Chapter 8 : Membiasakan Cinta
Malam itu berlalu sebagaimana normalnya setelah Arin pulang dari rumah Rendi. Arin merasa kalau dirinya jadi lebih baik daripada yang sebelumnya, entah karena keajaiban apa yang sudah Rendi berikan sehingga Arin merasa lega seperti itu. Pokoknya, Arin merasa bahwa dia jadi lebih aman setelah menceritakan semuanya pada Rendi.
Sisi logis Arin sebenarnya masih mempertanyakan banyak sekali hal seputar Rendi. Kenapa Rendi bisa membuatnya nyaman? Kenapa Rendi rela melakukan banyak hal untuknya? Kenapa bersandar pada Rendi adalah satu hal yang Arin bisa lakukan dengan mudah, padahal sebelumnya Arin tidak pernah bisa percaya pada pria lain dengan cara yang sama?
Kalau mau dipikirkan, sebenarnya jawabannya mudah saja. Meski begitu, pikiran Arin yang masih agak kacau tidak bisa menebak apa jawabannya. Tapi hati Arin tahu kalau apa yang dia lakukan ini sudahlah benar. Rendi dapat dipercaya, dan sepertinya itu saja sudah cukup untuk membuat Arin bisa membiarkan dirinya membuka sedikit pintu hatinya untuk Rendi. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi, selama pria itu adalah Rendi. Karena Rendi tidak akan tega untuk melukai Arin barang seujung jengkal sekalipun.
Bahkan kalau mau dipikir - pikir, Rendi saja tidak pernah membuat Arin merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Tidak seperti Yoshi yang seiring waktu terlihat dingin di hadapan Arin, Rendi malah selalu terlihat hangat. Lagi, Rendi saja tidak pernah memberikan sedikitkpun sentuhan yang membuatnya risih.
Arin tahu betul, apa yang sudah terjadi di antara dia dan Jack saat itu telah membuat Arin tidak ingin untuk dekat dengan pria lainnya, dan sentuhan mereka adalah salah satu hal yang membuat Arin agak takut. Tapi, Rendi tidak pernah menyentuh Arin seperti itu. Ya, mungkin beberapa kali mereka pernah bergandengan tangan atau bersentuhan, tapi kebanyakan hal itu terjadi karena Arin yang memulainya terlebih dahulu.
Malah, Arin yang sering kali sangat ingin menyentuh Rendi. Entah kenapa, sentuhan Rendi memberikan sebuah sensasi tersendiri yang membuat Arin merasa sangat nyaman karenanya. Tidak ada rasa risih apapun, dan Arin selalu menikmati saat Rendi memberikan perhatiannya melalui sentuhan. Terkadang Arin bisa merasakan kalau jantungnya berdetak dengan kencang, tapi bagi Arin, sepertinya semua itu wajar saja. Malah, Arin menyukai sensasi gugup yang kadang dia rasakan itu.
Pemikirkan tentang sentuhan Rendi itulah yang memenuhi pikiran Arin sesampainya dia di rumah. Setelah mencari sedikit makanan, Arin memutuskan untuk pergi tidur, dan pemikiran ini membuat Arin tersenyum. Kenapa? Entahlah, Arin sendiri tidak tahu. Pokoknya, dia merasa senang ketika dirinya bersama dengan Rendi, dan dia juga senang karena Rendi bisa membantu mengatasi serangan kepanikan yang Arin terima.
Kemudian, Arin kembali teringat akan ciuman yang dia berikan kepada Rendi. Arin tidak tahu kenapa dia melakukannya. Mungkin ini adalah dorongan impuls yang mengatakan kalau Arin menginginkan sentuhan Rendi lebih banyak lagi. Arin tidak menyesali apa yang sudah dia lakukan, hanya saja ... pipinya memerah ketika mengingat kembali apa yang terjadi dan apa saja yang dia lakukan.
Ciuman itu terasa sangat lembut, dan Arin tidak pernah tahu kalau dirinya benar - benar memerlukan ciuman itu. Seolah semuanya bisa hilang dan menjadi lebih baik karena kasih sayang yang diberikan oleh Rendi. Di dalam hatinya, Arin sangat menginginkan Rendi di dalam hidupnya selama yang dia bisa. Arin tidak mau kehilangan Rendi, apalagi kalau dia sampai pergi dari hidup Arin dengan begitu saja.
Arin jadi berpikir, apakah dia sebenarnya telah jatuh cinta pada Rendi? Entahlah, Arin sendiri tidak tahu. Rasanya, kalau mau dibilang bahwa hal ini adalah cinta, semua itu terasa terlalu cepat bagi Arin. Bahkan, Arin sendiri tidak tahu bagaimana rasanya dicintai atau mencintai, karena dia sudah terlalu lama berada di dalam kesendiriannya. Jadi, Arin tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Tapi, satu hal yang pasti adalah, Arin merasakan kalau dia bisa cukup terbiasa dengan kehadiran Rendi. Kehadiran seseorang yang baru bukanlah hal yang bisa Arin terima dengan mudah. Hanya saja, entah kenapa dan bagaimana, Rendi bisa menjadi satu orang yang membuat Arin bisa beradaptasi dengannya dalam waktu singkat. Hal seperti ini tidak biasanya terjadi, dan Arin sendiri agak merasa heran karenanya.
Sebenarnya, hal ini tidak hanya terjadi pada Rendi. Secara umum, EG Group adalah orang - orang yang Arin bisa membuat Arin merasa terbiasa dan betah dengan cepat. Mereka semua punya karakter yang berbeda - beda antara satu sama lainnya, tapi mereka bisa membuat Arin merasa nyaman. Bahkan Hendra yang merupakan anggota gaib mereka juga bisa beradaptasi dengan Arin dalam waktu yang cukup cepat, tidak peduli meski Hendra jarang Arin muncul atau seberapa absurdnya pria yang satu ini. Hanya saja, Rendi sepertinya adalah orang pertama yang betul - betul bisa membuat Arin merasa nyaman karenanya.
Entahlah, Arin tidak tahu apa yang sebenarnya Arin rasakan pada Rendi. Apapun itu, Arin sudah terbiasa dengan keadaan Rendi dalam waktu yang cukup cepat. Karena terbiasa dengan keadaan Rendi, Arin bisa merasa nyaman dengannya, apalagi karena Rendi memang sosok yang bisa membuat Arin merasa nyaman. Hanya saja, agak aneh bagi Arin pada awalnya, karena dia tidak pernah terbiasa dengan keadaan seorang laki - laki di dalam hidupnya.
Apakah mungkin itu yang sebenarnya Arin rasakan terhadap Rendi? Apakah perasaan terbiasa inilah yang membuat Arin merasakan kalau ada sesuatu yang spesial dari Rendi? Mungkin saja. Kata orang, waktu bisa mengubah banyak hal. Mungkin saja Rendi sudah mengubah pandangan Arin terhadapnya dengan membuat si perempuan merasa terbiasa dengan kehadirannya.
Apapun itu, Arin menyukai perasaan ini. Dia tidak ingin Rendi jauh darinya, karena hanya pria inilah yang bisa membuat Arin merasa lebih baik. Arin tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, tapi Arin tidak begitu peduli.
Pemikiran inilah yang mengantar Arin pada tidurnya malam ini. Pemikiran ini sebenarnya menenangkan, karena Arin tahu kalau Rendi tidak akan pernah meninggalkan Arin sendirian. Rendi adalah seseorang yang punya tempat khusus di hidup Arin, karena dia telah memberikan kesan tersendiri pada Arin.
Tapi sebelum kesadarannya pergi ke alam mimpi, Arin memikirkan satu hal yang cukup menarik. Kalau selama ini Rendi sudah bisa membuat Arin terbiasa atas kehadirannya, bisakah Rendi juga membuat Arin merasa terbiasa untuk mencintainya? Arin tahu kalau Rendi menyukainya, dan Arin mengakui kalau Rendi adalah pria yang sangat baik, jadi mungkin tidak ada salahnya kalau Arin mencoba untuk memperdalam perasaannya pada Rendi.
Tapi, bisakah Arin membiasakan diri untuk mencintai Rendi? Entahlah, kita tidak akan tahu, karena Arin sendiri juga tidak tahu apakah dia akan bisa untuk melakukannya.
~~~~~
Seperti yang Arin katakan pada Rendi, keesokan harinya Arin memutuskan untuk kembali ke kantor dan kembali bekerja. Setelah apa yang Rendi lakukan pada Arin semalam, sepertinya kini Arin sudah siap untuk kembali bekerja.
Untuk saat ini, mungkin keadaan masih tidak jelas akan jadi seperti apa. Yoshi mungkin sudah mendapatkan beberapa data seputar The Hatters dan apa yang mungkin akan dilakukan oleh Jack dalam usahanya untuk mendapatkan Arin. Tapi setidaknya, dengan kembali ke kantor, Arin akan bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dengan cepat, sehingga dia juga bisa bertindak dengan cepat dalam masalah ini.
Kembalinya Arin ke kantor membuat EG Group merasa senang karenanya. Mereka tentunya agak khawatir akan keadaan Arin, karena apa yang terjadi semalam pada Arin pastilah sangat berat. Ada banyak sekali hal yang membuat mereka bingung, dan pastinya Arin juga merasa kalau semua hal ini mengganggunya. EG Group tentunya akan selalu ada bagi Arin untuk membantu, tapi tetap saja Arin akan membutuhkan beberapa waktu sendirian untuk menenangkan pikirannya.
EG Group lega karena Arin bisa kembali bersama mereka dalam keadaan yang lebih baik. Apalagi ketika melihat bahwa keadaan Arin tidak murung dan bingung seperti saat terakhir mereka bertemu. Ini berarti kalau Arin sudah bisa menenangkan dirinya, dan sudah siap untuk menghadapi Jack, kalau - kalau nanti dia muncul dan melakukan sesuatu. Selain itu, mereka juga bisa mengakhiri kasus aneh ini dengan segera, agar semua orang bisa merasa tenang.
Tapi, ada satu pertanyaan di dalam kepala empat orang yang tidak tahu apa - apa ini. Bagaimana bisa Arin terlihat ceria dalam waktu singkat, kalau setelah kematian ibunya saja Arin butuh waktu lebih lama untuk menata apa yang terjadi di dalam kepalanya? Apakah ini karena masalahnya tidak seberat kematian ibunya? Atau ada hal lain yang terjadi selama Arin tidak bersama mereka?
Hal ini semakin mencurigakan ketika Arin menatap Rendi selama beberapa saat setelah dia sampai di kantor. Mereka bisa melihat kalau tatapan Arin ini agak tidak biasa. Ada sebuah perasaan mendalam yang terpancar dari pandangan itu, dan Rendi membalasnya dengan sebuah tatapan yang hangat. Yoshi dan Delia saja sampai harus berpandangan satu sama lainnya, karena mereka mencurigai satu hal spesifik telah terjadi di antara kedua rekan mereka.
Walau begitu, mereka tidak ada yang membahas keanehan itu. Kembalinya Arin tentu jadi hal yang lebih penting untuk saat ini, dan mereka ingin tahu bagaimana kabar Arin. Dari apa yang bisa dilihat, tentunya Arin kini sudah jadi lebih baik, tapi mereka tetap ingin tahu apa saja yang terjadi selama dua hari mereka tidak bertemu.
"Senang melihatmu kembali, Rin! Tenang saja, kamu tidak ketinggalan terlalu banyak kabar selama tidak ada," kata Delia.
Ketika Delia menyambut Arin tadi, si perempuan baru saja sampai di ruangannya dan menatap semua rekan - rekannya. Tapi, pada akhirnya pandangan Arin malah tertuju pada Rendi. Keduanya saling bertukar pandangan dan tersenyum, yang mana keadaan itu diamati oleh keempat teman mereka. Setelahnya, Arin menuju ke meja kerjanya. Rendi terus memasang senyumnya, yang membuat teman - temannya jadi punya sedikit ide akan apa yang mungkin ada di dalam pikirannya.
"Kamu semalam pulang dengan selamat, kan? Kamu sudah merasa mendingan, atau masih ada beberapa mimpi buruk yang kamu alami tadi malan?" tanya Rendi.
"Iya, aku pulang dengan selamat, karena tentunya kamu bisa lihat kalau aku masih utuh. Untungnya, kemarin malam tidak ada mimpi buruk yang datang. Untuk kali ini, aku baik - baik saja. Terima kasih ya Ren, untuk yang kemarin itu?" sahut Arin.
Rendi tersenyum, "Sama - sama. Kan aku sudah bilang kalau kamu tidak perlu berterima kasih seputar hal itu."
Hal ini membuat keempat rekan mereka saling menatap satu sama lain. Mereka tahu kalau memang Arin menutup diri dari banyak orang dan kini mereka sudah tahu apa alasannya, tapi kok percakapan tadi seolah mengatakan bahwa Rendi tahu banyak sekali tentang Arin? Mereka jadi penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua, dan mencurigai kalau beberapa hal telah terjadi.
"Eh, ada apa nih? Kalian ngobrolin soal apaan sih? Kalian kemarin ngapain memangnya?" tanya Bu Risa.
Arin terlihat agak ragu selama beberapa saat, sebelum wajahnya jadi memerah. Entah kenapa, Arin malah jadi teringat akan ciumannya dengan Rendi semalam. Arin tentunya tidak bisa menceritakan soal itu kepada teman - temannya, tapi Arin ingin mereka tahu tentang apa yang dia ingat tentang Jack. Arin memandang Rendi sejenak, yang kini memberikannya sebuah senyuman yang menenangkan.
"Enggak kok bu, nggak apa. Aku cuma main ke rumahnya Rendi semalam," sahut Arin.
"Hm? Kamu serius? Jangan main rahasia - rahasiaan dong, memangnya apa yang terjadi?" tanya Yoshi, yang masih rada sangsi karena pernyataan Arin tadi.
"Ren, kamu sudah ceritakan soal itu pada mereka?"
Rendi menggeleng, "Belum. Aku saja baru sepuluh menit yang lalu sampai di sini. Lagipula, akan lebih baik jika kamu sendiri yang ceritakan, iya kan? Itu kan ceritamu," jawab Rendi.
"Baiklah kalau begitu. Aku memang mau ceritakan semuanya pada mereka kok."
"Kalian ini sebenarnya kenapa sih? Kok aku jadi curiga ya?" tanya Delia.
"Hei, kamu jangan mikir yang aneh - aneh dong! Ini juga mau aku ceritakan! Jadi ... begini. Kalian sudah tahu kalau Yoshi bilang bahwa Jack itu satu sekolah denganku saat SMP? Nah, hal itu membuatku berpikir ...."
"Tentu saja. Memangnya ada apa dengan hal itu? Apa kami harus tahu sesuatu seputar itu?" tanya Pak Indra.
"Uh, sebenarnya agak susah untuk menceritakan hal ini, tapi memang ada beberapa hal penting yang harus kalian ketahui seputar Jack. Setelah Rendi memberitahu aku tentang fakta ini, kemarin aku berusaha memikirkan siapa si Jack ini. Meski aku harus merasa kacau karenanya ... tapi aku sudah berhasil mengingat siapa Jack di masa laluku. Ini juga akan menjawab pertanyaan kenapa Jack sangat ingin untuk mendapatkanku," jawab Arin.
"Begitu rupanya? Dan Rendi udah kamu kasih tahu duluan, begitu? Curang ah!" ujar Delia, lalu terkekeh.
Arin tersenyum tipis karena candaan Delia tadi, "Aku nggak tahu kalau saat akhirnya aku bisa mengingat soal Jack, aku akan jadi panik. Apa yang terjadi di antara aku dan Jack saat itu membuatku jadi seperti sekarang ini, dan aku tidak pernah mau mengingatnya, kalau bisa. Kenangan itu adalah hal terburuk yang pernah terjadi padaku. Ketika aku bisa mengingatnya, aku langsung jadi panik. Yang aku ingat cuma Rendi saat itu, makanya aku langsung memutuskan untuk pergi ke rumahnya Rendi."
"Eh, kedengarannya seperti hal serius. Kalau kamu sampai butuh waktu untuk mengingatnya, pastinya hal ini adalah hal yang sangat serius. Jadi, gimana ceritanya?"
EG Group kini memutuskan untuk merapatkan diri ke arah meja kerja Arin. Rendi bahkan memutuskan untuk duduk di sebelah Arin, dengan tujuan agar dia bisa segera menenangkan si perempuan kalau - kalau dia masih terguncang saat menceritakan masa lalunya itu. Selain itu, Pak Indra yang menanggap kalau kesempatan ini cocok dipakai untuk ngemil langsung saja mengeluarkan sekantung kuaci yang selalu beliau simpan di dekatnya. Setelah mereka semua berkumpul dan siap, Arin memulai ceritanya soal Jack.
Cerita Arin dimulai dengan bagaimana dia melihat berbagai macam bayangan di cermin yang berada di dalam kamarnya. Ketika Arin bisa melihat bayangan masa SMP Jack, barulah Arin bisa ingat apa yang terjadi, dan kenapa Jack sangat menginginkannya. Kemudian, Arin menceritakan semua pengalaman buruk yang telah ditinggalkan oleh Jack pada rekan - rekannya.
Ketika menuturkan ceritanya, Arin terus berusaha agar dia tidak meneteskan air matanya. Teman - temannya bisa melihat kalau Arin harus menahan dirinya, dan mereka mengerti kenapa. Usia Arin saat kejadian itu mungkin berkisar sekitar 13 atau 14 tahun, jadi tentu saja ini menyisakan kenangan buruk tersendiri. Tidak heran kalau Rendi mengatakan bahwa Arin datang ke rumahnya kemarin malam dalam keadaan sangat terguncang.
Untungnya, Rendi menggenggam tangan Arin dengan segera ketika menyadari bahwa Arin membutuhkan dukungan. Sentuhan itu berhasil menenangkan Arin dengan baik, dan dia berhasil menceritakan semuannya hanya dengan sedikit air mata, yang mana cukup mengagumkan karena selama ini Arin selalu menangis ketika teringat akan hal itu. Mungkin Arin bisa melakukannya karena Rendi ada di sisinya, apalagi setelah cerita itu selesai, Rendi merangkul Arin, untuk menenangkannya.
"Pantas saja kamu tidak bisa untuk langsung mengingat semuanya ketika kamu pertama kali bertemu dengan Jack. Rupanya dia telah melakukan hal sejahat itu padamu. Kalau aku jadi kamu, aku juga tidak akan mau untuk sering - sering mengingat kejadian seperti itu. Bisa gila aku kalau keseringan ingat soal itu," komentar Bu Risa, setelah Arin selesai dengan ceritanya.
"Wah, bangsat memang. Sejak pertama kali aku melihat tampang si Jack ini, aku bisa melihat bahwa dia memiliki wajah seorang pria bangsat. Aku senang karena dugaanku ini nggak meleset, tapi di saat yang bersamaan aku juga mengutuki tindakan apa saja yang sudah dilakukan oleh pria yang satu ini," kata Delia.
"Keterlaluan sih itu. Sekarang saya jadi mengerti kenapa si Jack kelakuannya begitu sama kamu. Tapi yah, keterlaluan juga. Tidak jantan sekali dia itu jadi laki - laki," sahut Pak Indra.
Arin menghela napasnya, "Karena itulah, aku selama ini berusaha mati - matian menghapuskan memori soal itu. Aku kira setelah berhasil kabur saat itu, aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan Jack. Tapi rupanya aku harus mengingat hal ini dulu untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku harap, semoga saja setelah masalah ini selesai, aku tidak akan perlu mengingat masalah ini lagi," kata Arin.
"Semoga saja semuanya bisa berakhir setelah ini, Rin. Pengalaman itu sudah menimbulkan trauma tersendiri bagimu, dan masalah ini tentunya juga menimbulkan kesan tidak enak bagimu. Ada bagusnya juga kalau kamu bisa membalas apa yang sudah Jack lakukan padamu dengan menghentikan kejahatan apa yang akan dia lakukan di masa depan," ujar Yoshi.
"Tapi bagaimana, Yo? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini? Kita masih tidak tahu kapan Jack akan melakukan serangannya. Selain itu, aku benar - benar tidak mengerti apa maksud dari taktik "Princess in The Castle" yang sudah disampaikan oleh Ricchie. Kamu sendiri Yo, kan kamu sudah ngobrol sama Hendra. Nah, kamu paham apa enggak apa maksudnya?" tanya Rendi.
"Sebenarnya aku juga masih nggak paham apa maksudnya. Ketika aku nanya, Hendra nggak mau ngasih tahu aku apa yang sebenarnya dimaksud dengan taktik itu. Tapi yang aku lihat dari Hendra adalah, kelihatannya dia agak khawatir sama apa yang akan terjadi selanjutnya. Hendra sempat berkata kalau dia merasa bahwa kita akan melihat beberapa kursi nantinya, tapi aku masih tidak paham apa maksud dari perkataannya itu."
"Ah, kebiasaan Pak Hein itu, doyan betul dah main rahasia - rahasiaan di saat yang seperti ini. Nggak bisa apa langsung kasih tahu saja apa maksudnya?" kata Delia.
"Heh, jadi Hendra melakukan kebiasaan jeleknya yang satu itu ya? Ah, biasanya kalau sudah begini, Hendra itu mau agar lawan mengira kalau rencana mereka berjalan sesuai dengan keinginan mereka, tapi di sisi lain dia ingin melakukan penyerangan yang tak terduga. Kadang, hal seperti ini harus melibatkan kita yang terlihat goblok karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sebelum akhirnya dia bisa mencegah bencana itu satu detik sebelum jadi bahaya. Jadi sepertinya, kita harus sedikit bersabar dalam masalah ini," sahut Pak Indra.
"Bapak ada benarnya sih, kan Hendra memang doyan bikin kejutan yang aneh - aneh. Aku memang kurang paham akan apa maksud perkataan Hendra saat itu, tapi aku bisa melihat ekspresinya bahwa dia sepertinya tahu sesuatu. Kalau pengelihatanku ini nggak salah, sepertinya Hendra bisa merasakan kalau ada sesuatu yang mungkin akan mengancam nyawa," kata Yoshi.
"Entahlah, kadang susah sih kalau mau nebak isi kepala Pak Hein. Andai saja aku bisa lihat ekspresi Pak Hein saat itu mungkin aku bisa menebak sedikit apa maksudnya. Walau begitu, mungkin saja pendapatku tidak akan beda jauh dari Yoshi, karena kami punya pengetahuan yang kurang lebih sama dengan Yoshi. Tapi dari kata "Princess in The Castle" itu, aku rasa kata kias yang mereka pakai ini bisa jadi buruk. Yang aku tahu cuma kalau 'Princess' itu merujuk pada Arin atau Lisda. Atau keduanya," ujar Delia.
"Saya juga berpikiran seperti itu, Del. Karena itulah kemungkinan terbesarnya," sahut Pak Indra.
"Oh iya, selain itu Hendra bilang kalau kita untuk sementara ini harus hati - hati dan menjaga diri, terutama bagi Arin. Karena Hendra bilang begitu, sepertinya keadaannya cukup bahaya. Jadi, akan lebih baik jika kita bersiaga," ujar Yoshi.
"Begitu? Yah, kalau begitu ya sudahlah, kita lihat saja apa yang akan terjadi nantinya. Semua hal ini cukup membingungkan, mungkin kita memang perlu tunggu sesuatu terjadi dulu," kata Bu Risa.
"Baiknya, untuk sekarang kita jangan sembarangan bertindak. Kalau ada sesuatu, pastinya Hendra akan menghubungi kita," tambah Pak Indra.
"Jadi, kita belum bisa melakukan apa - apa untuk saat ini?" tanya Rendi.
"Apa boleh buat, sepertinya memang begitu," sahut Yoshi.
Rendi mengangguk, dan kini EG Group mengakhiri pembahasan mereka seputar Jack. Mereka akan kembali beraksi nantinya, kalau mereka sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Semoga saja tidak akan ada hal berbahaya yang terjadi nantinya, meski pada saat seperti ini kemungkinan untuk hal itu sangatlah sedikit.
Entahlah, mereka tidak tahu kapan Jack akan melaksanakan serangannya, jadi mungkin akan lebih baik jika mereka bersabar sebentar. Bukan berarti EG Group ingin menunggu bahaya datang, tapi ini karena mereka tidak punya begitu banyak pilihan. Akan lebih baik jika mereka berhati - hati untuk saat ini. Semoga saja Hendra juga akan segera memberitahu mereka apa yang harus dilakukan, karena sepertinya Hendra tahu kapan kira - kira sesuatu yang baru akan terjadi.
~~~~~
Setelah selesai dengan cerita seputar Jack tadi, EG Group kembali menjalani hari mereka dengan cara yang seperti biasanya. Meski begitu, masing - masing orang masih menyimpan beberapa pertanyaan dalam benak mereka masing - masing akan apakah yang akan terjadi selanjutnya. Untuk masalah itu sepertinya baru akan terjawab nanti, jadi mereka harus bersabar dulu.
Tapi, di sisi lain Rendi tahu kalau Arin belum sepenuhnya merasa baikan. Ada beberapa hal yang masih mengganjalnya. Apalagi karena saat ini nasib soal masalah yang Arin punya ini masih agak tidak jelas. Semoga saja Arin siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya, karena bisa saja ada hal berbahaya yang terjadi nantinya.
Meski Rendi tidak bisa menjawab pertanyaan yang mungkin ada di dalam kepala Arin, setidaknya Rendi ingin melakukan sesuatu. Sudah ada banyak sekali hal membingungkan yang terjadi pada Arin akhir - akhir ini. Bahkan, Arin juga harus mengingat salah satu kenangan buruk yang terjadi di masa lalunya.
Karena itulah, Rendi memutuskan kalau dia ingin menghibur Arin sedikit dengan mengajaknya pergi jalan - jalan. Mungkin menonton film komedi akan membantu untuk membuat Arin merasa tidak terlalu tegang lagi, jadi itulah yang akan Rendi lakukan. Jadi, sepulang jam kerja mereka, Rendi menghampiri Arin untuk mengajaknya pergi. Sekalian juga Rendi ingin mengembalikan pakaian yang Arin tinggalkan semalam di rumahnya.
"Arin, ini bajumu yang ketinggalan kemarin. Ini sudah aku cuciin juga," kata Rendi.
Rendi menyerahkan sebuah tas dari kantung kertas kepada Arin. Setelah menerimanya, Arin mengintip isinya, dan melihat pakaian yang dia kenakan kemarin saat menuju ke rumah Rendi. Arin memandang Rendi, lalu tersenyum.
"Makasih Ren. Eh, tapi jaketmu ... aku lupa bawa hari ini," sahut Arin.
"Ah, nggak masalah. Itu bisa nanti kok. Oh iya, kamu ada acara atau rencana nggak malam ini?"
Arin terdiam sejenak, kemudian dia mengerutkan alisnya. Setelah beberapa saat, Arin menggelengkan kepalanya. Arin tidak tahu apa yang ada di dalam kepala Rendi, tapi apapun ide yang Rendi miliki, mungkin Arin akan menyetujuinya. Arin akan sangat senang jika dia bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Rendi, setelah beberapa hari yang melelahkan ini.
"Nggak ada sih. Memangnya kenapa?"
"Um, malam ini aku pengen ngajakin kamu nonton film. Kita nonton filmnya Raditya Dika yuk? Kamu mau nggak? Aku yang traktir."
Arin terkekeh, "Eh? Seriusan? Ya aku mau dong! Apa sih yang enggak kalo gratisan?"
"Aahaha, iya deh, iya. Nanti jam 7 aku jemput kamu ya?"
Arin mengangguk, dan percakapan mereka ini berakhir saat mereka berpisah untuk menuju ke rumah masing - masing. Di dalam dadanya, Rendi bisa merasa kalau hatinya berbunga - bunga. Entah kenapa dia merasa senang sekali karena Arin tidak menolak permintaannya untuk pergi bersamanya. Rendi sudah berniat untuk menjadikan malam ini sebagai malam yang menyenangkan untuk Arin. Jadi, Rendi akan melakukan persis seperti itu.
Di sisi lain, Arin juga sangat senang karena dia diajak pergi jalan - jalan oleh Rendi. Sisi logisnya menanyakan apakah ini sebuah kencan, yang membuat Arin tertawa di dalam hatinya. Tentu saja ini bukanlah kencan, karena Rendi sudah pernah mengajaknya jalan - jalan seperti ini beberapa kali sebelumnya. Tapi kalau memang ini bisa jadi sebuah kencan, sepertinya Arin tidak akan menolaknya. Toh, yang mengajaknya pergi adalah Rendi, jadi Arin tidak perlu takut atau ragu.
Tanpa keduanya sadari, ada dua pasang mata yang mengamati mereka dari kejauhan. Kedua orang ini saling melirik satu sama lainnya, kemudian tersenyum. Tentu saja ini akan jadi cerita yang menarik, karena siapa yang tahu apa yang akan terjadi ketika mereka pergi berdua nanti.
~~~~~
Seperti yang dijanjikan, Rendi menjemput Arin pada pukul 7 malam di rumahnya. Mereka pergi untuk nonton film, seperti yang diusulkan oleh Rendi. Percakapan di antara mereka mengalir dengan normal, hingga akhirnya mereka mencapai bioskop yang berada di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Tempat yang sama di mana Yoshi dan Delia mengajak nonton film bersama ketika mereka baru saja mengenal dan kedua rekan mereka ini berusaha untuk mendekatkan Rendi dan Arin.
Kalau mau diakui, sebenarnya Rendi dan Arin tidak menyesal karena keduanya telah jatuh ke dalam perangkap yang Delia buat. Karena sejak hari itu, keduanya jadi semakin dekat, dan mereka saling mengetahui apa yang ada di dalam perasaan mereka masing - masing. Entahlah, mungkin memang sejak awal mereka ditakdirkan untuk bersama dan mengenal satu sama lainnya. Tapi apapun itu, kejadian saat itu adalah satu titik yang cukup penting bagi mereka.
Kini, keduanya kembali ke tempat yang sama, tanpa kedua rekan mereka itu. Semuanya terasa lebih mengalir dan lebih menyenangkan sekarang, karena keduanya sudah mengenal satu sama lainnya dengan baik.
Sesampainya mereka di bioskop, mereka memesan tiket dan langsung menuju ke studio. Tontonan mereka malam ini berbau komedi, yang membuat keduanya tertawa - tawa hampir di sepanjang waktu. Bahkan hingga akhirnya film sudah usai dan mereka sudah keluar dari studio, masih dapat terlihat tawa dan keceriaan di wajah dua orang ini.
Rendi senang karena usahanya untuk membuat Arin jadi lebih rileks sejenak berhasil. Arin sendiri bukan orang yang sangat sering terlihat banyak tertawa seperi malam ini, tapi tawa dari Arin sering kali berarti sesuatu yang bagus. Rendi sangat suka melihat ketika Arin tertawa, yang mana membuat Rendi nyaris lupa kalau ada beberapa masalah besar yang harus ditanggung oleh Arin dan penyelesaiannya masih tidak jelas.
Tapi tidak ada hal yang salah dengan hal itu. Arin kan juga berhak untuk bahagia. Rendi senang karena dia bisa jadi orang yang membuat Arin merasa bahagia, meski itu hanya untuk beberapa saat saja. Setidaknya, Rendi sudah menimbulkan satu kesan yang baik bagi Arin.
Satu hal yang tidak Rendi tahu adalah, Arin benar - benar merasa bahagia karena apa yang sudah dilakukan oleh Rendi malam ini. Arin jarang sekali bisa merasa sesenang ini, dan Arin menyukainya. Ada sebuah perasaan tidak biasa dari kebahagiaan yang ditimbulkan oleh Rendi, dan Arin menyukainya.
Setelah selesai menonton film, Rendi dan Arin memutuskan untuk berkeliling di pusat perbelanjaan sebentar. Ada beberapa hal yang mereka lihat, karena keramaian di sekitar mereka tentunya menarik untuk dilihat. Mereka melihat isi beberapa toko sambil ngobrol dan bercanda, menikmati malam itu dengan baik.
Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe yang cukup nyaman. Keduanya duduk di satu meja kosong, mengistirahatkan kaki mereka sebelum memutuskan memesan sesuatu. Arin juga berusaha untuk menarik napasnya, karena tadi Rendi sudah membuatnya terus tertawa.
Bukannya Arin tidak menyukainya, hanya saja Arin tidak ingat lagi kapan terakhir dia tertawa sepuas ini. Kalau mau diingat, rasanya jarang sekali ada seseorang yang mau menghibur Arin seperti ini. Rendi mungkin salah satu orang pertama yang bisa membuat Arin benar - benar melupakan masalahnya, meski hanya sesaat.
"Duuuh... Rendi! Kamu malam ini sudah bikin perutku mulas karena kebanyakan ketawa! Ayo, tanggung jawab!" ujar Arin.
Rendi terkekeh, "Yah, kan bagus dong. Itu berarti aku punya bakat buat jadi pelawak. Daripada tuh perut ada isinya, gimana coba?" sahut Rendi, diiringi senyuman isengnya.
Arin menampakkan wajah cemberutnya, kemudian menendang kaki Rendi yang ada di bawah meja. Rendi mengaduh karenanya, tapi dia tetap terkekeh.
"Eh! Awas saja kalau sampai iya!"
"Tenang, aku nggak bakalan kayak begitu kok. Tapi kalau kamu mau sih, kayaknya aku nggak bakalan nolak."
"Ish, bercandanya ya? Nggak Ren, aku nggak mau!"
Rendi terkekeh selama beberapa saat, sebelum akhirnya mereka diam selama beberapa saat dan memesan makanan. Setelahnya, Arin menatap Rendi yang duduk di seberangnya. Pria ini sudah sukses membuat Arin merasa lebih bahagia dari apa yang pernah dia rasakan selama ini. Arin tidak tahu bagaimana cara Rendi melakukannya, tapi itulah yang dia rasakan. Rendi melakukan semua kebaikan ini, tapi untuk apa? Kan belum tentu juga Arin membalas perasaan yang Rendi miliki.
"Kamu kok selalu baik banget sama aku, Ren? Apakah ada manfaat atau sesuatu yang kamu dapatkan ketika kamu melakukan semua ini untukku?" tanya Arin, dengan tiba - tiba.
Pernyataan Arin tadi membuat Rendi langsung menatap ke arah Arin. Rendi memasang wajah Arin dengan ekspresi serius, kemudian tersenyum. Ah, sebenarnya Rendi sendiri tidak tahu apa yang dia akan dapatkan dengan melakukan semua ini. Tapi satu hal yang sering Rendi dengar dari orang - orang adalah, akan menyenangkan kalau bisa membuat seseorang yang kita cintai merasa bahagia, jadi mungkin itulah yang membuatnya melakukan semua ini. Dengan perlahan, Rendi menggenggam tangan kanan Arin yang ada di atas meja, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan tadi.
"Rin, aku kan sudah bilang berkali - kali sama kamu kalau aku ini punya perasaan kepadamu. Aku tahu kamu masih belum bisa merasakan perasaan yang sama padaku, tapi ya apa salahnya kalau aku melakukan beberapa hal yang bisa menyenangkanmu? Selain itu, aku juga ingin untuk membuatmu terbiasa akan kehadiranku. Aku akan membuatmu terbiasa akan cintaku. Itu saja," jawab Rendi.
"Tapi kamu kadang terlalu baik, Ren. Bahkan kamu bisa menghilangkan semua kenangan buruk yang aku miliki saat kamu bersamaku. Kenapa kamu selalu bisa untuk membuatku menjadi lebih bahagia?"
"Nah, aku sendiri tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya. Tapi, itulah tujuanku. Aku akan menggunakan cara apapun agar kamu bisa tertawa. Aku ingin membuat kamu bahagia sebisa mungkin. Aku ingin membuatmu tertawa dan aku juga akan jadi orang yang menghapus air matamu bila kamu menangis."
"Ren, misalnya saja nih, kalau aku nggak suka kamu, gimana coba? Bagaimana kalau perasaanmu malah tidak berbalas, dan semua ini akan jadi sia - sia?"
"Ya tidak masalah. Aku kan tidak bisa memaksa kamu untuk balas menyukaiku. Aku cuma pengen lihat kamu bahagia, karena itu akan membuatku juga merasa bahagia. Dan kalau kamu merasa lebih bahagia dengan orang lain, ya apa boleh buat. Aku akan terima semuanya."
"Kamu nggak akan sakit hati kalau seandainya itu terjadi?"
"Sakit itu jelas, karena setiap orang punya perasaan dan bisa merasa kekecewaan. Tapi aku hanya mau orang yang paling kusayangi bahagia. Kalau memang itu harus terjadi, ya sepertinya aku harus belajar untuk merelakan. Aku sudah beberapa kali melepaskan orang yang aku sayangi untuk orang lain, jadi aku akan merelakannya kalau memang itu harus terjadi."
"Kamu itu Ren ... mungkin adalah pria pertama yang benar - benar bisa membuatku bahagia. Aku nggak tahu aku ini sudah jatuh cinta sama kamu atau enggak, tapi yang aku tahu untuk saat ini, kamu adalah salah satu orang yang penting dalam hidupku, dan aku nggak mau kalau sampai kehilangan kamu. Kamu tahu hampir semua hal tentang aku, dan kamu juga tahu bagaimana caranya membuatku merasa lebih bahagia. Kamu juga sudah membuat hidupku lebih berwarna, dan aku nggak mau kehilangan warna yang kamu berikan dalam hidupku."
Rendi tersenyum, "Aku senang mendengar kamu mengatakan hal itu. Aku juga tidak akan memaksa kamu untuk mencintaiku. Aku yakin, ada saatnya nanti kamu terbiasa akan cinta itu."
"Huh, tidak ada orang yang pernah mengatakan hal semacam itu padaku, Ren. Semua orang yang naksir padaku selalu berusaha untuk memaksakan perasaan mereka kepadaku. Aku harus bilang terima kasih sama semua hal yang sudah kamu lakukan, Ren. Aku ... aku tidak tahu bagaimana ceritanya kalau tidak ada kamu sekarang ini. Pasti aku akan jadi kacau sekali."
"Aku tidak akan membiarkanmu jadi seperti itu, Rin. Aku tidak akan jadi seperti mereka yang memaksakan perasaanmu atau yang pergi meninggalkanmu. Aku akan bersamamu, sesulit apapun kondisinya. Aku janji."
"Terima kasih, Ren. Aku tahu kalau aku bisa percaya sama kamu."
"Sama - sama, Rin. Aku senang karena kamu bisa percaya padaku. Tapi, sekarang mending kita makan deh, kalau nggak nanti kita pulangnya kemalaman."
Pesanan mereka kebetulan sudah sampai di saat pembicaraan mereka itu usai, jadi keduanya memutuskan untuk segera makan. Di tengah santapan mereka, Rendi memikirkan beberapa hal yang berhubungan dengan Arin.
Mungkin, untuk saat ini Arin tidak mengatakan kalau dirinya punya ketertarikan khusus pada Rendi. Tapi, dari apa yang Rendi bisa lihat adalah, Arin bisa merasa sangat nyaman ketika bersama Rendi. Bagi Rendi, itu sudah cukup baik untuk sebuah permulaan. Walau begitu, ada beberapa pertanyaan di dalam kepala Rendi yang dia masih penasaran apa jawabannya.
Ciuman itu. Rendi tentunya tidak bisa mengabaikan fakta soal ciuman itu. Iya, Rendi tahu kalau semalam Arin sangat terguncang, dan bisa saja dia tidak begitu mengetahui apa yang dilakukannya. Tapi, rasanya seorang teman tidak akan melakukan hal itu kepadanya. Hal ini sedikit banyak membuat Rendi berharap kalau Arin merasakan sesuatu kepadanya, setidaknya meski cuma sedikit.
Kata orang, seseorang bisa mengatakan atau menunjukkan seputar beberapa hal yang sebenarnya mereka rasakan kalau mereka berada di dalam kondisi tertentu. Rendi tidak sepenuhnya percaya akan perkataan ini, selain itu dia juga tidak tahu apakah kejadian semalam itu termasuk "saat tertentu" yang dimaksud. Tapi kalau mau jujur, entah kenapa Rendi bisa merasakan kalau perasaan Arin tertuju padanya.
Rendi berusaha mengakhiri pemikiriannya itu, karena mungkin nanti dia akan tahu apa jawabannya. Setelah beberapa saat, mereka berdua akhirnya menyelesaikan makan malam mereka dan memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Rendi mengantarkan Arin kembali, tepat sampai ke depan pintu pagar rumahnya.
"Terima kasih yah Ren, buat hari ini? Makasih karena kamu sudah memperbaiki suasana hatiku yang kacau karena kejadian akhir - akhir ini. Aku tidak tahu kalau aku benar - benar membutuhkan hiburan seperti ini," kata Arin.
"Iya, sama - sama. Aku senang bisa membantumu kok," sahut Rendi.
"Kamu mending pulang gih. Nanti malah kemalaman. Besok kan kita masih harus kerja."
"Iya Rin, ini juga aku mau pulang. Kamu hati - hati ya?"
Rendi dan Arin bertatapan selama beberapa saat, entah karena apa. Mereka seperti berusaha untuk membaca isi kepala satu sama lain, tapi entahlah, mereka hanya diam saja saat itu. Entah kenapa, dengan perlahan dan agak ragu akhirnya Rendi mendekati Arin. Rendi mengecup kening Arin dengan lembut. Tindakan ini membuat Arin merasa kalau jantungnya jadi berdetak lebih kencang, tapi dia menyukainya. Arin sangat menyukai semua sentuhan dan perhatian yang diberikan oleh Rendi, dan kadang Arin menginginkannya lagi.
"Seharusnya yang bilang begitu kan aku, Ren. Kamu yang harus hati - hati di jalan," kata Arin, lalu terkekeh.
Rendi tersenyum, "Iya deh, iya. Tapi ya siapa tahu kan nanti kamu kesandung atau apa, gitu loh. Tapi aku janji kalau aku bakalan hati - hati. Nanti kalau akh sudah sampai rumah aku telepon kamu ya?" tanya Rendi.
"Ya ampun, belum capek juga ya kamu Ren? Kita hampir seharian ketemu loh."
"Yah, nggak apa, kan? Aku cuma mau memastikan saja kalau kita sama - sama nggak kenapa - napa. Sekalian buat ngucapin selamat malam, seperti biasanya."
"Iya deh, kalau kamu bilang begitu. Nanti kita ngobrol lagi di telepon deh."
Rendi mengangguk, dan keduanya bertukar salam perpisahan mereka. Akhirnya, Rendi kembali menaiki motornya dan berkendara kembali menuju ke rumahnya. Arin melambaikan tangannya pada Rendi, sebelum memandangi punggung Rendi sampai akhirnya pria itu menghilang di jalan.
Arin tersenyum, karena tentunya dia senang karena Rendi sudah membuat Arin merasa lebih bahagia malam ini. Sepertinya malam ini akan berakhir dengan baik, dan Arin akan bisa tidur dengan sebuah senyuman di wajahnya.
Tapi, harapan ini jadi sedikit terganggu, karena Arin menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Arin bisa merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya, tapi Arin tidak tahu kenapa dia bisa merasakan hal itu. Bisa jadi itu hanya perasaannya.
Mungkin perkataan Rendi untuk berhati - hati ada benarnya juga. Karena saat Arin akan membuka pintu rumahnya, dia bisa merasakan kalau ada seseorang di belakangnya. Hal itulah yang terakhir kali Arin ingat, sebelum akhirnya tiba - tiba saja pandangannya menjadi gelap.
~~~~~
Ketika Arin membuka matanya, dia bisa melihat kalau dirinya berada di sebuah ruangan gelap. Arin butuh waktu sampai matanya terbiasa atas apa yang dia lihat. Di satu sisi, Arin juga berusaha untuk menenangkan dirinya, karena dia tidak tahu apa yang terjadi padanya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Arin bisa menenangkan dirinya dan mengingat apa yang sudah terjadi padanya. Hal terakhir yang Arin ingat adalah, dia melihat dua orang berada di belakangnya, dan menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Setelah bisa mengingat hal itu, Arin menyumpah pada dirinya sendiri, karena ini berarti bahwa ada yang membawanya ke kandang lawan, yang mana bisa jadi bahaya.
Hal berikutnya yang Arin lakukan adalah, dia berusaha untuk mengamati sekitarnya. Sepertinya, dia berada di semacam gudang, yang entah kenapa terasa familiar. Arin bahkan harus meyakinkan dirinya sendiri kalau apa yang dia lihat ini bukanlah sebuah mimpi. Ketika menyadari kalau ini bukanlah mimpi, Arin bisa mendengar sebuah langkah kaki mendekat ke arahnya.
"Ah sayang, lihat dirimu. Semakin lama kau semakin cantik saja ya?"
Perkataan itu membuat Arin seketika merinding. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini, dan dia tidak menyukainya. Arin berharap kalau seseorang akan menyadari kalau dirinya menghilang, karena Arin tidak akan kuasa untuk berada di sini lebih lama lagi tanpa merasa panik karenanya.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top