Chapter 8 : Mimpi
Perkataan dokter bahwa Hendra mengalami koma tentunya mengejutkan semua orang. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, dan membuat mereka sedikit banyak jadi khawatir. Tubuh Hendra sudah sering sekali terluka, dan sepertinya dia sudah terbiasa akan hal itu. Tapi, apapun yang terjadi di bangunan bekas sekolah itu sepertinya telah memberikan cidera yang lebih parah daripada yang biasanya diterima oleh Hendra. Dengan keadaan seperti ini, mereka tidak tahu apakah Hendra dapat bertahan kali ini.
Ketika mendengar kabar itu, Nira berusaha sebisa mungkin untuk tidak berteriak atau melakukan tindakan ala sinetron lainnya. Sang dokter mengatakan bahwa hal ini wajar saja terjadi, karena cidera yang dialaminya, jadi seharusnya tidak perlu terlalu panik. Tapi, tentu saja kepala Nira tetap dipenuhi dengan berbagai macam emosi serta pertanyaan. Menurut Nira, rasanya tidak mungkin Hendra bisa sampai koma seperti itu. Nira tahu kalau Hendra sudah sering sekali berada di situasi hampir sekarat dan sudah berkali - kali bonyok dan mendapatkan luka tembak. Selama ini Hendra seringkali masih bisa sadar dan bertahan, yang kadang membuat Nira berpikir kalau Hendra punya ketahanan lebih daripada orang lain.
Lalu, kenapa Hendra kini bisa koma? Apakah luka tembaknya mengenai bagian tubuh yang fatal? Sepertinya tidak, karena luka itu ada di bagian perut dan kaki, bukannya di bagian kepala. Ketika dokter menyebutkan soal cidera di kepalanya, barulah Nira memahami sedikit kenapa. Masuk akal juga kalau kepala Hendra terbentur dengan keras dan menimbulkan cidera yang tidak dapat terlihat oleh mata orang lain. Benturan adalah salah satu cidera yang bisa jadi fatal, apalagi kalau dari apa yang tiga orang rekannya lihat, Hendra kemungkinan terbentur di permukaan yang keras.
Selain itu, sepertinya mereka juga harus mempertimbangkan banyak hal lainnya. Misalnya seperti usia Hendra yang sudah tidak terlalu muda lagi. Tubuhnya sudah mulai menua, dan sepertinya itu membuat ketahanannya tidak lagi sebagus dulu. Usianya saja sudah hampir 36 tahun, dan itu bukanlah usia yang muda. Tampang Hendra memang menipu, tapi kemampuan tubuhnya tidak akan bertahan selamanya.
Nira mungkin adalah orang paling emosiomal di antara semua yang ada di sana. Tapi, EG Group sebenarnya sama khawatirnya dengan Nira. Keenam orang ini juga merasakan hal yang sama dengan Nira. Bahwa apa yang terjadi ini tidak biasa, dan mereka takut kalau Hendra tidak akan bisa bertahan. Mereka tidak mau Hendra cepat - cepat pergi, karena masih ada banyak masalah di Inkuria yang mungkin hanya dia seorang yang tahu bagaimana cara menyelesaikannya.
Meski sang dokter mengatakan bahwa keadaan seperti ini memang bisa terjadi dan wajar karena cidera yang di alaminya, tetap saja EG Group merasa tidak tenang. Mereka jadi semakin penasaran akan apa yang terjadi pada Hendra malam itu. Apakah sebegitu parahnya pertarungan yang terjadi itu? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh si penyerangnya?
Walau ada begitu banyak pertanyaan yang hinggap di dalam kepala setiap orang, mereka tidak bisa melakukan apa - apa. Pertanyaan mereka tidak akan bisa terjawab jika Hendra masih tidak bisa sadarkan diri seperti itu. Satu - satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah menyerahkan semuanya kepada tim medis yang tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap kondisi Hendra ini.
Setelah sang dokter dan tim medisnya pergi, Pak Indra menghela napas panjang. Beliau biasanya adalah orang yang cukup tenang dalam banyak situasi. Tapi kali ini, dapat terlihat guratan ekspresi frustasi di wajah Pak Indra. Hal ini dikarenakan tidak ada yang bisa beliau lakukan untuk membantu selain bersabar. Hanya doa yang bisa membuat Hendra bisa sadar dengan lebih cepat, dan semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya itu harus disimpan terlebih dahulu sampai Hendra bisa sadar.
Pak Indra kini menatap ke seluruh rekannya. Beliau bisa melihat kalau mereka juga punya ekspresi yang mirip dengannya. Mereka sepertinya tidak punya pilihan lain kali ini. Hendra sedang bertarung dengan dirinya sendiri, dan mereka hanya bisa menunggu sampai pertarungan itu selesai. Mereka tahu kalau dokter dengan timnya akan melakukan apa saja yang mereka bisa lakukan untuk Hendra.
"Baiklah, jadi sepertinya itulah yang terjadi. Tidak banyak yang bisa kita lakukan, sepertinya. Harinya juga sudah agak larut. Bagaimana kalau kita bubar dan pulang saja?" ujar Pak Indra.
"Aku tetap di sini saja. Aku mau jadi orang pertama yang melihat Hendra sadar," ucap Nira.
Delia yang masih mendekap gurunya itu terkekeh. Tentu saja beliau berkeras kalau dia ingin tinggal di samping Hendra. Delia tahu apa alasan yang membuat Nira sangat ketakutan dan ingin sekali Hendra bisa segera bangun. Meski Delia berusaha untuk membujuk Nira sekalipun, rasanya sang guru tidak akan mau menurutinya. Tapi, Delia tetap menanyakan keputusan Nira ini, karena namanya juga Delia, dia kan iseng dan kadang suka memantik api yang tidak disadari orang lain bisa jadi "kebakaran" yang besar.
"Ibu yakin? Kemungkinan Pak Hein bisa sadar dengan cepat sangat sedikit loh. Akan lebih baik jika ibu pulang saja dan beristirahat. Toh, besok ibu bisa kembali ke sini lagi, kan?" kata Delia.
"Aku tidak peduli. Aku ingin berada di sisi Hendra selama yang aku bisa. Kalau aku pulang ke rumah, aku tetap tidak akan bisa tidur karena aku akan terus - terusan khawatir karena memikirkan kondisi Hendra."
Delia menghela napasnya. Tentu saja gurunya itu akan ngotot untuk menjaga Hendra. Setidaknya Delia sudah mencoba untuk membujuknya. Ah, tapi sudahlah, itu kan keputusan Nira. Delia tidak akan menghalanginya, karena toh gurunya adalah orang dewasa dan bisa memilih sendiri apa yang ingin dilakukannya.
"Huh, rupanya Bunda sama saja kayak Sensei. Sama - sama kepala batu. Oke, aku nggak akan mencegah kemauan Bunda, tapi jangan sampai nanti Bunda menelantarkan anak murid, ya? Yah, walau sekarang sudah masuk masa classmeeting, jadi sepertinya ibu tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu."
"Iya, aku tahu soal itu. Nanti aku akan urus masalah itu."
Biasanya, di situasi seperti ini orang - orang akan menawarkan sebuah senyuman penuh simpati. Tapi, lain ceritanya dengan Delia, karena dia malah memberikan sebuah seringaian kepada gurunya. Nira yang melihatnya hanya bisa tersenyum tipis karena dia tahu apa maksud dari anak muridnya itu. Seperti yang orang lain mungkin bisa tebak, sebagai murid Hendra dan Nira, Delia tahu banyak hal tentang kedua gurunya itu. Ada beberapa rahasia yang dia ketahui, dan Delia juga tahu bagaimana dia harus bersikap terhadap kedua gurunya itu.
"Aku memang tidak pernah bisa menghentikan keinginan Bunda, iya kan? Kalau begitu, yah, silahkan saja deh. Aku akan membiarkan Bunda melakukan apa yang ibu mau."
"Eh, kurasa tidak ada salahnya kalau kami membiarkanmu menjagai Hendra, kalau memang itu maumu, seperti kata Delia tadi. Kita nggak akan menghentikanmu. Jaga Hendra baik - baik, dan misalnya dia sadar, cepat kabari kami, oke? Kami akan selalu menunggu berita darimu sementara kami menyelidiki kasus ini sebisa kami," ujar Bu Risa.
Nira mengangguk, dan keenam orang itu berpamitan padanya. Mereka berenam segera saja membubarkan diri dari depan ruangan Hendra, meninggalkan Nira sendirian. Si perempuan kini kembali masuk ke dalam ruang perawatan tempat Hendra berada. Hendra masih dalam keadaan diam, dengan sebuah selang oksigen yang kini dipasangkan ke hidungnya. Nira menghela napasnya, kemudian menarik kursi lipat yang tadi dijauhkan oleh tim medis.
Nira meletakkan kursi itu di sebelah kiri tubuh Hendra. Beliau duduk di atas kursi itu, kemudian memandang ke arah Hendra. Wajah mereka berdekatan, dan Nira mencium pipi Hendra. Dengan perlahan, Nira kemudian menggenggam tangan Hendra. Dia terdiam selama beberapa saat sambil memandang wajah Hendra, berusaha untuk menenangkan perasaannya. Kemudian, Nira mencium jemari tangan Hendra dengan lembut, sebelum dia berkata.
"Tenanglah, Hendra. Aku akan ada di sini untukmu. Kamu nggak bakalan pernah sendirian lagi, karena aku akan selalu ada di sini, dan aku nggak akan pernah meninggalkanmu lagi, sampai kapanpun. Aku janji, Ndra. Setelah kupikir ulang, meninggalkanmu sendirian adalah keputusan terbodoh yang pernah aku buat dalam hidupku. Karena tanpa aku sadari, rupanya aku sangat sayang padamu. Aku ingin memperbaiki hal ini, semua kesalahan yang telah aku perbuat, karena aku sangat menyesal karena aku sudah melakukannya padamu," bisik Nira.
Nira menggenggam tangan Hendra dengan lembut, dan menjalinkan jemarinya di antara jemari Hendra. Setelahnya, Nira menyandarkan kepalanya di dekat lengan Hendra. Dengan perlahan, air mata mulai menetes di wajah Nira. Dia tidak sanggup melihat Hendra dalam keadaan seperti ini. Nira tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Hendra.
Dalam hatinya, Nira tidak pernau mau untuk kehilangan Hendra. Pria yang satu ini sudah mencintainya sedari dulu, dan tidak akan pernah berhenti mencintainya sampai kapanpun. Sudah banyak hal yang Hendra korbankan hanya untuk Nira, dan mungkin masih banyak hal yang Hendra korbankan untuk Nira tanpa pernah diketahui oleh siapapun.
Karena semua pengorbanan yang tidak kenal pamrih itu, Nira selalu merasa kalau dirinya berhutang banyak pada Hendra. Tapi, namanya juga si Hendra, jadi tentu saja dia selalu menganggap kalau semuanya sudah lunas, hanya dengan sebuah senyuman dan keberadaan Nira di dekat Hendra. Hendra adalah orang paling nekat dan sekaligus orang paling baik yang pernah Nira temui. Semua yang telah dia lakukan itu tidak ternilai harganya, dan Nira tidak mau kehilangan Hendra. Kalau berada di sisi Hendra adalah cara terbaik untuk membayar hutang ini, maka Nira akan melakukannya sampai akhir hidupnya.
Hendra selalu merasa tak pantas untuk dicintai, tapi setiap orang yang kenal baik dia pasti akan menyanyanginya. Begitu pula dengan Nira, yang tanpa sadar telah menyanyangi Hendra lebih dari seharusnya. Hendra mungkin mengatakan kalau dia telah memutuskan untuk mundur dalam usahanya untuk mendapatkan Nira, tapi Hendra tidak tahu kalau Nira takkan pernah mau kehilangan Hendra. Meski Nira menyadarinya setelah waktu yang cukup lama, akhirnya Nira bisa merasakan kalau Hendra sangat berharga dalam hidupnya. Sejak dulu, bahkan lebih lagi saat ini dan nanti.
Jika Tuhan memang akan mengabulkan satu permintaan Nira, maka satu hal yang akan Nira minta kali ini adalah Hendra bisa kembali seperti dulu. Seperti saat masa sekolah mereka, di mana Hendra tidak sedingin sekarang. Di mana Hendra masih bisa sering tersenyum lebar dan tertawa lepas. Di mana Hendra tidak mengalami semua kegilaan ini. Mungkin Hendra tidak akan bisa lepas dari kegilaan yang dia alami ini, tapi setidaknya Nira ingin membuat semuanya jadi lebih baik. Nira hanya ingin melihat Hendra bahagia.
Walau begitu, Nira tidak membenci seluruhnya perubahan yang Hendra sudah alami. Kini Hendra sudah jadi sangat dewasa pemikirannya. Hendra sudah tumbuh jadi pria dewasa yang mengagumkan, dan Nira kadang tidak menyadari pertumbuhan ini karena mereka sering sekali bersama dan bertemu. Kadang Hendra memang masih agak naif, tapi kini Hendra tahu bagaimana caranya untuk bertahan di kehidupan yang keras ini. Bahkan kini, Hendra sudah bisa melindungi orang lain, dan menjadi sosok yang dicintai oleh banyak orang, tanpa dia sadari.
Nira hanya ingin Hendra kembali. Seperti dulu. Kembali bisa sadar dan menghadapi semua masalah yang dia miliki. Kembali berdiri dengan gagah dan menantang kejahatan yang ada di Inkuria. Ketika Hendra bisa kembali bersamanya, maka Nira akan membalasnya dengan cara membahagiakan Hendra. Nira berjanji kalau dia tidak akan membiarkan Hendra sendirian lagi.
~~~~~
Saat Nira membuka matanya, dia merasakan kalau tubuhnya sudah berpindah secara misterius. Kini tidak ada lagi ranjang rumah sakit dan suara mesin yang membuat Nira khawatir akan keadaan Hendra. Malah, Nira kini berada di tempat yang jauh sekali berbeda.
Nira dapat melihat bahwa sekarang dirinya tiba - tiba sudah berada di atas sebuah gedung. Atapnya tidaklah menggunakan seng seperti rumah pada umumnya. Atap ini seperti atap sebuah pencakar langit, yang terdiri atas sebuah bidang datar yang kosong. Nira bisa melihat kalau dirinya berdiri di bagian tengah atap tersebut. Sementara itu, Nira dapat melihat Hendra ada di bagian pinggir atap tersebut, sambil menatap jalanan kota yang dipadati oleh berbagai aktifitas lalu lintas dan juga kegiatan manusia yang berlangsung di kota Inkuria.
Ketika Nira menatap ke atas kepalanya, dia dapat melihat kalau harinya sudah malam. Langit kini berwarna gelap, dengan bulan sabit dan bintang - bintang bertaburan menghiasi langit. Nira memandangi langit sejenak, sebelum dia kembali melihat ke sekelilingnya, untuk mencoba mengenali tempat di mana dia kini berada.
Setelah beberapa saat memperhatikan, barulah Nira ingat bahwa tempat ini adalah gedung yang sama di mana Nira dan Hendra mengalami sebuah kasus beberapa bulan yang lalu. Keduanya sempat memiliki sebuah "petualangan" yang seru di sini. Apa yang terjadi di atap ini bukanlah hal yang bagus untuk diceritakan sekarang, karena ceritanya cukup panjang dan mengerikan.
Pertanyaan yang ada di dalam kepala Nira adalah, kenapa dia dan Hendra bisa berada di sana? Sepertinya, akan lebih baik kalau Nira menanyakannya, karena dia juga tidak tahu apa yang terjadi di sini.
"Hendra?" tanya Nira.
Tidak ada sahutan dari Hendra, yang membuat Nira berpikir kalau mungkin saja Hendra tengah memikirkan sesuatu. Karena itulah, Nira memutuskan untuk melangkah mendekati tempat Hendra berada. Nira berjalan ke arah Hendra sampai kira - kira jarak mereka hanya terpisah sekitar sepuluh langkah, dan saat itulah Hendra baru menoleh ke arah Nira. Dia tersenyum, yang membuat Nira juga tersenyum.
"Nira, coba lihat ke langit. Pemandangan hari ini indah, kan?" ujar Hendra.
Setelah mengatakan kalimat itu, mata Hendra kini memandang ke arah langit. Nira mengikuti pandangan Hendra itu, dan kembali memandang ke atas. Entah kenapa, Nira bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh. Saat mendengar nada suara Hendra tadi, Nira malah jadi teringat saat masa sekolah mereka dulu. Saat itu, Hendra masih sering mengagumi pemandangan alam di malam hari dan berlama - lama memandanginya. Sekarang, Hendra mulai jarang melakukan hal itu karena kesibukannya sebagai guru, dan tentu saja karena dia harus mengurus Underground.
Tapi, Nira senang karena kekagumannya pada pemandangan di malam hari tidak pernah berubah. Kini, Nira mengikuti pandangan mata Hendra. Nira kini dapat melihat kalau mata Hendra kini terfokus langit yang bertabur banyak sekali bintang dengan berbagai konstelasi yang Nira tidak hapal semuanya. Setelahnya, Nira menandang ke arah Hendra, kemudian dia tersenyum.
"Iya Ndra. Memang indah," sahut Nira.
"Ah, alam ini begitu luar biasa. Tapi, sepertinya aku tidak akan bisa menikmati pemandangan ini dalam waktu yang lebih lama lagi," ujar Hendra.
Nira langsung mengerutkan alisnya. Kenapa Hendra mengatakan hal seperti itu? Nira tahu kalau kehidupan Hendra itu sulit, tapi kenapa dia terdengar sangat pesimis. Atau jangan - jangan ....
"Hah? Apa maksudmu?"
"Kamu tahu kan Ra, kalau aku punya banyak sekali musuh saat ini? Bahkan aku sendiri nggak bisa menangani mereka semua satu - satu. Kamu tahu bagaimana berbahayanya keadaan ini, kan?"
"Iya, aku tahu. Tapi kan kamu masih bisa mengatasi mereka. Selain itu, kamu juga punya teman - temanmu yang akan selalu membantumu. Kamu pasti bisa mengatasi semua lawanmu, aku yakin."
"Kelihatannya sih memang mudah. Tapi satu - satunya hal yang diinginkan oleh musuh - musuhku adalah aku mati di tangan mereka, atau setidaknya aku lenyap dari dunia ini."
"Tapi kamu masih bisa bertahan sampai sekarang, kan?"
"Aku mungkin masih bisa bertahan. Tapi, aku tidak yakin kalau aku bisa bertahan dari semua serangan mereka dalam waktu lama. Mereka tidak akan pernah berhenti untuk menyerangku kecuali kalau aku mati."
Nira semakin mengerutkan keningnya. Dia bisa merasakan kalau ada yang aneh dari pekataan Hendra. Kedengarannya ini seperti bukan Hendra yang dia kenal. Karena Hendra entah kenapa nada suara terdengar sangat pesimis. Tentunya hal ini tidak biasa, dan Nira ingin tahu kenapa.
"Hendra? Kamu kenapa? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu akan menumpas Undergroud dengan tanganmu sendiri?"
"Itu dulu, Ra. Aku sudah mengalami banyak hal saat menghadapi mereka, dan juga belajar banyak hal soal merek. Sekarang, aku jadi tidak yakin kalau semuanya bisa berjalan seperti yang aku bayangkan. Aku kini tahu kalau jumlah mereka sangat banyak dan kekuatan mereka juga sangat besar. Aku tidak yakin kalau aku bisa menghadapi mereka semua sendirian."
"Serius deh, kok kamu kedengarannya bukan seperti Hendra yang kukenal? Kamu enggak mungkin menyerah di sini kan, Ndra? Kamu bahkan bisa mengalahkan The Gloody sendirian. Kamu selalu berjanji kalau kamu akan menyelesaikan masalah yang sudah kamu mulai."
"Kurasa, aku bisa mengalahkan The Gloody itu berkat sebuah keberuntungan yang aneh. Aku tidak pernah benar - benar mengalahkan mereka sendirian. Aku bisa mengalahkan mereka dengan bantuan Pak Indra. Aku tidak akan pernah bisa mengalahkan mereka semua dengan tanganku, Ra. Aku hanya seorang pria yang lemah."
"Hendra, kamu enggak boleh berpikir seperti itu! Kamu bisa, Ndra. Aku yakin itu. Kamu sudah cukup jauh berjuang, dan aku yakin kalau kamu bisa menyelesaikan masalah ini."
"Tidak Ra. Aku pasti takkan pernah bisa menaklukan mereka semua. Aku cuma sendirian di muka bumi ini."
"Tapi kamu punya banyak teman, kan?"
"Mereka hanya teman, Ra. Karena pada akhirnya, aku hanya sendirian di muka bumi ini karena aku telah kehilangan semua orang yang kusayangi."
"Masih ada aku, Ndra. Aku menyanyangimu."
"Aku tahu itu. Tapi perasaanmu hanyalah sebatas sebuah rasa sayang. Jujur, aku juga menyanyangimu, lebih dari apa yang mungkin pernah kamu bayangkan. Tapi rasa sayang itulah yang membuatku bisa membahayakan hidupmu."
"Hendra, kamu ...."
Pikiran Nira berpacu dengan cepat. Kini Nira mengerti kenapa Hendra mengatakan semuanya dengan nada pesimis seperti itu. Kini Nira mengerti kenapa Hendra berdiri di pinggir gedung. Hendra akan melakukan sesuatu yang bisa menyelesaikan masalahnya dengan cepat, tapi malah akan menimbulkan lebih banyak masalah lainnya.
"Maaf, Ra. Kurasa memang seharusnya aku nggak ada di muka bumi ini."
"Tunggu! Hendra, jangan seperti itu, kamu ...."
Perkataan Nira tadi terpotong oleh sebuah seruan dari Hendra, "Nggak Ra! Menjauhlah! Kumohon, jangan mendekat!"
Spontan, Nira mundur dua langkah. Nita takut akan apa yang sebentar lagi akan dilakukan oleh Hendra, tapi Nira lebih takut lagi karena Hendra sudah meninggikan suaranya. Sementara itu, Hendra melangkahkan kakinya maju ke depan, sehingga kini dia semakin dekat dengan bagian pinggir atap gedung itu. Nira merinding saat menyaksikannya, tapi Hendra kelihatannya sangat tenang. Hendra menoleh dan menatap Nira dengan sebuah senyuman, sebelum akhirnya dia kembali menatap ke arah kota Inkuria.
"Nira, aku titip salam ya, kepada semua orang yang mengenalku. Bersama kalian ... rasanya hidupku jadi sedikit lebih menyenangkan. Sampai jumpa, Ra. Selamat tinggal," ujar Hendra.
"Hendra!" seru Nira.
Seruan Nira itu sepertinya tidak berguna lagi. Hendra langsung saja membalikkan tubuhnya ke arah Nira, kemudian dia merentangkan kedua tangannya. Hendra tersenyum, kemudian dia melangkah mundur dan menghempaskan tubuhnya ke udara. Tubuh Hendra mulai terjun entah lantai berapa tempat mereka berada ini. Hendra berniat untuk mengakhiri hidupnya sekarang.
"Tidak! Jangan, Hendra!" seru Nira.
Perkataan itu tentunya sudah sangat terlambat. Ketika Nira sudah bisa mencapai bagian pinggir gedung itu, dia hanya bisa menyaksikan saat tubuh Hendra melayang dan terjatuh ke tanah. Ketika tubuhnya mencapai tanah, terdengar sebuah suara yang cukup menyakitkan. Hendra tidak akan membuka matanya lagi setelah ini. Dia tidak akan pernah bangun lagi.
Nira langsung saja berlari ke bawah, dan secepat mungkin menuju ke lift. Orang - orang yang melihatnya memandang Nira dengan ekspresi aneh, tapi dia tidak peduli akan hal itu. Ketika Nira sudah sampai di bawah, dia menemukan bahwa ada beberapa orang yang sudah mengerubungi Hendra dan berusaha untuk membantunya. Nira menyeruak di tengah kerumunan itu, dan dia juga ikut membantu membawa tubuh Hendra ke sebuah ambulans yang sudah dipanggil entah oleh siapa. Ketika petugas medis membawa Hendra, Nira menyeruak agar dirinya juga bisa ikut bersama mereka.
"Izinkan aku ikut! Aku... aku temannya!" kata Nira, dengan air mata di wajahnya.
Pihak medis mengizinkan Nira untuk ikut. Nira naik ke bagian belakang ambulans, dan dia duduk tepat di sebelah tubuh Hendra. Nira hanya bisa memandangi tubuh Hendra selama perjalanan, berharap kalau dia baik - baik saja.
"Kumohon Hendra, bertahanlah ...." bisik Nira.
Tapi sepertinya hal itu mustahil untuk terjadi. Napas Hendra sudah ditarik dari tubuhnya ketika dia mencapai tanah. Meski begitu, Nira tetap berharap kalau Hendra akan bisa bertahan. Karena Nira tidak ingin Hendra pergi begitu saja dari hidupnya.
~~~~~
"Hendra!" seru Nira.
Akhirnya, kini Nira membuka matanya. Nira terbangun dalam keadaan wajahnya yang basah karena air mata. Memori akan apa yang tadi terjadi kembali berputar di dalam kepala Nira. Dia tidak percaya kalau Hendra berani melakukan seperti itu. Nira berharap kalau semua itu hanyalah sebuah mimpi buruk.
Kini, Nira berusaha untuk menenangkan dirinya. Dia terdiam sejenak, dan berusaha untuk menormalkan napasnya. Setelah Nira merasa lebih tenang, barulah dia memandang ke sekelilingnya. Mata Nira menangkap bahwa ruangan tempatnya berada ini dipenuhi dengan warna serba putih. Hendra berada di depannya, dengan keadaan masih tertidur tanpa menunjukkan tanda bahwa dia akan bangun. Nira menghelan napasnya lega, karena kini dia menyadari kalau dirinya sedang berada di rumah sakit. Di sebelah tubuh Hendra.
Nira melirik jam dinding yang ada di ruangan itu. Matanya menangkap bahwa jam sudah menunjukkan pukul 05.45 pagi. Kemarin, dia sudah membolos bekerja, dan dengan keadaan yang Hendra seperti ini, sepertinya Nira hari ini tidak akan pergi bekerja lagi. Nira ingin berada di sisi Hendra, dan menjadi orang pertama yang melihatnya bangun.
Nira berdiri, dan menuju ke toilet untuk mencuci wajahnya. Harinya toh sudah pagi, jadi rasanya percuma saja kalau Nira mencoba untuk tidur lagi. Setelah keluar dari toilet, Nira mengambil ponselnya yang dia letakkan di atas sebuah meja di dekat ranjang Hendra.
Setelah kembali duduk di kursi tempat dia sebelumnya berada, Nira menekan layar ponselnya. Dia membuka kunci ponselnya, lalu menekan perintah panggil setelah dia menemukan sebuah nomor. Nira berharap kalau orang ini sudah bangun, agar dia bisa menyampaikan keinginannya.
"Halo? Pak Toni?" kata Nira.
Nira dapat mendengar kalau orang dari seberang panggilan ini tengah merenggangkan tubuhnya. Sepertinya Pak Toni baru saja bangun, dan bisa jadi teleponnya yang membangunkannya. Nira sengaja menelepon Pak Toni, karena hanya beliau yang bisa mengerti kondisi macam apa yang Nira alami hari ini.
"Ya? Opo toh Ra, kok pagi - pagi kamu sudah telepon? Kan nanti kita juga ketemu. Kamu kangen saya ya?" sahut Pak Toni, yang entah kenapa aksennya jadi kedengaran lebih kental ketika baru bangun tidur.
"Duh, Pak Toni kok kegeeran banget sih? Siapa juga yang kangen sama bapak! Kalau urusannya enggak penting, saya nggak bakalan telepon bapak pagi buta begini!"
Pak Toni terkekeh, "Hahaha, kan kaliin saja kamu sudah pindah hati ke saya, Ra."
"Nggak lah! Ingat sama bini dong pak!"
"Saya kan cuma bercanda. Memang kenapa Ra, kamu telepon saya? Apa ada yang penting?"
"Iya, ada satu hal penting, pak. Boleh bapak kasih tahu kalau saya izin lagi hari ini? Bilang saja saya sakit atau apalah."
"Lah, kok kamu izinnya sama saya? Yang bener kan kamu bilangnya sama bapak Kepsek."
"Tapi bapak kan wakilnya, jadi boleh dong? Saya khawatir kalau saya nggak bisa misalnya harus menghadapi Pak Husni pagi - pagi begini."
"Memang ada apa, Ra? Berapa hari kamu mau izin?"
"Saya nggak tahu berapa hari, pak. Entahlah, keadaannya tidak pasti sih. Soalnya, saya lagi di rumah sakit."
"Hah, kamu di rumah sakit? Memang kamu sakit apa?"
"Bukan aku yang sakit, tapi Hendra."
"Oalah, Hendra rupanya. Kirain siapa. Memang kenapa lagi dia? Kasus lagi ya?"
"Begitulah pak. Bapak maklumi saja lah. Saya mau jagain Hendra nih soalnya."
"Bisa di atur itu, Ra. Tumben kamu yang telepon, biasanya juga dia telepon saya kalau keadaannya kayak begini."
"Gimana dia mau telpon bapak coba? Lah dia saja lagi koma."
Kabar tadi sepertinya langsung membuat semua nyawa Pak Toni langsung terkumpul dengan seketika. Siapa yang tahu kalau beliau akan mendapatkan kabar yang seperti itu sepagi ini? Berita ini membuat Pak Toni langsung berseru dengan suara yang menggelegar dan juga logat Jawa miliknya yang medok. Suaranya jadi terdengar lebih nyaring dari yang biasanya, apalagi ditambah ekspresi kekagetannya itu.
"Iya pak. Ini, saya lagi jagain dia. Makanya, saya mau izin. Kan nggak ada keluarganya Hendra yang bisa jagain Hendra," kata Nira.
"Wah, begitu rupanya? Okelah, nanti saya kasih tahu ke Pak Kepsek. Toh, kamu nggak ngapa - ngapain lagi di sekolah, jadi seharusnya ndak ada masalah sih. Sudah ya, saya dipanggil sama istri buat bantuin masak tuh. Kalau sempat, nanti saya jenguk Hendra," sahut Pak Toni, lalu terkekeh.
"Ya sudah, bantuin istri bapak sana! Nanti kita ngobrol lagi, pak."
Kedua guru itu saling bertukar salam perpisahan sebelum akhirnya sambungan telepon di antara mereka berdua berakhir. Setelah panggilan itu berakhir, Nira kembali memandangi Hendra yang masih tertidur. Digenggamnya tangan Hendra, sambil mengelusnya dengan lembut.
"Kumohon Hendra, sadarlah. Aku tidak bisa sendirian seperti ini tanpamu," bisik Nira dengan nada lirih.
~~~~~
Nira masih setia berada di sisi Hendra. Dia tidak ingin pergi terlalu lama dari Hendra, karena itulah dia tidak banyak beranjak dari kursinya. Tapi, Nira harus meninggalkan Hendra sejenak ketika hari sudah beranjak siang. Nira juga harus memperhatikan dirinya sendiri, dan dia harus membeli makanan untuknya sendiri di kantin rumah sakit.
Nira melirik Hendra sekali lagi, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke luar. Baru saja Nira membuka pintu untuk keluar, ada seseorang yang sangat familiar muncul di depan pintu ruang perawatan tempat Nira berada. Nira dapat melihat Delia berada di luar ruangan, dan dia siap untuk mengetuk pintu.
Delia yang menyadari kalau gurunya kini ada di hadapannya langsung tersenyum saat melihatnya. Mereka berdua bertatapan selama beberapa saat, karena Nira agak bingung karena Delia datang kemari sendirian. Agak aneh juga karena Delia tidak membawa EG Group bersamanya.
"Delia?" tanya Nira
"Halo Bu!" sapa Delia, lalu memberikan sebuah seringaian khasnya.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Ya ngapain lagi? Aku kan mau menjenguk Sensei - ku yang "tercinta". Sekalian mau ngobrol sama ibu juga."
Nira mengerutkan alisnya. Dia tahu kalau Delia memang menggunakan tanda kutip untuk mengatakan "tercinta" pada Hendra, walau Nira tahu bahwa sebenarnya Delia benar - benar menyanyanginya. Tapi, kenapa Delia datang ke sini sendirian dan mengatakan kalau dia ingin mengobrol dengan Nira? Apa ada sesuatu yang salah, atau bagaimana?
"Hah? Ngobrol denganku? Kenapa?"
"Ya nggak apa. Saya rasa ibu butuh seseorang yang bisa diajak mengobrol secara empat mata. Sekalian juga, saya bawakan makan siang untuk kita berdua. Mending kita masuk saja, yuk? Supaya kita bisa segera bercerita."
Nira tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan selain mempersilahkan Delia masuk ke dalam. Jadi, keduanya masuk ke dalam ruangan tempat Hendra berada, dan Delia meletakkan sebuah bungkusan di atas meja yang ada di dekat sebuah sofa panjang. Dua perempuan ini akhirnya duduk di sofa itu dalam posisi bersisian, sebelum akhirnya Nira membuka pembicaraan di antara mereka.
"Memang kamu mau ngomongin apa, Del?" tanya Nira.
"Nggak tahu juga sih sebenarnya. Tapi, kita lihat saja nanti. Kan, tidak harus aku yang cuma ngomong, kan? Kurasa nanti ibu yang bakalan banyak curhat sama saya. Mumpung cuma kita berdua saja. Pastinya ada banyak hal yang mengganjal kepala ibu, dan ibu ingin menceritakannya pada seseorang supaya merasa lebih lega," jawab Delia.
Nira mengangguk. Rupanya itu tujuan muridnya. Delia tahu kalau ada banyak sekali hal yang terjadi di dalam kepala Nira, dan sang guru juga ingin meluapkannya. Selama ini EG Group tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara Hendra dan Nira. Yoshi pada akhirnya tahu apa yang terjadi, tapi hanya Delia yang tahu secara lengkap ceritanya.
Delia memberi Nira sebuah kotak berisi makanan yang ada di bungkusan yang dia bawa tadi. Sang guru berterima kasih kepada muridnya, yang dibalas dengan sebuah senyuman. Setelah mereka mendapatkan makan siang mereka, keduanya diam sejenak untuk menyantap makanan mereka. Setelah beberapa saat, akhirnya Nira kembali membuka pembicaraan.
"Kamu tentunya tahu banyak sekali tentang apa saja yang sudah terjadi di antara kami berdua, iya kan? Jadi, kurasa kamu tahu apa yang ... ada di dalam pikiranku, iya kan?" tanya Nira.
"Mungkin? Tapi itu kan isi pikiran ibu, jadi mana saya tahu apakah tebakan yang saya punya ini benar atau tidaknya. Yah, tapi saya memang tahu banyak hal tentang kalian, kalau memang tidak semuanya. Kalian berdua adalah guru kesayanganku, terutama Pak Hein. Kalian juga sudah menceritakan banyak sekali cerita yang kalian sembunyikan dari banyak orang. Jadi, kalau ibu mau cerita, ya silahkan saja," kata Delia.
Nira menghela napasnya sejenak. Delia memang tahu apa saja yang terjadi di antara mereka. Anak muridnya ini merendahkan dirinya karena dia hanya mengatakan "banyak hal". Nira tahu kalau Delia mengetahui semua hal yang sudah terjadi di antara Nira dan Hendra. Delia tahu semuanya, terutama rahasia - rahasia yang mereka simpan rapat - rapat dari orang lain.
Mungkin, karena itulah Delia berada di sini. Karena dia tahu semuanya, makanya dia tahu kalau Nira benar - benar kacau saat melihat keadaan Hendra yang seperti ini. Delia tahu kalau Nira membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkannya, tanpa dia butuh untuk membocorkan rahasianya. Karena Delia sudah tahu semuanya, tentunya akan lebih mudah bagi Nira untuk menceritakan semuanya kepada Delia.
"Nah, jadi bagaimana keadaan ibu? Tentunya ibu tidak baik - baik saja, iya kan?" kata Delia.
"Tentu saja aku tidak merasa baik. Hendra dalam keadaan koma, bagaimana aku bisa merasa tenang? Aku takut kalau Hendra kenapa - napa, Del. Aku tidak mau kehilangan Hendra secepat ini. Masih ada hutang yang belum sempat aku bayarkan pada Hendra. Aku ingin membuat Hendra lebih bahagia, di tengah kehidupannya yang sudah serupa dengan neraka ini," sahut Nira.
"Tapi bagi Pak Hein, keadaannya adalah sebaliknya. Beliau rela hidup di neraka agar ibu bisa merasakan surga di dunia ini. Bagi Pak Hein, beliaulah yang masih punya hutang untuk membahagiakan ibu. Keberadaan ibu di sisinya sudah merupakan sebuah keberuntungan, dan bagi Pak Hein, semuanya sudah impas dengan ibu berada di hidupnya. Kalau saja setelah Pak Hein menyatakan perasaannya itu ibu meninggalkannya, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi bagaimanapun ceritanya, kurasa Pak Hein akan selalu mengambil pilihan yang bisa membuat ibu bahagia."
Nira menghela napasnya. Delia benar. Ada banyak sekali hal yang berubah selama dia dan Hendra saling kenal. Tapi satu hal yang tidak pernah berubah adalah, bahwa Hendra akan selalu mementingkan kebahagiaan dan keselamatan Nira dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hendra rela melakukan semua ini demi orang lain, tapi terutama demi Nira.
"Aku tahu, Del. Makanya, aku ingin tetap berada di sisi Hendra. Kalau memang ini jalan yang dipilihnya, maka aku ingin agar berada di sampingnya ketika dia jatuh, agar aku bisa membantunya berdiri."
Delia menghela napasnya, "Ah, kalian berdua itu memang kepala batu. Sama - sama doyan ngotot. Tapi, apa boleh buat, aku akan biarkan kalian memutuskan pilihan kalian sendiri. Lalu, bagaimana dengan Sensei? Apa ada perkembangan soal keadaannya?"
"Tidak ada perkembangan. Dia tetap diam seperti itu. Tadi pagi dokter sudah mengecek keadaan Hendra dan memberikan pengobatan yang diperlukan padanya. Beliau berharap kalau keadaan ini akan berakhir dalam beberapa hari, karena katanya ada sedikit perbaikan dari pembengkakan yang Hendra alami. Mungkin nanti Hendra akan bisa merespon sentuhan, sedikit. Tapi dokter masih belum tahu kapan Hendra bisa sadar."
Delia mengangguk, "Hm, begitu rupanya. Semalam aku juga membaca beberapa artikel soal kondisi koma ini. Intinya sih, kita tidak akan tahu kapan si pasien bisa bangun, jadi kita harus bersabar. Lalu, ibu sendiri bagaimana? Apa ibu bisa tidur semalam? Atau malah semalaman ini ibu malah melototin Pak Hein sambil nangis?"
"Di antaranya. Aku bisa tidur tapi aku mimpi buruk. Aku ... mimpinya menyedihkan. Hendra memutuskan untuk terjun dari atas gedung karena dia putus asa akan apa yang dilakukannya. Dia menanggap kalau apa yang dilakukannya tidak akan berhasil dan merupakan sebuah kesia - siaan."
"Kedengarannya tidak seperti Pak Hein. Lalu, bagaimana perasaan ibu sekarang? Apa ibu juga sudah mulai putus asa?"
"Aku harap kalau aku tidak akan pernah putus asa. Aku masih percaya kalau Hendra bisa bertahan dan kembali seperti semula. Hanya saja, kamu tahu lah, aku nggak pernah bisa terima kalau Hendra terlihat lemah begini. Dia selalu terlihat kuat di mataku. Aku tidak suka melihatnya seperti ini, karena ini kelihatannya sangat menyedihkan."
"Saya tahu, bu. Tentu saja ibu tidak ingin kehilangan Pak Hein. Aku sendiri juga tidak ingin kehilangan beliau. Pak Hein sudah mengajarkanku banyak sekali hal yang berarti, dan beliau sudah membawaku ke dunia yang penuh petualangan seperti ini. Tapi aku mengerti kenapa ibu tidak mau Pak Hein pergi. Karena itu, iya kan?"
Delia kini memandang Nira dalam - dalam. Setelah beberapa saat mereka berpandangan, akhirnya Delia menaik turunkan alisnya di hadapan sang guru. Nira menghela napasnya, kemudian memutar bola matanya dengan jengah. Tanpa perlu berpikir sedikitpun, Nira sudah tahu ke mana maksud gestur Delia ini.
"Aku paham apa maksudmu, Del. Kamu angkat alis begitu saja aku sudah mengerti kok. Iya, itu juga salah satu alasan kenapa aku tidak mau Hendra cepat - cepat mati."
"Ah, sudah kuduga. Tiga minggu lagi, iya kan?"
"Iya. Kuharap Hendra bisa sadar sebelum saat itu."
"Semoga saja, aku berharap semoga semuanya bisa diselesaikan sebelum saat itu. Kalau Pak Hein nggak ada, gimana ceritanya coba? Nggak lengkap dong."
"Memang, tanpa dia semuanya nggak bakalan lengkap. Tanpa Hendra kehidupanku nggak akan berjalan normal. Walau Hendra selalu bilang kalau dirinya membuat hidupku jadi abnormal, yang mana sebenarnya tidak salah. Tapi, dengan adanya Hendra aku bisa merasakan kehidupan yang sesungguhnya, yang sebenarnya. Yang nggak membosankan dan juga menyenangakan sekaligus menegangkan. Hendra berhasil menjungkir balikkan duniaku, mengubah semuanya."
"Widih, asyik, kok ibu jadi kayak berpuisi sih? Nah, jadi intinya apa nih? Ibu menyesal karena tidak memikirkan semua itu sejak dulu?"
"Bisa dibilang. Aku sudah sebegitu bodohnya melakukan hal yang seperti itu. Aku ingin memperbaikinya. Aku ingin agar Hendra baik - baik saja, dan aku bisa memperbaiki sedikit keadaannya."
"Bukan kesimpulan yang jelek. Tapi, tentunya ibu tidak bisa melakukannya sekarang juga, apa boleh buat. Kita cuma bisa berdoa dan berharap semoga dia bisa cepat sadar."
Keduanya sudah selesai menyantap makanan mereka. Delia melemparkan kotak makanan yang sudah kosong ke tempat sampah yang ada di dekatnya, lalu meneguk isi gelas air mineral miliknya. Nira juga telah selesai makan, jadi langsung saja dia mencuci dan mengeringkan tangannya di wastafel. Setelah selesai mencuci tangannya, Nira langsung kembali duduk di sebelah Hendra.
"Cieee si ibu~ setia banget dah! Duh, "suami" dari perempuan yang ada di hadapanku ini beruntung banget deh," ujar Delia, berusaha menggoda Nira.
Nira hanya diam, dan kini dia kembali menggenggam tangan Hendra. Delia yang melihatnya hanya bisa terkekeh. Nira tentunya benar - benar serius akan perkataannya kalau dia mau jadi orang pertama yang melihat Hendra sadar.
"Wah, aku dikacangin rupanya. Andai Sensei tahu kalau ibu menjagainya seperti ini, pasti beliau akan kesenangan," kata Delia.
Walau Delia menggoda gurunya, sebenarnya dia merasa kalau momen yang ada di depannya ini cukup manis. Tidak banyak orang akan mau melakukan hal yang seperti Nira lakukan. Delia tersenyum, karena dia senang bahwa ... yah ... mereka berdua bisa bersama. Delia melangkah ke arah ranjang, dan mengamati Hendra.
"Kumohon Hendra, kuharap kamu akan bisa segera sadar. Aku merindukanmu. Tidak cuma aku, tapi semua temanmu, sahabatmu dan semua orang yang mengenalmu. Kumohon Hendra," bisik Nira.
Keadaannya hening selama beberapa saat. Tiba - tiba saja, Nira tersentak. Si perempuan kaget karena dia bisa merasakan bahwa Hendra merespon genggaman tangan Nira. Hendra tidak membalas genggaman itu, tapi ada sebuah sentuhan yang bisa Nira rasakan dari Hendra. Delia juga bisa melihat pergerakan itu.
"Delia! Hendra ... dia menggerakkan tangannya!" seru Nira.
"Saya tahu bu! Ini ... apa ini pertanda kalau Pak Hein akan segera sadar?" kata Delia.
"Hendra, sadarlah ... kumohon ...."
Nira kembali memberikan sentuhan dengan cara menggenggam tangan Hendra lebih erat lagi. Setelah sentuhan yang lembut itu, Hendra malah tidak merespon kembali. Tangannya kembali melemah dalam genggaman Nira, seperti keadaannya yang semula. Nira meneteskan air matanya, karena dia benar - benar takut akan apa yang mungkin saja terjadi.
Delia menghela napasnya, "Setidaknya Pak Hein sudah mulai merespon kan? Aku rasa, Pak Hein tidak akan koma dalam waktu yang terlalu lama. Ini masih firasat, tapi entah kenapa aku merasakan kalau itu bisa saja benar."
"Kamu yakin, Del?"
"Tentu saja. Aku mendapat mimpi tentang Sensei semalam. Di mimpi itu, aku masuk ke dalam sebuah ruangan serba putih, dan mengobrol dengan seorang pria bernama Daniel. Dia pria muda yang tampan dan menyenangkan, serta jago bermain gitar. Kami berbagi cerita sedikit, dan dia memperlihatkanku pada sebuah taman bunga yang indah."
"Lalu, apa hubungannya dengan Hendra."
"Daniel kemudian menunjuk ke sebuah arah, dan di taman bunga itu, aku bisa melihat Pak Hein sedang bersama dengan semua orang yang telah pergi terlebih dahulu meninggalkannya. Aku rasa, mungkin mereka punya sesuatu untuk dikatakan kepada Pak Hein. Dengan keadaan beliau yang koma itu, barulah mereka bisa menyampaikannya. Pak Hein tentunya sangat merindukan kakeknya, dan koma ini adalah perantara baginya untuk menemui mereka semua. Pak Hein belum boleh mati sekarag, kalau memang Tuhan mengizinkannya. Beliau juga belum boleh menyerah, dan mungkin dukungan dari mereka akan membantu Pak Hein."
Nira mengangguk, sepertinya dia memahami maksud mimpi Delia itu. Mungkin saja Hendra perlu untuk bertemu dengan mereka. Nira juga setuju dengan perkataan Delia tadi. Hendra selalu merasa kesepian dalam petualangannya yang berat ini, tapi dia tidak boleh mati di sini. Hendra akan butuh dukungan dari semua orang, termasuk yang mati sekalipun. Mungkin, keadaan ini terjadi karena Hendra membutuhkannya. Jadi, Nira akan bersabar, sampai akhirnya Hendra siap untuk kembali ke dunia nyata.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top