Chapter 6 : Kabut Pikiran

Dua hari setelah pertemuan EG Group dengan Lisda yang diakhiri dengan sebuah kemunculan salah satu anggota The Hatters, atau tepatnya sang wakil kelompok itu sendiri, Arin masih merasa cukup terguncang. Meski Arin terlihat biasa saja malam itu, otaknya masih butuh banyak waktu untuk memproses apa yang sebenarnya terjadi di hadapan matanya. Ada banyak sekali cerita dan emosi yang terjadi dalam satu malam, yang tentunya tidak biasanya dialami oleh Arin.

Selama hampir dua minggu belakangan ini, ada banyak sekali hal yang terjadi, dan Arin masih memproses semuanya di dalam kepalanya. Seolah kematian ibunya saja tidak cukup mengguncang, kini Arin harus berhadapan dengan rahasia - rahasia yang kini muncul setelah kepergian ibunya. Kenyataan bahwa Arin dan Lisda punya ayah yang sama saja sudah cukup mengagetkan, karena Arin tidak tahu apa - apa soal ini.

Ibunya tahu akan kenyataan apa yang terjadi, tapi beliau memutuskan untuk menyimpan rahasia itu ke dalam kuburnya. Arin mengerti kenapa ibunya merahasiakan semua ini, karena rahasia ini cukup memalukan dan lebih baik jika tetap jadi rahasia saja. Walau akhirnya rahasia itu kini mulai terungkap.

Setidaknya, kini Arin bisa mengetahui kenyataannya dengan bantuan orang - orang yang bisa dia percaya, dan dalam perasaan lebih tenang. Ibunya tahu kalau Arin akan kaget kalau mengetahui soal rahasia ini dan sepertinya beliau memang sengaja tidak memberitahu masalah ini sehingga Arin baru mengetahuinya saat dia sudah lebih dewasa. Setidaknya Bu Ani hanya menyimpan rahasianya, bukannya berbohong akan apa yang sebenarnya terhadi. Karena di sisi lain, Lisda malah mendapatkan sebuah kebohongan besar dari ibunya, dan tentu saja itu membuat Lisda sangat terguncang setelah mengetahui kenyataan pahit yang ada di dalamnya.

Di sisi lain, Arin kini malah mendapat sebuah masalah yang lebih besar, karena dia harus berhadapan dengan usaha Jack untuk mendapatkan Arin sebagai istrinya. Arin tentunya tidak mau terjebak dalam kondisi ini, yang berarti dia dan EG Group harus segera mencari solusi untuk masalah ini. Hendra sudah meyakinkan Arin kalau Jack takkan bisa mengincar dirinya atau Lisda, dan Arin harap itu bukan cuma sekedar kalimat penenang saja, sebab Arin tidak mau terjebak dalam kondisi itu. Ada banyak sekali hal yang terjadi dalam satu malan, dan semuanya membuat Arin betul - betul pusing karenanya.

Arin sepertinya sudah bisa menerima kenyataan seputar ayahnya. Mungkin karena hal itu cukup masuk akal, mengingat bahwa Arin sudah mulai memahami akan apa saja yang bisa terjadi di Underground. Meninggalkan keluarganya mungkin bukanlah hal yang baik, tapi kalau yang dilawannya adalah orang - orang dari Underground, rasanya Arin tidak bisa menyalahkan sang ayah.

Arin sudah pernah menghadapi beberapa kelompok dari Underground dalam pekerjaannya bersama EG Group, jadi dia sudah mengerti kalau kadang mereka bisa jadi cukup menyusahkan. Setidaknya, ibunya sudah tahu masalah ini, meski beliau tidak pernah memberitahu Arin apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin saja itu untuk kebaikan Arin, karena andai saja Arin tidak memutuskan untuk jadi seorang polisi dan tetap hidup sebagaimana orang biasa, akan sulit bagi Arin untuk menerima kenyataan yang ada. Kenyataan yang aneh, bahkan meski Arin tahu siapa yang dihadapi ayahnya, dia tetap masih merasa bahwa kenyataan ini terlalu aneh. Arin masih memikirkan semua kenyataan itu baik - baik, karena dia butuh waktu untuk memproses semuanya.

Karena itulah, dalam dua hari ini Arin memutuskan untuk tidak pergi bekerja. Toh, semalam adalah hari Sabtu, jadi tidak terlalu aneh jika Arin mengambil libur sehari lebih awal. Pak Indra, dengan kebaikan hatinya yang seperti biasa, beliau bisa memahami akan keadaan Arin  dan memberikan izin untuk libur kepada bawahannya itu tanpa banyak bertanya lagi. Beliau mengerti kalau semuanya cukup mengguncang bagi Arin, jadi sepertinya akan lebih baik jika Arin mengistirahatkan dirinya terlebih dahulu. Karena setelah ini, mereka masih harus menyelesaikan masalah yang kini mulai memunculkan bentuknya, dan pikiran yang jernih dibutuhkan untuk menyelesaikannya.

Kesempatan libur ini digunakan oleh Arin untuk mengistirahatkan pikirannya sebaik mungkin. Kini, si perempuan tengah berbaring di atas kasurnya dan bermalas - malasan di kamarnya. Bisa terlihat sore sudah mengintip dari jendela yang ada di sana. Arin sudah lelah memandang langit senja dari tempatnya berada, jadi dia menghembuskan napasnya, kemudian mengalihkan pandangannya ke langit - langit kamarnya. Arin memang berusaha untuk mengistirahatkan pikirannya, tapi mau tidak mau Arin tetap memikirkan akan masalahnya, terutama akan apa yang bisa saja terjadi di masa depan.

Kalau mau jujur, Arin tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Harapan satu - satunya yang dia punya adalah dengan mengikuti apa yang Hendra dan EG Group akan lakukan, karena hal ini tentunya adalah hal terbaik yang bisa Arin lakukan. Hendra tahu banyak akan kelompok yang mereka hadapi ini, dan tentunya dia tidak akan membiarkan rekan - rekannya berada dalam bahaya.

Kalau mau memikirkan soal apa yang akan Arin lakukan, sebagai seorang makhluk yang waras seratus persen, tentu saja Arin ingin sekali untuk menolak mentah - mentah permintaan Jack si wakil The Hatters itu, dan kembali dengan kehidupannya yang kini tidak terlalu tenang tapi tetap terasa menyenangkan. Tapi di satu sisi, Arin yakin kalau Jack akan berusaha untuk membahayakan nyawa semua orang hanya untuk mendapatkan apa yang dia mau, dan dalam kasus ini, Arin adalah incarannya.

Walau begitu, meski Arin bisa menolak Jack entah dengan cara apa, masih ada Lisda. Meski Arin sudah menolaknya dengan baik - baik, sepertinya si Jack akan tetap mengamuk padanya kalau sampai Arin menolak kehendaknya. Pilihannya mungkin saja akan menentukan apa yang bisa terjadi di masa depan. Atau bisa juga mengakibatkan hilangnya nyawa orang yang tidak bersalah, kalau mereka tidak berhati - hati.

Dari apa yang bisa Arin lihat berdasarkan apa saja yang telah terjadi selama Arin bersama teman - temannya di EG Group, Arin meyakini kalau akan terjadi hal buruk jika sampai dia menolak permintaan Jack. Nira adalah satu korban nyata yang sudah punya banyak pengalaman dalam urusan seperti ini. Perempuan itu sudah terlibat banyak sekali hal ribet karena berada di dekat Hendra, dan sudah banyak yang dia lalui selama ini.

Kalau mau memikirkan lagi apa saja yang sudah terjadi pada Nira, Arin turut merasa simpati padanya dan juga salut karena Nira sanggup melewati semua hal buruk yang dia hadapi semenjak mengenal Hendra dengan baik, dan Nira bisa tetap utuh sampai saat ini. Selain itu, keputusannya untuk menikahi Hendta adalah hal yang cukup gila, dan Arin mengagumi keputusan gila yang Nira ambil ini. Beberapa petualangan mereka yang Arin ketahui mungkin hanya sebagian kecilnya saja, dan Arin yakin masih banyak lagi cerita dari petualangan mereka. Selain itu, mungkin Nira akan mengalami banyak lagi kekacauan dalam kehidupannya untuk seterusnya, karena pria aneh yang memutuskan untuk jadi seorang penyidik bawah tanah itu kini sudah jadi suaminya.

Tapi berbeda dengan Arin, Nira tentunya sudah terlatih karena pengalamannya, yang membuat Nira jadi kuat dalam situasi seperti ini. Beda dengan Arin yang hampir tidak pernah berada di dalam situasi seperti ini. Arin benar - benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Di satu sisi, Arin tidak mau terjebak dalam genggaman Jack, tapi Arin juga tidak bisa melarikan diri begitu saja tanpa menyelesaikan masalah ini atau setidaknya melakukan satu perlawanan. Arin menginginkan sebuah akhir bahagia dari masalahnya ini, tapi apa yang harus dia lakukan?

Ada sebuah dilema yang sangat besar kini berkecamuk di dalam pikiran Arin. Tentu saja Arin tidak pernah bercita - cita untuk jadi seorang penjahat. Kalau mau lebih tepatnya, tidak ada seorangpun yang mau jadi penjahat pada awalnya. Bahkan ayahnya sendiri tidak mau berada dalam kehidupannya yang sekarang ini. Tidak ada orang waras yang mau melibatkan dirinya dalam bahaya, kecuali kalau keadaan bahaya ini tidaklah disengaja atau hal itu akan menguntungkan baginya. Meski harus ada pengecualian untuk Hendra, karena dia tidak bisa dibilang waras, dan meski dia punya kewarasan sekalipun, sepertinya dia tetap akan melakukan hal gila yang jadi tujuan hidupnya itu.

Menurut Arin, pada awalnya semua orang itu merupakan orang baik, dan kalau mereka jadi jahat, pasti akan ada alasannya kenapa. Semua bayi pada awalnya terlahir di dunia itu pasti suci, kan? Faktor yang membedakan mereka hanyalah keadaan mereka saat mati nanti, entah mereka akan mati dalam keadaan mulia atau hina. Semuanya tergantung akan apa saja yang terjadi di dunia semasa mereka hidup. Mungkin di luar sana ada beberapa orang yang berpendapat bahwa kejahatan itu sebenarnya tidak pernah ada. Karena para makhluk hidup yang berkeliaran di muka bumi inilah yang sebenarnya membuat kejahatan itu bisa ada.

Setelah mendengar penuturan cerita dari Hendra kemarin, Arin jadi mengerti kenapa ayahnya memutuskan untuk menghilang. Bukan Pak Harry yang menginginkan keadaan ini. Beliau hanyalah korban dari keinginan ayahnya agar kelompok itu bisa tetap berjalan. Mungkin kalau saja kalau Pak Harry bisa memberontak, hal ini tidak akan pernah terjadi. Kehidupan keluarga mereka mungkin akan normal saja. Satu - satunya hal yang akan jadi masalah mungkin hanyalah bagaimana mereka harus mengatasi Bu Fani yang berusaha mendapatkan Pak Harry, karena kedengarannya masalah yang satu itu cukup ribet juga.

Selain itu, sepertinya rencana pembunuhan yang dilakukan Lisda mungkin tidak akan dapat dicegah sekalipun skenario terhadap keluarga Arin ini diubah. Penuturan Hendra membuat Arin mengerti kalau Lisda juga sebenarnya tidak menginginkan keadaan ini. Lisda juga terlahir sebagai seorang bayi yang suci, tapi kehidupan mengubahnya dengan drastis. Ibunya membentuk anaknya sendiri sebagai seorang penjahat, yang percaya akan kebohongan apa yang dikatakan oleh sang ibu sehingga Lisda menjadi sebuah mesin pembalas dendam. Mungkin kalau saja Lisda tahu kenyataan yang ada jauh sebelum hari ini, dia tidak akan melakukan semua hal yang sudah dia lakukan. Bu Fani yang membuatnya terjebak dalam situasi menyusahkan ini, karena apa yang dia lakukan bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah menambah panjang masalahnya.

Arin agak heran sebenarnya, karena dia sempat memikirkan kalau saja Hendra punya kesempatan untuk membunuh Lisda, kenapa dia tidak melakukannya? Tapi, pertanyaan ini bisa terjawab dengan cepat, karena Hendra punya idealisme yang sepertinya kini mulai merasuk ke dalam dirinya. Hendra tidak akan membunuh orang yang masih punya kebaikan di dalam hatinya. Setiap orang berhak akan kesempatan kedua. Dalam pengejaran Hendra terhadap Bu Fani, Hendra masih berpikiran positif dan menganggap kalau Lisda tidak terlibat akan semua itu, meski kenyataannya mungkin dia bisa membantu ibunya untuk kabur. Karena itulah Hendra membebaskan Lisda. Dua kali, malah.

Walau begitu, ancaman yang Hendra berikan kemarin cukup mengerikan. Tidak ada yang pernah melihat bagaimana ekspresi Hendra saat marah, dan sepertinya itu adalah hal yang terbaik, karena kemarahannya cukup menyeramkan. Kelihatannya Hendra cukup kesal karena kelakuan Lisda, karena tentunya Hendra merasa kalau bisa dibilang bahwa sebagian dari hal ini adalah kesalahannya. Hendra bisa saja mencegah kematian Bu Ani jika saja dia membunuh Lisda lebih awal. Mungkin Hendra kesal karena keputusan yang dia buat saat itu, karena orang yang sudah dia biarkan hidup saat itu malah membuat kekacauan di masa depan.

Tidak heran kenapa Hendra semalam marah sekali dan ingin untuk menembak mati Lisda, karena pastinya dia kesal pada dirinya sendiri. Hendra punya kuasa untuk membuat keadaannya jadi lebih baik, tapi karena kebaikan hatinya inilah, malah terjadi sesuatu yang buruk. Padahal Hendra bisa membunuh Lisda kalau mau, tapi sepertinya dia juga mempertimbangkan perasaan Arin. Kalau saja Lisda mati di tangan Hendra, maka Arin akan semakin terguncang dan ini toh tidak akan memperbaiki apapun. Semuanya sudah jadi, dan mungkin akan lebih baik jika Hendra membiarkan Lisda hidup dengan penyesalan yang dia miliki, karena penyesalan lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri.

Sedikit banyak, Arin jadi penasaran apakah hal semacam ini sering terjadi pada orang yang sudah Hendra beri kesempatan kedua untuk hidup. Entahlah, Arin tidak tahu. Di luar sana mungkin ada orang yang berterima kasih atas kesempatan kedua ini. Mungkin saja di masa depan nanti Arin akan bisa menemukan beberapa orang yang mati sia - sia atau membuat kekacauan karena mereka mendapatkan kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup mereka.

Memikirkan seputar kesempatan kedua, kalau saja dulu Pak Harry memberontak dan mengutamakan keinginannya, bisa saja cerita di saat ini akan jadi sangat berbeda. Kalau semua itu tidak pernah terjadi, tentu saja Arin tidak akan pernah ada di sini. Bisa saja Arin tidak perlu menghadapi peliknya percintaan ayahnya yang dikejar - kejar oleh seorang wanita yang dibutakan oleh cinta. Mungkin saja kalau Arin tidak perlu dan tidak akan menyiksa dirinya sendiri hanya untuk menjadi seorang polisi. Mungkin Arin tidak akan membuat keputusan gila yang membawanya ke sini, yang dia tandai dengan memotong rambutnya sendiri setelah lulus SMK, padahal Arin sangat menyukai rambut panjangnya. Mungkin Arin malah akan berakhir di dapur dan menjadi seorang koki, sesuai dengan keinginannya sejak kecil.

Akan ada banyak sekali kemungkinan lainnya yang terbuka bagi mereka, kalau saja ada beberapa pilihan berbeda yang diambil dalam hidup ini. Tapi, setelah menjalani semua pilihan yang sudah terlanjur diambil ini, rasanya aneh juga membayangkan kalau pilihan yang lain itu yang jadi kenyataan sekarang ini. Sulit bagi Arin untuk membayangkan jika saja keluarganya masih utuh dan Pak Harry bisa kabur dari Underground. Bisa saja keluarga mereka tidak akan berada di Inkuria, karena mereka akan memilih untuk melarikan diri dari tempat ini, agar ayahnya bisa melepaskan dirinya dari semua masalah yang ada.

Kalau memang opsi itu yang diambil oleh ayahnya, maka Arin tentunya tidak akan bertemu dengan semua orang yang dikenalnya saat ini. Tidak akan ada EG Group dalam hidupnya, dan mungkin saja Arin akan memiliki kehidupan yang lebih tenang. Tapi, sepertinya Tuhan suka sebuah cerita yang menarik, sehingga skenario yang Arin dapatkan berbeda dari orang lain. Arin harusnya merasa beruntung karena bisa mendapatkan sebuah peran yang cukup penting, karena tidak semua orang bisa mendapatkan peran yang seperti ini.

Karena itulah kini Arin bisa berada di sini. Menjadi seorang polisi, dan tergabung dalam sebuah kelompok kecil yang cukup hebat, karena punya reputasi dan orang - orang yang unik, yang bersatu untuk memecahkan berbagai misteri yang ditawarkan kepada mereka. Seperti Arin, yang bisa tergabung di dalamnya demi mencari kebenaran soal ayahnya. Entah apa yang menjadi motif teman - temannya untuk berada di Kepolisian Inkuria dengan nasib yang membawa mereka ke dalam EG Group, tapi mereka merupakan orang - orang yang siap untuk menghadapi bahaya apapun yang ada di hadapan mereka. Walau keadaannya bisa saja jadi berbeda, tapi sulit bagi Arin untuk membayangkan jika saja dia tidak berada di sini.

Saat ini, Arin punya banyak orang yang bersedia untuk berada ada di sampingnya. Meski Arin tidak bisa bersama dengan ayahnya, dia bisa menemui beberapa orang yang tidak kalah berartinya, yang mendukung Arin di saat sulit seperti ini. Selama ini, Arin selalu menyembunyikan fakta tentang dirinya dari banyak orang, karena dia takut akan komentar dari orang lain padanya. Tapi bersama dengan EG Group, perlahan Arin bisa menceritakan semua unek - unek yang tersimpan di dalam dirinya. Mereka semua bisa menerimanya, bahkan meski kenyataan ini agak aneh. EG Group adalah sahabat baru Arin, dan juga keluarganya. Mereka akan selalu bisa mengerti Arin dan menerimanya, apapun yang terjadi.

Terutama Rendi. Pria itu akan selalu berada di dekat Arin, kapanpun Arin memerlukan keberadaannya. Ketika Arin membutuhkan seseorang di sisinya, Rendi akan selalu ada di sana. Mungkin Arin mempunyai Lisda sebagai sahabatnya, tapi Rendi berbeda. Entah bagaimana, Rendi bisa membuat Arin merasa nyaman dan aman di saat bersamaan. Pandangan meneduhkan dari pria itu bisa membuat Arin merasa kalau semuanya akan jadi lebih baik, bahkan ketika sebuah kenyataan yang paling pahit sekalipun mencoba untuk menghajarnya. Rendi akan selalu ada di sebelahnya, mengulurkan tangan untuk membantu Arin bangkit lagi. Rasanya, Arin senang sekali karena dia punya orang seperti itu di dalam kehidupannya yang membingungkan ini.

Tapi kini, mari kita kembali ke masalah utama yang saat ini benar - benar menggaggu kepala Arin. Apakah Arin harus memasrahkan diri dan menyerahkan dirinya kepada Jack, atau Arin harus melawan pria yang satu ini, seperti keinginan semua orang, dan juga hati nurani Arin. Kedua pilihan ini kedengarannya seperti pilihan yang mudah, tapi akan ada konsekuensi dari masing - masing pilihan ini.

Kalau boleh jujur, Arin masih tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Di satu sisi, Arin sangat ingin untuk melawan, agar dia bisa mencegah The Hatters membuat lebih banyak masalah di masa depan. Tapi sebagian dari diri Arin ingin agar dirinya menyerahkan diri, agar bisa menghindari masalah besar dan pertentangan yang mungkin akan pecah. Tapi, menyerahkan diri di sini bukan berarti kalau Arin bermaksud untuk menyerah dan memutuskan untuk jadi seorang penjahat. Arin hanya ingin mencoba untuk melepaskan ayahnya. Mungkin dengan berpura - pura di hadapan Jack, Arin bisa meyakinkan pria ini kalau semuanya berjalan sesuai dengan keinginannya. Kalau dia sudah merasa aman, maka pertahanan pria itu akan melemah. Kemudian, cepat atau lambat Arin akan kabur dari Underground bersama ayahnya.

Kedua pilihan yang ada ini sama - sama punya resikonya masing - masing. Pilihan yang pertama, Arin tahu betul bagaimana ceritanya akan berlangsung. Sebuah pertarungan kemungkinan akan pecah, tapi kalau mereka bisa memenangkannya, maka mereka bisa mengalahkan The Hatters dengan lebih cepat. Mungkin saja Pak Harry bisa bebas dengan cepat, meski akan ada resiko kematian yang cukup besar. Beberapa kali berada dalam penyerangan seperti ini membuat Arin mengerti kalau dia bisa mati kapan saja kalau dia tidak hati - hati.

Di sisi lain, pilihan untuk menyerahkan diri ini tidaklah terlalu jelek, tapi rencana seperti ini butuh perencanaan yang matang. Ini adalah sebuah rencana jangka panjang yang butuh dedikasi untuk dilakukan. Kemungkinan untuk melarikan diri dengan aman mungkin cukup besar, hanya saja mereka tidak akan bisa melumpuhkan The Hatters dengan baik. Jack mungkin masih akan masih menjalankan kelompoknya, dan bisa saja si Jack memerintahkan anak buahnya untuk mengacaukan kota kalau dia mau, hanya untuk mencari Arin dan Pak Harry. Selain itu, Arin tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan ayahnya, karena sampai kini beliau saja tidak bisa melepaskan dirinya dari Underground.

Apapun pilihan yang akan mereka ambil, Arin berharap kalau hal itu akan berjalan dengan baik. Arin hanya ingin ayahnya bisa kembali. Setelah semua hal buruk yang keduanya lalui, Arin meyakini kalau ayahnya hanya ingin agar bisa bersamanya. Jika saja ada cara lain yang bisa Arin lakukan dan dia bisa mendapatkan jaminan akan apa yang dilakukannya ini akan berhasil, maka Arin pasti akan melakukannya. Andai saja Arin tidak perlu jadi polisi sekalipun, pasti Arin akan melakukannya.

Arin memutuskan untuk menjadi seorang penegak hukum karena dia sangat ingin mencari kebenaran soal Pak Harry. Itulah motivasi utama Arin untuk masuk kepolisian. Kini, Arin sudah mendapatkan kenyataan yang dia inginkan. Walau begitu, Arin tidak akan berhenti sampai situ saja. Dia juga ingin membersihkan nama ayahnya, karena sepertinya itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Arin ingin menyelesaikan masalah ini sampai ke akarnya.

Saat Arin mendengar rumor bahwa ayahnya adalah seorang penjahat, Arin tidak pernah meyakini bahwa berita itu benar adanya. Tapi Arin terus mencari kebenarannya, walau hasilnya nihil. Rasa penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi ini membuat Arin membuat sebuah keputusan nekat, karena akhirnya dia memilih untuk menjadi seorang polisi.

Keputusan yang Arin buat saat itu sangatlah terburu - buru, tapi kalau bukan karena itu, dia tidak akan pernah ada di sini. Kalau dipikir lagi, ini bukanlah keputusan yang buruk. Karena pada akhirnya, Arin bisa menemukan kenyataan yang selama ini dia cari. Mungkin memang inilah yang harus Arin lakukan, karena Arin tahu di EG Group dia bisa menemukan orang - orang yang bisa membantunya dalam menyelesaikan masalahnya.

Tapi, tetap saja Arin bingung akan harus bagaimana dia berikutnya. Arin yakin kalau teman - temannya akan membantu memikirkan rencana apa yang akan mereka gunakan nantinya. Walau begitu, tetap saja kepala Arin tidak akan berhenti memikirkan soal masalah ini sebelum semuanya bisa selesai. Masalah yang dia punya kini mencapai puncak ceritanya, dan Arin ingin sekali agar masalah ini bisa selesai dengan baik.

Semua pemikiran itu membuat Arin menghela napasnya, dan dia memutuskan untuk memandang langit - langit dengan padangan kosong. Pandangan Arin jadi terasa berkabut selama beberapa saat. Arin menyadari kalau dirinya terlalu banyak berpikir, jadi dia memejamkan mata selama beberapa detik. Semua hal ini membuat Arin pusing, tapi ya mau bagaimana lagi?

Entah berapa lama Arin memutuskan untuk memejamkan matanya. Karena ketika dia membuka matanya, jam beker yang ada di kamarnya kini menunjukkan waktu yang berbeda. Arin terdiam sejenak, karena dia berusaha untuk mengingat akan apa yang tadi terjadi. Sepertinya, mungkin saja tadi Arin tertidur sebentar.

Hal berikutnya yang terjadi adalah, ada sebuah suara deringan yang menyadarkan Arin dari pemikiran panjang tidak berkesudahan yang ada di dalam kepalanya. Ketika menoleh ke arah nakas, Arin dapat melihat kalau ponselnya memancarkan cahaya. Arin memutuskan untuk berpindah ke posisi duduk, kemudian mengambil kacamatanya yang dia letakkan di dekat ponselnya. Setelah mendapatkan kacamata dan ponselnya, Arin mengerutkan alisnya saat melihat apa yang ada di layarnya.

Ada sebuah pangglian masuk dari Rendi. Hal ini sebenarnya tidaklah aneh, karena Rendi memang sering menelepon Arin. Tapi entahlah, sepertinya Arin terlalu banyak berpikir sehingga dia bingung sendiri akan apa yang sebenarnya terjadi. Walau begitu, Arin tetap mengangkat panggilan itu, karena dia ingin tahu apa yang ingin Rendi katakan padanya.

"Halo Ren?" ujar Arin, dengan nada yang agak kebingungan.

"Arin! Kemana saja sih kamu? Aku sudah telepon kamu berkali - kali kok nggak di angkat?" tanya Rendi.

Arin bisa mendengar nada khawatir dari suara Rendi, yang membuatnya sedikit merasa bersalah. Rendi akan selalu khawatir kalau Arin tidak mengangkat teleponnya, karena Rendi berpikir kalau mungkin saja sudah terjadi sesuatu kepada Arin. Tapi, ini menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya tadi. Sepertinya, Arin memang benar - benar tertidur selama beberapa saat, karena dia sampai tidak mendengar bahwa Rendi meneleponnya.

"Maaf ya, tadi aku keasyikan mikir, jadi aku nggak dengar suara telponnya."

Rendi menghela napasnya dari balik sambungan. Di kamarnya, tadi Rendi sudah bolak - balik macam setrikaan. Rendi khawatir kalau ada sesuatu terjadi pada Arin, yang untungnya tidak kejadian. Kalau Arin mengatakan bahwa dia terlalu asyik untuk berpikir, hanya ada satu kemungkinan yang ada.

"Ah, pantas saya. Sepertinya kamu benar - benar asyik berpikir ya? Kamu ketiduran?"

"Kayaknya iya."

"Ck, pantas saja. Aku khawatir sama keadaanmu, Rin."

Perkataan Rendi tadi membuat Arin tersenyum. Rendi memang selalu mengkhawatirkan keadaan Arin, karena Rendi adalah orang yang paling tahu akan keadaan Arin. Dialah yang paling mengerti keadaan Arin, terutama karena Rendi mengetahui banyak hal tentang Arin. Lebih banyak dari teman - temannya malah, kalau Arin mau jujur.

"Ehehe, maaf ya? Memangnya ada apa kamu telepon aku, Ren? Apa ada sesuatu yang aku harus tahu?"

"Ya, memang ada. Kamu ingat kan, kalau kemarin Yoshi pergi ke Underground sama Hendra? Jadi, apa kamu sudah dikasih tahu oleh Yoshi soal apa hasil dari penyelidikannya sama Hendra itu?"

Arin mengerutkan alis selama beberapa saat, sebelum akhirnya berseru. Bagaimana bisa Arin nyaris lupa kalau Yoshi pergi ke Underground semalam? Itu adalah salah satu hal penting, karena mereka berusaha untuk mencari informasi sebelum melakukan sesuatu. Tapi, seharian ini Arin belum dapat kabar dari Yoshi, jadi dia tidak tahu apapun soal penyelidikan itu.

"Belum, aku belum dapat kabar apa - apa dari Yoshi."

"Ah, sialan si Yoshi. Rupanya dia nggak bercanda saat bilang kalau aku saja yang mengabarkan soal ini ke kamu. Jadi, kamu siap untuk mendengar apa saja yang sudah Yoshi dapatkan?"

"Tentu saja! Cepat ceritakan dong, jangan bikin aku makin penasaran ah!"

Rendi tertawa, "Aku senang karena kamu sudah mulai jadi Arin yang biasanya lagi."

"Memang aku aneh ya hari ini?"

"Eh, bisa dibilang? Aku menebak kamu seharian ini di rumah cuma diam saja sampai - sampai kamu capek sendiri dan ketiduran. Kamu pasti kebanyakan diam dan berpikir, sampai kamu capek. Diam itu bukan gaya Arin, karena walau saat di kantor kamu nggak banyak ngomong, tapi kamu selalu curhat denganku. Aku bisa merasakan kalau ada sesuatu yang tidak biasa darimu."

Arin menghela napasnya, kemudian tersenyum. Bagaimana bisa Arin merasa nyaman ketika dia bersama dengan Rendi masihlah jadi sebuah misteri. Satu hal yang pasti, hal ini membuat Arin tidak ragu untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Rendi. Semua cerita yang Arin berikan mungkin hanya akan memberikan beberapa pengetahuan seputar Arin, tapi sepertinya Rendi bisa melihat jauh ke dalam perasaan Arin, entah bagaimana caranya. Mungkin itu karena Rendi adalah tipe orang yang peka, tapi entahlah, Arin tidak tahu apa alasan tepatnya kenapa Rendi bisa mengenalnya luar dalam seperti itu.

"Aku kadang heran, kamu itu peramal atau apa sih? Kok kamu bisa tahu sih?"

"Eh, aku cuma menebak kok. Jadi, kamu mau dengar apa saja yang sudah Yoshi dapatkan?"

"Iyalah! Kamu jangan pake ribet deh!"

"Oke, oke, aku mulai deh. Yang pertama, intinya adalah, Jack memang berniat untuk mengincar kamu sebagai istrinya. Sepertinya si Jack ini nggak peduli walau kamu polisi dan dilindungi oleh Hendra sekalipun. Mungkin saja selain berusaha untuk mendapatkan kamu, si Jack juga ingin menghancurkan kita, dengan memanfaatkan kamu sebagai informannya nanti. Tapi kalau pada akhirnya dia nggak bisa mendapatkan kamu, dia akan mengalihkan serangannya ke Lisda. Hal ini bisa beresiko besar untuk menimbulkan kekacauan nantinya, kalau mengacu kepada pendapat Hendra."

"Ah, dari semua kekacauan yang sudah kita alami, rasanya tidak aneh kalau hal itu akan terjadi. Lalu, ada lagi?"

"Ya, masih ada satu hal lagi yang cukup menarik. Kuharap kamu senang dengan berita yang ini. Kita sudah tahu kalau ayahmu tidak mau jadi penjahat, dan bekerja sama dengan Hendra, kan? Nah, dari si informan Hendra, Ricchie, mengatakan bahwa ayahmu berpesan kalau beliau akan membocorkan rencana si Jack ke kita, untuk membantu dalam meruntuhkan The Hatters. Ayahmu ingin sekali untuk bisa hidup normal. Beliau sangat ingin hidup bersama kamu, Rin."

Pernyataan itu tadi membuat Arin terkejut karenanya. Kalau Pak Harry memang mau untuk membantu mereka dengan cara seperti itu, maka tentunya hal ini akan memudahkan mereka. Karena dengan ini, tidak akan ada hal yang tidak terduga yang bisa terjadi, karena mereka sudah mengetahui semuanya dari Pak Harry. Dengan begini, tentunya mereka akan bisa melumpuhkan The Hatters dengan lebih mudah.

Tapi, Arin lebih terkejut lagi akan apa alasan ayahnya mau membantu mereka. Rupanya Bu Ani tidak berbohong kalau Pak Harry akan kembali lagi. Meski kini beliau tidak akan pernah bisa melihat suaminya lagi, tapi setidaknya kini Arin dapat bersama dengan ayahnya. Arin mungkin tidak pernah bisa mengingat apa yang dilakukan oleh ayahnya saat dia masih kecil, tapi dia bisa merasakan ikatan yang sangat kuat dengan ayahnya. Arin merindukan Pak Harry, dan tentunya dia akan sangat senang kalau akhirnya bisa bersama dengan ayahnya.

"A - apa? Kamu serius?! Jadi ayahku ... akan membantu?"

"Buat apa aku bohong coba, Rin? Iya, ayahmu akan membantumu. Jadi, sementara menunggu berita dari Pak Harry, kita akan berusaha memikirkan bagaimana caranya menghancurkan The Hatters dan menyelamatkan ayahmu. Selain itu, Hendra juga ingin mencari tahu seputar rencana yang The Hatters miliki, karena katanya mereka akan menggunakan strategi yang mereka sebut dengan "Princess in the Castle"."

Arin mengerutkan alisnya. Tentunya dia tidak punya tebakan akan apa yang mungkin saja terjadi, karena Arin masih agak asing dengan strategi macam apa saja yang sering dipakai oleh Underground. Tapi, kata "tuan puteri" dan "kastil" ini malah mengingatkan Arin pada satu hal lainnya. Karena salah satu kenangan yang Arin punya adalah, ayahnya pernah mengirimkan beberapa buku cerita ke rumahnya, yang diberikan kepadanya oleh Bu Ani ketika usia Arin masih lima tahun. Salah satu dari buku itu adalah kisah tentang Rapunzel, yang jadi salah satu dongeng favorit Arin hingga saat ini. Mungkin ini saat yang kurang tepat untuk mengingat memori seperti itu, tapi entah kenapa Arin jadi teringat akan hal itu

"Oke, lalu, masih ada hal lain lagi?"

"Hm, sebenarnya masih ada satu hal lagi. Aku tidak yakin apakah ini adalah sebuah informasi atau bagaimana, tapi aku akan tetap menyampaikannya. Aku rasa hal ini akan membuatmu berpikir keras, makanya kusimpan sebagai yang terakhir."

"Apa itu?"

"Menurut penuturan Ricchie, katanya Jack itu sebenarnya satu sekolah sama kamu dan Lisda pas SMP. Menurut Hendra, mungkin saja dia itu adalah kakak kelasmu, karena usianya dua tahun lebih tua dari kamu."

"Begitu ya? Hmmm, aneh. Aku tidak tahu soal itu. Mungkin saja aku tidak terlalu mengenalnya saat masih SMP. Tapi dia kelihatannya adalah orang yang cukup mencolok, jadi rasanya akan sulit untuk melupakan orang seperti dia. Aku akan mencoba mengingatnya lagi nanti. Terima kasih karena telah memberitahu aku, Ren. Dan juga karena telah menambah banyak pikiranku."

Rendi terkekeh, "Hei, jangan salahkan aku dong! Aku kan juga tidak tahu, makanya aku menyampaikannya padamu, kalau - kalau ini mengingatkanmu pada sesuatu. Tapi, untuk sekarang ini, cuma itu saja informasi yang dapat aku sampaikan. Nah, sekarang apa kamu masih mau kutemain untuk ngobrol?"

"Nggak deh Ren, makasih. Sepertinya aku masih perlu waktu buat sendiri. Aku juga kepengen mengingat siapa Jack itu di masa laluku. Jadi penasaran, kok aku tidak ingat sama dia ya?"

"Okelah kalau begitu. Tapi kalau kamu ingin dengar suaraku atau dapat kunjungan dariku, tinggal bilang saja ya? Aku akan menemanimu kalau kamu memang butuh keberadaanku di sisimu."

"Iya Ren, kalau ada apa - apa, aku akan kabari kamu kok."

Di seberang sambungan, dapat terlihat kalau Rendi kini tengah tersenyum. Dia senang karena Arin baik - baik saja. Setelah bertukar salam perpisahan dengan Arin, Rendi mengakhiri sambungan telepon itu. Si pria menjauhkan ponselnya, kemudian memandang langit di luar yang kini terlihat sangat gelap.

Di sisi lain, Arin juga kembali meletakan ponselnya di atas nakas. Arin kembali merebahkan dirinya, kembali dalam kesendiriannya. Sementara itu, pandangannya kini menuju ke arah jendela yang ada di sebelah kanannya. Langit terlihat sangat gelap, dan angin bertiup menggoyangkan kabel listrik dan pohon yang ada di sekitar rumahnya. Dari apa yang Arin bisa lihat, sepertinya mungkin saja malam itu akan hujan.

Sepertinya, banyak berpikir bukanlah hal yang cocok untuk Arin. Di dalam hatinya, Arin agak menyumpah karena dia tidak mendengar suara dari ponselnya dan membuat Rendi khawatir karenanya. Ini sudah beberapa kali terjadi, karena kalau Arin membiarkan pikirannya melayang kemanapun dia suka di waktu senggang, biasanya Arin akan berakhir dengan ketiduran. Apalagi kalau memang dia sedang berada di kasur. Berpikir kadang membuat Arin merasa lelah. Apalagi kalau yang dipikirkannya adalah hal semacam masalahnya yang ribet ini.

Walau Arin berusaha untuk menghentikan dirinya agar tidak berpikir terlalu banyak, tapi tetap saja Arin tidak bisa menghentikan dirinya sendiri. Apalagi dengan informasi apa yang tadi Rendi berikan kepadanya. Arin jadi semakin penasaran untuk menggali kembali ingatannya untuk mencari tahu siapa si Jack ini. Kalau katanya Jack adalah salah satu senior Arin saat masih SMP, maka kini Arin mengerti kenapa wajahnya terasa tidak asing. Tapi kenapa saat pertama melihatnya Arin tidak bisa langsung mengenalinya? Apa orang ini tidak begitu Arin kenal, atau dia mungkin banyak berubah setelah bertahun - tahun? Entahlah, Arin tidak tahu.

Apapun itu, Arin tidak tahu apa jawabannya. Arin menghela napas, kemudian bangkit. Entah kenapa masalah yang dia hadapi ini kok semakin ribet saja urusannya. Arin pergi ke dapur sejenak, untuk mengambil segelas air dan meminumnya. Andai saja air di gelas itu bisa menjernihkan pikiran Arin, mungkin dia akan butuh satu galon air, karena apa yang ada di dalam kepalanya ini bagaikan air yang sangat keruh.

Sekilas Arin berpikir, kalau masalah yang dia miliki saja sudah ribet, bagaimana coba dengan Hendra yang sudah menghadapi Underground selama sekian tahun? Sepertinya kegilaan yang ada di dalam diri Hendra yang bisa membuatnya bertahan hingga kini. Karena Arin tidak yakin kalau orang waras akan bisa melakukan hal yang sama dengan Hendra. Hal ini membuat Arin jadi semakin salut dengan si detektif bawah tanah, yang kelihatannya tidak kenal lelah dalam mengejar lawannya yang entah berapa banyaknya. Selain itu, sepertinya kegilaan si Hendra ini juga mulai menular kepada Arin, entah apakah ini hal yang bagus atau tidak.

Setidaknya, Arin senang karena ayahnya memang tidak pernah ingin jadi seorang penjahat. Itu merupakan satu kabar baik bagi Arin, karena satu teorinya tentang ayahnya rupanya benar. Pak Harry kemungkinan kini juga berjuang untuk melepaskan dirinya, yang berarti bahwa apa yang Arin lakukan selama ini tidaklah sia - sia. Apalagi kalau mengingat bahwa mereka sepertinya sebentar lagi bisa menyelesaikan masalah ini.

Tapi, Arin masih tidak bisa mengingat dengan baik soal Jack, dan hal ini mengganggunya. Arin tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri, sebenarnya, karena memang ingatannya tentang masa SMP sudah mulai agak karatan. Selain karena Arin tidak punya banyak hal berarti untuk dikenang, dia juga kadang tidak ingin mengenang beberapa memori yang dia miliki.

Hal ini beralasan, karena ada beberapa hal buruk yang terjadi di masa sekolahnya. Kejadiannya mungkin sudah hampir sebelas tahun berlalu, tapi beberapa hal yang terjadi di saat itu membuat Arin jadi sosok yang seperti sekarang ini. Ya, mau tidak mau sih, karena masa remaja biasanya adalah masa pembentukan karakter seseorang, jadi masa ini memberikan banyak pengaruh bagi Arin.

Sebenarnya Arin tidak mau mengingat apa yang terjadi di masa itu, tapi mau tidak mau dia harus kembali mengingatnya, karena penasaran untuk menggali sosok si Jack ini. Saat SMP, Arin bukanlah anak yang sangat populer atau menarik. Kalaupun ada orang yang mengenalnya, mungkin mereka mengetahui siapa Arin melalui ejekan - ejekan yang dilontarkan oleh orang lain. Rasanya, Arin tidak mengenal banyak orang, dan seharusnya nama Jack adalah nama yang mudah dikenali. Meski katanya Jack adalah kakak kelasnya, setidaknya tentu Arin pernah mendengar nama ini.

Arin jadi berpikir keras karenanya. Ciri - ciri si Jack ini juga mencolok, karena dia punya rambut berwarna kecoklatan dan iris mata berwarna biru. Bagaimana bisa Arin melupakannya? Setidaknya pria ini harusnya terkenal di kalangan para perempuan karena tampangnya. Namanya juga agak tidak biasa, Jackquest Rugueux. Atau apakah ... Arin tidak mau untuk mengingat siapa sebenarnya pria ini? Mungkinkah karena ....

Arin menghentikan langkahnya, dan tersentak karena pemikirannya sendiri. Kalau memang begitu masalahnya, tidak heran kalau Arin tidak mengingatnya. Itu karena dia memang tidak mau mengingat siapa pria itu.

Ketika Arin berhenti tadi, dia kebetulan berada di dekat sebuah cermin seukuran badan yang ada di kamarnya. Untuk beberapa saat, Arin memandang wajahnya sendiri yang terefleksi di atas kaca. Tidak ada yang aneh dari Arin, hanya saja ada sebuah kantung mata yang agak hitam di bawah matanya. Pandangannya juga kelihatan tidak bersemangat, mungkin karena apa yang ada di dalam pikirannya. Penampilannya kelihatan biasa saja, tapi ketika menatap dirinya sendiri, Arin bisa melihat kalau ekspresinya agak lemah dan tidak bersemangat.

Bagaimana Arin tidak merasa lemah dan tidak bersemangat? Masalahnya mungkin tidaklah akan berlangsung lebih lama lagi, tapi tetap saja ini membebaninya. Arin ingin sekali masalah ini agar bisa segera selesai, agar penderitaannya tidak perlu berlangsung lebih lama lagi. Akan lebih baik jika semuanya bisa selesai segera, karena semakin lama sepertinya masalah ini semakin memuakkan saja.

Setelah beberapa saat memandangi wajahnya, Arin bisa melihat bahwa bayangan yang ada di depannya kini berubah. Entah karena ilusi atau khayalan Arin yang mengawang, kini di Arin dapat melihat kalau ada sosok lain di hadapannya. Kini, Arin tiba - tiba melihat sosok Rendi berdiri di hadapannya. Arin menatap sosok itu selama beberapa saat, dan bayangan yang ada di hadapannya ini juga balas memandang Arin. Rendi terlihat menampakkan sebuah senyuman kepada Arin, yang membuat Arin balas tersenyum padanya. Rasanya, tidak bisa Arin tidak membalas senyuman itu.

Sudah sekitar satu tahun Arin mengenal Rendi. Semuanya bermula ketika Arin bergabung dengan EG Group. Rendi adalah sosok yang punya karakternya sendiri, dan apa yang Rendi miliki dalam dirinya bisa membuat Arin merasa nyaman, entah dengan cara yang bagaimana.

Arin akui di dalam dirinya sendiri, kalau ada banyak yang berubah dalam hidupnya setelah bergabung di Kepolisian Inkuria. Bisa bekerja bersama EG Group sudah mengubah banyak aspek dalam hidup Arin. Ada banyak sekali yang Arin pelajari, dan mereka memberikan arti tersendiri di dalam hidup Arin. Mereka membuat tawa yang dulu terasa hambar bagi Arin kini jadi lebih berwarna. Membuat Arin bisa membuka mata lebih lebar lagi tentang kehidupan ini.

Terutama dengan adanya Rendi, pria yang membuat Arin bisa menjadi dirinya sendiri. Entah bagaimana, kalau Arin sudah berhadapan dengan Rendi, semuanya terasa jadi lebih mudah. Proses itu tetap butuh waktu, tapi semuanya terasa sangat cepat. Arin kini bisa mengekspresikan apa yang selama ini terpendam di dalam dirinya, tanpa perlu merasa takut atau ragu. Rendi membuat Arin merasa bebas, dan bisa merasakan perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ya, Rendi telah mengubah Arin menjadi sosok yang lebih baik lagi.

Jantung Arin kini berdetak dengan lebih kencang. Arin jadi teringat kalau ini memiliki perasaan tertentu kepada Arin. Sampai saat ini, Arin belum tahu apa yang sebenarnya dia rasakan, tapi ... semuanya terasa menyenangkan. Arin tidak mau kehilangan Rendi, dan itulah yang terpenting saat ini.

Kali ini bayangan yang ada di hadapan Arin membentuk sebuah wajah lainnya yang tidak kalah familiar. Dari apa yang Arin lihat, sepertinya yang ada di hadapannya ini adalah Yoshi. Yoshi? Kenapa bisa ada sosok Yoshi muncul di sini, di hadapan Arin dan pemikirannya yang pelik? Apa hubungannya Yoshi dengan semua ini? Setelah beberapa saat terdiam, sosok Yoshi ini memandang ke arah Arin, lalu memberikan sebuah seringaian. Pada awalnya, seringaian itu terlihat cukup keren, hingga akhirnya Arin bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Kini, Arin bisa melihat kalau sorot mata Yoshi yang dingin memandang ke arahnya dalam - dalam, yang seketika membuat bulu kuduk Arin merinding, entah karena alasan apa.

Ketika Arin beradu pandangan dengan bayangan Yoshi itu, akhrinya Arin tahu akan apa maksudnya. Karena saat pertama kalu Arin berada di EG Group, Arin sempat mengagumi Yoshi. Hal ini hampir - hampir tidak pernah terjadi, karena Arin tidak akan pernah membiarkan sembarangan orang masuk ke dalam kehidupannya. Sepertinya, saat itulah Arin mulai membuka diri terhadap orang lain, terutama pada EG Group.

Terutama, saat itu jugalah Arin mulai membuka hatinya pada pria lain. Arin selama ini selalu menutup pintu hatinya dengan rapat, dan menguncinya dari siapapun. Dia tidak terlalu suka bergaul dengan para pria, karena ada beberapa hal yang membuat Arin tidak menginkannya. Jadi, Arin benar - benar tidak pernah menyukai, apalagi berhubungan dengan seorang pria. Teman - teman yang mengenal Arin selalu menjulukinya sebagai si perempuan dingin. Tapi, ketika bertemu dengan Yoshi, es yang ada di sekeliling Arin mulai meleleh.

Saat pertama kali Arin menyadari kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama, Arin sempat menepis mati - matian perasaan yang dia miliki pada Yoshi. Harga diri Arin selalu mengatakan bahwa jangan sampai dirinya jatuh cinta, atau dia akan benar - benar jatuh ke tempat terdalam, dan tidak akan pernah bisa untuk kembali. Tapi, harga dirinya itu tidak bisa menepis perasaan yang tumbuh saat itu. Walau pada akhirnya, ketika Arin memandang ke dalam sorot mata Yoshi yang dingin, perasaan lainnya muncul. Sebuah keraguan muncul, dan akhirnya Arin memutuskan untuk membuang perasaan itu jauh - jauh. Terutama karena sorot matanya itu mengingatkan Arin akan sesuatu yang buruk.

Ilusi itu kini berubah dari Yoshi menjadi Lisda. Arin bertanya di dalam kepalanya kenapa dia bisa melihat semua ini selama beberapa saat, kemudian dia mengabaikannya, karena pikirannya kembali fokus kepada orang yang ada di hadapannya. Lisda adalah salah satu orang paling baik yang pernah Arin kenal. Arin sudah mengenal Lisda sejak SMP, dan mereka bersahabat sejak saat itu. Keduanya telah melewati banyak suka dan duka bersama. Lisda tahu banyak hal tentang Arin, begitu pula sebaliknya. Lisda adalah satu - satunya sahabat masa sekolah Arin yang masih bisa bertahan sampai saat ini.

Apa yang sudah dilakukan oleh Lisda mungkin agak mengerikan. Kalau saja Arin adalah orang normal, mungkin dia tidak akan pernah memaafkan apa yang sudah Lisda lakukan pada Bu Ani. Tapi, sepertinya kegilaan Hendra sudah menular kepada Arin, sehingga dia masih bisa memaafkan Lisda. Atau mungkin apa yang dikatakan oleh Hendra ada benarnya, kalau Arin adalah orang yang terlalu baik, seperti kedua orang tuanya. Mungkin bisa saja malah itu adalah kombinasi antara kegilaan dan kebaikan yang aneh. Tapi toh, semuanya sudah terjadi, jadi rasanya Arin tidak bisa melakukan apa - apa untuk melawan hal ini. Akan lebih baik jika Arin menerima saja apa yang sudah terjadi.

Setelah beberapa saat memandang cermin itu, sosok yang berada di hadapan Arin kini berubah dari Lisda menjadi Bu Ani. Beliau memandang ke arah Arin, kemudian tersenyum. Hal ini membuat mata Arin seketika berkaca - kaca. Arin mungkin sudah bisa memaafkan apa yang Lisda telah lakukan dan menerima kenyataannya, tapi tetap saja ada beberapa hal yang membuat Arin sedih. Bu Ani adalah sosok keluarga terdekat bagi Arin, dan selama ini Arin selalu bersama dengan ibunya. Kepergiannya adalah hal yang cukup berat bagi Arin, dan dia tidak menyangka kalau semua itu harus terjadi dengan cara yang seperti ini.

Ketika melihat sosok itu, Arin jadi terkenang akan sosok wanita terhebat yang pernah Arin kenal seumur hidupnya. Meski kehidupan ini cukup berat bagi Bu Ani, beliau tetap bertahan dan berusaha untuk membesarkan Arin. Bu Ani telah mengajarkan banyak hal tentang bagaimana kehidupan ini, dengan kesabarannya yang luar biasa. Arin tidak pernah mengenal seorangpun yang ketabahannya sama seperti ibunya dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Bahkan ketika ayahnya harus pergi, Bu Ani tetap ada di sini, menunggu hingga beliau akan kembali. Sayang sekali karena Bu Ani tidak bisa merasakan bagaimana kehidupan yang lengkap bersama ayahnya, andai saja masalah yang ada di hadapan Arin ini bisa selesai tanpa adanya kematian sang ibu, maka semuanya akan jadi sangat sempurna.

Pemikiran tentang keluarga ini sepertinya memengaruhi pikiran Arin. Karena tak lama kemudian, muncul wajah Pak Harry di hadapan Arin. Mungkin Arin tidak bisa melihat wajahnya secara langsung, tapi Arin bisa melihat sosok pria yang selama ini ada di beberapa foto lama yang masih dia simpan. Wajah pria yang ada di hadapannya ini terlihat sangat khawatir dan dipenuhi oleh guratan kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Arin jadi tidak bisa membayangkan kesulitan apa saja yang sudah dia rasakan. Meski wajah Pak Harry terlihat dipenuhi dengan kepedihan, beliau tetap berusaha untuk tersenyum.

Pak Harry. Sosok yang merupakan ayah kandung Arin. Orang yang telah pergi dalam waktu yang sangat lama, sampai Arin tidak pernah mengenali suaranya. Seseorang yang telah pergi meninggalkan Arin dengan begitu saja dan membuat Arin tidak pernah merasakan yang namanya kehangatan pelukan seorang ayah. Seseorang yang jadi alasan kenapa Arin bisa berada di sini. Pria yang selama ini diam - diam selalu Arin temui dalam mimpinya dan selalu Arin rindukan keberadaannya.

Perlahan, sosok itu mulai memudar. Arin bisa merasakan kesedihan karena ayahnya yang tidak akan ada di hadapannya lagi, meski sepertinya Arin akan kembali terbiasa pada hal itu. Kepergian ayahnya memang adalah sesuatu yang Arin selidiki selama ini, tapi setidaknya kini Arin sudah mengetahui kenyataannya. Dari apa yang kini telah Arin ketahui, rasanya Arin bisa mengerti kenapa, dan dia menerima alasan kenapa ayahnya bisa pergi seperti itu.

Semakin lama, wajah Pak Harry semakin memudar. Tapi, sebelum wajah itu menghilang, Pak Harry seolah mengatakan sesuatu pada Arin. Si perempuan menatap wajah itu baik - baik, berusaha untuk memahami apa yang ingin dikatakannya. Setelah beberapa saat, akhirnya Arin dapat menangkap apa yang dikatakan oleh Pak Harry.

"Arin! Lari!"

Wajah Pak Harry kini menghilang, seperti kabut yang tiba - tiba saja menipis. Kini, Arin tidak lagi melihat sosok - sosok seperti sebelumnya. Apa yang Arin lihat kini seolah bergerak, seperti sebuah film. Ketika memerhatikannya, Arin merasa familiar dengan apa yang dilihatnya. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Arin menyadari kalau apa yang dilihatnya ini adalah kepingan dari masa lalunya.

Dari film pendek yang dapat Arin lihat di hadapannya, ada banyak sekali memori yang terkenang di sana. Samar - samar, memori ini kembali mengingatkan Arin akan kenangan saat dirinya masih berada di SMP. Ingatan tentang beberapa momen penting seperti saat kelulusan, dan masa - masa ujian kembali menghiasi ingatan Arin. Jalinan waktunya entah kenapa terjadi dengan urutan mundur, dari saat teberat ke saat paling menyenangkan yang pernah Arin alami.

Arin kadang berpikir, tentunya akan lebih mudah jika dia bisa kembali ke masa lalu, di mana semuanya masih lebih mudah dan sederhana. Walau begitu, sepertinya kehidupan memang merupakan sesuatu yang ribet, dan semakin lama dia hidup, semakin membingungkan juga cerita yang harus dia hadapi, seperti sebuah film yang tidak dapat ditebak kelanjutannya. Terutama karena kini Arin sudah memilih jalan hidup yang lebih ribet daripada yang lainnya. Arin harus tetap bertahan dengan pilihannya ini.

Film pendek seputar masa sekolahnya kini kembali mengabur. Tapi, sepertinya tayangan yang dia saksikan belum berakhir, karena kini kabut itu berubah jadi sebuah jalinan peristiwa lainnya. Setelah beberapa saat mengingatnya, akhirnya Arin dapat melihat kalau apa yang ada di hadapannya ini adalah reka ulang dari kasus pertama yang Arin hadapi bersama EG Group. Arin dapat melihat bagaimana kejadian dari pertemuannya dengan EG Group, yang membawa mereka ke kasus Bu Intan yang cukup menegangkan.

Momen yang paling bisa Arin ingat tentu saja adalah saat dia harus terjun dari lantai dua ke gudang senjata milik Philip ke luar rumah itu bersama dengan Rendi. Saat itulah, untuk pertama kalinya Arin merasakan kalau hidup dan matinya dipertaruhkan di tangan seorang pria yang baru saja dikenalnya, dan Arin harus memercayainya. Tapi, Rendi tidak menyia - nyiakan kepercayaan itu, karena saat itu Rendi bisa menyelamatkan hidup Arin.

Arin jadi teringat akan pertanyaan Rendi saat itu. Apa yang membuat Arin sangat ingin untuk bertahan hidup? Apakah ada alasan tertentu yang Rendi tidak tahu? Arin tidak bisa memberikan jawaban seutuhnya kepada Rendi saat itu, karena Arin masih belum bisa memercayakan rahasia itu pada orang lain. Hanya sebuah jawaban pendek yang Arin berikan, tapi entah bagaimana, Rendi bisa memahaminya.

"Aku belum boleh mati sekarang, masih ada yang belum aku selesaikan di dunia ini!"

Setelah kasus itu, Arin dapat mengingat apa yang dia lakukan. Arin tidak ingin Rendi kenapa - napa, jadi Arin memutuskan untuk berjaga di samping si pria. Entah kenapa, tapi sepertinya saat itu Arin baru sadar kalau dia tidak ingin untuk kehilangan Rendi. Ketika pria itu bangun, entah kenapa Arin ingin sekali untuk mencium bibir Rendi. Arin merasa kalau Rendi adalah pria yang tepat untuk mendapatkan ciuman pertamanya. Apalagi dengan pernyataan si pria, yang entah kenapa membuat Arin sangat senang karenanya. Mungkin di saat itulah, Arin menyadari kalau hatinya betul - betul luluh karena tatapan hangat dari Rendi. Saat pertama kalinya Arin menyadari betapa berbedanya Rendi dari semua pria yang pernah Arin kenal di sepanjang hidupnya. Senyum mengembang di wajah Arin, yang entah kenapa membuatnya merasa ... bahagia?

Perlahan, kenangan itu berubah menjadi kabut, seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Kini, kabut itu malah berubah jadi sosok Jack. Arin tentunya masih bisa mengingat sosok pria necis yang dia temui secara tidak terduga dua hari lalu, setelah mendengar kenyataan soal ayahnya. Jack memandang ke arah Arin dengan seringaiannya yang menyebalkan dan nada suaranya yang masih membekas di kepala Arin.

Arin sudah berusaha mengenyahkan pria itu dari dalam pikirannya selama dua hari ini. Tapi, terkadang pria ini muncul di dalam kepalanya. Mungkin karena ancaman yang dia berikan membuat Arin jadi khawatir. Arin tentunya tidak akan menyerah begitu saja pada pria ini, karena dia tidak bisa membiarkan keinginan Jack untuk memiliki Arin bisa terkabul. Walau begitu, kini Arin baru mengingat sesuatu. Wajah yang dia lihat ini familiar. Begitu juga nada suara, seringaian, dan ambisinya itu. Arin sepertinya tahu siapa orang yang ada di hadapannya ini.

Kini, sosok Jack yang ada di hadapan Arin terlihat berkabut. Arin mengira kalau ini berarti si pria akhirnya akan menghilang, tapi Arin sudah salah sangka. Karena, kabut itu kini malah membelah sosok Jack menjadi dua. Satu sosok pria muda yang tadi dilihatnya tetap bertahan di sana, masih menatapnya dengan seringaiannya. Tapi, tidak lama kemudian kabut tadi membuat sosok baru di sebelahnya. Kini, adalah sosok seorang anak laki - laki yang mengenakan seragam SMP. Rambut si anak kelihatan berantakan, begitu pula seragam biru putih yang dia kenakan.

Si remaja SMP ini memegang sebuah pisau pendek yang berlumuran darah. Meski masih muda, Arin dapat mengenali kalau anak ini tentunya adalah Jack. Arin dapat melihat kalau kedua orang ini memiliki mata yang biru jernih yang sama. Keduanya sama - sama menyeringai kepada Arin. Selain itu, Arin bisa melihat tanda pengenal yang disematkan di dada kirinya yang bertuliskan "Jackquest Rugueux". Kedua sosok itu memandang ke arah Arin, kemudian mengatakan dua kalimat secara bersamaan.

"Kau pasti akan jadi milikku, honey. Cepat atau lambat."

Arin mengatakan kalau dia tidak mengingat siapa Jack. Ini bukan sebuah kebohongan, karena saat pertama kali melihatnya, Arin harus memastikan pada dirinya sendiri apakah apa yang dia lihat itu benar atau tidak. Arin tidak mau memercayai kalau apa yang dilihatnya ini benar. Pria ini ... pria yang sepertinya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Pria yang selama ini jadi mimpi buruk yang berusaha untuk Arin lupakan.

Arin dapat melihat sebuah rangkaian peristiwa lainnya di hadapannya. Tanpa perlu untuk melihatnya sekalipun, Arin tahu kejadian apa ini. Karena hal ini sudah menimbulkan luka mendalam bagi Arin. Ketika Arin melihat kejadian buruk itu, dia dapat merasakan kalau seketika tubuhnya jadi menegang. Tapi, hal ini tidak berlangsung lama, karena kemudian Arin merasakan kalau lututnya melemas, yang membuat Arin terduduk ke lantai.

Arin berusaha untuk tidak menatap cermin yang ada di hadapannya itu. Semuanya terlalu menyakitkan bagi Arin untuk dikenal. Kini Arin sudah memeluk lututnya dengan erat, dan air mata menetes dengan deras di wajahnya. Setelah terdiam beberapa saat, Arin kini menatatap ke arah cermin dan melirik lengan kiri Jack. Di sana ada sebuah bekas luka gores yang sangat panjang, mungkin panjangnya sekitar 17 sentimeter dan meliuk di sepanjang lengannya. Arin ingat luka itu. Arin berharap kalau dia tidak perlu untuk mengingat semuanya, karena hal ini sangatlah menyakitkan. Tapi, dari semua fakta yang sudah Arin ketahui, dia tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Jack ... kamu ... kembali ...." bisik Arin.

Kini, cermin itu membentuk lebih banyak lagi kabut. Kabut itu berkelabatan dengan cepat, dan memunculkan banyak hal yang sudah terjadi di dalam hidup Arin. Pada akhir kelabatan itu, Arin dapat melihat Jack, tatapan dingin dari Yoshi, dan perkataan dari Pak Harry. Semua ini membuat Arin bisa mengingat akan apa yang harus dia ingat. Memori akan kejadian yang sangat menyakitkan. Bagian masa lalu Arin yang selama ini sangat ingin untuk dia lupakan. Bahkan, kini Arin bisa mengingat semua suara yang selama ini selalu menghantuinya.

"Hahaha! Dasar cewek kuper!"
"Ih, dia jadi perempuan sok jual mahal banget!"
"Kamu cantik - cantik kok dingin sih?"
"Kenapa kamu nggak mau?"
"Kamu akan rasakan akibatnya!"
"Kamu ... aku ... selamanya ...."
"Maafkan ayah nak, suatu saat nanti kamu akan tahu dan paham kenapa semua ini bisa terjadi. Tapi nanti, bukan sekarang."
"Arin, lari!"
"Kamu akan jadi milikku, honey. Cepat atau lambat."

Meski di sekelilingnya sangatlah sunyi, Arin menututup telinganya rapat - rapat, seolah semua orang tengah mengatakan kalimat itu tepat di sebelah telinga Arin. Walau Arin sudah berusaha keras untuk menepis suara itu, semuanya seolah terdengar semakin keras, seiring dengan waktu. Arin berusaha untuk menenangkan dirinya, tapi sepertinya semua itu percuma saja. Arin semakin lama semakin panik, dengan air mata yang semakin deras mengalir. Sisi waras yang masih bertahan di dalam diri Arin tidak bisa menahan semua suara itu, yang membuatnya berteriak, dengan harapan kalau itu akan menghentikan semuanya.

"CUKUP! HENTIKAN! PERGI KALIAN! AKU TIDAK AKAN PERNAH JADI MILIKMU! KAU TIDAK AKAN PERNAH MENDAPATKAN APA YANG KAU MAU! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN KAU MELUKAIKU LAGI! APA YANG KAMU LAKUKAN ITU TELAH MENYAKITI JIWA DAN RAGAKU! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU MELAKUKANNYA!"

Seolah alam dapat mendengarkan teriakan Arin tadi, ada sebuah suara sahutan yang dapat terdengar. Alam menyahut keresahan Arin dengan sebuah suara guruh, yang tidak lama diiringi dengan kilat yang datang menyambar, setelah Arin selesai dengan teriakannya. Arin sudah bisa mengingat apa yang selama ini ingin sekali untuk dia lupakan.

Arin dapat melihat kalau kedua tangannya bergetar, dan hal ini juga terjadi pada tubuhnya. Arin sudah tidak dapat menahan diri dari semua guncangan yang dia terima. Tapi setidaknya, suara - suara itu tidak lagi mengganggunya. Walau begitu, mengingat hal buruk itu hanya membuat Arin akan lepas kendali. Sisi waras yang masih tersisa di dalam diri Arin takut kalau dia akan mengamuk nantinya.

Arin berusaha sebisa mungkin untuk kembali mengendalikan dirinya. Dia berusaha untuk mengatur pernapasannya, dan menjernihkan pemikiranya. Setelah beberapa saat, Arin bisa merasa sedikit lebih tenang. Tapi, ini tidaklah cukup. Arin masih bisa merasakan kalau setan yang selalu menggodanya ini tidak akan berhenti sampai Arin mau menuruti apa yang dikatakannya. Arin bahkan harus menahan dirinya untuk tidak meninju cermin yang ada di hadapannya. Kalau begini, Arin benar - benar perlu untuk mencari seseorang atau sesuatu yang dapat menenangkannya.

Dengan sisa kewarasan yang ada di dalam dirinya, Arin menghapus sisa air mata di wajahnya. Setelahnya, dia berdiri dengan perlahan dan mencari beberapa benda. Ketika menemukannya, langsung saja Arin menyambar ponsel dan dompetnya. Setelahnya, Arin mengambil jaket dan kunci motor, dan melesat menuju ke motor yang dia letakkan di depan rumah. Setelah memakai helm dengan baik, Arin memacu motornya dengan kecepatan yang tidak terlalu berbahaya. Dalam pikirannya, ada satu tempat yang kini harus ditujunya.

"Setidaknya, aku ingin di dengarkan. Dan jika nanti aku mengamuk, aku ingin agar ada seseorang yang bisa menenangkanku. Hanya tempat itu yang bisa aku tuju. Hanya dia," bisik Arin.

Arin memacu kendaraannya menuju ke tempat tujuannya itu. Beberapa tetes air mulai membasahi tubuhnyanya, tapi Arin tidak berpikir untuk berhenti. Arin tidak memedulikan hujan yang mulai turun, karena keselamatan dan ketenangan dirinya adalah prioritasnya saat ini. Arin fokus ke arah jalanan, agar bisa segera sampai. Saat ini, hanya satu orang yang bisa menolongnya, dan Arin harus segera pergi menemuinya.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top