerhatikan, mereka akhirnya malah melongo saat menyadari apa isi dari kertas itu. Akhirnya, kedua suami dan istri ini berpandangan satu sama lain, tidak percaya akan apa yang barusan mereka lihat.

"Yo, ini serius?" tanya Delia.

"Om Ryo itu sama kayak ayahku, kadang suka bikin kejutan. Jadi, aku tahu kalau dia nggak bercanda," sahut Yoshi.

"Beliau sudah mengurus dan menyiapkan semuanya? Bagaimana bisa?"

"Banyak anggota keluargaku yang doyan bekerja dengan cara misterius. Jadi, jangan tanya aku deh."

"Hmmm ... sepertinya seru ya?"

"Tentu saja itu akan seru! Aku juga jadi nggak sabar!"

Yoshi dan Delia berpandangan satu sama lainnya, lalu tertawa. Mereka menyimpan kembali isi amplop itu di tempat yang aman, sebelum mereka memutuskan untuk pergi tidur.

Tapi tunggu dulu, kira - kira, apa ya isi amplop itu?

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top