Chapter 6 : Hendra

Sementara itu, di kantor pusat Kepolisian Inkuria, ada tiga wajah yang tidak asing tengah berada di dalam bangunan itu. Ketiga orang itu adalah Yoshi, Rendi dan Pak Indra yang tengah berkumpul di tengah keheningan kantor mereka. Ketiganya duduk di dekat meja Pak Indra dengan pakaian santai, sambil berusaha untuk membunuh waktu.

Sebenarnya mereka tidak tugas lembur pada malam ini. Tapi tentunya mereka tidak berkumpul di kantor di saat mereka seharusnya beristirahat tanpa alasan pasti. Kalau tidak ada keperluan penting, maka ketiganya jelas akan memilih untuk berada di rumah mereka masing - masing. Mereka bisa berada di kantor malam itu karena Hendra dengan mendadak menghubungi ketiganya tadi sore dan meminta mereka untuk berjaga di kantor malam itu. Katanya, mungkin saja Hendra akan membutuhkan bantuan mereka malam ini. Hendra akan menghubungi mereka kalau nanti sudah saatnya mereka datang membantu.

Ketiga pria anggota EG Group ini tidak tahu apa yang ingin Hendra lakukan malam ini, tapi mereka tetap berjaga di kantor. Pak Indra mengatakan kalau akan lebih baik jika mereka berjaga, karena Hendra bisa berada dalam bahaya kapan saja. Mengetahui bagaimana kelakuan Hendra yang sangat doyan menyiksa dirinya sendiri, ketiganya setuju kalau mereka harus bersiap dan harus berada di lokasi pada waktu yang tepat untuk memastikan kalau Hendra akan bertahan hidup.

Kini, ketiganya berusaha untuk membunuh waktu sampai mereka mendapatkan kejelasan dari Hendra. Pak Indra mengeluarkan sekantung kuaci serta beberapa cemilan lainnya yang sudah beliau siapkan, dan Yoshi membuatkan kopi pahit untuk mereka bertiga. Rendi bahkan membawa sebuah papan permainan ludo supaya mereka bisa menghabiskan waktu dengan cara yang lebih menyenangkan.

Tapi tetap saja, pikiran mereka bertiga masih berusaha untuk menjawab pertanyaan akan apa yang sebenarnya Hendra rencanakan malam ini. Di satu sisi, mereka agak khawatir kalau - kalau si Hendra melakukan sesuatu yang gila untuk kesekian kalinya. Rasanya tidak menyenangkan karena mereka harus berdiam diri terlebih dahulu sebelum bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Akhirnya, mereka malah membahas apa yang mungkin saja terjadi pada Hendra.

"Apa sih maunya si Hendra? Serius, aku tidak paham sama jalan pikirannya," ujar Rendi, lalu dia menyandarkan dirinya di punggung kursinya.

Pak Indra mengambil dadu yang tadi sudah selesai digunakan oleh Rendi, lalu mengguncangnya. Beliau hanya bisa tersenyum karena perkataan Rendi tadi. Apa yang ada di dalam kepala Hendra memang menyusahkan sekali untuk ditebak, karena dia sering kali tidak memberitahu apa yang sebenarnya dia lakukan atau apa yang dia mau. Yoshi terkekeh, sambil mengambil keripik singkong dari kantung plastik yang ada di dekatnya. Tidak heran Rendi mengatakan hal seperti itu, karena tentunya dia masih belum terbiasa akan kelakuan si Hendra yang agak tidak biasa itu.

"Kamu tahu tidak Ren, aku yang sudah kenal Hendra sejak pertama kali aku masuk ke divisi ini. Saat itu umur Hendra masih 15 tahun, dan aku masih 22 tahun. Bahkan setelah sekian lama aku kenal dia, tetap saja aku kadang masih tidak paham sama isi kepalanya dan apa saja yang dia lakukan. Dia memang agak susah untuk dimengerti kalau kamu tidak tahu banyak soal latar belakangnya dan apa saja yang sudah Hendra lakukan selama ini," kata Pak Indra, lalu menyerahkan dadunya kepada Yoshi.

Yoshi mengocok dadunya dengan tangan kirinya, "Kamu tidak sendiri, Ren. Pak Indra benar, kalau si Hendra ini agak susah dipahami kalau kamu tidak kenal dia sejak lama. Ya tapi itu, salah satu kebiasaan jelek Hendra adalah, dia doyan main rahasia - rahasiaan. Bahkan aku yang sudah kenal dia sebelum aku lahir juga masih enggak begitu bisa mengerti semua hal yang ada di dalam pikiran manusia absurd yang satu itu," celetuk Yoshi.

"Hendra memang dari sananya sudah agak susah untuk bisa dimengerti. Tapi, sesulit apapun jalan pikirannya, dia tetaplah orang yang bisa dibilang cukup cerdas, walau dia kadang bisa berbuat hal bodoh karena sisi dirinya yang naif. Tapi bagusnya, dia adalah orang baik. Aku tidak bisa bayangkan jika orang dengan kemampuan berpikir seperti Hendra malah memutuskan untuk jadi seorang penjahat. Bisa hancur kota Inkuria kalau sampai Hendra malah memutuskan untuk jadi penjahat di Underground. Pasti dia akan banyak melakukan hal yang mengerikan."

Rendi mengangguk. Dia mungkin belum terlalu familiar dengan semua hal soal Hendra, tapi Pak Indra sudah memberitahu secara dasar akan apa yang Hendra lakukan dalam pekerjaan sampingannya setelah kedatangannya beberapa malam lalu. Rendi juga sudah pernah mendengar dari kedua orang tuanya ketika dia masih kecil kalau di kota ini ada sebuah kekuatan jahat yang bisa menguasai kota kalau tidak ada orang baik di sini. Tapi apa yang dia dengar dari Pak Indra memang agak ajaib untuk jadi sebuah kenyataan. Hanya saja, itulah kenyataan yang ada.

Cerita soal Underground dan kenyataan yang selama ini tersimpan di balik kota Inkuria itu membuat Rendi banyak berpikir soal kedua orang tuanya. Kini dia menyadari kalau keduanya sepertinya tahu kalau ada kejahatan yang tersembunyi di kota ini. Mereka selalu menekankan Rendi untuk menjadi orang baik dan menegakkan kebaikan di sekitarnya. Mungkin karena adanya kejahatan itulah, kedua orang tuanya ingin dia menjadi orang yang baik.

Sepertinya, Hendra punya jawaban akan banyak pertanyaan yang selama ini mengganggu Rendi. Apalagi dengan cerita tentang apa saja yang selama ini dilakukan oleh Hendra, Rendi jadi semakin ingin tahu apa saja cerita yang sebenarnya dimiliki oleh Hendra. Pria yang satu itu tidak biasa, dan Rendi ingin tahu apa saja yang bisa dia pelajari dari pria itu.

"Begitu ya? Aku belum sampai setahun lebih kenal Hendra, jadi kurasa ketidaktahuanku bisa dimaklumi, kan? Toh, kan aku juga tidak terlalu sering berinteraksi dengannya, jadi aku tidak tahu banyak soal dia. Apalagi dengan kelakuannya yang seperti itu," ujar Rendi.

Yoshi terkekeh, "Kalau kamu tahu soal Hendra lebih banyak daripada orang lain yang mengenalnya, aku akan curiga kalau kamu diam - diam pacaran dengan Hendra. Yah, walau rasanya agak mustahil membayangkan Hendra memiliki pacar, mau pacarnya ini laki - laki atau perempuan. Hendra tidak bisa dengan mudah memercayai orang lain, kecuali kalau dia tahu bahwa orang itu baik. Aku tidak bisa bayangkan kalau Hendra bisa dekat dengan perempuan selain Nira. Sayangnya mustahil bagi mereka untuk bisa jadi pasangan beneran. Kurasa Hendra akan sangat bahagia kalau dia bisa bersama dengan perempuan itu," kata Yoshi.

Pak Indra melemparkan dadunya, "Hei, jangan bilang kalau itu mustahil. Tentu saja masih ada kemungkinan kalau Hendra menyukai orang lain, walau kemungkinan itu hanya sekian persen. Bahkan walau orientasinya belok sekalipun, aku masih percaya saja dia bisa suka sama orang lain. Yah, walau memang Hendra dan Nira itu sepertinya serasi sekali kalau jadi pasangan. Bahkan anaknya Nira kelihatannya juga suka dengan si Hendra," sahut Pak Indra.

Yoshi terkekeh. Pak Indra mengatakan kalau mungkin saja Hendra menyukai orang lain, tapi Yoshi tidak akan percaya kalau hal itu akan terjadi. Kalau ada satu hal yang Yoshi ketahui dengan pasti soal sepupunya yang satu ini, maka itu adalah bahwa dia cinta mati pada Nira. Yoshi tahu semua cerita tentang apa saja yang terjadi di antara Hendra dan Nira, dan dia bisa memastikan kalau Hendra tidak akan bisa berpindah hati. Hendra pernah mencobanya, tapi sampai saat ini tidak terlihat bahwa dia bisa melakukannya. Apapun yang terjadi, Hendra akan selalu kembali kepada Nira.

Entah apa maunya Hendra. Kalau memang dia berniat jadi bujangan seumur hidupnya, maka Yoshi sepertinya tidak akan bisa menentangnya. Tapi, rasanya jahat juga kalau Tuhan sampai membiarkan Hendra menjomblo seumur hidupnya. Untungnya, hal ini tidak perlu terjadi. Untuk saat ini, biarlah Yoshi merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Memang, bisa saja tiba - tiba Hendra malah jatuh cinta pada orang lain. Tapi mengingat kalau Hendra frekuensi pergaulannya nggak terlalu sering dan nggak terlalu luas, kecuali kalau pergaulannya sama penjahat juga dihitung. Aku rasa akan sulit bagi Hendra menemukan seseorang yang menarik buatnya. Apalagi dia terlalu sibuk dengan mengajar dan menyelesaikan misi seumur hidupnya itu, kan dia sudah sering bilang kalau percintaan adalah hal terakhir yang dikhawatirkannya."

Pak Indra mengangguk, "Memang itu sih masalahnya. Hendra sudah bertekad menyelesaikan misi itu sih, jadi jelas dia tidak akan banyak memikirkan soal percintaan."

Rendi yang sejak tadi terdiam hanya mengangguk. Rendi memang sudah melihat seberapa dekat Hendra dan Nira, dan dia tidak akan bohong kalau keduanya kelihatan seperti pasangan yang serasi. Apalagi ketika Rendi melihat bagaimana Hendra rela mengorbankan dirinya untuk Nira ketika menghadapi Mr. H. Tentunya Hendra punya perasaan yang lebih dari teman pada Nira. Hanya saja, Rendi masih tidak terlalu mengerti kenapa Nira tidak membalas perasaan pria yang seperti itu. Mungkin Rendi bisa menanyakannya, karena mereka punya waktu dan dia memang penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua.

"Begitu? Tentunya Nira itu sudah menikah, kan? Jadi, Nira punya hubungan dengan pria lain, tapi dia masih berteman baik dengan Hendra?" tanya Rendi.

Yoshi tersenyum, "Ya, Nira menikah dengan seorang pria bernama Haris. Malah, dia sudah punya dua anak," jawab Yoshi.

"Padahal menurutku Hendra dan Nira itu cocok sekali. Sayang sekali ya? Kenapa bisa Nira tidak menikah dengan Hendra saja?"

'"Nah, kalau soal itu, mending Yoshi saja deh yang jelaskan. Saya tahu garis besarnya, tapi sepertinya akan lebih baik jika Yoshi yang menjelaskannya, karena tentunya dia tahu lebih detil lagi," kata Pak Indra.

Yoshi terkekeh. Saat inilah mulutnya akan diuji. Semoga saja Yoshi tidak membocorkan apa yang seharusnya belum boleh untuk diketahui oleh teman - temannya ketika dia menuturkan cerita ini. Hendra dan Nira punya cerita percintaan yang dramatis, dan akan lebih baik jika Hendra sendiri yang menceritakannya. Mungkin mereka akan tahu kenyataan itu, segera. Tapi untuk saat ini, Yoshi akan simpan dulu soal itu.

"Keduanya adalah teman satu klub saat sekolah di San Rio. Hendra adalah yuniornya Nira, dengan selisih usia Nira yang lebih tua tiga tahun dibanding Hendra. Nira sejak dulu enggak punya perasaan apa - apa sama Hendra. Tapi, dia menganggap Hendra sebagai teman yang baik, makanya mereka masih dekat sampai sekarang ini. Hendra memahami kalau Nira tidak mempunyai perasaan tertentu, jadi ya mereka masih bisa berteman sampai sekarang," kata Yoshi.

Rendi mengerutkan alisnya. Kalau memang pendengarannya benar, maka Hendra sudah dekat dengan Nira sejak mereka masih bersekolah. Rendi tidak ingin menghitung berapa lama persisnya, tapi Rendi tahu kalau tentunya kejadian itu sudah lama sekali.

"Ya ampun, sudah berapa lama itu terjadi? Aku baru tahu kalau rupanya ada juga yang bisa bertahan selama itu hanya sebagai teman! Hendra ini tidak pernah mengungkapkan perasaannya atau gimana sih ceritanya?"

"Hendra sudah pernah menyatakan perasaannya kok. Saat itu, umurnya masih 15 tahun, dan Nira mau lulus SMA. Tapi, saat itu, Nira menolaknya dengan alasan kalau dia hanya menganggap Hendra sebagai teman. Kalau dihitung, itu mungkin terjadi sudah lebih dari 20 tahun lalu. Setelah Nira lulus SMA, Hendra dan Nira sempat tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama. Mereka baru jadi dekat lagi saat Hendra jadi yuniornya Nira di kampus. Hendra juga sempat pergi dari Inkuria selama sekitar dua tahun dan mengajar di pinggiran kota."

Pak Indra terkekeh, "Heran juga si Hendra itu, setelah berpisah sekian lamanya dan sudah ditolak begitu, sampai 20 tahun berikutnya dia masih saja sama perempuan yang sama," kata Pak Indra.

"Hei, seharusnya saya yang tanya bapak soal itu. Kan situ juga, sudah cerai selama delapan tahun, malah masih mikirin Bu Risa. Untung kalian sama - sama bisa rujuk, kalau enggak?"

Hal ini membuat Pak Indra tertawa. Ya, beliau menyadari kalau dirinya juga melakukan hal yang mirip dengan yang dilakukan oleh si Hendra. Mungkin beliau ketularan sifat yang satu ini dari temannya itu, yang sepertinya bukan hal yang aneh karena Pak Indra sudah cukup lama mengenal Hendra.

"Ah, kamu bisa salahkan Hendra soal itu. Dia yang mengajari kalau yang namanya perasaan itu tidak harus berbalas. Tapi, ya kan saya lumayan beruntung, karena perasaan saya berbalas, kalau si Hendra parah sih. Dia itu, sudah bertepuk sebelah tangan, eh masih saja menunggu Nira."

Rendi menggelengkan kepalanya, "Wah, parah juga. Lalu, apa saja yang terjadi pada hidup Hendra? Kedengarannya dia punya kehidupan yang ribet ya?" tanya Rendi.

"Bisa dibilang. Tapi kalau dari luar, kelihatannya tidak banyak yang terjadi pada Hendra. Dia mulai jadi penyidik saat kakeknya meninggal pada akhir tahun 1999. Setahun kemudian, ibunya juga meninggal karena sebuah kecelakaan. Lalu, Hendra lulus kuliah pada tahun 2003. Dia jadi guru privat selama setahun, sebelum akhirnya pindah ke pinggiran Inkuria dan mengajar di sebuah sekolah kecil di sana. Di tahun 2004, Hendra kehilangan kakaknya karena sebuah kasus pembunuhan. Pada tahun 2007, Hendra kadang masih memberikan les privat, tapi dia lebih banyak berpetualang ke luar negeri saat itu. Lalu pada tahun 2009, barulah dia mengajar di SMP San Rio. Di tahun yang sama, ayahnya meninggal karena sebuah insiden kebakaran," kata Yoshi.

Rendi mengangguk, "Rupanya hidup Hendra kedengaran normal saja ya? Kukira dia itu punya masa lalu yang sangat panjang dan rumit. Misal, kedua orang tuanya menghilang atau apalah."

"Tidak heran ada banyak orang yang tertipu karenanya. Sebetulnya tidak ada hal yang misterius dari masa lalu Hendra. Aku juga tahu semua itu, begitu pula semua orang yang kenal dia setidaknya sejak umurnya 20 tahun. Yang misterius dari Hendra itu adalah, perilaku, pendirian dan pola pikirnya. Oh, jangan lupa juga akan apa yang sebenarnya dia lakukan diam - diam untuk melumpuhkan Underground," sahut Pak Indra.

"Tapi kalian berdua kan sudah kenal Hendra setidaknya di separuh masa hidup kalian, dengan fakta bahwa kalian memahami apa yang jadi tujuan Hendra. Tentu saja kalian tahu banyak sekali apa yang orang lain tidak tahu soal petualangannya. Aku cuma orang baru di kehidupannya, jadi aku tidak tahu apa - apa dan agak kebingungan dalam menghadapi Hendra," kata Rendi.

"Kamu enggak sendiri, Ren. Aku yakin di luar sana ada banyak orang yang sudah lebih lama kenal Hendra daripada kamu, tapi mereka enggak tahu apa - apa soal Hendra yang sebenarnya terjadi pada hidupnya. Kamu beruntung bisa jadi orang yang dia kenal secara personal," ujar Yoshi.

"Yah, kurasa kalian ada benarnya. Dia orang yang mengagumkan untuk orang seusianya. Apalagi dengan semua hal tidak biasa yang telah dia lakukan. Berapa umurnya? 35?"

"Yup, bulan Oktober nanti dia akan ulang tahun yang ke - 36. Kalau tidak salah, beda usiaku dengan Hendra sekitar 12 tahun. Entah berapa tahun lebih muda kalau dibanding sama Pak Indra."

"Hendra cuma tujuh tahun lebih mudah dariku. Nah, apa lagi yang ingin kamu tanyakan soal Hendra? Ayo, tanyakan saja, kami akan coba jawab semua pertanyaan yang kamu punya, karena kedengarannya kamu penasaran sekali sama makhluk setengah sengklek yang satu itu," kata Pak Indra.

Rendi terkekeh, "Maaf kalau aku banyak tanya, habis aku penasaran akan apa yang membuat Hendra bisa jadi orang yang seperti itu," ujar Rendi.

"Kebingunganmu itu bisa dimaklumi. Kurasa kamu memang harus tahu lebih banyak soal Hendra, karena kita akan banyak bekerja sama dengannya. Jadi, tanyakan saja. Aku tahu kalau kamu tanya sama orangnya, dia tidak akan menjawab semuanya dengan senang hati, kecuali kalau dia punya alasan tertentu," sahut Yoshi.

"Kalau begitu, boleh aku tahu beberapa hal yang agak pribadi? Tadi, Yoshi sudah bilang kalau Hendra sudah kehilangan kakek, kedua orang tua dan kakaknya. Lalu, apa dia masih saudara yang lain atau semacamnya? Yah, selain Yoshi dan Rei maksudku."

Yoshi mengangguk, "Ya, dia punya. Ayahnya tiga bersaudara, dan dia punya dua orang tante. Ayahnya Hendra, Om Rudy, adalah anak tertua. Beliau punya dua adik, dan salah satunya sudah pernah kamu lihat saat kita menghadapi The Hunterz. Tantenya yang saatnya terbunuh itu bernama Nora Wardana. Beliau dan Peter Ravinsky, suaminya, punya dua anak, namanya Azura dan Axel. Lalu yang paling muda namanya Felicia Wardana. Kalau Tante Felicia, dia memutuskan untuk tinggal di Chicago dan bekerja di sana. Dia juga menikah dengan orang sana, kalau tidak salah nama suaminya Kenneth White. Beliau punya tiga anak, semuanya laki - laki. Tapi, tahun lalu putera mereka yang paling muda meninggal karena sebuah insiden."

"Axel? Bukannya kita bertemu dengan seorang guru bernama Axel saat di SMA San Rio tadi?"

"Ya, itu sepupunya Hendra. Dia memang bekerja di SMA San Rio. Axel adalah seorang guru mata pelajaran Sejarah."

Rendi mengangguk, "Nah, kalau kamu sendiri Yo, kamu punya keluarga yang lain? Lalu, kamu kerabat di mananya sama Hendra?"

"Aku punya dua sepupu perempuan, mereka anak dari omku. Dia adalah kakak kembarnya ayahku. Om Ryo itu agak beda dengan ayahku yang nyaman dengan keberadaannya di kota Inkuria, karena omku ini doyan jalan - jalan dan dia memilih untuk jadi seorang pemandu wisata. Untuk saat ini, beliau menetap di Bandung dan menjalankan bisnis biro perjalanan. Tapi kadang dia juga berada di Tokyo sih, di rumah keluarga kami. Lalu, bagaimana aku masih bersaudara sama Hendra, ya karena kakeknya dari pihak ayah bersaudara kandung dengan nenekku dari pihak ayah. Nenekku menikah dengan orang Jepang tulen yang lama tinggal di Inkuria, dan aku mengenalnya sebagai kakekku. Lalu ayahku dan kakak kembarnya lahir, kemudian ayahku menikah dengan ibuku. Jadi, bisa dibilang kami bersaudara jauh. Karena secara teknis kami punya kakek buyut yang sama."

"Oalah. Tapi karena kalian satu kota, makanya kalian jadi lebih akrab, begitu?"

"Tunggu dulu, jadi ayahmu punya saudara kembar? Kok saya nggak pernah lihat ya?" tanya Pak Indra.

"Eh? Padahal Om Ryo datang saat pemakaman ayahku. Mungkin bapak yang enggak lihat?" jawab Yoshi.

"Bisa jadi. Apa beda ayahmu sama kembarannya? Atau mereka kembar identik?"

"Mereka kembar identik. Kalau secara fisik, yah, mereka nyaris nggak ada bedanya. Tapi, kurasa ada sedikit perbedaan dari nada suaranya. Kurasa mungkin Om Ryo sedikit lebih dewasa daripada ayahku, karena beliau nggak terlalu keterlaluan kalau soal godain perempuan seperti ayahku."

"Itu satu fakta yang cukup mencengangkan. Sepertinya keren juga kalau ayahmu punya saudara kembar," kata Rendi.

Yoshi tertawa, "Keren sih keren, tapi mereka berdua sama isengnya. Mereka berdua sama - sama doyan ngisengin orang, jadi bayangkan saja kalau aku, Rei dan dua sepupuku dibuat bingung selama seharian karena mereka sengaja pakai baju yang sama dan mengerjai kami berempat. Nyaris kami tidak bisa membedakan mereka berdua."

Pak Indra terkekeh, kemudian melirik ke arah ponselnya yang beliau letakkan di atas meja. Tidak ada deringan apapun dari sana, yang membuat Pak Indra agak khawatir. Beliau melirik ke arah jam dinding yang ada di ruangan mereka, kemudian menghela napasnya. Pak Indra sebenarnya orang yang penyabar, dan sepertinya beliau tidak akan begitu marah kalau pada akhirnya Hendra malah tidak jadi meminta bantuan mereka. Tapi, beliau khawatir karena Hendra tidak memberi kabar. Pak Indra takut kalau sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Hendra.

"Katanya Hendra mau menghubungi kita sekitar jam setengah dua belas malam. Kok sampai sekarang dia belum menghubungi ya?" tanya Pak Indra.

Yoshi dan Rendi saling berpandangan. Keduanya tidak tahu kenapa Hendra belum menghubungi, mungkin karena ada beberapa hal yang terjadi. Pak Indra menghela napasnya, kemudian menjalankan bidaknya yang ada di atas papan ludo. Pada giliran itu, Pak Indra berhasil mengirim satu bidak milik Rendi kembali ke rumahnya, yang membuat sang pemilik berseru kesal.

"Kurasa kita nggak akan tahu kenapa. Namanya juga si Hendra. Tapi, kuharap dia akan segera menghubungi kita," kata Yoshi, lalu menjalankan bidaknya.

"Kuharap Hendra tidak akan kenapa - napa. Sekali lagi kuingatkan, walau dia pintar, bisa saja dia bertindak bodoh. Semoga Tuhan melindunginya dari maut, walau aku rasa bisa jadi kalau Tuhan sudah bosan, maka bisa saja Hendra akan mati malam ini juga. Tapi, kuharap itu tidak akan kejadian. Orang seperti dia itu agak menyebalkan, tapi dia terlalu berharga untuk mati."

Mereka menjalankan permainan mereka selama beberapa saat dalam hening. Ketiganya sama - sama memikirkan apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Hendra malam ini. Meski mereka sudah berpikir, tentu saja mereka tidak akan bisa menebaknya. Ketiganya boleh jadi sudah tahu lebih banyak hal soal Underground daripada orang kebanyakan. Tapi tetap saja, mereka tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi seperti Hendra.

Tak lama kemudian, ponsel Pak Indra menimbulkan sebuah getaran di atas meja. Benda itu berbunyi dan Pak Indra mengambilnya, berharap kalau itu berasal dari Hendra. Harapan beliau terkabul, karena pesan yang baru masuk itu memang dari Hendra. Pak Indra langsung membaca pesan yang masuk tadi, kemudian mengangguk.

"Ada apa? Dari Hendra ya?"  tanya Yoshi.

"Apa katanya pak?" ujar Rendi.

"Hendra mengirimi alamat tempat dia berada sekarang ini. Kita bisa mulai bersiap kalau mau. Katanya, kita bisa menyusul ke sana dalam waktu satu jam lagi," jawab Pak Indra.

Yoshi mengangguk, "Begitu? Bagaimana kalau kita selesaikan permainan kita dulu?"

Pak Indra mengangguk, kemudian melirik ke arah papan ludo yang ada di hadapannya. Ketika beliau menyadarinya, kini beliau dapat melihat kalau keempat bidaknya sudah berada di tempat tujuan mereka. Pak Indra terlihat agak bingung, kemudian beliau melirik Rendi.

"Eh? Saya menang ya? Katamu, kalau keempat bidaknya masuk ke sini, maka permainan selesai?"

Rendi kini mengamati papan permainannya, dan menyadari kalau apa yang dikatakan oleh Pak Indra tadi benar. Hal ini membuat Rendi mengerang frustasi, dan Yoshi tertawa karenanya.

"Ah, di mana sih opsi untuk membalik meja di saat aku membutuhkannya?" kata Rendi.

~~~~~

Setelah membereskan papan permainan ludo tadi, ketiga pria dari EG Group ini bersiap untuk menyusul ke tempat di mana Hendra kini berada. Mereka membekali diri mereka dengan beberapa senjata, dan keperluan lainnya yang mereka butuhkan. Setelah siap, mereka langsung masuk ke dalam mobil Pak Indra dan pergi.

Yoshi dan Rendi duduk dengan santai di kursi penumpang mobil Pak Indra. Perjalanan mereka untuk menyusul Hendra sepertinya akan agak lama, karena lokasi yang dikirimkan Hendra rupanya cukup jauh. Mereka hampir menuju ke sebuah pantai yang berada di pinggiran Inkuria, dan perjalanan mereka tidak akan sebentar. Kali ini, Pak Indra menyetir dalam keadaan yang cukup santai, karena sepertinya mereka tidak perlu untuk terlalu terburu - buru.

Ketiganya melalui perjalanan mereka sambil bercakap santai. Topiknya tentu saja masih seputar apa yang sebenarnya dilakukan oleh Hendra malam ini. Mereka agak khawatir, tapi dari bagaimana Hendra bisa menghubungi mereka, sepertinya dia masih hidup. Tiba - tiba, sebuah suara memecah pembicaraan mereka.

Lagi - lagi, suara itu berasal dari ponsel Pak Indra. Benda itu beliau letakkan di dekat tongkat persneling mobilnya. Pak Indra melirik Yoshi yang ada di kursi penumpang di sebelahnya selama beberapa saat, kemudian mengerutkan alisnya dengan bingung. Siapa sih yang iseng menelponnya jam segini? Apa jangan - jangan ....

"Wah! Tolong kamu lihat siapa yang telepon dong Yo! Saya lagi nyetir nih, salah - salah bisa nabrak nanti," ujar Pak Indra.

"Siapa tuh yang telepon di jam segini? Bu Risa?" tanya Rendi.

"Mungkin?"

"Ngapain coba kalau Bu Risa betulan telepon bapak? Beliau kehabisan stok kuaci di rumah?"

Pak Indra terkekeh, "Rasanya nggak mungkin soal itu deh, karena kemarin saya baru saja beli persediaan kuaci sebanyak satu karung."

"Ada maling, mungkin?" tanya Yoshi, lalu meraih ke arah ponsel Pak Indra.

"Kalau ada maling, mungkin saja. Walau tuh maling kemungkinan sudah ditembak tepat dikepalanya atau mungkin dipatahkan lehernya sama istri saya," sahut Pak Indra, lalu terkekeh.

"Weh, sadis! Bu Risa rupanya bisa begitu ya?" seru Rendi.

"Iyalah. Dia kan pegang sabuk hitam di olahraga Taekwondo. Saya saja kalau macam - macam bisa dipites sama dia."

"Pernah kejadian ya pak?

"Untungnya enggak. Kalau memang kejadian, ya wujud saya mungkin nggak bakalan utuh lagi sekarang."

"Ini telepon dari Hendra! Kenapa dia tiba - tiba malah telepon?" tanya Yoshi.

"Ya mana saya tahu, namanya juga si Hendra. Sudah, mending cepetan kamu angkat, siapa tahu penting."

Yoshi mengangguk, kemudian mengangkat telepon dari Hendra itu. Selama beberapa saat, terdengar keheningan. Tidak ada sahutan suara yang bersemangat dari Hendra di seberang sambungan. Ini aneh, karena tidak biasanya Hendra begitu. Yoshi jadi agak panik, dan dia memutuskan untuk menanyakan apa yang terjadi di sana.

"Halo Hendra? Ini aku, Yoshi. Pak In lagi menyetir sekarang, jadi aku yang diminta untuk angkat teleponmu. Ada apa? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sana?" tanya Yoshi.

"Syukurlah. Yo ... aku ... di lokasi ...." kata Hendra, dengan suara terputus.

Sahutan Hendra tadi membuat Yoshi agak panik.  Bisa saja perkataan Hendra tadi terputus karena sinyal yang buruk, tapi Yoshi bisa mendengarkan kalau Hendra bersusah payah untuk bersuara. Sepertinya memang tengah terjadi sesuatu yang gawat di sana.

"Apa? Suaramu nggak jelas, Ndra. Apa yang terjadi?"

"Aku ... mereka ... pergi ... luka tembak ... paha dan perut ...."

"Hah?! Lalu, ada apa? Bagaimana bisa?!"

"Cepatlah ... darah ... kalau tidak ...."

"Lho? Hendra?"

"Cepatlah ... aku ... tidak ... mau ... mati ...."

"Ndra? Kamu baik - baik saja?! Hendra!"

Sambungan telepon itu tiba - tiba saja terputus, yang membuat Yoshi semakin panik. Kedua rekan seperjalanannya mungkin tidak bisa mendengar apa yang Hendra katakan, tapi mereka tahu kalau keadaannya pasti gawat. Kepanikan Yoshi sepertinya juga membuat mereka ikut panik.

"Ada apa Yo?" tanya Rendi, yang sepertinya juga mulai ikut panik.

"Tadi Hendra bilang kalau dia di lokasi, lalu dia menyebutkan sesuatu tentang luka tembak, perut dan paha. Dia meminta kita untuk cepat, sebelum akhirnya enggak ada sahutan lagi," ujar Yoshi.

Pernyataan Yoshi tadi membuat Pak Indra ngerem mendadak. Kalau memang seperti itu keadaannya, maka ini adalah keadaan yang cukup gawat. Pak Indra tentunya tidak ingin hal buruk terjadi pada Hendra. Beliau menoleh ke arah kedua teman seperjalannya dengan pandangan melotot.

"Apa?! Oh tidak, dia pasti dalam bahaya! Aku harap dia tidak dalam keadaan sekarat, karena kita tidak boleh sampai kehilangan seseorang seperti Hendra dengan cara seperti ini!" seru Pak Indra.

"Tidak, kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lagi!"

"Kencangkan sabuk pengaman kalian, kawan - kawan. Aku akan tambah kecepatannya, jadi pegangan yang erat kalau memang kalian membutuhkannya."

Tanpa pikir panjang lagi, Pak Indra langsung menginjak pedal gasnya lebih dalam lagi untuk menambah kecepatan mobilnya. Rendi dan Yoshi yang sudah mengenakan sabuk pengaman memutuskan untuk berpegangan pada tempat yang tersedia, karena mereka tahu kalau Pak Indra akan benar - benar ngebut sekarang. Dengan keadaan jalanan yang sepi, mereka berharap agar mereka bisa segera sampai di tempat Hendra berada.

Dalam waktu kurang dari satu jam, akhirnya mereka sampai di lokasi yang telah diberikan oleh Hendra. Pak Indra sepertinya baru saja memecahkan rekor untuk mencapai lokasi mereka kali ini, karena beliau setidaknya memasang kecepatan sekitar seratus kilometer per jam. Tapi setidaknya, kini mereka sudah sampai.

Mereka agak bingung pada awalnya saat melihat gedung sekolah yang terlantar itu. Tapi, mereka tidak punya waktu untuk memikirkan alasan itu. Bahkan Yoshi dan Rendi tidak sempat protes karena Pak Indra ngebut tadi. Tidak ada waktu untuk memikirkan soal itu, karena mereka harus mencari di mana keberadaan Hendra.

Ketika sampai di sana, mereka disambut oleh bau logam darah yang tajam. Tidak ada orang lain yang tersisa di sana, karena Adam dan pasukannya sudah membawa pergi pasukan mereka yang tersisa. Karena itulah, mereka bisa dengan cepat bisa menemukan sesosok tubuh yang ada di tangga menuju ke koridor sebuah kelas. Sosok itu mereka kenali sebagai Hendra.

"Hendra!" seru mereka bertiga secara bersamaan.

Mereka langsung saja berlari menghampiri Hendra, khawatir kalau terjadi apa - apa padanya. Ketika mereka sampai di dekat Hendra, dapat terlihat bahwa sepertinya rekan mereka ini telah pingsan. Di tangan Hendra masih ada ponselnya yang tadi dia gunakan untuk menelepon, dan wajahnya terlihat agak pucat dan sangat lelah, dengan darah yang membanjiri tubuhnya.

"Oh tidak! Kita perlu ambulans! Dia bisa mati kapan saja kalau kita tidak cepat!" ujar Rendi.

"Kurasa mereka tidak akan sempat datang ke sini dengan cepat! Kita saja butuh waktu lama untuk bisa kemari!" sahut Yoshi.

"Kalau begitu, kita saja yang bawa dia! Ayo kita angkat dia ke mobil! Sekarang!" kata Pak Indra.

Mereka bertiga sama - sama panik, tapi mereka tetap berusaha untuk membawa tubuh Hendra dengan hati - hati ke dalam mobil Pak Indra. Setelah mereka berhasil memasukkan Hendra ke dalam mobil, mereka langsung saja kembali melesat melewati keheningan malam. Dalam diam, mereka berharap semoga saja keadaannya tidaklah gawat, dan Hendra masih bisa bertahan hidup malam ini. Kalau tidak, akan ada banyak kekacauan yang bisa saja terjadi.

~~~~~

Pak Indra, Yoshi dan Rendi bergegas secepat yang mereka bisa untuk membawa Hendra. Ketiganya langsung membawa Hendra menuju ke rumah sakit, dan membuat sedikit kehebohan di ruang gawat darurat saat mereka datang. Petugas jaga yang ada di sana langsung membawa Hendra sesegera mungkin ke ruang operasi, karena tentunya mereka perlu untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuh Hendra.

Kini, ketiga orang itu tengah menunggu di depan sebuah ruangan, berharap cemas akan keadaan teman mereka. Keadaan Hendra sepertinya sangat kritis, karena ada banyak perawat yang melakukan berbagai tindakan kepada Hendra.

Seorang pria berjas putih lewat di depan ruangan mereka, dan Pak Indra mencegatnya untuk meminta penjelasan akan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka mendengarkan penjelasan si dokter dengan seksama, dan mereka harus pasrah karena operasi yang dijalani oleh Hendra saat ini mungkin baru akan selesai di pagi hari.

Ketiganya sama - sama memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit, karena mereka juga butuh istirahat. Kalau mereka menunggui Hendra, maka mereka tidak akan bisa melewati hari mereka dengan energi yang optimal. Toh, mungkin besok mereka baru akan mengetahui bagaimana keadaan Hendra. Mereka hanya bisa berharap kalau Hendra akan baik - baik saja.

Tiga orang itu baru saja mengungkapkan salam perpisahan mereka pada satu sama lainnya, dan baru saja saja beranjak untuk pergi saat tiba - tiba suara dari sebuah ponsel dapat terdengar. Lagi - lagi, ponsel Pak Indra berbunyi. Pak Indra mengambil ponselnya dari saku celananya, lalu melirik layarnya.

Ketika melihat siapa yang meneleponnya, Pak Indra mengerutkan alisnya. Orang ini tidak pernah menelponnya, apalagi di jam yang seperti ini. Pak Indra jadi agak khawatir kalau ada hal lainnya yang terjadi di tempat lain. Jadi, langsung saja beliau mengangkat telepon itu.

"Halo? Ada apa ya kamu telepon selarut ini? Apa ada masalah?" tanya Pak Indra.

"Halo Pak Indra. Maaf kalau saya mengganggu bapak malam - malam begini. Tapi, saya ingin menanyakan beberapa hal pada anda," kata orang yang berada di seberang sambungan.

"Tidak apa, kamu tanyakan saja deh. Jadi, ada apa?"

"Saya punya sebuah firasat tidak enak. Jadi, saya mau tanya, apa bapak tahu apa yang Hendra lakukan malam ini?"

Pak Indra terdiam sesaat, karena beliau sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Di dalam dirinya, Pak Indra juga mempunyai pertanyaan yang sama. Tapi, beliau salut juga pada perempuan yang satu ini karena dia bisa tahu kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada Hendra. Hal ini membuat Pak Indra mempertanyakan bagaimana bisa dia mengetahuinya, tapi beliau memutuskan untuk menyimpan pertanyaan itu untuk lain hari.

"Eh, kalau mau jujur, saya juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Hendra. Saya ingin sekali meminta Hendra untuk menjelaskan apa yang terjadi, tapi sepertinya kita tidak akan mendapatkan penjelasannya malam ini."

"Kenapa? Apa sesuatu yang buruk terjadi pada Hendra? Apa bapak sedang bersamanya?"

"Oke, tunggu dulu, jadi begini. Berita buruknya adalah firasat jelekmu itu benar. Hendra terluka, dan dia sedang menjalani proses operasi saat ini. Tapi, saya tidak tahu apa saja yang sudah terjadi. Hendra hanya meminta saya, Yoshi dan Rendi berjaga malam ini dan pergi menyusul ke tempat di mana dia berada. Di tengah perjalanan kami, Hendra menelpon. Sepertinya keadaannya tidak baik, karena dia membahas soal luka tembak. Jadi, saya bergegas untuk menuju ke tempat di mana dia berada. Hendra berada di bekas bangunan sekolah yang terlantar, dan dia terluka parah. Kami langsung saja membawanya ke rumah sakit, dan kini dia tengah mendapatkan penanganan."

Pak Indra dapat mendengar suara seruan kaget dari seberang panggilan. Setelahnya, dapat terdengar kalau orang yang ada di sana tengah menangis. Pak Indra berusaha menenangkannya, hingga akhirnya orang yang ada di seberang panggilan kembali berbicara.

"Aku ... aku tidak ingin Hendra kenapa - napa! Oh! Apakah aku harus ke sana sekarang juga?! Aku tidak yakin kalau aku akan bisa tidur setelah ini, jadi kurasa aku harus berada di sana!"

"Hei, kamu tenanglah. Hendra akan baik - baik saja, percayalah. Kurasa, kamu lebih baik datang besok saja. Dokter mengatakan kalau paling tidak operasinya baru akan selesai besok pagi. Jadi, lebih baik kamu beristirahatlah, oke?"

Dia menghela napas dengan berat, "Baiklah, kurasa bapak ada benarnya. Kalau ada apa - apa, tolong kabari aku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya."

"Aku juga. Nanti aku akan memberimu kabar kalau ada sesuatu yang terjadi. Kamu beristirahatlah. Kita akan bertemu besok, kurasa."

Tidak lama kemudian, Pak Indra mengakhiri panggilan itu. Rendi dan Yoshi yang masih berada di dekat atasan mereka memandang satu sama lainnya, karena mereka tidak tahu siapa yang tiba - tiba menelepon Pak Indra. Setelah Pak Indra menyelesaikan panggilan tadi, dia bisa merasakan dua pasang mata menatapnya, seolah sedang meminta sebuah penjelasan. Pak Indra tersenyum, karena tentu saja kedua orang ini ingin tahu kenapa dia membahas soal Hendra di telepon.

"Itu tadi Nira yang menelponku. Aneh juga kenapa Nira menelpon selarut ini. Katanya, dia punya firasat buruk soal Hendra, dan bertanya apakah saya bersamanya. Karena itulah, saya ceritakan saja apa yang terjadi di sini. Dia akan datang untuk melihat keadaan Hendra besok siang," ujar Pak Indra.

"Begitu ya? Bagaimana bisa dia tahu nomor telepon bapak?" tanya Yoshi.

"Dulu Nira pernah minta nomor saya, buat jaga - jaga katanya. Tapi, sudahlah, kita juga perlu istirahat. Ayo, kita pulang saja. Saat ini, kita hanya berdoa semoga Hendra baik - baik saja."

Perkataan itu disahut dengan anggukan dari Yoshi dan Rendi. Mereka tidak dapat melakukan banyak hal di saat seperti ini, jadi akan lebih baik jika mereka membubarkan diri dan berdoa untuk keselamatan Hendra. Mungkin besok mereka juga perlu untuk memeriksa keadaan tempat di mana mereka menemukan Hendra.

~~~~~

Pak Indra menyuruh Nira untuk beristirahat. Tapi saran yang satu itu tidak bisa dilakukan Nira untuk kali ini. Dia hanya bisa bolak - balik di kasurnya dengan perasan khawatir, sambil sekekali meneteskan air matanya karena terbawa akan apa yang dipikirkannya.

Nira benar - benar ketakutan. Dia tahu kalau Hendra akan menghadapi bahaya dan biasanya Hendra bisa selamat dari keadaan seperti ini, tapi Hendra tetaplah seorang manusia biasa. Hendra juga bisa terluka, dan cepat atau lambat, Hendra juga akan mati. Hal ini tentunya sebuah hal wajar, tapi Nira tidak suka memikirkan soal kemungkinan itu.

Nira tidak siap kalau dia harus kehilangan Hendra sekarang juga. Tidak, setelah semua usaha yang dia lakukan. Nira tidak ingin Hendra mati dengan penderitaan karena masalah yang dihadapinya. Nira ingin mencoba untuk membahagiakan Hendra, meski hanya sebentar dalam hidupnya. Sudah banyak sekali kepedihan yang Hendra hadapi dalam hidupnya, dan Nira juga salah satu penyebab dari kepedihan itu. Nira hanya ingin membuat Hendra mempunyai beberapa hal yang baik untuk di kenang dalam hidupnya.

Ada banyak sekali hal yang tidak bisa Nira ubah dalam hidup ini karena semuanya telah terjadi. Tapi setidaknya, kali ini Nira ingin memperbaiki beberapa hal yang mungkin masih bisa dia perbaiki. Salah satunya adalah, dengan membuat orang yang telah memberikannya banyak sekali hal yang tidak ternilai menjadi sedikit lebih bahagia.

Nira tidak tahu kapan dia tertidur malam itu. Kalau mau jujur, dia sebenarnya tidak peduli. Satu hal yang bagi Nira berarti saat ini adalah Hendra, dan Nira hanya ingin tahu apakah Hendra baik - baik saja. Kalau sampai Nira kehilangan Hendra, maka Nira tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.

Si perempuan bahkan tidak peduli akan pekerjaannya. Toh, ini sudah memasuki masa classmeeting, jadi dia tidak akan melakukan apa - apa lagi di sekolah. Setelah mengirimkan pesan kepada rekan seprofesinya di SMP San Rio kalau dia tidak akan masuk kerja hari itu, paginya Nira memutuskan untuk langsung saja menuju ke rumah sakit tempat Hendra berada.

Pak Indra mengabari kalau Hendra masih berada dalam proses operasi, dan memberitahukan di mana ruangan operasinya berada. Nira mengikuti petunjuk Pak Indra, dan menuju ke tempat Hendra berada. Nira mengintip ke pintu ruangan tempat Hendra berada, dan dia bisa menemukan kalau ada banyak orang dengan pakaian medis mengelilingi sebuah ranjang dan melakukan serangkaian prosedur. Tentu saja dia belum bisa menemui Hendra, tapi Nira tetap menunggunya.

Pikiran Nira benar - benar kacau karena kejadian ini. Dia tidak bisa bayangkan bagaimana hidupnya andai Hendra tidak bisa bertahan. Hidup Nira sudah kacau semenjak Hendra masuk ke dalamnya, dan tidak ada yang bisa Nira lakukan untuk memperbaiki semua itu. Tapi, semuanya akan lebih kacau lagi kalau sampai Hendra meninggalkan hidup Nira.

Entah berapa lama Nira menunggu di sana, hingga akhirnya ada seorang pria dengan jas panjang berwarna putih keluar dari ruangan tempat Hendra berada. Beliau melepaskan masker yang ada di wajahnya, lalu menghela napas. Nira yang menyadari kehadiran pria itu langsung saja mendatanginya. Nira sudah tidak terlihat sangat panik seperti sebelumnya, tapi dia tetap sangat khawatir akan keadaan Hendra.

Si pria melirik ke arah Nira, dan melihat responnya. Sebagai seorang dokter, sudah biasa bagi beliau untuk melihat beberapa orang yang sangat khawatir akan keadaan pasiennya. Beliau menanyakan siapa perempuan yang ada di hadapannya dan apa hubungan mereka berdua. Setelah menerima jawaban dari Nira, beliau mengangguk dan memberikan sebuah senyuman penuh simpati, lalu menjelaskan apa yang terjadi pada Hendra.

"Kami baru saja mengangkat enam buah peluru yang ada di tubuhnya. Peluru itu masing - masing bersarang di perut sebelah kanan, paha sebelah kanan dan juga paha sebelah kiri. Hendra kehilangan cukup banyak darah juga, yang sudah kami coba untuk atasi dengan transfusi darah. Operasinya sukses, tapi akan butuh waktu sampai dia bisa pulih dengan baik. Lalu, ada juga sebuah luka yang cukup lebar di bagian belakang kepalanya, yang membuat ada satu bagian dalam otaknya yang menunjukkan gejala pembengkakkan. Saya masih belum bisa memastikan apakah itu akan menjadi parah atau tidak, tapi kami sudah memberikan pengobatan yang tepat untuk semua cidera yang Hendra terima," jelas sang dokter.

"Apa ... apa keadaannya akan jadi buruk? Akankah Hendra bisa cepat sadar?" tanya Nira.

"Kami masih akan memantau keadaannya. Untuk sekarang, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan intensif, dan kami akan memantau bagaimana tubuhnya merespon perawatan yang sudah kami berikan. Kami tidak bisa menjamin kalau Hendra akan bisa sadar dengan cepat. Kami tidak memberikan anestesi yang berlebihan, tapi tubuh manusia punya waktu yang berbeda - beda dalam memulihkan sistemnya. Selain itu, jangan kaget kalau ketika dia sadar, dia malah mengalami sakit kepala yang hebat. Saya rasa, anda yang akan menjagainya?"

"Ya, tentu saja."

Sang dokter tersenyum, "Hendra tentunya akan senang kalau bisa melihat anda ketika dia bangun. Kalau Hendra sudah sadar, anda bisa segera panggil saya. Tapi misalnya Hendra tidak kunjung sadar juga sampai sore ini, maka anda harus segera panggil saya. Kami akan segera memeriksa keadaannya."

"Baiklah pak. Saya akan lakukan apa yang anda minta. Terima kasih, karena sudah menyelamatkan nyawa Hendra."

Sang dokter menepuk bahu Nira dengan lembut, "Itu sudah kewajiban saya. Punya pasien seperti Hendra memang agak melelahkan, tapi saya tahu kalau saya sudah melakukan hal yang baik dengan membantunya. Hendra akan segera dipindahkan, jadi saya rasa anda bisa ikut bersama para perawat menuju ke ruangannya."

Nira mengangguk, kemudian dia mengikuti beberapa perawat yang kini mendorong kasur tempat Hendra berada. Mereka menuju ke sebuah ruang perawatan intensif, dan Nira tetap tinggal di sana ketika semua perawat yang mengantarnya sudah memastikan kalau keadaan Hendra baik - baik saja.

Ada sebuah kursi lipat di sana, yang membuat Nira langsung mengambilnya dan meletakkannya di sebelah ranjang Hendra. Ada alat bantu pernapasan yang diletakkan di hidung si pria, dan beberapa selang yang menancap di punggung tangan kirinya. Ada perban yang membebat bagian belakan kepalanya, yang membuat Nira agak meringis.

Wajah Hendra yang terlihat tenang malah membuat Nira merasa semakin tidak tenang. Nira takut kalau dia tidak akan bisa melihat Hendra lagi, meski sang dokter tadi mengatakan kalau operasinya telah berjalan dengan sukses. Melihat Hendra dalam keadaan tidak sadarkan diri ini membuat Nira merasa tidak takut kalau Hendra malah tidak akan pernah bangun lagi.

EG Group datang di siang hari untuk melihat keadaan Hendra. Mereka juga berusaha menghibur Nira yang kelihatannya sangat lesu karena Hendra yang belum juga bangun. Selain itu, Nira dapat mendengar cerita akan bagaimana mereka bisa menemukan Hendra di sebuah gedung sekolah, tempat kekacauan itu terjadi.

Nira sebenarnya tahu kalau Hendra akan menyongsong bahaya malam itu. Hendra sudah pernah menyebutkan pada Nira kalau dia ingin untuk memancing kelompok pengedar narkoba untuk keluar dari persembunyiannya. Dalam prosesnya, Hendra malah berhadapan dengan seorang pemuka kelompok pembunuh. Karena malam itu Hendra tidak mengirimkan pesan seperti yang dijanjikannya, Nira merasa kalau mungkin saja ada sesuatu yang terjadi, yang membuatnya memutuskan untuk menghubungi Pak Indra dan membawanya ke titik ini.

Sementara itu, EG Group sendiri tidak begitu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka menemukan Hendra sudah dalam keadaan terluka dan tidak sadarkan diri, jadi mereka tidak bisa mendapatkan penjelasan akan apa yang sudah terjadi. Satu - satunya hal yang paling masuk akal adalah, Hendra memang sengaja dijebak dalam situasi seperti itu. Hendra tahu kalau dirinya akan ada dalam bahaya, makanya dia meminta Pak Indra, Yoshi dan Rendi berjaga. Tapi sayangnya, mereka agak terlambat menyusulnya, sehingga tidak bisa membantu Hendra dalam situasi apapun yang dialaminya itu.

Nira hanya bisa menghela napasnya. Setelah kunjungan EG Group itu, Nira terdiam sambil menggenggam tangan Hendra. Tangan si pria tidak meresponnya, tapi Nira tetap menggenggamnya dengan erat. Nira takut, dan dia merasakan kalau hal buruk bisa saja terjadi pada Hendra.

Setelah jam kerja mereka selesai, EG Group kembali mengunjungi Nira. Si perempuan tadi sempat tertidur, dan kedatangan keenam orang itu membangunkannya. Mereka semua berkumpul di sana, sambil menunggu kalau - kalau Hendra akan sadar. Tapi, rasanya aneh juga karena sampai saat ini Hendra tidak kunjung sadar.

"Lama betul sih si bapak ini tidur. Kapan sih Pak Hein sadarnya?" tanya Delia.

"Hendra, kamu jangan bikin aku khawatir dong. Cuma kamu yang saat ini aku punya sebagai keluarga, selain Rei di sini," ujar Yoshi.

"Hendra, kumohon sadarlah. Aku enggak mau kehilangan kamu," ucap Nira dengan nada lirih.

Saat itulah, Nira teringat apa yang sudah dimintakan dokter kepadanya. Hal ini membuat Nira tersentak, yang agak mengagetkan keenam orang lainnya yang ada di sana.

"Jam ... jam berapa sekarang?" tanya Nira.

"Sudah hampir setengah enam. Memangnya ada apa, Ra?" kata Bu Risa.

"Panggilkan dokter! Beliau menyuruhku memanggil dokter kalau Hendra belum juga sadar sampai sore ini!"

Perkataan ini membuat Yoshi langsung melesat kencang dan pergi ke luar ruangan. Jantung Nira berdegup kencang, karena dia benar - benar khawatir kalau akan benar - benar terjadi sesuatu yang buruk kepada Hendra. Tidak lama kemudian, Yoshi kembali bersama seorang dokter. Dokter ini adalah dokter yang sama seperti yang ditemui Nira tadi pagi, dan beliau juga membawa serta beberapa paramedis.

"Bisakah kalian semua keluar dulu? Kami akan memeriksa keadaan Hendra, dan menemukan apa masalahnya. Mungkin kami akan butuh waktu satu jam atau lebih untuk memeriksanya," kata sang dokter.

Mereka menuruti perkataan sang dokter untuk keluar, dan beliau langsung bertindak cepat untuk memeriksa Hendra. Sang dokter menyuruh beberapa paramedis untuk menyiapkan peralatan, dan tujuh orang yang jadi agak khawatir ini hanya bisa menunggu dalam keadaan tidak tenang. Apalagi Nira, yang sepertinya benar - benar ketakutan kalau Hendra akan kenapa - napa.

Setelah satu jam lebih yang menyakitkan menunggu pemeriksaannya selesai, akhirnya sang dokter keluar dari ruangan tempat Hendra berada. Tujuh orang yang menunggu ini memandang sang dokter dengan cemas, dan sang dokter menarik napas panjang sebelum mengatakan apa yang terjadi.

"Saya akan menyampaikan suatu kabar yang cukup besar bagi kalian. Saya harap, kalian siap mendengarkannya," ujar sang dokter.

"Katakan saja pak, kami harus tahu apa yang terjadi, agar kami bisa membantu kalau bisa," kata Pak Indra.

"Kami sudah menjalankan serangkaian tes, dan mengecek aktifitas yang ada di bagian otak Hendra. Kami bahkan sudah melakukan beberapa tes untuk mengetahui kondisi kesadaran Hendra. Saya tidak akan terlalu menjelaskan secara medis apa saja yang kami lakukan, karena penjelasannya akan panjang. Untuk singkatnya, Hendra mengalami koma."

Pernyataan ini membuat Nira langsung meneteskan air matanya. Hendra mungkin tidak mati, tapi keadaan ini juga sama mengkhawatirkannya. Nira berusaha untuk menahan dirinya agar tidak histeris. Delia yang ada di dekatnya langsung memeluk sang guru untuk menenangkannya.

Kabar ini tentunya juga mengejutkan EG Group. Bagaimana bisa Hendra mengalami koma? Seberapa parah sih sebenarnya luka yang dia alami? Hal ini membuat mereka jadi semakin penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi.

"Apakah ini normal, dok? Apa kami harus khawatir?" tanya Pak Indra.

"Mengingat cidera yang Hendra alami, ya, ini memang bisa terjadi. Kalau saja Hendra sadar, saya malah takut kalau keadaannya bisa jadi lebih parah karena Hendra akan mengalami sakit kepala yang cukup hebat dan menyakitkan. Hal itu disebabkan karena adanya sebuah pembengkakan terjadi di dalam kepalanya, dan pembengkakan ini membuat bagian otak yang berhubungan dengan kesadaran tertutup jalannya. Kalau tubuh Hendra tidak kehilangan kesadarannya, maka dia akan bisa mengalami rasa sakit dari pembengkakan ini, dan pada beberapa kasus ada orang yang harus diberikan kondisi koma agar masalah yang dia terima bisa ditangani terlebih dahulu, agar bisa disembuhkan dan tidak menyiksa si pasien. Tapi pada kasus ini, memang bagian yang berhubungan dengan kesadaran yang kena, sehingga tubuh Hendra berada dalam keadaan koma, sebagai reaksi alami karena pembengkakan itu. Efeknya adalah, Hendra menjadi tidak sadar dan tidak merespon rangsangan yang diberikan, meski sistem tubuhnya yang bekerja secara otomatis seperti pernapasan, pencernaan dan detak jantungnya masih bekerja," jawab sang dokter.

"Lalu, apa yang akan terjadi?" tanya Rendi.

"Kita harus bisa menyelesaikan masalah apa yang ada di dalam tubuhnya. Karena tidak ada masalah lain yang kami bisa temukan pada Hendra, maka kami harus mengobati pembengkakan yang terjadi di dalam kepalanya, agar akses ke bagian otak yang berhubungan dengan kesadaran tadi bisa pulih."

"Berapa lama Hendra akan koma?" tanya Yoshi.

"Tidak ada waktu pasti kalau soal koma. Bisa makan waktu beberapa hari, tapi ada juga yang sampai bertahun - tahun. Normalnya sih, beberapa hari, atau beberapa minggu untuk yang paling lama. Tapi, itu masih tergantung lagi apakah masalah di dalam tubuhnya ini bisa terobati dengan cepat atau tidak. Kami akan melakukan penanganan yang tepat terhadap pembengkakan yang terjadi itu."

"Apa yang bisa kami lakukan untuk membantu, dok? Apakah ada sesuatu yang harus kami tahu?" tanya Pak Indra.

"Dukungan moral biasanya membantu. Tapi, kalau kalian tahu apa yang terjadi sebelum Hendra tidak sadarkan diri, mungkin itu akan membantu kami untuk mencari tahu kalau ada masalah lainnya."

Pak Indra menggaruk kepalanya, "Wah, masalahnya kami sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kami menemukan Hendra sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri, jadi kami langsung membawanya kemari. Yang kami bisa perkirakan adalah, Hendra melawan pasukan penembak yang berusaha untuk melukainya, dan terluka dalam prosesnya."

Sang dokter mengangguk, "Hm, begitu rupanya. Baiklah, nanti akan kami periksa lagi kalau ada masalah lainnya. Kami akan mencoba untuk mengobati pembengkakan itu dulu."

"Tunggu dok, kepalanya Hendra tadi dibebat, kan? Jadi, ada luka di kepalanya?" tanya Yoshi.

"Ya, tentu saja. Ada sebuah luka yang cukup lebar di bagian belakang kepalanya, yang sepertinya jadi sebab pembengkakan itu. Yang pasti, itu bukan karena peluru. Kalian ada yang tahu kenapa itu bisa terjadi?"

Rendi mengerutkan alisnya, "Seingatku, kita menemukan Hendra terkapar dengan kepalanya berada di anak tangga di dekat sebuah ruang kelas. Anak tangganya dari semen," kata Rendi.

"Ah, kamu benar! Aku ingat ada darah di anak tangga itu, tepat di bagian belakang kepala Hendra terletak. Apa dia ... kejedot?" tanya Yoshi.

"Bisa saja. Siapa tahu itu terjadi karena Hendra ingin menghindari peluru yang menyerangnya dan kehilangan keseimbangannya. Tenaga dorongan dari peluru itu cukup kuat loh," ujar Pak Indra.

Sang dokter tersenyum, "Anda benar. Bahkan peluru bisa meretakkan tulang kalau tenaga lesatannya cukup kuat, dan itu bisa terjadi tanpa perlu si peluru itu menyentuh tulang tadi. Tapi, hipotesis kalian tadi cukup masuk akal, dan menjelaskan kenapa bisa ada pembengkakan pada bagian otaknya. Kalau begitu, sepertinya kami harus fokus pada pembengkakannya dulu, karena itulah yang sepertinya penting," kata sang dokter.

"Baiklah. Terima kasih, dok. Kami akan memanggil anda lagi kalau ada sesuatu terjadi."

Beliau memberikan sebuah senyum penuh simpati, lalu meminta diri untuk pergi. Pak Indra hanya bisa menghela napasnya, karena mereka sepertinya tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Hendra.

Di sisi lain, Nira mulai tenang keadaannya. Tapi, dia tidak bisa berhenti memikirkan akan apa yang terjadi pada Hendra karena kondisinya ini. Nira jadi semakin ketakutan kalau dia akan kehilangan Hendra karena kejadian ini.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top