Chapter 5 : Di Sebuah Gedung Sekolah

Hendra mengendarai motornya dengan cukup santai. Dia menikmati perjalanannya dengan baik, sambil memikirkan banyak sekali petualangan yang sudah dilaluinya. Semuanya serasa bagai mimpi. Mimpi buruk yang nyata. Tidak akan ada orang yang percaya kalau dia benar - benar mengalami semua ini, kecuali kalau orang itu memang berada di dalam kehidupannya dalam waktu cukup lama. Ya bagaimana orang lain mau percaya, kehidupan Hendra kan memang dipenuhi kegilaan yang tidak masuk akal bagi orang yang waras.

Setiap kali Hendra berada dalam perjalanannya menuju ke petualangannya, ada beberapa hal yang sering kali muncul di dalam kepalanya. Hal ini sebenarnya sederhana saja, tapi akan selalu jadi pertanyaan yang menarik untuk dijawab. Akankah ini jadi petualangan terakhir dari Hendra? Pertanyaan itu selalu menggema di dalam keheningan perjalanannya, meminta untuk dijawab.

Kalau mau jujur, Hendra sendiri tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan itu. Di dalam hatinya, dia selalu khawatir kalau petualangan yang dilakukannya akan jadi petualangan yang terakhir baginya. Apa saja bisa terjadi, dan Hendra bisa mati dengan cepat kalau dia melakukan hal yang bodoh, entah secara sengaja atau tidak. Masalah yang Hendra alami ini tidak memperbolehkan adanya celah kesalahan di dalam tindakannya. Bukan sekali saja Hendra melakukan kesalahan yang bodoh dalam petualangannya, dan herannya Tuhan masih memberi kesempatan untuknya agar masih bisa bertahan hidup.

Hendra terkadang takut. Walau apa yang dilakukannya hari ini tidak terlalu berbahaya seperti yang dilakukannya di hari sebelumnya, tapi tetap saja Hendra takut. Karena dia tahu kalau dirinya bisa gagal kapan saja. Siapa yang tahu walau dia sudah berhati - hati sekalipun, dia bisa saja mati. Hendra takut kalau dia tidak bisa melakukan apa yang kakeknya sudah wasiatkan kepadanya.

Ya, mungkin saja Hendra bisa menyerahkan buku itu kepada sepupunya yang lain, dari pihak Tante Felicia. Hendra tahu kalau keluarga tantenya punya minat tinggi kalau soal kriminal, jadi tidak masalah. Atau diberikan kepada Axel juga boleh. Yah, walau sepertinya sepupunya itu akan menolak mentah - mentah. Mungkin kalau bukunya diserahkan pada Yoshi juga bisa, dan cocok dengan pekerjaannya Yoshi. Atau ke orang lain yang masih punya akar keluarga yang sama dengan Hendra. Di luar sana masih ada beberapa orang yang merupakan keluarga jauhnya, yang bisa ditarik garis kekeluargaannya dari abad 15, dan Hendra tahu di mana mereka berada.

Tapi tetap saja, Hendra merasa kalau dirinya punya sebuah tanggung jawab besar yang dia tidak boleh gagal dalam melaksanakannya. Buku itu ada di tangan Hendra, yang artinya dia harus menjaganya sekuat tenaga, sebelum akhirnya kematian membuat Hendra menyerah. Bukannya Hendra tidak bisa memilih, tapi sepertinya memang dia yang harus menjaga warisan keluarganya ini. Kalau mau agak puitis, mungkin buku itulah yang memilih Hendra sebagai penjaganya.

Pemikiran ini membuat Hendra menghela napasnya. Dia khawatir akan apa yang terjadi, tapi di sisi lain dia tidak bisa mundur lagi. Hendra sendiri yang memilih jalan ini, ketika dia diberikan pilihan. Dia tidak berniat untuk mengganti pilihannya, karena dia ingin menyelesaikan apa yang sudah dimulainya.

Setelah pemikiran yang panjang itu, akhirnya Hendra sampai di depan sebuah bekas gedung sekolah yang kelihatannya sangat bobrok dan sudah tak terawat lagi. Di depan sekolah terdapat sebuah papan yang berisi tulisan yang menunjukkan nama sekolah tersebut. Setelah menatapnya sejenak, akhirnya Hendra masuk ke dalam area sekolah itu.

Gedung sekolah swasta ini sepertinya sudah lama ditinggalkan oleh orang - orang. Secara letak sendiri, sekolah ini berada jauh di pinggiran kota. Karena letaknya yang jauh dan tidak strategis itulah, sekolah ini nyaris tidak ada muridnya. Kabar terakhir yang Hendra dengar, para gurunya sudah dipindahkan ke sekolah lain, begitu juga muridnya yang pindah ke tempat yang lebih strategis. Karena tidak ada rencana agar gedung sekolah ini bisa digunakan atau dialihkan fungsinya, kini sekolah tempat Hendra berada ini otomatis terlantar tanpa ada yang merawatnya.

Hendra masuk ke dalam area sekolah itu dengan motornya. Pagarnya sudah keropos dan rusak berat, jadi Hendra bisa masuk ke dalamnya dengan mudah. Tidak ada tanda - tanda kehadiran orang lain, yang membuat Hendra agak khawatir. Tapi, dia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu untuk saat ini. Hendra memarkir motornya di satu tempat yang dinaungi oleh atap seng yang sudah keropos. Sepertinya dulu tempat itu adalah sebuah parkiran.

Ketika Hendra sudah memarkir motornya, dia mengambil ponselnya yang ada di sakunya. Benda itu bergetar beberapa kali saat Hendra berada di jalan tadi, yang membuatnya penasaran. Ketika mengeceknya, Hendra menemukan kalau ada dua buah pesan masuk ke ponselnya. Pesan pertama dari orang yang akan ditemuinya sebentar lagi, sementara itu pesan kedua berasal dari Nira.

Pesan dari Nira tadi membuat Hendra mengerutkan alisnya. Tidak biasanya Nira bangun sampai selarut ini. Apakah ada sesuatu yang terjadi, atau temannya yang satu ini tidak bisa tidur? Entahlah, Hendra tidak tahu. Jadi, langsung saja dia membuka pesan yang diterimanya dari Nira.

Nira : Hei Ndra, aku tahu kalau kamu mungkin sedang berpetualang sekarang, tapi aku tidak bisa tidur saat ini. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Kuharap kau akan baik - baik saja, karena aku tidak mau kau mati dengan begitu saja :(

Hendra terkekeh. Andai saja dia tidak perlu mengurus hal penting malam itu, maka Hendra akan dengan senang hati menelpon Nira dan membuatnya lebih tenang agar dia bisa segera tidur. Dengan cepat, Hendra mengetikkan balasannya kepada Nira.

Hendra : Kamu jangan mengkhawatirkanku seperti itu dong, aku kan sedang berusaha untuk melakukan satu hal yang baik. Doakan saja agar aku bisa kembali hidup - hidup. Mungkin kalau sempat, aku akan menelponmu nanti. Tapi kalau tidak, aku akan mengabarimu kalau aku baik - baik saja :)

Setelah membalas pesan Nira itu, Hendra mengetikkan beberapa hal lagi sebelum akhirnya dia menjauh meninggalkan motornya. Kakinya mulai melangkah menuju ke bangunan sekolah itu, karena Hendra harus bergegas menuju ke salah satu ruangan yang ada di tempat itu. Di tempat itulah, Hendra berjanji kalau dia akan menemui orang yang tadi menelponnya.

Tapi, Hendra tidak buru - buru. Dia masih menyempatkan dirinya untuk memperhatikan bagaimana keadaan sekolah yang ditelantarkan ini. Bangunannya sudah sangat lusuh, dan beberapa bahkan sudah terlihat keropos. Hendra mendapati kalau ada sepuluh ruang kelas yang kini ditinggalkan, dan beberapa ruangan lainnya yang sepertinya adalah untuk fasilitas sekolah yang lainnya. Pemandangannya yang menyedihkan membuat Hendra meringis, karena dulu dia sempat mengajar di tempat kecil yang mirip seperti ini.

Hendra menuju ke satu arah, kemudian dia menaiki sebuah tangga sempit, yang menuju ke lantai dua. Di sana ada sebuah lorong yang lantainya terbuat dari kayu. Di bagian sebelah kirinya, terdapar semacam balkon yang dibatasi dengan pagar kayu setinggi sekitar satu meter. Dari pagar tersebut Hendra dapat melihat pemandangan lapangan sekolah yang cukup luas, berlantaikan semen yang mulai bolong di sana sini dan dilengkapi dengan ring basket yang sudah hampir ambruk. Sementara itu, di sebelah kanannya terdapat tiga buah pintu yang semuanya berwarna hitam. Pintunya membawa ke tiga ruangan yang berbeda, dengan tulisan yang tertempel di sebuah plat kusam di bagian atas pintunya. Ruang yang pertama dulunya digunakan sebagai ruang kepala sekolah, di susul berikutnya adalah ruang guru dan lab komputer.

Tempat yang dituju oleh Hendra adalah ruangan kedua. Pintun ruangan itu sudah terbuka sedikit, yang menandakan bahwa seseorang berada di sana. Ini berarti, orang yang dia cari sudah ada di sana. Hendra melangkah menuju ke ruangan itu dengan pelan, hingga akhirnya dia berada di depan pintunya. Sebelum masuk ke dalamnya, Hendra mengetuk pintunya tiga kali, kemudian membukanya.

Ketika masuk ke dalamnya, Hendra dapat melihat ada banyak meja dan kursi kosong yang kosong. Meja dan kursi dari kayu ini sangat berdebu, dan kelihatannya sudah mulai lapuk. Selain itu, ada sebuah sofa panjang berwarna biru tepat di bagian depan ruangan. Sofa itu mungkin masih cukup bagus, tapi karena keadaannya yang terlantar, kelihatannya benda ini sangat kusam.

Di sofa itu, tengah duduk seorang pria. Orang ini juga mengenakan jaket hoodie seperti Hendra, dan dia menutupi wajahnya. Si pria menoleh ke arah Hendra, dan mereka bertatapan sejenak. Setelah beberapa saat, si pria berdiri dan mendekat ke arah Hendra.

"Akhirnya anda datang juga," ujar orang itu.

"Tentu saja aku datang. Aku sudah mengatakan kalau aku akan kemari. Kedatanganku ini agak lama karena tempat pilihanmu ini agak jauh dari tempatku berada. Kau tentunya membawa barangnya, kan?" tanya Hendra.

"Pastinya. Ini kan bisnis. Baik, jadi bagaimana dengan transaksi kita?"

"Sesuai dengan yang kau minta."

Hendra mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sementara itu si pria mengambil sebuah kotak kecil yang dibungkus oleh kertas berwarna cokelat yang sejak tadi ada di meja yang berhadapan dengan sofa tadi. Sebuah amplop berwarna cokelat Hendra keluarkan dari dalam tasnya.

Keduanya berpandangan selama beberapa saat dalam diam. Kemudian, Hendra menukarkan amplop cokelat yang dia punya dengan bungkusan yang si pria punya. Mereka sama - sama menyimpan benda yang baru saja mereka dapat. Kemudian, mereka terdiam selama beberapa saat, sebelum keduanya berjabat tangan dengan singkat.

"Senang berbisnis dengan anda, Adam. Saya pasti akan menghubungi anda lagi jika saya ingin bertransaksi," ujar Hendra.

"Tidak, jika salah satu dari kita mati hari ini," sahut si pria.

"Maksud anda?"

"Oh ayolah, anda jangan berpura - pura bodoh. Kita tentunya sama - sama tahu kan apa maksud perkataan saya tadi? Jujur saja, akting anda tadi sangatlah memukau."

Hendra terkekeh, "Aku dulu sempat jadi aktor saat masih bersekolah. Tapi, kurasa ada baiknya kalau kita akhiri saja sandiwara ini, ya?"

Setelah mereka selesai berjabat tangan tadi, Hendra merogoh saku celananya dengan perlahan. Dengan sebuah satu gerakan cepat, Hendra menodongkan revolvernya yang sudah dia siapkan. Ketika melihat ke depan, Hendra tidak kaget karena rupanya si pria juga melakukan hal yang sama padanya. Mereka berdua sama - sama memegang senjata, dan Hendra tersenyum. Dia tahu kalau dirinya akan menghadapi laki - laki ini, dan dirinya tidak akan kaget kalau keadaannya akan jadi kacau dalam waktu singkat.

Hendra dan si pria berhadapan satu sama lainnya dalam diam. Mata mereka bertatapan, dengan senjata yang sama - sama tertodong ke wajah satu sama lainnya. Tidak ada seorangpun di antara keduanya yang bergerak, karena mereka sama - sama berusaha membaca apa yang ada di pikiran lawan mereka. Keadaan hening itu berlangsung selama beberapa saat, yang terasa sangat lama bagi mereka berdua.

Di dalam pikirannya, Hendra sudah merasakan kalau dirinya akan berhadapan dengan pria ini. Ketika Bu Risna mengatakan bahwa Bu Lina berhubungan dengan seorang pria bernama Adam, Hendra sudah merasakan kecurigaan kalau si Adam itu adalah orang yang sama yang dimintainya untuk mendapatkan beberapa barang haram yang ingin dia jadikan sebagai barang bukti. Ternyata dugaannya tidak salah.

Hal ini beralasan. Hendra sudah memantau Adam selama beberapa lama sebelum akhirnya mereka bisa berhubungan. Penyidikannya membawa ke sebuah bukti bahwa Adam berhubungan dengan seorang perempuan bernama Lina, yang berprofesi sebagai seorang guru. Faktanya cocok dengan apa yang sudah Hendra dapatkan di SMA San Rio. Tadi, Hendra juga sudah melakukan penyelidikan silang dan menemukan kalau memang Lina yang jadi pacarnya Adam ini adalah mayat yang Hendra lihat tadi pagi.

Hendra tidak kaget kalau pria yang satu ini juga sudah menyelidiki tentangnya. Orang yang jadi salah satu tangan kanan Mr. Heartless ini adalah salah satu yang paling cerdas di antara kelompoknya. Keduanya sama - sama memakan umpan satu sama lainnya, sehingga mereka bisa ada di sini. Bahkan, pria ini juga sengaja berpura - pura jadi seorang bandar  narkoba hanya agar bisa mendapatkannya. Cerdas dan berani mengambil resiko, salah satu lawan yang berbahaya kalau Hendra tidak hati - hati.

Di sisi lain, Hendra merasa kalau pria yang satu ini tidak sendirian kemari. Satu kebiasaan jelek Underground yang Hendra tidak suka adalah, mereka doyan main keroyokan. Iya sih, mereka memang solidaritasnya tinggi dan sering kali cara ini ampuh untuk menakuti lawan mereka yang hanya sendirian. Hendra sedikit banyak merasa terintimidasi karenanya, kalau mau jujur. Tapi, tentunya akan melelahkan kalau Hendra menghabisi mereka satu persatu, seperti yang pernah dilakukannya dulu.

Untungnya, kini dia sudah tidak sendirian lagi seperti dulu. Hendra sudah melebarkan jaringnya dengan perlahan, dengan beberapa orang kepercayaannya yang selalu siap membantunya. Kini, masalah Hendra adalah bagaimana dia bisa keluar dari sekolah itu dalam keadaan hidup - hidup. Setidaknya, dia harus membuat keadaannya jadi tidak terlalu gawat, agar bantuan bisa datang di saat yang tepat.

Dalam hatinya, Hendra menyumpah. Sepertinya, kali ini dia harus menggunakan salah satu taktik lamanya yang agak murahan untuk mengulur waktu. Semoga saja kemampuan berbacot ria miliknya bisa menyelamatkannya sekali lagi dari situasi yang cukup berbahaya ini.

"Sambutan yang kau berikan padaku sangtlah hebat, aku terkesan karenanya. Dan terima kasih atas pujianmu tadi, aku sangat tersanjung. Kuakui kalau anda juga seorang aktor berbakat. Selain itu, anda juga seorang sutradara yang sangat cerdik. Kau pastinya sudah melakukan banyak sekali pencarian tentang aku," kata Hendra.

"Kau sengaja ya? Tak kusangka kau berani mencoba untuk memesan paket pada salah satu anak buah Mr. Coca. Jejak yang kau berikan cukuplah membingungkan, sampai aku tidak tahu apakah kau sedang melakukan sebuah kebodohan atau sebuah strategi yang aneh. Rupanya aku terjebak, " sahut si pria bernama Adam itu.

"Nah, satu sama, kan? Kau memakan umpanku, aku memakan umpanmu. Anggaplah barang yang aku dapatkan darimu ini sebagai barang bukti berbayar. Uang yang kukeluarkan tentunya tidak hilang sia - sia karena aku bisa bertemu denganmu. Tak kusangka kalau The Killers sampai susah - susah memerintahkanmu untuk menemuiku. Tentunya kalian sangat ingin untuk membantu The Spiders, ya?"

"Apa yang Mr. Heartless katakan padaku adalah perintah bagiku. Lagi, tentunya aku tidak akan menyia - nyiakan kesempatan untuk bisa bertemu dengan detektif kesayangan Underground yang tampan ini."

Hendra meringis di dalam hatinya. Kalau memang Underground mengirimkan seseorang kepadanya, itu berarti orang yang dikirimkan ini bertugas untuk membunuhnya. Tentu saja Hendra tidak kaget, karena hal ini sudah biasa baginya. Tapi tetap saja, rasanya agak aneh juga kalau mengetahui kalau pria yang ada di hadapannya ini bisa jadi malaikat maut baginya kalau dia tidak hati - hati.

Selain itu, tentu saja Adam akan menuruti perkataan bosnya. Perintah adalah perintah, dan Adam sejak lama sudah menghamba kepada Mr. Heartless. Walau ada satu keinginan yang ada di dalam diri Adam tidak pernah dikabulkan tuannya selama pengabdian itu, tetap saja Adam menuruti semua yang diinginkan oleh Mr. Heartless. Rasanya Hendra ingin sekali tertawa karenanya.

"Sejak kapan kau berselera pada pria sepertiku ya? Setahuku, kau selalu menempel dengan Mr. Heartless. Aku juga agak kaget saat tahu kalau kau berpacaran dengan seorang perempuan. Tapi, setelah aku tahu bahwa perempuan itu terbunuh, rasanya aku tidak perlu kaget. Rupanya kau yang membunuh Bu Lina. Kau juga memberikan banyak petunjuk yang membingungkan, dan hampir saja aku percaya kalau orang lain yang membunuhnya, bukan kau. Untungnya, ada seorang saksi yang membawaku kembali ke jalan yang benar."

Adam tertawa, "Ah, sialan. Seharusnya aku tidak menanyai seseorang ketika aku berusaha mencarinya ya? Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi. Aku senang karena perempuan menjijikkan itu sudah mati. Dia menyusahkan, dan seharusnya aku memilih orang lain yang lebih mudah dibanding dia. Hanya saja, dialah orang yang paling pantas mati di antara semua guru lainnya di sekolah itu."

"Aku yakin anak - anak SMA San Rio akan sangat berterima kasih kepadamu. Kau sudah melakukan sesuatu yang cukup menarik, dengan memilih korban yang tidak akan aku terlalu pedulikan. Padalah, kau bisa memilih korban lainnya yang lebih menyenangkan, seperti Axel misalnya."

"Ah, aku sebenarnya ingin mencoba mendekatinya. Tapi sayangnya, Axel cukup cerdas sehingga aku tidak bisa membohonginya dengan mudah. Kalian semua yang punya darah Wardana memang agak menyebalkan, tapi aku akui kalian semua memang cerdas."

"Ah, namanya juga keluarga. Walau begitu, kau memberikan sebuah pembukaan yang sangat epik sekali. Kau membunuh Lina, dengan menembak tepat di tengah keningnya, lalu mendorongnya ke tanah ketika selesai dan memberikan berbagai sayatan di lengan dan betisnya. Pembukaan ini mengingatkanku pada pembukaan yang diberikan oleh The Gloody saat pertama kali aku bertemu dengan mereka. Yah, meski tidak sebrutal The Gloody, tapi ini tetaplah sebuah cara yang agak kuno, kalau menurutku. Tapi aku tidak heran karena kalian dulunya ada di bawah komando The Gloody. Tentunya kalian ingin meneruskan beberapa tradisi yang kalian miliki.

"Sebetulnya aku punya beberapa cara lainnya, tapi aku akan lebih suka kalau aku menggunakan cara epik milik The Gloody untuk memunculkan diri di hadapanmu. Aku hanya melakukan langkah lama yang sudah familiar, dan kurasa itu pasti akan mengundangmu. Dugaanku tidak meleset ternyata."

"Yah, memang. Aku sudah cukup lama mengenal kalian, tentunya aku tahu kalau kalian melakukan cara ini lagi. Karena itulah, aku sudah tahu bagaimana caranya untuk mengatasi langkah lama kalian itu. Menurutku ini hanya permainan catur klasik yang kembali terulang."

Adam tertawa mengejek, "Kau yakin apa yang kau lakukan kali ini adalah cara yang berbeda? Kau hanya seorang diri, kawan. Lagi, kau hanya bermodalkan tubuhmu yang mulai menua dan juga sepucuk revolver. Sejauh apa yang aku lihat, sepertinya ini hanya langkah yang sama seperti yang kau lakukan saat kau menghadapi The Gloody. Aku tidak yakin kau tidak akan bisa menang dengan taktik yang sama. Dan lagi, kemana pasukan mata empat yang sudah ada generasi penerusnya itu? Bukannya mereka selalu mengintilimu seperti bocah akhir - akhir ini?"

Hendra memberikan sebuah senyuman penuh kepercayaan diri, "Mungkin bagi matamu, semuanya terlihat sama seperti dulu, tapi kau akan lihat kalau kali ini akhir ceritanya akan berbeda dari yang sebelumnya. Kali ini, kau tidak akan membuatku berada dalam posisi skakmat hanya dengan empat langkah seperti yang sebelumnya. Lagi, aku heran kenapa pemimpinmu tidak muncul saat ini dan malah menjalankan "menteri" - nya, bukannya mengamankan "raja" yang dia miliki."

"Aku hanya melindungi rajaku. Itu sudah kewajibanku sebagai seorang "menteri", kan?"

Hendra terkekeh, "Kurasa ada benarnya juga. Tapi sepertinya menyebalkan juga kalau jadi seorang menteri, kalau kau hanya bisa berjalan miring," kata Hendra, memberikan sebuah lawakan yang tidak pada tempatnya.

"Kurasa itu bukanlah hal penting, kawan. Rajaku dapat menjalankan bidaknya kapanpun dia mau. Yang penting adalah, apa yang akan kau lakukan sekarang? Apa kau mau terus mengobrol denganku sampai pagi datang, atau kau akan lari seperti pengecut pada akhirnya?"

Kalau Hendra bisa betulan memilih, sepertinya opsi pertama akan menyelamatkan dirinya. Yah, karena lawannya tentu tidak akan bisa menyerangnya kalau pagi hari datang. Orang lain akan mengetahui kalau ada sesuatu yang buruk terjadi kalau sampai mendengar suara letusan senjata. Lagi, tentunya bantuan yang Hendra minta akan datang kalau mereka bisa bertahan seperti ini lebih lama lagi.

Masalahnya adalah, tentu saja pilihan itu tidak akan pernah bisa jadi nyata. Kedua pilihan itu tidak akan pernah berlaku di sini. Apapun yang terjadi, orang yang ada di hadapannya ini akan tetap berusaha untuk membunuhnya. Tangan Hendra mulai pegal karena harus terus - terusan menodongkan senjatanya, dan dia harus segera bertindak.

Keadaan yang jadi hening selama beberapa saat itu membuat Hendra menajamkan pendengarannya. Hendra bisa mendengar kalau ada sebuah suara langkah kaki yang sangat lembut, yang membuatnya menyumpah di dalam hatinya. Tentu saja Adam tidak sendirian, dan ini berarti keadaannya akan jadi buruk sebentar lagi.

"Kalau begitu, aku pilih opsi ketiga. Aku akan menghadapi kalian, kalau perlu sampai nyawaku melayang. Aku sudah jauh - jauh kemari, jadi rasanya sayang juga kalau aku tidak ngapa - ngapain. Go big or go home, they said," kata Hendra.

Adam terkekeh, "Baiklah, kalau memang itu yang kau mau. Kurasa, itu bukanlah pilihan yang cerdas, tapi tentu saja, sesuai dengan keinginanmu."

Setelah perkataan Adam tadi selesai, ada puluhan lelaki bersenjata muncul dari tempat persembunyian mereka. Di manakah mereka bersembunyi selama keduanya saling berbicara rasanya tidaklah penting untuk diketahui saat ini. Satu hal yang pasti adalah, mereka mengepung kedua orang yang ada di ruangan itu sambil menodongkan senjata mereka masing - masing. Adam tersenyum dengan licik, kemudian dia menurunkan senjatanya dengan perlahan.

Sementara itu, Hendra masih mengokang senjatanya. Meski dia tahu hal ini mungkin akan terjadi, tetap saja Hendra menyumpah karenanya. Dia membenci situasi seperti ini. Hendra memperhatikan sekelilingnya, dan menghitung dengan cepat ada berapa orang yang mengepungnya. Walau begitu, sepertinya tidak perlu persamaan matematika yang rumit untuk mengatakan kalau semua ini sudah terencana dan Hendra tidak berada dalam posisi yang bagus.

Dengan perlahan, Adam menjauh dan keluar dari lingkaran pria yang mengepungnya. Kurasa, kalian bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Tanpa diperintah, para pria itu segera saja menembakkan senjata mereka ke arah Hendra setelah Adam pergi, dan sebuah baku tembak yang seru terjadi. Tindakan refleks yang dilakukan Hendra saat itu adalah untuk merunduk. Dia membiarkan tubuhnya merunduk, sambil berusaha untuk lari. Hendra harus keluar dari situ, kalau dia mau hidup lebih lama lagi.

Hendra memutuskan untuk berlari ke arah pintu masuk. Hal ini membuat lawannya malah menembakkan peluru ke sesama temannya, yang tentunya melukai beberapa orang. Hendra sendiri tergores beberapa peluru, tapi dia tetap berlari. Ketika melihat ke beberapa orang yang terluka, Hendra langsung saja memutuskan untuk menerjang beberapa orang yang ada di dekat pintu masuk. Hal ini membuat beberapa orang yang konsentrasinya terpecah itu kehilangan keseimbangannya dan membuka jalan ke arah pintu keluar, sehingga Hendra bisa melarikan diri dari ruang guru.

Hendra memutuskan untuk berlari ke sebelah kanannya. Kalau dia memilih koridor yang sebelah kiri, dia akan kembali menuju ke tangga, dan bisa saja di bawah sana sudah ada beberapa orang yang menunggunya. Hendra tahu kalau di ujung koridor itu buntu, tapi dia tahu apa yang harus dia lakukan.

Setelah sampai di ujung koridor, Hendra menaiki pagar pembatas koridor, kemudian dia melirik ke arah beberapa orang yang kini sudah berlari menyusulnya. Tanpa berpikir dua kali, Hendra meloncat ke koridor lain yang ada di seberangnya. Jaraknya mungkin hampir satu meter antar kedua koridor itu, tapi Hendra dapat mencapainya dengan baik. Hendra beruntung karena bangunan sekolah itu mengelilingi lapangan dan koridornya tadi berdekatan. Meski dia masih akan menemui orang lain yang mengejarnya, setidaknya dia bisa mengulur sedikit waktu.

Hendra melakukan sebuah loncatan yang cukup besar, dan dia mendarat dengan mulus. Setelahnya, Hendra berlari menuju ke tangga. Sambil berlari, dia mengambil tasnya dan mengeluarkan beberapa persediaan pelurunya. Ketika berhasil mengeluarkannya, dia sudah sampai di lantai bawah. Baru saja Hendra sampai, beberapa orang sudah menyambutnya dengan moncong senjata mereka.

Hal ini membuat Hendra mengumpat tiada hentinya di dalam hati. Hendra membawa rompi anti peluru yang Pak Indra biarkan dia menyimpannya, tapi hal itu tentu saja tidak cukup. Dia tidak akan bisa menggunakannya karena semua orang yang ada di hadapannya ini tidak akan diam dan membiarkannya melakukannya. Apalagi, dia hanya punya sebuah revolver dengan persediaan peluru terbatas. Ini akan jadi keadaan yang sulit bagi Hendra.

Keadaan jadi buruk dengan cepat, dan Hendra tidak tahu kalau kemungkinan kecil ini malah betulan terjadi. Awalnya, Hendra hanya mencoba untuk memancing beberapa orang bandar narkoba dari The Spiders. Tapi siapa yang tahu kalau The Killers sudah mengajukan beberapa petinggi mereka untuk membantu The Spiders? Kini, Hendra malah harus berurusan dengan Adam yang merupakan salah satu tangan kanan Mr. Heartless. Belum lagi pasukan penembak yang dia bawa dalam kesempatan kali ini.

Rasanya, akan sulit sekali bagi Hendra untuk bisa menang dari The Killers malam ini. Kelompok ini sudah banyak melakukan pembunuhan berencana yang sudah dirancang oleh beberapa kelompok Underground. Selain pintar dalam strategi, mereka juga bala tentara yang terlatih. Bisa apa Hendra sendirian di sana? Dia bahkan tidak sempat untuk memasang rompi anti peluru yang dia bawa. Dalam hatinya, Hendra berharap kalau bantuan yang dia minta bisa segera datang.

Walau begitu, Hendra tetap berusaha untuk maju. Satu lawan banyak memang kedengarannya mustahil untuk bisa dimenangkan oleh Hendra, tapi dia tetap berusaha untuk bertahan hidup. Hendra meletakkan ranselnya di depan tubuhnya, dengan harapan kalau dia bisa menghindari beberapa luka fatal. Punggungnya mungkin akan jadi titik yang rawan, tapi Hendra tidak peduli. Dia harus bisa bertahan di sini. Jangan sampai semuanya selesai di sini dengan begitu saja.

Hendra tetap berusaha untuk terus menembaki musuhnya, dan berhasil menjatuhkan beberapa orang dengan telak. Tapi beberapa dari mereka bangkit lagi. Hendra juga berusaha untuk menahan berbagai tembakan yang menyerangnya. Beberapa di antaranya dapat ditahan oleh rompi anti peluru yang ada di dalam tasnya, tapi ada juga beberapa pelor panas yang berhasil menggores tubuhnya dan meninggalkan sengatan yang menyakitkan. Ada yang mengenai lengan, kaki atau bahkan menggores leher dan bahunya.

Hendra berusaha untuk mengisi kembali peluru di senjatanya secepat yang dia bisa, sambil terus menahan serangan yang membabi buta. Jelas itu pertarungan yang tidak seimbang, dan Hendra hanya bisa menahannya sampai bantuan untuknya datang. Hendra hanya bisa berharap kalau dirinya tidak akan mengulangi kebodohan yang sama, seperti yang dikatakan oleh Adam tadi.

"Ugh, sial!" Seru Hendra dengan nada frustasi, lalu menembak musuhnya dengan kesal.

Dari sudut matanya, Hendra dapat melihat kalau Adam menyaksikan pertarungan yang tidak seimbang ini dari balkon di depan ruang guru. Kelihatannya dia terhibur sekali ketika melihat Hendra yang tengah kesusahan menghadapi lawannya. Tentu saja Adam senang karenanya, dan hal ini membuat Hendra berharap kalau teman - temannya akan segera sampai di tempat dia berada.

"Hahaha! Menyerah sajalah kamu!" seru Adam.

"TIDAK! TIDAK AKAN!!! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN BAJINGAN SEPERTI KALIAN UNTUK MENANG!!!" teriak Hendra.

"Aku heran kenapa kau begitu nekat dan keras kepala. Sama seperti kakekmu. Tapi sepertinya kau lebih nekat daripada dia."

"Hei, dia kan kakekku! Ya jangan salahkan aku dong kalau aku jadi seperti dia!"

"Kalian itu bodoh atau apa sih? Masa iya, dalam keadaan kepala ditodong pistol sekalipun, kalian tidak mau menyerah? Bukannya kalian bisa menentukan mana pilihan yang lebih mudah untuk kalian? Apa yang salah dengan otak orang - orang di keluarga Wardana sih?"

Di dalam hatinya, Hendra menjawab kalau ada banyak sekali hal yang tidak benar di dalam keluarganya. Setidaknya sejak 500 tahun lalu, keluarganya selalu tidak benar. Tidak peduli seberapa besar usaha untuk merubah diri di dalam keluarganya, atau campuran genetik baru macam apa yang kini ada di dalam keluarganya, atau berapa kali nama keluarganya bermetamorfosis jadi nama yang baru, tetap saja mereka semua terlibat dalam kekacauan dunia kriminal, dan rela melakukan apa saja demi menjaga warisan keluarga mereka. Warisan mungkin bisa saja terlupa, tapi generasi penerus keluaga Wardana selalu bisa untuk menjaga dan menghidupkan warisan itu.

"Kalau aku atau siapapun dari keluargaku yang memegang buku itu menyerah, Inkuria, dan dunia di mana keluarga kami berjejak, tidak akan pernah damai seperti sekarang, dan orang - orang tidak akan pernah tahu tentang keberadaan orang - orang paling busuk dalam sejarah sampai saat ini!"

"Huh? Kau naif sekali, bahkan lebih naif daripada kakekmu. Aku masih ingat apa kata - kata terbodoh yang pernah kamu ucapkan saat bertemu dengan Mr. Gloody. Kau bilang, "aku akan menamatkan sejarah Underground'. Bisa apa kau memangnya hah? Kau jangan sesumbar, kau tidak akan bisa melawan kekuatan kami. Apa kau mau seperti kakekmu, yang mati karena penjahat rendahan karena tubuhmu sudah terlalu ringkih untuk menghadapi kami?"

"Apa pedulimu padaku, hah?! Hidup yang aku miliki ini adalah hidupku, jadi sesukaku mau kuapan nyawaku ini!"

"Tetap keras kepala rupanya. Jujur saja, aku salut karena kau masih bisa hidup selama 16 tahun lebih setelah memilih jalan paling berbahaya yang keluargamu pernah ambil. Apalagi kau menghadapi The Gloody, yang kekuatannya sangat hebat. Tapi kau bisa meruntuhkannya sendirian. Aku tidak tahu keajaiban apa yang membuatmu bertahan, tapi aku yakin kalau keajaiban itu tidak akan bertahan lama."

Hendra terkekeh, "Tapi itu sudah membuktikan kalau aku punya kemampuan untuk meruntuhkan kalian, walau aku sendirian. Kalian sebegitu takutnya padaku, dan selalu mengerahkan banyak sekali orang hanya untuk memusnahkanku. Itu berarti aku sudah membuat kalian berpikir bahwa aku adalah seseorang yang mengancam keselamatan kalian. Aku bahkan sudah menumbangkan "raja" kalian, dan aku hanya belum menghabisi bidaknya."

"Kepercayaan dirimu boleh juga. Tapi, kami melakukan semua ini karena keluarga Wardana akan selalu menjadi ancaman bagi kami. Aku memperingatkanmu, kalau kau harus berhati - hati, karena bidak kami bisa saja tiba - tiba memakan bidakmu. Kau hanya punya enam orang yang bermata empat yang masih ingusan serta sekumpulan polisi bodoh. Mereka tidak akan berarti untuk meruntuhkan kami."

"Kita lihat saja. Tapi yang pasti, aku tidak akan menyerah, walau 'Black Note' itu harus kutukar dengan nyawaku sendiri."

"Kau yang bodoh, Hendra. Tidak seperti tiga generasi dari keluargamu yang sebelumnya berurusan dengan kami, kau adalah satu - satunya yang paling keras kepala. Kau mau melakukan semuanya sendirian, padahal kau bisa saja menyerahkan masalah ini kepada keturunanmu yang berikutnya. Kenapa kau malah tidak menikah atau memiliki anak sampai saat ini huh? Bukankah kalau kau pintar kau bisa wariskan semuanya pada anakmu?"

"Aku rasa aku tidak membutuhkan kehadiran mereka di hidupku untuk saat ini. Wanita bukan hal yang cocok buatku. Kau tanya kenapa aku tidak memiliki anak? Itu karena aku tidak mau memberikan penderitaan tak berkesudahan karena buku itu pada keturunanku kelak, beserta dengan keselamatan kota Inkuria ke tangan mereka. Aku mau, saat aku punya anak nanti, semua kisah di buku itu hanya seperti dongeng pengantar tidur baginya. Sebagai catatan sejarah yang mereka teruskan kalau mau. Tapi mereka akan percaya kalau ayahnya benar - benar pernah mengalami apa yang tertulis di buku itu.

"Huh? Kau yakin? Jadi kau ingin di masa depan nanti kami tidak ada, begitu? Bukannya akan lebih mudah kalau kau menyerah saja? Kalau kau tidak mempunyai buku itu, maka semuanya akan jadi lebih tenang, kan? Kau tidak perlu mengalami semua kepedihan ini."

Hendra terkekeh, "Kalau begitu, maka aku mengingkari keluargaku. Aku tidak akan membiarkan perjuangan mereka untuk melindungi warisan keluarga kami setelah sekian lama jadi sia - sia. Lagi, aku ingin menyelesaikan semua hal yang sudah aku mulai. Mungkin aku tidak bisa menumpas kejahatan sepenuhnya, tapi dengan tidak adanya kalian, aku bisa menumpas kekuatan besar yang selama ini diam - diam tumbuh di Inkuria. Aku mungkin agak gila karena melakukan hal seperti ini, tapi aku tidak peduli. Biarlah desingan peluru dan ceceran darah jadi saksi kalau aku pernah menegakkan kebenaran, walau hanya sekali."

Adam terdiam, karena dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Sementara itu, Hendra kembali menembak pelurunya pada para musuh. Jaketnya sudah robek di beberapa bagian, tapi Hendra masih tetap menembakkan sisa pelurunya. Luka yang ada di tubuh Hendra sudah cukup banyak dan beberap di antaranya mengucurkan banyak sekali darah. Sejumlah peluru mengenai sisi tubuhnya, bahkan ada satu yang nyaris mengenai kepalanya. Untung saja Hendra sempat berkelit saat itu, tapi entah bagaimana nanti, karena sepertinya Hendra sudah mulai kelelahan dan darah dari lukanya sudah banyak menetes ke tanah.

Kalau mau jujur, Adam agak gentar juga melihat apa yang dilakukan oleh Hendra. Adam sudah melihat banyak orang yang tidak takut mati selama bekerja di dunia kejahatan, tapi kasus Hendra ini beda lagi. Orang yang satu ini berani melawan arah arus hanya demi sesuatu yang dianggapnya benar. Hendra tidak melebih - lebihkan saat dia mengatakan bahwa dirinya sudah membuat takut Underground. Andai saja Hendra bisa mengumpulkan orang - orang yang tepat untuk membantunya mencapai idealismenya, maka bisa saja dia benar - benar meruntuhkan Underground. Dari apa yang Adam ketahui, sepertinya Hendra sudah menemukan orang - orang itu. Hal ini jelas menakutkan, dan orang - orang yang ada di bawah tanah tentunya tidak ingin kalau kehancuran mereka sampai terjadi.

Andai saja mereka tahu, maka sebenarnya sekarang idealisme Hendra sudah mulai mengendur. Dia sudah mulai bisa menerima keberadaan orang lain yang mau membantunya, dan beberapa di antaranya sudah mulai beraksi dan melakukan pekerjaan mereka. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai Hendra bisa menunjukkan orang - orang yang sudah dia kumpulkan dan apa saja yang bisa mereka lakukan. Ancaman ini tentunya akan membuat Underground semakin takut karenanya.

Musuh yang perlu Hendra hadapi di sekitarnya mungkin sudah berkurang separuhnya, tapi itu masih belum cukup. Masih ada banyak yang perlu untuk dia hadapi, dan Hendra sudah kehabisan peluru untuk pistolnya. Si pria memasukkan pistolnya ke dalam tasnya, lalu merunduk untuk mengambil sebuah AK - 47 yang dijatuhkan oleh beberapa lawannya yang sudah jatuh. Hendra menginjak perut dari salah satu pria yang terkapar di lantai, kemudian dia memakai senjatanya untuk menembaki lawannya.

Hendra selalu berusaha untuk melindungi dirinya dengan baik, terutama dengan keadaan punggungnya yang terbuka. Dia tidak berhenti bergerak, agar menyulitkan lawannya untuk menembak. Tapi tentu saja, hal ini menguras cukup banyak tenaganya. Hingga pada satu saat, ada beberapa peluru yang mengarah pada Hendra, dan dia tidak sempat mengelak. Ketika Hendra menoleh, barulah dia sadar kalau keadaannya gawat.

Hal ini membuat Hendra mengumpat di dalam hatinya. Peluru - peluru itu sudah dekat, dan hanya keajaiban kalau Hendra sampai bisa menghindarinya. Apalagi karena peluru - peluru itu menuju ke daerah tubuhnya yang rawan. Dugaan Hendra tepat, karena dia memang tidak sempat untuk menghindar. Peluru - peluru tadi menuju ke bagian tubuhnya yang tidak terlindung, dan mengenai perut sebelah kanan, paha kiri, dan paha kanannya. Tembakan ke arah perut merupakan salah satu hal yang dikhawatirkan Hendra akan terjadi. Luka seperti itu akan menyusahkannya.

Tembakan yang telak tadi membuat Hendra tidak bisa bertahan lama. Hendra sudah berusaha untuk menghindar, tapi tetap saja dia tidak bisa melawan apa yang akan terjadi. Dalam proses menghindar itu, Hendra kehilangan keseimbangannya. Peluru yang melesat ke arahnya juga memberikan dorongan tersendiri pada tubuhnya, yang membuat Hendra tidak akan bisa kembali berdiri dengan kakinya. Hendra membiarkan dirinya pasrah mengikuti hukum gravitasi, dan jatuh ke lantai.

Tempatnya berdiri dekat dengan beberapa anak tangga dari semen yang berada di depan setiap kelas. Hal ini membuat kepala bagian belakang Hendra terantuk anak tangga itu dengan cukup keras. Benturan itu terasa cukup menyakitkan, dan Hendra bisa merasakan kalau pandangannya jadi berkunang - kunang karena benturan tadi. Walau Hendra masih sadar, tapi matanya sudah mulai berat. Darah yang dikeluarkan oleh lukanya juga sangat banyak dan membuat tubuh Hendra semakin lemas. Si pria mengumpat habis - habisan dalam hatinya, yang disahut dengan sebuah suara tawa menggelegar dari Adam.

"Sudah kubilang kan? Akan lebih baik jika kau menyerah saja!" seru Adam.

"Tidak, aku tidak akan pernah menyerah pada kalian! Selama aku masih bernapas, aku tidak akan pernah menyerah!" teriak Hendra, sekeras yang dia bisa.

Hendra tahu kalau dia harus segera mengakhiri semua ini sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Jadi, Hendra meraih AK - 47 yang tadi dia campakkan, dan dia menggunakannya untuk membantunya berdiri. Dia memegangi lukanya agar darahnya tidak merembes, tapi hal itu tentunya sia - sia. Dengan tangan penuh darah, dia kembali membidik musuhnya, berusaha melakukannya seakurat yang dia bisa.

Hal ini tentunya tidak mudah untuk dilakukan, tapi Hendra berusaha memaksa tubuhnya agar mau bekerja sama dengannya. Hendra ingin bertahan, setidaknya sampai dia mendapatkan bantuan. Hendra dapat merasakan kalau kepalanya mulai pusing karena kehilangan darah, kemudian dia terbatuk, dan batuknya itu mengeluarkan darah. Meski begitu, Hendra tidak peduli dan tetap melanjutkan menembaki musuhnya.

Pemandangan ini tentunya mengerikan. Bahkan Adam yang terbiasa melihat berbahai jenis kematian saja menganggap kalau Hendra melakukan hal yang gila. Dia tidak biasanya melihat ada seseorang yang dengan gagah berani melawan kematiannya sendiri, dan itu agak menakutkan. Melihat sebuah semangat yang membakar di mata Hendra cukup menakutkan, karena kalau mau, tentunya pria ini bisa melakukan apa saja yang dia mau. Walau begitu, Adam harus tetap terlihat kuat di hadapan musuhnya.

"Kau bodoh ya? Kau sudah sampai di ambang hidupmu, dan kamu masih saja bertahan? Kalau aku jadi kau, maka aku akan menyerah," ujar Adam.

"Aku kan sudah bilang kalau aku tidak peduli pada hidupku sendiri. Kalau aku memang harus mati sekarang juga, aku tidak akan mempermasalahkannya. Hidupku tidak berguna, karena tidak banyak hal berarti yang aku lakukan di dalamnya. Tapi jika aku mengingat kalau aku pernah berkorban untuk orang lain ketika aku akan mati, maka aku bisa bilang kalau aku tidak menyesal telah hidup di dunia ini."

Hendra tersenyum, dan dia terus menembak. Entah karena gentar oleh semangat Hendra atau apa, ada beberapa orang yang mundur dan berhenti menembak, lalu membawa tubuh beberapa temannya pergi untuk diselamatkan. Hal ini membuat Adam jadi ikut gentar. Dapat terlihat kalau tubuhnya agak gemetar, karena pasukannya saja ada yang berani menarik diri mereka tanpa perintahnya. Semangat ala setan milik Hendra sepertinya mulai memengaruhi mereka.

Tapi, ada juga penyerang yang masih bertahan dan tetap menembaki Hendra. Darah kini membanjiri tanah di dekat Hendra, dan ada beberapa tembakan lagi yang mengenai kakinya, sehingga Hendra kembali terjatuh. Kali ini, Hendra kembali mencoba untuk bangkit, tapi dia tak bisa melakukannya. Energinya sudah banyak terkuras, dan hanya tinggal menunggu waktu saja sampai Hendra kehilangan kesadarannya.

Entah sejak kapan, tapi Adam kini sudah turun dari balkon. Kini dia berdiri di dekat Hendra, dan memandang musuhnya. Hendra membalas pandangan itu, dan dia bisa menemukan sesuatu yang lain di dalamnya. Tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikiran Hendra, tapi kelihatannya dia cukup senang karena apa yang dia lihat dari pandangan Adam.

Adam tertawa jahat, dan Hendra bernapas dengan berat. Hendra berpikir, kalau Adam memang mau membunuhnya, maka dia berharap kalau pria yang satu ini akan melakukannya sekarang. Tentunya Hendra tidak ingin tersiksa lebih lama lagi jika dia bisa.

Tapi, harapan itu tidak terkabul. Adam menoyor kepala Hendra dengan kakinya, kemudian menendangnya beberapa kali dengan cukup keras. Tendangan itu tidak menimbulkan luka, tapi Hendra bisa merasakan kalau ada suara kemeratak dari tulang lehernya. Dalam hatinya, Hendra berharap kalau tidak akan ada yang patah dari tubuhnya, terutama karena kini dia bisa merasakan kalau kepalanya berdenyut karena nyeri yang sangat hebat.

"Kau adalah orang yang sangat menarik. Kurasa kali ini aku akan mencukupkan seranganku. Untuk kali ini, aku akan membiarkan kamu untuk tetap hidup. Karena aku suka dengan semangatmu, dan aku tidak sepenuhnya jahat seperti yang kau kira. Selain itu, aku ingin di saat terakhir dalam hidupmu nanti, kamu akan melihat bahwa Underground akan jadi sumber kekuasaan tertinggi di Inkuria," kata Adam.

"Tidak akan, jika aku masih bisa hidup sampai saat itu. Seharusnya kau bunuh saja aku, kurasa itu akan jadi akhir cerita yang lebih baik untukmu," sahut Hendra, dengan sisa tenaga yang dia punya.

Adam terkekeh, "Kau masih bisa bersuara? Aku salut. Tak heran kamu bisa menaklukan The Gloody sendirian, kau memang agak sinting. Tapi kurasa sekarang sudah cukup bagiku untuk memberi peringatan bagimu, dan aku harus pergi. Sampai jumpa, dan tidak akan ada yang namanya lain kali."

Dengan cepat, pasukan itu menarik diri dan mengikuti atasan mereka. Semua orang segera pergi dari sekolah itu, dengan membawa serta rekan - rekan mereka yang terluka. Meninggalkan Hendra di sana sendirian. Ketika mereka sudah pergi, Hendra terkekeh, karena dia tidak percaya kalau dia bisa selamat.

Siapa yang tahu kalau bersikap keras kepala rupanya malah membuatnya selamat? Hendra kira Adam akan benar - benar membunuhnya malam ini. Tapi ketika melihat tatapan Adam untuk terakhir kalinya, kini Hendra tahu apa yang dia sudah lakukan kepada pria itu. Adam gentar, karena lawannya yang masa bodoh dengan hal lain yang seharusnya penting bagi Hendra. Ada sebuah perasaan tidak tega karena Adam harus membuat Hendra terluka seperti itu, yang tentunya cukup menarik bagi orang yang sebenarnya bisa saja menghilangkan nyawa Hendra malam ini juga.

Setelah terdiam selama beberapa saat, Hendra menghela sebuah napas lega. Dia bersyukur karena saat ini dia masih bisa bertahan hidup. Dengan susah payah, dia membalikkan tubuhnya ke posisi terlentang dan berusaha mengambil tasnya. Di dalam sana ada beberapa benda yang biasa dibawanya, dan juga sebuah rompi anti peluru yang tadi cukup membantunya. Hendra berusaha untuk mengambil ponselnya, karena sekarang dia sangat membutuhkannya.

Ketika sudah mendapatkannya, Hendra menggeser kunci ponselnya. Hendra perlu untuk menelepon kali ini, agar dia bisa mendapatkan bantuan dengan cepat. Dia tentunya tidak akan bertahan lama kalau dia hanya diam saja di sana. Pandangannya kini mula terasa kabur, jadi Hendra harus cepat. Kepalanya berdenyut - denyut dan kepalanya sangat pusing, membuat Hendra khawatir kalau ada sesuatu yang gawat terjadi pada dirinya. Adam mungkin tidak membunuh Hendra, tapi Hendra tidak tahu apakah dia bisa menahan semua luka yang dia dapatkan ataukah tubuhnya sudah mencapai batasnya. Semoga saja Pak Indra tidak keberatan untuk menyelamatkan Hendra kali ini, entah untuk yang keberapa kalinya.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top