Chapter 3 : Teman yang Menjadi Musuh
Malam itu, Arin menghabiskan malamnya untuk memikirkan akan apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Terutama dengan pesan yang dia dapatkan pada sore itu. Dengan kedatangan surat itu, semuanya kini sudah jelas, dan bagi Arin tidaklah sulit untuk menyusun apa yang sebenarnya sudah terjadi. Ada beberapa hal yang sudah Arin susun di dalam kepalanya, sebagai kemungkinan akan apa yang sudah terjadi.
Orang yang mengirimi Arin surat itu sudah sangat mengenal Arin dan ibunya dengan baik, jadi rasanya tidak aneh kalau dia tahu bagaimana caranya untuk melakukan kejahatannya dengan rapi. Apalagi dengan keberadaannya yang dipercayai oleh Arin dan ibunya, rasanya memang tidak akan ada yang mencurigai dia sebagai pelaku atas kejahatan ini. Arin sendiri saja menepuk jidatnya sendiri ketika dia menyadari apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana hal ini tidaklah kelihatan mencurigakan baginya.
Arin mengenal betul siapa orang yang sudah meracuni ibunya ini. Orang ini adalah seorang perempuan yang selama ini Arin sebut sebagai temannya, sebagai sahabatnya. Perempuan ini bernama Lisda, dan kini Arin merasa semuanya kini masuk akal, meski dia tidak menyangka kalau yang melakukan semua ini adalah sahabatnya sendiri. Masih ada beberapa pertanyaan di dalam kepala Arin akan kenapa sahabatnya sendiri bisa melakukan hal seperti ini, dan Arin mungkin tidak akan mendapatkan jawabannya hingga dia bisa bertemu dengan perempuan itu.
Arin tahu kalau ibunya tidak begitu banyak berinteraksi dengan orang lain. Bu Ani biasanya akan pergi di pagi hari untuk mengantarkan kue buatannya ke sebuah toko roti yang ada di dekat rumah mereka. Setelah itu, mungkin beliau akan pergi ke pasar dan menyiapkan adonan kue, atau mungkin memasak sesuatu. Beliau juga akan merapikan rumah pada sore hari, dan muncul di halaman depan untuk menyapu rumah. Ketika berada di luar rumah ini, kadang Bu Ani akan menemui beberapa tetangga dan bercakap ringan dengan mereka.
Hanya seperti itulah keseharian Bu Ani, dan tidak banyak hal mengejutkan dari kehidupannya. Walau begitu, kediaman mereka kadang kedatangan tamu yang tidak asing. Temannya, Lisda, sering kali mampir ke kediaman Arin untuk saling bertukar kabar. Hal ini tidaklah aneh, karena Lisda bekerja sedikit di luar kawasan perumahan di Inkuria, dan dia akan selalu melewati kawasan tempat Arin tinggal.
Rasanya tidak mencurigakan, kalau seorang teman datang ke rumahmu di sore hari untuk minum teh dan bertukar cerita, kan? Itulah yang Arin pikirkan pada awalnya. Lisda punya jam kerja yang selesai satu jam lebih awal daripada Arin, jadi biasanya Lisda akan ada di rumah Arin terlebih dahulu sebelum Arin sampai. Jadi, Arin kadang akan melihat kalau Lisda sudah di rumahnya dan tengah mengobrol dengan ibunya.
Dari sini, sepertinya tidaklah sulit bagi Arin untuk menebak apa yang terjadi setelahnya. Lisda sepertinya membubuhkan racun secara bertahap pada minuman ibunya, karena Bu Ani akan selalu membuatkan teh untuk mereka bertiga. Rasanya tidak sulit untuk mengalihkan perhatian Bu Ani, atau untuk mencari saat Bu Ani lengah untuk menyisipkan racun ini. Mungkin saja kalau selama ini Lisda membubuhkan racun saat Arin ada di dekatnya.
Hal ini tentunya sudah direncanakan dengan baik oleh Lisda. Dia sudah dengan sengaja memilih racun yang kerjanya lambat, tapi merusak tanpa disadari. Ketika Arin menanyakan pendapat Pak Dani terhadap hasil pemeriksaan terhadap mayat ibunya, si ahli forensik mengungkapkan pendapat seperti itu. Berdasarkan pengamatan dari hasil ronsen yang ada, Pak Dani bisa melihat kalau kerusakan di beberapa sistem ini sudah cukup fatal, tapi tidak terasa. Jadi kemungkinannya, racun ini sudah diberikan secara bertahap tanpa diketahui.
Rasanya masuk akal juga kalau memang begitu ceritanya. Apalagi, entah bagaimana kebetulan sekali Bu Ani merasakan efek dari racun ini sangat mengganggunya ketika beliau berada di tangga menuju ke lantai dua. Kecelakaan yang tidak disengaja ini malah memperparah keadaannya, karena Bu Ani tidak bisa bertahan karena benturan yang dialaminya. Entah Lisda memang menginginkan kejadian alami seperti itu sebagai alibinya atau hal ini memang tidak sengaja, tapi kematian Bu Ani tidak akan membuat siapapun curiga kalau dia sebenarnya dibunuh, karena kalau saja Arin tidak meminta mayatnya untuk diautopsi, maka tidak akan ada yang tahu akan apa yang sebenarnya terjadi.
Karena Arin sudah mengetahui apa yang terjadi, dia jadi memikirkan beberapa hal. Tentunya tidak biasa kalau seorang pembunuh mengirimkan ancaman terhadap targetnya. Hal ini bisa saja terjadi, tapi ancaman yang diberikan oleh Lisda tidak memberikan kesan ancaman yang membuat orang lain jadi ketakutan atau apalah. Malah, hal ini jadi membuka identitas Lisda di hadapan Arin.
Lisda mengirimkan sepucuk surat pada Arin yang berisi tulisan tangannya, seolah surat itu hanyalah pesan biasa dari seorang sahabat pena. Lisda harusnya tahu kalau aneh bagi mereka yang masih tinggal di satu kota yang sama untuk mengirim surat melalui pos. Apalagi ini ditulis tangan, yang pastinya akan mudah untuk dikenali oleh Arin. Kenapa Lisda melakukan sesuatu yang kentara seperti itu?
Entahlah, Arin tidak tahu kenapa Lisda mengirimkan ancaman terbuka seperti itu. Tapi apapun itu maksudnya, Lisda sudah berhasil untuk memancing kemarahan Arin. Meski kelihatannya Lisda agak ceroboh dalam membuka identitasnya, Arin masih tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh sahabatnya. Bisa saja memang itu yang diinginkan oleh Lisda. Apalagi, karena Lisda tidak kelihatan kaget atau berusaha berakting sekuat tenaga untuk meyakinkan Arin kalau semua ini bukan perbuatannya. Malah, Lisda kedengarannya sangat senang ketika Arin mengetahui hal ini.
Mungkin saja Arin merasa kalau hal ini agak aneh karena dia tidak terbiasa menghadapi kasus yang seperti ini. Ada dua kasus pembunuhan yang sudah pernah Arin hadapi bersama EG Group, dan keduanya sama - sama dilakukan dengan cara yang profesional. Pada kematian Ernest Nugraha, mereka hanya bisa menemukan sebuah kartu remi pada korbannya, yang memerlukan pemahaman dalam permainan kartu sebelum bisa memahami apa arti dari kartu itu. Sementara itu, pada kasus Rizky Alfian, tidak ada petunjuk apapun yang berarti pada korban, dan semua kejadiannya hanya bisa dipahami kalau kau mengikuti perkembangan yang terjadi di Underground seperti Hendra. Karena itulah sebuah petunjuk yang terang - terangan ini malah membuat Arin merasa aneh.
Tapi, kejadian ini membuat Arin berpikir, apakah memang Lisda sengaja mengirimkan surat itu untuk mengundang Arin ke dalam sebuah perangkap? Bisa saja, karena kedengarannya Lisda senang saat mengetahui kalau Arin menerima suratnya dan mengajaknya bertemu di tempat yang mereka janjikan. Kalau memang benar begitu, maka Arin harus berhati - hati. Arin tidak boleh melakukan tindakan sembrono yang bisa membahayakan dirinya.
Karena kecurigaan inilah, nanti Arin harus bertanya pada teman - temannya akan rencana macam apa yang bisa mereka lakukan. Dari apa yang sudah Arin lihat dalam situasi macam apa yang Hendra sudah pernah perlihatkan, keadaan seperti ini bisa jadi sangat berbahaya. Arin masih tidak tahu apakah ancaman bahwa Lisda akan membunuhnya ini serius atau tidak, tapi Arin harus tetap berhati - hati. Kalau memang ancaman ini nyata, maka bisa saja Arin mati kalau dia bertindah bodoh.
Hanya saja, masih ada satu pertanyaan yang tersisa dalam kepala Arin. Apa sebenarnya maksud dari Lisda melakukan semua ini? Arin dan Lisda sudah berteman sejak mereka berada di SMP. Mungkin sudah sepuluh tahun lebih sejak mereka berdua mengenal satu sama lainnya, yang merupakan waktu yang sangat lama. Mereka juga tidak pernah terlibat dalam perkelahian yang serius hingga mereka kini entah kenapa salah satu dari mereka ingin untuk membunuh yang lainnya. Lalu, kenapa baru sekarang hal ini terjadi?
Bagi Arin, Lisda adalah salah satu sahabat baiknya, dan mereka tidak pernah bertentangan dengan hebat. Keduanya selalu mengasihi satu sama lainnya, dan masih menjaga komunikasi mereka. Lalu, kenapa sekarang Lisda malah berniat untuk mencelakakan Arin? Apakah ada suatu masalah yang Arin tidak ketahui telah terjadi? Lisda tentunya punya alasan, dan Arin ingin untuk mengetahui apa yang sebenarnya yang telah dia lakukan hingga akhirnya semua bisa jadi seperti ini.
Entahlah, Arin tidak tahu kenapa Lisda tiba - tiba malah berbalik jadi seorang lawan seperti ini. Berapa lama sudah ini terjadi? Kok Arin tidak pernah tahu soal masalah ini? Apakah Arin sebegitu tertutupnya sampai dia tidak mengetahui kalau Lisda berniat mencelakainya? Ada masalah apa sebenarnya, dan kenapa hal ini bisa terjadi dan Arin tidak tahu apa penyebabnya? Kenapa Lisda malah memutuskan untuk menyasar Bu Ani terlebih dahulu, bukannya malah mengutarakan masalah ini pada Arin? Berbagai pertanyaan ini memenuhi kepala Arin, dan dia tidak akan tahu apa jawabannya.
Karena itulah, keesokan paginya, Arin datang ke ruangan EG Group dengan tampang kusut. Malam itu memang Arin masih bisa tidur, tapi ada banyak sekali pertanyaan yang menghantui Arin sebelum dia bisa beristirahat dengan baik. Terutama adalah, kenapa dari semua orang yang bisa berniat jahat padanya, orang itu malah sahabatnya sendiri? Apakah Arin adalah teman yang sebegitu buruknya? Atau ada sebuah rahasia yang tidak Arin ketahui?
Selain itu, apa yang Arin temukan di antara barang - barang pribadi ibunya juga tidak membantunya untuk merasa tenang. Arin berhasil menemukan semua surat yang pernah dikirimkan oleh ayahnya pada Bu Ani, tapi Arin tidak tahu apakah ini akan banyak membantunya. Tapi setidaknya, Arin kini tahu kalau memang benar bahwa ayahnya masih berhubungan dengan ibunya, meski hal ini jarang sekali. Kontak terakhir itu bahkan terjadi tidak lama sebelum kematian ibunya, yang membuat Arin penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi.
Hanya itulah fakta yang bisa Arin kumpulkan dari surat - surat ayahnya. Selebihnya, Arin tidak menemukan banyak hal yang penting di dalamnya. Tidak ada alamat pengirim yang jelas, karena semuanya dikirimkan dengan mencantumkan alamat kantor pos tempat surat itu dikirimkan. Tulisan tangannya sama semua, yang sepertinya bukan hal yang aneh. Isi suratnya juga hanya seputar bertukar kabar satu sama lainnya antara kedua orang tua Arin. Sang ayah tidak memberikan banyak detil akan apa yang terjadi di Underground, karena menurut beliau, detil ini terlalu mengerikan untuk diceritakan.
Kalau ada sesuatu yang berarti dari surat - surat itu, maka itu adalah bagaimana Arin mulai memahami karakter ayahnya. Meski ayahnya kini berada di Underground dan mungkin banyak melakukan hal jahat, tapi beliau tidak terlihat seperti orang jahat, dari apa yang Arin lihat di dalam surat - suratnya. Bagi Arin, semua surat itu membuktikan kalau ayahnya adalah seorang pria lembut yang sangat menyanyangi keluarganya. Sang ayah selalu mengkhawatirkan anak dan istrinya, dan berharap bahwa mereka akan baik - baik saja.
Lalu, Arin masih penasaran akan surat terakhir yang dikirimkan ayahnya pada Bu Ani minggu lalu. Setelah waktu yang sangat lama, akhirnya Pak Harry kembali mengirimkan surat kepada istrinya, dan memintanya untuk bertemu. Sedikit banyak, ini membuat Arin jadi curiga akan apa yang sebenarnya terjadi. Ibunya tidak pernah memberitahu seputar hal ini, yang membuat Arin jadi semakin penasaran akan apa yang terjadi.
Walau begitu, Arin tidak sedikitpun mencurigai Pak Harry. Beliau memang seorang penjahat, tapi rasanya Arin tidak yakin kalau ayahnya akan melukai istrinya sendiri. Terlebih lagi Lisda sudah dengan terbuka mengakui kalau dialah yang melukai Bu Ani, jadi rasanya tidak mungkin beliau melakukan sesuatu yang tidak baik. Hanya saja, Arin masih penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi saat ayah dan ibunya bertemu, dan kenapa ibunya malah memutuskan untuk tidak memberitahu apapun soal ini pada Arin.
Setelah dipikir lagi, kini Arin mengerti kenapa ayahnya tidak mau menafkahi ibunya dan juga Arin. Sepertinya, sang ayah tahu kalau apa yang dilakukannya ini adalah hal yang tidak baik, dan beliau tidak ingin menafkahi keluarganya dengan uang haram. Sang ayah ingin agar keluarganya menikmati uang dari hasil kerja sendiri, bukannya dilimpahi dengan harta yang didapatkan dengan cara yang tidak baik. Kalau hal ini dipikirkan baik - baik, Arin menjadi tidak tega karenanya. Semakin Arin pikirkan, semakin dia tidak tega kalau Arin harus melawan ayahnya di sisi yang berbeda. Arin jadi sangat ingin untuk melepaskan ayahnya dari penderitaan apa yang beliau alami.
Ekspresi wajah Arin yang kelihatan bercampur aduk atas berbagai macam emosi ini tentunya membuat rekan - rekannya penasaran. Baru saja mereka mendapat penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya Arin kemarin, dan kini Arin kelihatannya malah memikirkan sesuatu lainnya yang tidak kalah membingungkan. Hanya saja, EG Group tentunya tidak mengetahui apa yang sudah terjadi, jadi mereka hanya bisa mengamati ekspresi di wajah Arin tadi dengan pandangan yang menatapnya dengan bingung. Dari ekspresi wajah anggota EG Group yang lainnya, mereka terlihat seolah meminta penjelasan kepada Arin.
Dari semua rekannya itu, hanya Rendi saja yang kelihatannya tidak mempertanyakan ekspresi yang ada di wajah Arin. Mungkin ini karena pada malam sebelumnya Rendi sudah mendapatkan telepon dari Arin. Si perempuan merasa kalau ada banyak hal yang mengganggunya, dan memutuskan untuk menghubungi Rendi terlebih dahulu untuk menceritakan apa saja yang ditemukannya semalam. Menceritakan hal ini membuat Arin lebih lega dan bisa tidur dengan baik, dan membuat Rendi mafhum kenapa hari ini wajah Arin bisa terlihat seperti kain yang belum disetrika.
Tapi tidak seperti Rendi, teman - temannya yang lain tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Arin. Mereka mengkhawatirkan Arin, karena apa saja yang sudah terjadi padanya selama seminggu belakangan ini tentunya sangatlah berat. Apalagi dengan berita mengejutkan yang mereka ketahui dari Hendra semalam. Ada banyak sekali masalah yang ada di hadapan Arin, jadi mereka ingin membantu Arin kalau bisa.
Pandangan ini sebenarnya dimengerti oleh Arin. Si perempuan dapat melihat kalau teman - temannya ingin tahu akan apa yang sebenarnya terjadi. Arin sebenarnya ingin memberitahu semuanya, hanya saja dia masih berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk mengungkapkan hal ini. Ada banyak hal di dalam kepalanya, yang membuat Arin agak susah untuk mengatakannya dengan baik.
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya mereka berpandangan satu sama lainnya. Dari pandangan mereka itu, sepertinya semuanya sepakat untuk mengakhiri momen hening mereka itu. Kalau memang ada masalah yang harus mereka ketahui, maka mereka harus mengetahuinya sekarang. Karena itulah, akan lebih baik jika ada seseorang yang menanyakan keadaannya.
"Rin, kamu kenapa? Kok kulihat dari tadi kamu manyun mulu? Ada apa sih, coba cerita deh," tanya Bu Risa, yang berinisiatif untuk membuka pembicaraan.
"Iya tuh, kamu kenapa Rin? Ren, kenapa lagi tuh gebetanmu? Kamu tahu alasannya?" ujar Delia.
Rendi menghela napasnya, lalu menatap Delia dengan tajam. Rendi tahu kalau maksud Delia tadi itu hanya bercanda, tapi lawakannya ini agak kurang tepat waktunya. Tapi, sepertinya Rendi tidak bisa marah pada Delia, karena memang Rendi sebenarnya tahu apa yang terjadi pada Arin.
"Eh, kalau itu kalian mending tanya langsung sama orangnya deh," sahut Rendi.
"Yah, saya kira tadi kamu tahu kenapa," ujar Pak Indra.
"Saya bukan peramal, pak. Walau sebenarnya saya tahu apa yang terjadi, tapi kan lebih enak kalau Arin sendiri yang jelaskan."
"Nah, Rendi sudah bilang begitu loh Rin. Jadi, kamu sebenarnya kenapa? Ada masalah lain lagi?" tanya Yoshi.
Arin bukannya menjawab, dia malah mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya. Kotak itu berwarna perak dan terbuat dari logam. Semua orang memandang kotak itu dengan penasaran, kemudian mereka memandang Arin. Orang yang dipandang membalas tatapan teman - temannya selama beberapa saat, kemudian dia menghela napasnya.
"Kotak ini adalah penyimpanan yang digunakan oleh ibuku untuk menyimpan semua surat yang dia dapatkan dari ayahku. Dugaan Hendra kalau surat - surat ini ada rupanya memang benar, dan aku tidak tahu bagaimana bisa dia tahu soal ini. Aku sudah membaca semua suratnya, dan inilah yang membuatku berpikir keras," kata Arin.
"Loh, bukannya bagus ya? Kamu baru menemukan sesuatu yang berharga dari kedua orang tuamu. Seharusnya hal ini bisa memberimu sedikit petunjuk akan siapa sebenarnya ayahmu," kata Bu Risa.
"Iya, ibu ada benarnya. Hanya saja, aku jadi penasaran. Ada satu surat yang dikirimkan ayahku minggu lalu, dan aku tidak tahu apa - apa soal surat itu. Isinya adalah bawah keadaan ayahku kini tengah sulit, dan beliau tahu bahwa aku sekarang bekerja bersama kalian, EG Group. Keadaan ini membuat beliau agak khawatir karena mungkin saja aku harus melawannya. Diakhiri dengan beliau mengatakan kalau Ayah ingin bertemu dengan Ibu di Kafe Echantè, dan ibuku boleh memutuskan apakah beliau ingin mengajakku pergi bersamanya atau tidak. Tapi aku tidak tahu apakah memang ibuku pergi menemui Ayah, dan aku tidak tahu apa yang terjadi," sahut Arin.
"Tunggu dulu, jadi kamu mau bilang kalau Pak Harry menghubungi ibumu seminggu lalu, dan mereka kemungkinan bertemu?" tanya Delia.
Arin mengangguk, "Itulah yang aku bisa dapatkan dari surat itu. Makanya aku jadi penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi."
"Hm, dari cara Hendra memintamu untuk mengecek keberadaan surat itu, sepertinya dia mungkin sudah tahu kalau surat itu memang ada. Bisa saja dia juga tahu apakah kedua orang tuamu sudah bertemu atau belum. Bagaimana caranya dia bisa tahu, saya tidak tahu. Tapi mungkin saja Hendra ingin mengatakan sesuatu seputar hal ini," komentar Pak Indra.
"Bisa saja tuh pak. Si Hendra kan kebiasannya kadang suka mengejutkan orang begitu," sahut Yoshi.
"Membingungkan memang, apalagi karena Bu Ani tidak cerita apa - apa pada Arin," kata Rendi.
"Pantas saja kamu kelihatannya mikir keras begitu. Tidak heran sih, pastinya kamu penasaran akan apa yang sebenarnya sudah terjadi," ujar Bu Risa.
"Tapi, bukan itu saja yang jadi masalahnya. Karena semalam, akhirnya aku tahu siapa yang sudah meracuni ibuku," kata Arin.
Perkataan Arin tadi otomatis membuat rekan - rekannya langsung memandang Arin dengan kaget seperti baru mendengar kalau kuda rupanya bisa bertelur. Bahkan Rendi juga memandang Arin dengan ekspresi tidak percaya, karena di malam sebelumnya Arin tidak menceritakan soal ini. Arin hanya menuturkan soal surat dari ayahnya, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pergi tidur.
Walau begitu, Rendi hanya menghela napasnya. Arin tentunya masih terguncang dan kebingungan, karena itulah dia tidak ingat atau sengaja tidak menceritakan soal masalah ini. Rendi tidak tahu perasaan kacau macam apa yang Arin rasakan seputar masalah ini, dan Rendi juga tidak akan tahu bagaimana cara mengatakannya kalau dia jadi Arin.
"Hah? Ini kamu serius Rin? Bagaimana bisa? Kamu didatangi sendiri oleh orang ini atau bagaimana?" tanya Pak Indra.
Arin bukannya menjawab, dia malah meletakkan sebuah kertas dan amplop di atas mejanya. Kertas itu adalah surat yang diterimanya dari Lisda kemarin. Kelima temannya membaca isinya dengan seksama, lalu kembali memandang Arin. Mereka memang bisa melihat tulisan yang menyiratkan bahwa yang mengirimnya memang sudah mencelakai Bu Ani, tapi mereka tidak melihat apapun yang bisa mengindikasikan pengirimnya. Alamatnya hanya merupakan alamat kantor pos, jadi mereka tidak akan bisa menebak siapa kira - kira pelakunya.
"Tunggu dulu, kalau kamu cuma menemukan sepucuk surat seperti ini, dari mana kamu bisa tahu siapa pelakunya?" tanya Pak Indra.
"Karena aku kenal tulisan tangan ini milik siapa. Aku tahu siapa yang menulis ini, dan aku juga sudah menghubungi orang ini. Dia mengakui kalau memang ini adalah ulahnya, yang malah membuatku jadi bingung," sahut Arin.
"Memangnya ini tulisan siapa?" tanya Yoshi.
"Ini adalah tulisannya Lisda, perempuan yang sudah jadi sahabatku sejak SMP. Aku masih tidak mengerti kenapa dia melakukannya, dan alasan dendam macam apa yang dia miliki. Tapi aku bisa memikirkan bagaimana caranya dia melakukan semua ini pada ibuku."
Kelima anggota EG Group berpandangan satu sama lainnya, berusaha untuk memahami bagaimana bisa hal ini terjadi. Rendi bahkan kini juga memandang Arin, karena ada banyak sekali pertanyaan yang kini muncul di dalam kepala Rendi karena pernyataan ini.
Rendi tentunya terkejut atas apa yang baru saja dikatakan oleh Arin tadi. Si pemuda sudah pernah bertemu dengan Lisda, dan dia bisa melihat kalau sahabat Arin ini sangatlah ramah dan baik. Rasa - rasanya tidak mungkin kalau dia meracuni Bu Ani. Hanya saja, Rendi tentunya tidak tahu apa saja yang bisa terjadi karena dia tidak mengenal Lisda selama Arin. Tetapi, Rendi jadi penasaran akan cerita yang sebenarnya.
Untuk mengurangi kebingungan rekan - rekannya, Arin memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Arin memulai ceritanya dari bagaimana dia sedang membereskan barang - barang milik ibunya, lalu adanya kedatangan seorang tukang pos yang memberikannya surat itu. Setelah Arin membaca isi suratnya, dia bisa mengenali tulisan tangan itu. Jadi setelahnya, Arin langsung saja menelepon Lisda, yang berakhir dengan sebuah undangan untuk bertemu di sebuah gedung kosong pada malam hari. Kemudian, Arin juga memberitahu teorinya akan bagaimana cara Lisda meracuni Bu Ani.
Cerita tadi cukup jelas bagi EG Group, tapi mereka kini juga sama bingungnya dengan Arin. Bagaimana bisa seseorang yang sudah kita kenal selama sekian lama kini malah melakukan sebuah rencana pembunuhan terhadap seseorang yang sangat berharga bagi kita? Motif dari tindakan ini masih tidaklah jelas, dan tentunya membuat mereka ingin tahu kenapa.
"Huh, rupanya masalahnya lebih membingungkan dari apa yang aku kira. Aku rasa Lisda ini bukan seseorang yang profesional dalam membunuh, tapi sepertinya dia tahu apa saja yang harus dilakukan," komentar Yoshi.
"Tapi agak keterlaluan juga sih dia itu. Aku masih nggak bisa menebak apa niatnya, tapi apa yang dia lakukan ini jelas keterlaluan," sahut Delia.
"Aku sendiri masih nggak ngerti apa salahku, Del. Selama ini aku selalu berusaha untuk jadi orang yang baik, tapi kali ini aku betul - betul nggak tahu kenapa Lisda tega melakukan semua itu. Mengetahui bahwa dia berkontribusi dalam kematian ibuku saja sudah menyakitkan, apalagi setelah aku mendengar kalau dia mengakuinya dengan senang hati dan kini ingin menyasarku," kata Arin.
"Yah, sepertinya ini masalah baru untuk kita cari tahu jawabannya," sahut Pak Indra.
"Lalu, kamu ingin kami ikut bersamamu untuk menemui Lisda tiga hari lagi?" tanya Rendi.
"Aku akan sangat senang jika kalian bisa ikut. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, karena aku tidak terlatih dalam menghadapi kondisi yang membingungkan seperti ini," jawab Arin
"Baguslah kalau kamu berpikir seperti itu. Keadaan seperti ini kadang bisa jadi ribet dan gawat dengan cepat. Setidaknya, kamu nggak kayak si Hendra yang doyan ngotot dan menantang bahaya, karena saya tentunya nggak mau kamu mati begitu saja tanpa kami yang berusaha untuk membantumu," sahut Pak Indra.
Baru saja Pak Indra ingin mengatakan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan lebih lanjut, tiba - tiba sebuah suara memecah keheningan ruangan mereka. Suara itu berasal dari ponselnya Pak Indra, yang membuat si pemilik ponsel menghela napasnya. Pak Indra mengambil ponsel itu, lalu melihat apa penyebab benda itu berdering. Setelah beberapa saat, akhirnya beliau terkekeh.
"Ah, sialan memang. Si Hendra ini selalu saja bisa muncul kapanpun, bahkan ketika kita tidak sengaja membahasnya. Katanya, hari ini Hendra mau ke sini lagi, dan dia ingin menceritakan beberapa hal yang tidak sempat dia katakan. Dia sengaja menyimpan beberapa hal untuk hari ini, karena melihat reaksi Arin kemarin, dia takut kalau Arin malah makin kaget. Jadi sepertinya kita bisa membahas masalah ini lebih lanjut lagi nanti siang," kata Pak Indra.
"Ah, Pak Hein sih memang begitu orangnya. Dia sudah macam hantu yang suka hilang dan datang dengan cara yang mengejutkan," sahut Delia.
"Yah, tapi sepertinya dia tahu sesuatu yang tidak kita ketahui," ujar Rendi.
"Si Hendra mah, dia tahu banyak hal yang enggak kita ketahui, jadi jangan heran deh. Tapi aku yakin, dia bisa memberikan kita beberapa saran yang bagus atas masalah seperti ini," kata Yoshi.
Karena itulah, EG Group menunda pembahasan seputar masalah Arin ini sampai Hendra datang. Keenam orang itu melalui pagi mereka dengan pembicaraan lainnya dan juga beberapa pekerjaan yang datang pada mereka. Setelah jam makan siang berakhir, mereka menunggu sampai si detektif bawah tanah itu datang dengan cara membaca surat - surat yang dikirimkan oleh Harry Wicaksono agar mereka lebih memahami karakternya. Mereka agak tidak sabar, karena dari apa yang Hendra sampaikan tadi, sepertinya apa yang mau dia sampaikan ini cukup penting, yang membuat mereka semua penasaran.
Terutama Arin. Hendra secara khusus mengatakan kalau apa yang ingin dia katakan ini masih berhubungan dengan Arin. Apapun itu, Arin tidak tahu cerita apa yang dimiliki oleh Hendra. Tapi, kini Arin jadi penasaran karenanya.
Seperti biasanya, si detektif bawah ini masuk dengan ciri khasnya yang keterlaluan. Sekitar jam setengah tiga siang, Hendra menampakkan batang hidungnya setelah membuka pintu dengan ayunan penuh semangat yang membuat pintunya berdebam keras. Hendra masih mengenakan seragam batik guru berwarna biru dengan celana panjang warna hitam, dengan dilapisi jaket berwarna hijau tua dan juga sebuah ransel, seperti biasanya. Dengan sebuah senyuman lebar dan tanpa salam apalagi permisi, Hendra nyelonong masuk ke dalam ruangan EG Group dan menarik sebuah kursi yang ada di pojok ruangan lalu duduk di hadapan Pak Indra.
Meski EG Group sudah terbiasa akan kelakuan Hendra ini, tetap saja mereka menggelengkan kepala karenanya. Mereka bertanya dalam kepala mereka masing - masing, apakah memang harus Hendra masuk dengan cara yang seperti itu setiap saat dia kemari? Entahlah, apakah ini sebuah kebiasaan buruk atau indikasi bahwa Hendra kelebihan tenaga, hal ini pasti terjadi. Bisa saja itu adalah gabungan dari keduanya, kalau mereka mau jujur. Bahkan Yoshi dan Pak Indra yang sudah lumayan lama kenal Hendra masih saja memunculkan ekspresi ala orang jantungan karena kemunculan makhluk yang satu ini.
"Ya ampun, kebiasaanmu jelek banget, sumpah deh Ndra. Jangan - jangan kamu begini ya kalau misalnya di sekolah anak muridmu mengira bakalan ada jam kosong?" tanya Yoshi.
"Tahu ah, untung muridnya nggak ada yang punya riwayat penyakit jantung, atau langsung tepar karena kelakuannya yang satu ini," tambah Delia.
"Wah, itu sih sudah jelas, hehe .... Biar mereka tertipu dan kaget saat lihat aku datang. Delia tahu tuh, bagaimana caraku ngerjain anak muridku, bahkan Delia juga pernah bantuin aku buat ngerjain mereka" sahut Hendra,
Bersamaan dengan perkataannya itu, Hendra menampakkan cengiran khasnya. Meski entah bagaimana wajahnya bisa terlihat seperti seseorang yang sebaya dengan anggota - anggota EG Group yang masih muda, keenam orang ini sedikit banyak geregetan karena kelakuan si Hendra. Kalau saja boleh, mereka mungkin ingin sekali nonjok wajahnya. Tapi, kini Hendra sudah meletakkan tasnya di atas meja Pak Indra, dan memasang sebuah wajah serius.
"Seperti yang kalian ketahui, aku kemari lagi hari ini karena masih ada beberapa hal yang belum selesai untuk diceritakan. Aku tidak ceritakan semuanya semalam, karena aku takut kalau masalah ini akan mengejutkan Arin. Dan yah, sepertinya akan lebih enak kalau aku ceritakan saja hari ini, karena kalian akan bingung kalau aku ceritakan semuanya secara langsung," kata Hendra.
"Terima kasih, Ndra. Aku rasa kamu ada benarnya juga, karena kalau aku dengar semuanya kemarin, mungkin aku akan sangat kaget. Aku butuh waktu untuk memproses semuanya, apalagi dengan adanya beberapa hal yang aku temukan kemarin," sahut Arin.
Hendra tersenyum, "Aku sudah tahu kalau kamu memang akan menemukan sesuatu di rumahmu. Aku akan ceritakan apa yang harus kamu ketahui, tapi akan lebih baik kamu ceritakan dulu akan apa yang kamu temukan, agar aku bisa membantumu."
Arin mengangguk, kemudian dia kembali menceritakan apa yang dialaminya semalam kepada Hendra. Sementara itu, Hendra mendengarkan ceritanya sambil sekekali tersenyum dan manggut - manggut. Entah si Hendra bisa menangkap atau tidak soal pembicaraan Arin ini, karena dia kelihatannya senang sekali saat mendengarkannya.
Hal ini tentunya membuat EG Group agak bingung. Mereka tahu kalau Hendra tentunya sudah sering mengalami masalah yang seperti ini, tapi reaksinya kelihatan biasa sekali. Hendra tidak kaget atau terlihat penasaran karena penuturan itu. Malah, Hendra kelihatannya senang karenanya. Setelah penuturan Arin tadi selesai, akhirnya Hendra menatap ke arah teman - temannya.
"Wah, aku kira aku akan dengar satu cerita saja. Karena aku sudah meminta Arin untuk mengecek barang pribadi ibunya, aku kira dia hanya akan menemukan soal surat yang diberikan oleh Pak Harry pada ibumu. Tapi ternyata si Lisda ini juga memunculkan dirinya? Menarik," kata Hendra.
"Keduanya sama - sama membuatku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa terjadi dan aku tidak tahu apa - apa soal ini?" tanya Arin.
Hendra terkekeh, "Kamu itu orang baik, Rin. Percayalah. Saking baiknya kamu, orang lain sampai tidak tega membebani pikiranmu. Dan kalau ada satu masalah yang terjadi, itu sebenarnya bukan salahmu. Aku tahu kalau ini agak membingungkan, karena itulah aku ingin agar kamu menemukan surat - surat yang dikirimkan oleh Pak Harry dulu sebelum mengetahui apa yang aku ketahui."
"Jadi ... kamu akan ceritakan sekarang?" tanya Pak Indra.
"Ya tentu saja! Ini kan giliranku untuk cerita! Untuk mudahnya ... aku tahu apa yang terjadi pada pertemuan kedua orang tuamu itu, dan aku akan ceritakan apa yang terjadi."
Pernyataan Hendra tadi sukses membuat semua anggota EG Group nyaris kena serangan jantung. Di dalam kepala mereka, berbagai pertanyaan muncul akan bagaimana bisa Hendra mengetahui hal ini, dan kenapa bisa Hendra mengetahuinya. Sementara itu, Hendra memasang cengirannya khasnya, karena dia tahu kalau semua rekannya akan terkejut karena hal ini.
"Oke, aku tahu kalau bapak tahu banyak hal, tapi bagaimana bisa bapak tahu masalah ini? Keajaiban macam apa yang bapak gunakan kali ini?" tanya Delia.
Hendra tertawa, "Keajaiban ini disebut dengan kebetulan, Delia. Aku akan ceritakan deh, supaya kalian paham," kata Hendra.
Kini, giliran Hendra yang bercerita. Dari surat itu, mereka bisa mengetahui kalau Pak Harry dan Bu Ani punya janji temu di Kafe Echantè minggu lalu. Hendra tahu dari salah satu mata - matanya kalau Pak Harry mengirimkan sepucuk surat kepada Bu Ani, tapi pada awalnya Hendra tidak tahu kalau isi surat itu mengatakan bahwa mereka punya janji untuk bertemu, jadi dia tidak merencanakan atau mengetahui apapun yang terjadi.
Hanya saja, kebetulan di saat yang sama, Hendra dan Nira pergi ke kafe itu. Kejadiannya setelah mereka pulang kerja, dan mereka iseng saja pergi ke sana sebelum pulang ke rumah. Hingga akhirnya, di kafe yang tidak banyak pengunjungnya setelah jam makan siang yang sudah lama berlalu itu, Hendra dapat melihat seseorang yang familiar.
Hendra tahu kalau pria yang dia lihat di satu kursi itu adalah Pak Harry. Beliau sedang bersama seorang perempuan yang menurut Hendra tidak asing. Nira juga memperhatikan orang itu, berbisik pada Hendra apakah dia mengenal orang itu. Setelah keduanya memesan minuman, Hendra menceritakan sedikit seputar Pak Harry pada Nira, dengan suara pelan sambil mengamati kedua orang itu.
Seperti yang mungkin sudah diketahui, Hendra memang sedang menelusuri sepuar The Hatters. Penyidikan ini diawali dengan adanya beberapa hal menarik yang Hendra temukan seputar Mr. Hatman, yang sudah menikah dan mempunyai anak dan istri yang sudah sengaja dia jauhkan dari Underground. Dari penggambaran anaknya yang Hendra ketahui, sepertinya ciri - cirinya mirip dengan Arin. Hal ini diperkuat karena ketiadaan yang misterius akan sosok ayah dalam kehidupan Arin. Hal inilah yang membuat Hendra mencari tahu lebih dalam lagi seputar Pak Harry.
Hal terakhir yang Hendra dengar seputar hal ini adalah, Ricchie mengatakan kalau Mr. Hatman sempat meminta seseorang untuk mengirimkan surat. Ricchie tidak tahu kemana surat itu perginya, tapi yang dia tahu adalah, kurirnya diminta untuk berhati - hati dalam mengirim surat ini. Karena itulah, Hendra jadi berpikir mungkin saja surat ini ditujukan pada istrinya.
Pertemuan mereka di sana tentunya tidak Hendra ketahui, karena dia tidak pernah mengetahui apa isi surat itu. Jadi, keberadaan Hendra dan Nira di sana adalah sebuah keberuntungan yang mujur. Keduanya memutuskan untuk diam saja dan membiarkan mereka untuk bercengkrama dan bertukar kisah, karena tentunya sudah lama sekali mereka tidak bertemu.
Satu hal yang tidak Hendra duga adalah, bahwa Pak Harry akan menghampiri Hendra dan Nira di meja mereka setelah Bu Ani pulang. Hendra saja masih tidak percaya akan keberuntungannya, belum lagi ditambah dengan kenyataan bahwa Pak Harry mau berbicara dengannya. Apa yang mereka bicarakan saat itu cukuplah menarik, dan membuat Hendra serta Nira betah mendengarkannya.
Pak Harry memulainya dengan surat apa yang dikirimnya. Sesuai dengan dugaan Hendra, surat itu memang ditujukan kepada Bu Ani, yang mengungkapkan soal kerinduannya kepada keluarganya dan keinginannya untuk bertemu dengan istri dan anaknya. Hanya saja, Bu Ani tidak membawa Arin bersamanya. Bahkan Bu Ani juga tidak mengatakan seputar keberadaan surat dari sang suami kepada Arin.
Penyebabnya adalah, karena Bu Ani tidak ingin mengejutkan Arin. Beliau takut kalau Arin tidak bisa menerima kenyataan yang ada, terutama karena anak mereka ini sudah menghadapi banyak penjahat yang mengerikan. Bu Ani mengira kalau Arin tidak akan mau percaya akan cerita macam apa yang selama ini disembunyikan oleh ayahnya. Sang ibu takut kalau kenyataan ini akan melukai hati anaknya.
Karena itulah, Bu Ani tidak sanggup untuk mengatakan semuanya kepada Arin. Beliau tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatakannya dengan benar. Mengajak Arin bertemu dengan ayahnya juga mungkin akan membuat Arin kaget, jadi Bu Ani rasanya tidak mau untuk melakukannya. Padahal, mereka berdua sebenarnya ingin agar Arin tahu soal kenyataan ini.
Selain itu, Pak Harry menceritakan akan apa yang terjadi di The Hatters saat itu. Pergantian kekuasaan akan segera terjadi, dan banyak orang tahu kalau Pak Harry sudah memiliki anak, jadi cepat atau lambat mereka akan memaksa Pak Harry untuk menunjukkan anaknya pada semua orang di bawah tanah. Masalahnya, Pak Harry tidak ingin mencelakakan Arin. Jadi, beliau berniat untuk menyerahkan kekuasaannya kepada sang wakil.
Tapi, hal ini juga punya kendala. Wakilnya adalah seorang pemuda berdarah dingin yang penuh ambisi, tapi dia juga taat pada semua aturan yang ada di kelompok mereka. Sesuai dengan aturan, pemimpin kelompok mereka haruslah berdasarkan keturunan, jadi tentunya pemuda ini akan minta agar dirinya bisa dinikahkan dengan Arin. Hal ini membuat Pak Harry bingung, karena dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Kalau mau cara mudah, bisa saja Pak Harry mengubah aturan yang ada di kelompoknya. Tapi, semuanya tidak akan bisa berlangsung dengan semudah itu. Akan ada banyak anggotanya yang menentang perubahan penuh kontroversi ini, dan akan membuat pertentangan internal yang sudah ada akan menjadi lebih besar lagi.
Karena situasi inilah, Hendra memberikan sebuah penawaran. Hendra mengatakan kalau mereka bisa saja menyelesaikan semua masalah ini dengan baik, kalau Pak Harry mau bekerja sama dengan Hendra. Si detektif bawah tanah menjanjikan kalau Pak Harry akan baik - baik saja, selama beliau mau membantunya. Meski keadaan ini beresiko, Pak Harry mengiyakannya. Dengan ini, Pak Harry sudah berada di dalam pengamatan Hendra.
"Jadi intinya, aku bertemu dengan ayahmu setelah dia mengobrol dengan ibumu. Mereka memang bertemu, seperti yang dijanjikan, tapi ibumu tidak sanggup menceritakan semuanya kepadamu. Lalu, ayahmu menghampiriku dan menceritakan semua hal yang sudah terjadi antara dia, keluarganya, dan The Hatters. Selain itu, beliau juga setuju untuk bekerja sama denganku. Mudahnya, beliau kini ada di sisi kita. Yang jadi masalah adalah, kita harus membereskan wakil dan anggota - anggota dari The Hatters," kata Hendra, memberikan kesimpulan.
Pernyataan Hendra tadi membuat Arin menghela napasnya dengan lega. Arin benar - benar takut kalau dia harus melawan ayahnya, tapi kini sepertinya dia tidak perlu memikirkan soal itu. Hanya saja, Arin jadi teringat akan nama si wakil yang sudah dilihatnya semalam dari catatan Hendra. Mereka harus menghadapi orang itu dulu untuk membebaskan ayahnya. Rasanya, Arin akan melakukan hal itu dengan senang hati. Tapi selain itu, Arin masih punya masalah dengan Lisda yang juga harus diselesaikan.
"Begitu rupanya? Menarik juga. Selain itu, sepertinya kau memang beruntung, Ndra. Kalau saja kalian tidak ada di sana, mungkin kau tidak akan bisa mendapatkan kesepakatan itu," kata Bu Risa.
Hendra terkekeh, "Iya, rupanya ada juga manfaatnya aku menuruti keinginan Nira untuk nongkrong di kafe itu."
"Lalu, bagaimana dengan masalah Lisda? Kamu tahu sesuatu seputar itu?" tanya Rendi.
"Oh, soal itu? Eh, sebenarnya aku tahu beberapa hal, tapi kita akan bahas nanti saja. Aku masih belum begitu paham soal dia, dan aku masih harus cari tahu soal itu dulu. Tapi, sekarang ceritanya teman jadi lawan nih? Menarik juga. Aku tahu beberapa hal soal si Lisda ini, dan mungkin aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, aku harus cek beberapa hal dulu nantinya. Lalu, lusa kalian akan menemui dia di tempat perjanjian itu?"
"Ya tentu saja. Kecuali kalau kamu menganggap ini bahaya dan bisa jadi berupa jebakan, maka kami tidak akan ke sana," sahut Arin.
Hendra menggeleng, "Tidak, kalian cukup bijak kok dengan membiarkan aku tahu soal itu. Kurasa, kalian bisa datang ke sana, aku rasa tidak akan ada jebakan yang berarti, kalau apa yang aku dapatkan soal si Lisda sampai sejauh ini memang benar. Tapi, kok bisa kebetulan sekali sama, ya? Karena aku baru - baru ini juga tengah menyelidiki bekas gedung yang ada di seberang SMP 15 itu."
"Ya ampun, Pak Hein ... kok bisa penyelidikan bapak kali ini malah dipenuhi dengan keberuntungan? Seolah bapak ini dapat contekan ujian yang benar?" tanya Delia.
Hendra terkekeh, "Aku nggak tahu kenapa, Del. Mungkin ini memang saatnya aku merasakan sedikit keberuntungan, karena aku sebelum ini aku sering sial mulu. Atau bisa saja ini adalah berkah dari pernikahanku, makanya urusanku jadi lancar jaya."
Pak Indra terkekeh, "Secara pribadi, saya lebih setuju sama alasan terakhir kamu. Lalu, kenapa kamu menyelidiki gedung itu? Apa ada yang aneh di sana?" tanya Pak Indra.
"Aku menyelidiki tempat itu karena aku mencurigai di sana ada satu pintu baru menuju ke Underground. Sebelumnya tidak ada pintu bawah tanah ke sana, tapi dua minggu lalu aku ada dengar kabar kalau mereka membuka satu jalan masuk di sana, karena kita sudah berhasil menutup dua pintu yang mereka punya. Saat aku cek keadaannya saat itu, masih belum ada pintu yang bisa ditemukan, meski ada beberapa bagian gedung yang aku curigai akan jadi tempat pintunya berada."
"Masuk akal juga sepertinya itu. Mereka mau tidak mau harus mencari alternatif lain sebagai jalan keluar dan masuknya mereka. Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Yoshi.
Hendra kelihatannya berpikir keras selama beberapa saat. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, sepertinya tidak akan ada yang bisa menebaknya. Setelah beberapa lama kemudian, Hendra tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya. Apapun ide yang ada di dalam kepala Hendra, mereka tidak akan tahu.
"Boleh kan kalau aku ikut dengan kalian lusa nanti? Mungkin aku perlu untuk ada di sana dan meluruskan beberapa hal seputar masalah kalian. Aku ingin ceritakan apa saja hal yang sudah aku ketahui soal The Hatters, tapi akan lebih baik jika aku juga bisa melihat si Lisda ini. Hal ini menarik, dan masalah ini berkaitan erat dengan apa yang sedang kuamati saat ini. Lisda pasti akan tertarik untuk mendengar cerita macam apa yang aku punya."
"Meluruskan? Memangnya kamu tahu sesuatu seputar Lisda dan Arin?" tanya Rendi.
Hendra mengangguk, "Sejak aku tahu kalau Arin adalah anaknya Pak Harry, aku melakukan beberapa penelitian dan pencarian soal apa saja yang sudah terjadi. Aku mendapatkan beberapa hal yang menarik, dan Pak Harry juga sudah menceritakan masalah ini kepadaku, serta mengkonfirmasi beberapa teori yang aku punya. Hanya saja, akan lebih baik kalau aku beritahu ketika kita sudah bertemu dengan Lisda," sahut Hendra.
"Kurasa tidak masalah kalau kamu mau ikut, Ndra. Kamu tahu banyak hal, dan sepertinya kamu bisa meluruskan banyak hal dalam masalah ini. Karena entah kenapa semuanya kelihatannya terkait, mending sekalian saja kamu ikut deh. Aku akan sangat senang kalau bisa mendapatkan bantuan dari orang sepertimu," kata Arin.
Hendra tersenyum karena perkataan Arin tadi. Seperti yang dikatakannya, Arin sebenarnya adalah orang yang sangat baik, sama seperti ayahnya. Hendra ingin membantunya dalam masalah yang pelik ini, karena ada beberapa hal yang akan susah untuk dimengerti. Selain itu, Hendra juga punya tujuan akhir untuk mempertemukan Arin dengan ayahnya. Mereka berhak untuk bertemu dan menyusun kembali kehidupan mereka.
Setelah momen hening selama beberapa saat, akhirnya Hendra tersentak. Dia baru ingat kalau ada satu hal yang belum dia sampaikan. Karena EG Group melihat bahwa Hendra tersentak, mereka jadi penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi. Hendra melirik teman - temannya, kemudian dia terkekeh.
"Ah, maaf. Aku baru saja ingat satu hal lagi yang harus aku katakan. Sebenarnya, aku mau ngajakin Yoshi ke Underground. Mau kan Yo? Sehari setelah kita pergi menemui Lisda, kamu bisa ke rumahku dan kita akan ke Underground nantinya," kata Hendra.
EG Group memandang satu sama lainnya, kemudian mereka memandang Hendra. Hal ini tentunya tidak biasa, karena Hendra hampir tidak pernah mengajak seorangpun untuk pergi ke Underground. Kalau saat dia pergi sendiri saja sudah lumayan berbahaya, apalagi kalau dia bawa orang lain coba? Tapi kini, mereka tidak percaya kalau Hendra mengajak seseorang ke Underground bersamanya.
Mau tidak mau mereka jadi berpikir apakah ini adalah tanda bahwa berkah pernikahannya membuat Hendra jadi lebih sadar diri. Bagus sih, karena setidaknya Hendra sadar kalau dia punya teman - teman yang mau membantunya. Tapi karena kejadiannya mendadak begini, mereka nyaris mengira kalau Hendra kerasukan setan entah dari mana.
"Tunggu, tumbenan nih lu mau main Underground pakai ngajakin gua segala. Kena angin apa lu?" tanya Yoshi, yang masih tidak percaya akan ajakan Hendra itu.
Hendra terkekeh, "Iya, aku tahu kalau ini agak mendadak, dan nggak biasanya aku begini. Tapi, ya enggak apa kan? Kamu juga sudah tahu lumayan banyak soal masalah yang dialam oleh Arin, nah jadi aku rasa kamu bisa menanyakan beberapa pertanyaan yang tepat soal Mr. Hatman ke narasumber yang aku punya di sana."
"Kenapa kamu enggak ngajak Arin saja? Dia kan anaknya Pak Harry, jadi dia lebih berhak buat nanya daripada aku."
"Memang, tapi kalau aku pergi sama Arin, maka bakalan kelihatan mencolok karena aku sama perempuan. Aku nggak bisa bawa Delia atau Bu Risa, karena ini akan kelihatan cukup mencolok. Lagi, bisa saja ada orang di Underground yang mengenali Arin, tentunya ini akan mengundang bahaya. Kalau aku pergi sama Pak Indra nanti juga akan dicurigai lagi, soalnya aku pernah ngajakin Pak Indra ke Underground dan kami berakhir dengan dikejar - kejar para penjahat di sana karena tampang Pak Indra yang kurang meyakinkan. Lalu, aku rasa ini belum saatnya aku membawa Rendi ke Underground. Jadi, yang paling pas untuk pergi denganku itu adalah kamu, Yo."
"Kenapa kamu bilang kalau belum saatnya aku pergi ke Underground? Apa ada sesuatu yang belum aku ketahui?" tanya Rendi.
Hendra terkekeh, "Mudahnya, ya. Tapi tenang saja, aku yakin kalau akan ada satu masalah khusus yang bisa kamu tangani nantinya. Kamu hanya perlu bersabar, nanti kamu akan tahu kenapa kok."
Hendra bertatapan dengan Rendi selama beberapa saat. Rendi bisa melihat ada sebuah senyum penuh pengertian terpasang di wajah Hendra, yang membuat Rendi berpikir keras. Kalau saja Hendra bisa mengetahui rahasia Arin dengan mudah, hal ini membuat Rendi khawatir kalau jangan - jangan Hendra sudah mengetahui apa yang sebenarnya Rendi rahasiakan. Rendi hanya bisa meresponnya dengan helaan napas, karena sepertinya akan lebih baik kalau Rendi tidak menanyakannya agar tidak muncul masalah baru yang memusingkan.
"Eh, kalau begitu, apa boleh buat deh. Oke, aku akan ikut ke Underground. Kayaknya seru juga kalau akhirnya aku bisa menjelajahi tempat yang keberadaannya masih jadi rahasia di Inkuria ini," kata Yoshi.
"Mantap! Nah, dalam tiga hari lagi, kamu bisa rumahku pada sekitar jam sebelas malam. Nanti, aku akan membawamu menuju ke Underground," ujar Hendra.
"Lalu, untuk sekarang kita harus menunggu sampai lusa, begitu? Agar kita bisa menemui Lisda?" tanya Arin.
"Yah, sepertinya memang begitu. Bersabarlah sedikit, kalian akan tahu kalau kenapa aku harus berada di sana dan menjelaskan beberapa hal penting nantinya."
EG Group mengangguk. Sepertinya, kali ini mereka akan mengalami satu lagi petualangan yang tidak terduga. Tapi kali ini, ada bumbu berupa kebingungan yang membuat mereka jadi penasaran, sebenarnya rahasia macam apa yang disembunyikan oleh Hendra?
~~~~~
Dua hari berlalu dengan cepat tanpa ada tindakan apapun yang dilakukan oleh EG Group. Mereka harus bersabar sebelum bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi soal ibunya Arin, dan apa alasan Lisda melakukan hal jahat itu.
Kini, pada malam yang di janjikan, sudah ada tujuh orang yang berada di depan sebuah gedung terbengkalai. Di seberangnya ada sebuah bangunan sekolah yang terlihat sepi, dengan beberapa lampu jalan yang menerangi sekitarnya. Gedung tempat mereka berada ini dulunya adalah sebuah bangunan kantor, tapi kini penghuninya sudah pergi karena kantor mereka dipindahkan ke tempat lain. Meski kelihatannya masih cukup bagus, dapat terlihat kalau bangunan ini tidaklah terawat. Ada banyak sekali rumput liar yang tumbuh di berbagai sisi halaman depannya, dan cat berwarna putih dari gedung itu sudah banyak yang terkelupas. Tapi, Seven Wonder tidak terlalu peduli akan hal itu karena mereka punya hal lainnya yang lebih penting untuk dilakukan.
Tujuh orang ini mungkin tidak bersenjata lengkap, tapi masing - masing dari mereka membawa sepucuk pistol sebagai antisipasi. Mereka melangkah beriringan, dengan Arin yang ada di bagian paling depan kelompoknya. Tidak ada suara yang terucap di antara mereka, karena ada banyak sekali pikiran yang berkecamuk di kepala setiap orang. Hingga akhirnya mereka sampai di depan pintu masuk dari gedung itu, dan berpapasan dengan seorang pria yang sepertinya adalah penjaga dari tempat itu.
"Apakah anda adalah rombongan tamu dari Nona Lisda?" tanya si pria.
"Ya. Aku kemari untuk menemui Lisda," ujar Arin.
"Silahkan masuk. Beliau sudah menunggu kalian di ruang tengah."
Si pria membukakan pintu untuk mereka, dan tujuh orang itu masuk ke dalam bangunan. Bagian depan gedung itu adalah sebuah lobi, dan mereka disambut dengan pemandangan khas dari sebuah gedung yang ditinggalkan, dengan kesannya agak berantakan. Meski begitu, ada sebuah detil yang membuat Hendra mengerutkan alisnya, karena entah bagaimana gedung itu bisa terlihat cukup bersih dan tidak banyak debu yang bertebaran.
Hendra tahu kalau Underground tidak berniat untuk membuat tempat ini jadi pintu masuk baru ke bawah tanah. Hanya saja, rasanya agak aneh karena tempat ini cukup bersih. Tidak biasanya Underground melakukan hal seperti ini, karena mereka lebih suka membiarkan pintu masuk mereka dikelilingi oleh kesan terbengkalai. Mungkin saja Lisda yang melakukan semua ini. Dari bagaimana dia punya seorang penjaga, sepertinya akan ada beberapa orang yang membantu Lisda kalau keadaannya jadi gawat.
"Aku rasa mereka benar - benar membersihkan tempat ini. Hebat. Tidak biasanya ada orang yang mau repot - repot membersihkan tempat seperti ini, yang membuatku bepikir kalau jangan - jangan si Lisda alergi terhadap debu, yang bisa jadi alasan yang bagus," gumam Hendra, saat dia melihat ke sekeliling ruangan itu.
"Aku tidak tahu dari mana kamu bisa berpikir begitu, tapi kamu benar soal alerginya itu," sahut Arin.
Hendra terkekeh, "Aku sudah sering ke tempat seperti ini, Rin. Jadi aku tahu kalau orang - orang akan malas untuk membersihkan satu gedung karena toh urusan mereka tidak berhubungan dengan kebersihan. Itu tadi hanya dugaan ngasal, tapi aku senang karena tebakanku itu benar."
"Alasan yang bisa di mengerti. Tapi mungkin juga dia ingin membuat kita nyaman sebelum membunuh kita," ujar Pak Indra.
"Hush, bapak jangan berpikiran negatif begitu dong!" sahut Rendi.
"Kan siapa yang tahu? Kalau dia berniat membunuh Arin, sepertinya dia juga tidak akan segan untuk membunuh kita juga, kalau memang dia punya cara untuk melakukannya dengan efektif."
Sambil mengobrol tadi, mereka masuk ke area ruang kerja kantor itu. Seolah - olah ada yang mendengar percakapan Seven Wonder, tiba - tiba ada sebuah peluru berdesing melewati tubuh Arin. Untungnya refleks Rendi cukup cepat, sehingga dia sempat menarik Arin ke sisi kiri. Hal ini juga membuat teman - teman mereka bereaksi dan menghindar, sehingga tidak ada yang terluka.
"Tuh kan, apa yang saya bilang tadi?" ujar Pak Indra.
Hendra menghela napas kesal, "Kampret. Kok kata - kata bapak tadi malah jadi kutukan sih?" sahut Hendra.
"Mana saya tahu lah!"
Tempat tujuh orang berdiri ini tepat berada di tengah ruangan. Ada sebuah lampu di atas kepala mereka, yang menerangi pengelihatan mereka terhadap keadaan di sekeliling. Mereka memutuskan untuk diam di tempat, terutama karena mereka mendengar ada sebuah langkah kaki mendekati mereka.
Sebuah bayangan hitam mendekat ke arah Seven Wonder, yang membuat tujuh orang ini mengamatinya dengan seksama. Setelah beberapa saat, mereka dapat melihat kalau ada seorang wanita yang mendekat ke arah mereka. Si wanita ini mengenakan kaus hitam yang dilapisi dengan jaket wol, dan sepasang celana jeans serta sepatu. Di tangannya ada sebuah pistol yang masih agak berasap, yang sepertinya menjadi asal dari peluru tadi.
"Selamat datang, teman - teman," ujar wanita itu.
"Lisda," gumam Arin.
"Kau teman atau lawan?" tanya Hendra.
"Bisa jadi keduanya. Tapi, seharusnya aku menanyakan itu padamu. Kau bukan salah satu orang yang ada di daftar tamu undanganku, jadi aku ingin tahu apa yang sebenarnya kau lakukan di sini. Kau nampak asing, dan tidak berguna," sahut Lisda.
Bukannya terhina, Hendra malah tertawa karena pernyataan Lisda tadi. Dia tahu kalau dirinya tidak diundang, tapi mengatakan bahwa Hendra tidak berguna adalah sebuah kesalahan besar. Lagi, sepertinya perempuan ini tidak mengetahui identitas Hendra yang sebenarnya, yang mana merupakan sebuah hal yang bagus.
"Ah, maafkan aku~ aku tahu kelihatannya aku hanyalah nyamuk pengganggu, tapi aku kemari karena sebuah alasan tertentu. Kau nanti akan mengerti kok, aku tidak akan jadi sekedar pajangan di sini."
"Lalu, apa tujuanmu mengundang kami ke sini?" tanya Arin.
"Tentu saja aku punya alasan. Semua yang aku lakukan ini mempunyai alasan. Aku ingin menyelesaikan semua urusan kita, karena kau telah merebut apa yang seharusnya aku miliki," kata Lisda.
"Memangnya urusan apa ini? Selama ini aku nggak punya masalah sana kamu kan? Kita sahabat kan? Kita bisa bicarakan ini dengan baik - baik, dan kamu tidak perlu menggunakan senjata itu."
Lisda tertawa, "Iya, pada awalnya kita adalah sahabat. Sampai akhirnya aku tahu satu hal penting."
"Hal apa itu? Katakan padaku apa kesalahanku, Lisda."
"Kesalahanmu? Kesalahanmu adalah kau telah merebut ayahku!"
"A - apa?" ujar Arin, setelah dia terdiam beberapa saat.
Lima anggota EG Group yang ada di sana terlihat kaget dan bingung di saat yang bersamaan. Arin sendiri masih berusaha untuk memproses apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa Arin merebut ayahnya Lisda? Sementara itu, Hendra hanya diam tanpa ekspresi, meski di dalam dirinya Hendra tengah berusaha untuk menahan satu hal. Karena Hendra tahu kalau hal ini akan terjadi.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top