Chapter 3 : Sebuah Petunjuk (Bagi Hendra)
Seperti yang dijanjikan, keesokan paginya, anggota EG Group serta Hendra sudah kembali berada di bawah jembatan layang tempat Hendra menemukan mayat semalam, untuk melanjutkan pemeriksaan mereka terhadap TKP. Kali ini, Rendi dan Arin juga ada berada bersama mereka. Keduanya sudah mendengarkan penjelasan singkat dari Pak Indra, dan membantu rekan - rekan mereka untuk memeriksa tempat kejadian dengan seksama.
Karena hari itu adalah hari Minggu, maka keadaan di sekeliling sedikit berbeda dari biasanya. Banyak petugas yang berpakaian preman, dan bahkan EG Group juga tampil dengan pakaian yang santai. Hendra hampir saja ingin menanyakan masalah ini, tapi dia akhirnya sadar kenapa mereka berpakaian bebas. Toh, sebenarnya hari itu bukanlah hari kerja untuk mereka, jadi tidak ada salahnya untuk mengenakan sesuatu yang lebih nyaman.
Selain itu, keadaan jalanan cukup ramai daripada biasanya. Karena hari itu hari Minggu, itu berarti bahwa akan diadakan hari bebas kendaraan di jalan - jalan protokol di Inkuria. Salah satu kawasan yang menjadi tempat aturan itu berlaku adalah yang berada di dekat jembatan layang.
Di sekitar mereka, bisa terlihat ada banyak orang yang memutuskan untuk bangun pagi dan berolahraga bersama teman, keluarga atau pasangan. Mereka berlalu lalang dengan santai sambil bercakap - cakap dan bercanda, menikmati hari libur mereka. Ada beberapa orang yang memilih untuk mengayuh sepeda atau bahkan menaiki sepatu roda. Kelihatannya mereka menikmati waktu libur mereka.
Tapi, tentunya keadaan ini berbeda di TKP. Para polisi dan petugas yang ada di sana harus bekerja untuk mengamankan tempat, dan EG Group harus mengecek adakah sesuatu yang mencurigakan atau tertinggal dari pemeriksaan yang sudah mereka lakukan.
Keberadaan orang yang berkerumun di bawah jembatan layang tentunya menarik para warga yang melewati mereka. Tempat mereka berada biasanya digunakan beberapa orang untuk senam atau anak - anak muda berkumpul dengan klub mereka, tapi kali ini lokasi itu diberi garis polisi. Ada banyak orang penasaran yang berusaha melirik ke arah TKP untuk mengetahui apa yang terjadi, dan para petugas yang berada di sekeliling TKP berusaha untuk menghalau mereka.
Dari kejauhan, Hendra memperhatikan kerumunan itu. Dia sudah dengan sengaja mengenakan jaket hoodie hari ini, dan menutupi wajahnya sebisa mungkin. Memang, mungkin tidak akan ada yang peduli dengan kehadirannya di sini dan jika dia menutupi dirinya seperti itu, maka orang lain akan mencurigai keberadaannya. Tapi, Hendra tidak bisa ambil resiko. Dia tidak ingin jika ada orang lain yang mengenalinya dan berpikir bahwa dia adalah si Hoodie Detective yang merupakan legenda di Inkuria. Hendra mungkin agak khawatir, tapi setidaknya para petugas yang ada bisa menghalangi pandangan orang lain terhadap dirinya.
Hendra menghela napasnya ketika dia sekali lagi melirik ke arah kerumunan orang yang ada di dekat TKP. Ah, kalau saja Hendra tidak memilih jalan hidup yang ribet, maka pastinya dia akan menjadi salah satu dari orang - orang itu. Dia akan menikmati liburannya hari ini, dan penasaran kenapa ada garis polisi di bawah jembatan layang. Semuanya akan normal baginya.
Tapi, Hendra tentunya tidak perlu meratapi nasibnya seperti itu. Dia sendiri yang memilih untuk meneruskan pekerjaan kakeknya. Kalau dia memang ingin, tentu saja dulu dia bisa memilih untuk jadi seperti ayahnya yang tidak ingin menyentuh soal kejahatan bawah tanah Inkuria. Ini adalah pilihannya, jadi dia harus hidup dengan pilihan yang dia miliki.
Semalam, Hendra nyaris tidak bisa tidur. Setelah dia pulang, benda yang pertama dicarinya adalah buku catatan hitam yang diwariskan kakeknya. Dia bahkan tidak memikirkan sedikitpun soal pekerjaannya yang belum selesai. Hal pertama yang dia lakukan adalah menuliskan apa yang ada di dalam pikirannya, dan apa kemungkinan yang sebenarnya terjadi.
Ketika dia selesai menuliskan semuanya, Hendra masih tidak merasa lega. Di dalam kepalanya, dia berusaha mencari penyelesaian masalah akan apa yang sedang dihadapinya ini. Dia tahu kalau hal misterius yang berada di tangannya ini bisa jadi cukup berbahaya, dan dia harus melakukan sesuatu. Hanya dia yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi, dan hanya dia yang tahu bagaimana cara menghentikannya. Hal ini membuatnya asyik mondar - mandir di kamarnya sambil berpikir, hingga akhirnya dia lelah dan tertidur pada jam tiga malam.
Dalam hatinya, Hendra meyakini kalau dia tahu apa yang terjadi. Hanya saja, dia butuh sebuah petunjuk untuk meyakinkan dirinya bahwa dia berada di jejak yang benar. Hendra tidak mau menduga terlalu dini, karena bisa saja tebakannya salah dan keadaannya tidak seburuk yang dia duga.
Tapi kalau memang tebakannya benar, maka dirinya berada dalam keadaan yang cukup gawat. Lawan yang ada di hadapannya mungkin lebih besar daripada apa yang dia bisa tangani sendirian, dan itu membuatnya takut. Karena itulah Hendra mengatakannya kepada Nira. Dia takut kalau bisa saja itu adalah saat terakhirnya bertemu dengan Nira, dan Hendra tentunya tidak ingin hal seperti itu terjadi dalam hidupnya. Nasib Hendra boleh jadi memang cukup tragis karena Tuhan sering kali memberikan nasib yang 'jahat" padanya, tapi dia tidak ingin semuanya berakhir dengan tragis.
Di sisi lain, Delia meluangkan waktu sejenak untuk memperhatikan Hendra. Mungkin dia tidak seperti Yoshi yang mengenal pria aneh satu ini seumur hidupnya karena mereka masih sepupu. Tapi, Delia tahu betul dunia macam apa tempat pak gurunya berada. Kehidupannya tidak pernah aman, dan jujur saja Delia kadang agak khawatir pada Hendra.
Dari apa yang bisa Delia amati, sepertinya Hendra tengah berpikir keras. Meski tidak ada kata apapun terucap di antara mereka, Delia sudah memahami ekspresi macam apa yang ada di wajah Hendra. Wajahnya terlihat serius, dan Delia merasakan kalau Hendra jadi agak tegang karena kasus ini.
Delia tentunya tidak tahu apa persisnya yang ada di dalam kepala Hendra, tapi dia tahu sedikit banyak akan seberapa banyak masalah yang ada di dalam kepala pria itu. Mungkin saja Hendra tahu sesuatu, dan hal inilah yang membuatnya terlihat tegang. Si perempuan tersenyum, dan dia memutuskan kalau dia tidak suka ekspresi tegang di wajah pak gurunya, dan dia akan mengubahnya sedikit.
"Hei, kenapa itu wajah ditekuk terus sih pak? Sedih ya karena nggak bisa jalan sama Bu Nira lagi? Biasanya juga kalian nempel terus, kayak pipa paralon yang ditempelin pakai lem super," tanya Delia, sambil menyikut Hendra.
Sang guru memandang tajam ke arah Delia sejenak, kemudian dia memutar bola matanya dengan jengah. Anak muridnya yang satu ini memang kadang suka keterlaluan bercandanya, dan bisa saja suatu hari nanti dia malah termakan karma karena apa yang dilakukannya pada Hendra. Tapi, bibir Hendra malah menampakkan sebuah senyuman.
Hendra tahu kalau maksud dari Delia tadi adalah untuk bercanda, karena dia ingin mengendurkan suasana hati pak gurunya. Hendra hanya perlu untuk melirik wajah Delia, dan dia akan tahu maksud sebenarnya dari perkataan muridnya. Di dalam hatinya, sang guru mengapresiasi usaha Delia untuk menghiburnya. Karena jujur saja, walau dia agak kesal, apa yang dilakukannya tadi cukup membantu.
"Masa iya aku bawa Nira ke tempat begini? Dia pasti sudah kenyang kubawa berpetualang di kasus - kasus terdahulu. Lagi, kemarin itu kan kebetulan dia ada di sini karena kami baru saja selesai nonton film," sahut Hendra.
"Oh, jadi ceritanya bapak nggak mau Bu Nira kenapa - napa, nih? Wah, kok romantis ya?"
Hendra menjitak kepala Delia, "Heh, kamu ini. Memangnya kenapa kalau dia nggak ada di sini? Kan memang lebih baik kalau Nira nggak ada di sini."
Delia mengelus kepalanya yang tadi terkena jitakan Hendra. Meski dia harus mengaduh kesakitan selama beberapa saat, rasanya usahanya terbayarkan karena apa yang dilakukannya. Kini, pak gurunya terlihat lebih rileks, dan dia juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sebenarnya ingin dia tanyakan.
"Habis, kalian nempel terus sih. Tuh, Pak Indra saja kelihatannya cukup curiga sama kalian. Kamu niat mau ngambil istri orang ya?"
"Ya enggak lah! Masa iya aku pergi sama dia buat nonton kalian malah curiga sih? Kan aku diajakin sama Nira!"
Pertentangan ini tentunya menarik perhatian rekan - rekan mereka. Yoshi hanya tersenyum ketika menyaksikan kelakuan kekasihnya. Dia toh tidak akan bisa mencegah hal itu terjadi, dan dia tidak akan melakukannya. Yoshi tahu apa maksud Delia, jadi dia membiarkannya saja. Sementara itu, Rendi dan Arin hanya bisa berpandangan satu sama lainnya dalam kebingungan, karena mereka berdua belum terlalu terbiasa dengan kelakuan guru dan murid yang tidak biasa ini.
"Hei, kalian ini ya? Kebiasaan kalian berdua kok jelek betul, setiap kali ketemu malah berantem terus? Simpan buat lain kali dong, kan masih ada yang perlu kita lakukan sekarang ini," kata Pak Indra.
Hendra dan Delia memandang Pak Indra sesaat, sebelum akhirnya mereka memandang satu sama lainnya. Satu hal yang tidak diketahui oleh teman - teman mereka adalah, Delia sebenarnya berusaha untuk menyampaikan sesuatu pada Hendra. Pesan itu bisa diterima oleh Hendra, dan mereka berdua hanya diam soal itu.
Di sisi lain, Pak Indra tak habis pikir masalah kelakuan dua orang ini. Bukannya karena mereka mengganggu, tapi karena beliau tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka lakukan. Iya, dari luar sepertinya mereka sedang bercanda, dan mereka memang cukup dekat dan akrab. Tapi masih ada beberapa hal yang Pak Indra tidak mengerti dari hubungan keduanya.
Kini, setelah distraksi itu selesai, mereka kembali fokus melakukan pekerjaan mereka. Pak Indra dan Bu Risa menanyai beberapa orang dengan tujuan untuk mencari seorang saksi, dan yang lainnya mengumpulkan apa saja yang menurut mereka bisa digunakan sebagai petunjuk atau sesuatu yang penting bagi penyelidikan mereka. Hendra sendiri mengedarkan pandangannya ke sekitar area TKP, berusaha untuk melihat detil yang ada di sekelilingnya.
Hendra kini mengedarkan pandangan matanya ke bekas bercak darah yang ada di sekelilingnya. Dia menemukan ada yang berada di tanah, dan ada juga yang menempel di pilar jembatan layang dan menodai desain grafiti yang mewarnai pilar itu. Semua bercak darah itu terlihat abstrak, dan Hendra tidak tahu apakah dia bisa menemukan sesuatu di antaranya.
Di dalam dirinya, Hendra berharap bahwa ada pesan tertentu yang ditinggalkan, baik dari si korban sesaat sebelum kematiannya, atau dari si pelaku untuk memberi sedikit petunjuk akan di mana keberadaannya. Sayangnya, semua jejak darah dan selongsong peluru terlalu abstrak untuk meninggalkan jejak sebagai sebuah pesan.
Tapi, jejak darah Hendra itu membantu sedikit untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Hendra mengamati jejak yang ada di pilar jembatan layang, dan dari arah cipratannya, sepertinya mungkin saja si korban terpojok ke pilar itu sebelum akhirnya dieksekusi oleh si pelaku. Tempatnya juga dekat dengan lokasi ditemukannya si mayat, jadi semuanya masuk akal.
Aneh juga, karena Hendra entah kenapa berharap kalau ada pesan tertentu yang ditinggalkan di tempat ini. Dia tidak peduli siapa di antara pelaku atau korban yang meninggalkan pesannya, karena menurut Hendra, seharusnya ada sesuatu di sini. Dia tahu kalau kemungkinan besar permainan ini adalah untuknya, jadi dia tahu kalau dia akan mendapatkan pesan khusus yang tidak akan dimengerti oleh orang lain selain dirinya.
Setelah puas memandangi pilar, Hendra kini memandang ke arah tanah. Di bawah kakinya itu ada sebuah lantai dari semen, yang merupakan area di mana pilar - pilar penyangga jembatan layang berada. Ketika dia memandang lagi ke sekitarnya, barulah Hendra sadar kalau tempat ini tidak terlalu terbuka seperti apa yang dia kira.
Di kiri dan kanannya, tepatnya di bagian yang berbatasan dengan jalan raya, ada tanaman yang merupakan semak - semak yang cukup tebal. Lagi, mereka berada di satu bagian terendah di bawah jembatan layang itu, yang membuat bagian bawah jembatan layang nyaris menyentuh kepala Hendra. Di bawah bagian tertingginya ada sebuah perempatan, dan sebuah pos penjagaan polisi yang melindungi pemandangan dari jalan raya. Semak - semak tadi juga menutupi bagian sisi jalanan dengan baik.
Satu hal yang diperlukan agar bisa melakukan kejahatan di tempat seperti ini adalah, tidak adanya orang di pos penjagan itu. Karena pelakunya bisa membawa korban mereka yang kemungkinan besar sudah diikat dan terluka dengan mudah, berarti tidak ada yang berjaga di pos polisi itu. Keadaannya cukup tertutup, dan harinya hujan. Orang - orang yang ada di jalanan tentunya akan lebih fokus pada perjalanan mereka dan untuk berkendara dengan baik karena harinya saat itu hujan. Tentunya masuk akal kenapa tidak ada yang memperhatikannya. Walau ada suara letusan senjata, sepertinya tidak akan ada yang peduli.
Ketika Hendra sadar akan hal itu, dia merasakan ada sesuatu yang terhubung di dalam kepalanya. Rasanya masuk akal kenapa si pelaku memilih tempat ini. Dia terlihat tapi juga tersembunyi. Dia menarik perhatian, tapi juga tidak menjadi pusat perhatian. Hanya orang dengan kebiasaan mengamati keadaan sekeliling dengan mendetil yang mungkin akan menyadari hal ini. Kalaupun bukan Hendra yang menemukan mayat itu, pada akhirnya Hendra toh akan tertarik pada misteri yang satu ini, karena lokasinya yang tidak biasa.
Sejak awal, Hendra tahu kalau dia tengah dipancing. Tapi ketika dia menyadari hal ini, dia tetap merasa kesal sendiri. Nalurinya memang bagus, tapi secara tidak langsung dia juga membiarkan dirinya masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan untuk dirinya. Walau begitu, apa boleh buat? Toh, pada akhirnya Hendra akan tetap berhadapan dengan masalah ini.
Sebuah nada dering mengganggu pemikiran Hendra yang intens. Dia menyadari kalau itu berasal dari ponselnya, jadi langsung saja Hendra mengangkat telepon yang masuk tadi. Ketika Hendra mengangkatnya, sebuah suara yang familiar baginya bisa terdengar di seberang sambungan.
"Hendra, apa kau sudah lihat berita pagi ini? Aku sebenarnya tidak bersimpati akan kematian Rizky atas apa yang sudah dilakukannya, tapi aku khawatir, Ndra. Aku tahu beberapa hal soal mereka, dan kurasa aku akan menjadi sasaran berikutnya," kata seseorang di seberang sambungan.
Hendra menghela napasnya. Ya, dia tahu kalau ini akan terjadi. Rizky tidak akan jadi korban yang pertama dan terakhir. Semua ini baru saja dimulai, dan Hendra harus bisa memainkan kartunya dengan baik atau taruhannya akan membuat kekacauan yang lebih besar jika sampai jatuh ke tangan lawan.
"Aku tahu, Jon. Aku sendiri malah yang menemukan mayatnya. Awalnya, aku ragu. Tapi kini, aku bisa meyakini kalau tidak lain dan tidak bukan ini adalah permainan mereka," sahut Hendra.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus melakukan sesuatu?"
"Jaga dirimu dan keluargamu baik - baik. Teman - temannya Jameson pasti akan bisa membantumu. Aku juga akan berusaha untuk melakukan sesuatu seputar hal ini."
"Baiklah. Aku tahu kalau aku bisa percaya padamu. Tapi, kuharap kau bisa melakukan sesuatu segera."
"Doakan saja aku bisa menyelesaikan semuanya, Jon. Aku akan bertemu dengan Jameson siang ini, semoga saja dia bisa memberikanku beberapa informasi yang aku butuhkan."
"Aku akan selalu mendoakanmu, kawan. Berhati - hatilah. Sampai nanti, Ndra."
Panggilan itu berakhir, dan beberapa rekannya meliriknya dengan penasaran. Hendra hanya bisa membalas lirikan mereka dengan sebuah senyuman, karena dia tidak ingin mengatakan sesuatu yang membuat teman - temannya panik. Mereka mungkin ingin menanyakan sesuatu, tapi sayangnya kesempatan itu terpotong karena tiba - tiba saja Arin mengatakan sesuatu.
"Sayang sekali di sini tanahnya di semen. Kalau tidak, pasti kita bisa lihat jejak kakinya. Semalam kan hujan, jadi tanah yang becek pasti bisa membantu," ujar Arin.
"Tapi itu kayaknya nggak berguna deh Rin. Ini kan di bawah jembatan layang. Tidak akan ada air yang tempias ke sini kalau hujan. Kalau memang antara pelaku dan korban ini berlarian menembus hujan, pasti jejak mereka sudah terhapus. Di sekitar kita juga ada jalan raya, jadi tidak ada tempat di mana jejak dapat terlihat," kata Delia.
"Benar kata Delia. Padahal aku berharap ada sesuatu yang tertinggal atau apalah. Tapi aku tidak bisa menemukan apapun," sahut Bu Risa.
Hendra terkekeh, "Percuma saja, ketika datang ke sini, itulah hal yang pertama kali aku berusaha untuk cari. Tapi seperti yang kalian lihat, di sini tidak akan ada jejak apapun yang tertinggal. Lalu, kalau kalian sadar, tempat ini tidaklah terlalu terbuka. Tidak heran kalau orang lain tidak menyadari apa yang terjadi di sini, apalagi ketika hari hujan," kata Hendra.
Yoshi melirik ke sekelilingnya, kemudian tersenyum kecut, "Semak - semak ya? Ah, desain kota kita memang bagus, tapi aku tidak tahu kalau ada yang bisa memanfaatkannya untuk hal seperti itu," sahut Yoshi.
"Oke, lalu sekarang, kita ngapain?" tanya Rendi.
"Indra masih menanyai beberapa orang yang bekerja di dekat sini. Semoga saja dia bisa menemukan beberapa saksi yang bisa membantu," jawab Bu Risa.
Hendra mengangguk, kemudian dia melangkah sedikit menjauh dari posisinya sekarang berada. Teman - temannya yang lain kembali berpencar, kalau - kalau mereka melihat sesuatu yang menarik. Kini, Hendra memutuskan untuk mengedarkan pandangannya ke pilar - pilar jembatan layang yang ada di sekitarnya. Dia ingin sedikit menenangkan pikirannya dengan melihat berbagai desain grafiti kreatif yang ada di pilar - pilar itu.
Pilar - pilar tersebut dihias dengan berbagai macam desain dan simbol yang digambar menggunakan cat semprot. Berbagai warna menghiasi, dan terlihat kontras satu sama lainnya. Kelihatannya agak berantakan, tapi kalau diperhatikan, sebenarnya ada banyak hal keren di dalamnya. Ketika memandangnya, Hendra teringat kalau beberapa bulan lalu memang diadakan sebuah kontes grafiti, sekalian untuk menghiasi pilar - pilar yang ada di bawah jembatan layang itu.
Yoshi sepertinya juga tertarik seperti Hendra, jadi dia ikut memperhatikan grafiti yang ada di sekelilingnya. Berbagai desain menarik memanjakan matanya, dan Yoshi terkekeh karenanya.
"Melihat semua ini, aku jadi ingat saat aku masih kecil. Saat itu, aku suka sekali membaca komik Doraemon, bahkan sampai ingin untuk jadi komikus," kata Yoshi.
Hendra terkekeh, "Cocok sih sebetulnya sama kamu. Kan, sebelumnya kamu mau jadi arsitek atau penulis, ya?" sahut Hendra.
"Ya, begitulah. Tapi aku malah jadi polisi. Kan lucu juga."
"Hei, tapi kamu memang punya keahlian menggambar yang bagus! Lain kali, kamu harus coba buat sesuatu!"
"Hm, bukan ide yang jelek sebenarnya. Aku harus coba nanti, kalau aku punya waktu luang. Rasanya keren juga ya, bisa menghias dinding seperti ini?"
Hendra terdiam setelahnya, dan kembali fokus pada satu pilar tempat di mana bercak darah korban berada. Di sana, ada sebuah desain abstrak yang menggunakan warna bernuansa metalik seperti biru, abu - abu dan perak. Gambarnya memang abstrak, tapi Hendra mengamatinya selama beberapa saat. Setelah dia mundur beberapa langkah, matanya menangkap sesuatu dari gambar itu.
Apa yang Hendra temukan di gambar membuatnya kaget. Bahkan dia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Orang lain mungkin tidak akan menemukannya, tapi ada satu makna khusus di gambar itu. Sekali lagi, Hendra memperhatikan grafiti tersebut dari atas ke bawah, memastikan kalau dia benar akan apa yang dilihatnya.
Setelah melihatnya sekali lagi, Hendra kini yakin akan apa yang dilihatnya. Dia kembali terdiam dan memikirkan sesuatu. Ketika Hendra berhasil mendapatkan kesimpulan akan apa yang dia pikirkan, dia tersenyum. Perubahan ekspresi ini membuat Yoshi agak penasaran, terutama karena dia memang memperhatikan Hendra. Yoshi mencoba mengamati pilar yang tadi diperhatikan oleh Hendra, tapi tentunya dia tidak bisa melihat apa yang Hendra lihat.
Belum sempat Yoshi menyahut untuk menanyakan apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Hendra, Pak Indra tiba - tiba saja datang. Tapi, beliau tidak sendirian. Dia membawa seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam sekuriti, lengkap dengan peluit dan pentungannya. Dari tanda pengenal yang tersemat di dadanya, dapat diketahui bahwa beliau bernama Mulyadi.
"Ah, melelahkan juga rasanya mencari seseorang yang melihat sesuatu di sekitar sini. Tapi setidaknya, kini kita mendapatkan seseorang. Perkenalkan, ini Pak Mulyadi, satpam yang bekerja di dealer mobil dekat sini," kata Pak Indra.
Setelah sebuah perkenalan singkat, si satpam memulai pernyataannya. Pada awalnya, semuanya biasa saja, dan kalau mau jujur, Pak Mulyadi tidak merasakan kalau ada kejadian aneh semalam sebelum dia mendengarkan pertanyaan dari Pak Indra. Tapi setelah beliau mengingat lagi apa yang terjadi semalam, sepertinya apa yang dia lihat ini adalah satu hal yang cukup penting untuk diceritakan.
Pak Mulyadi memulai ceritanya dengan bagaimana suasana malam itu. Seperti yang diketahui, tadi malam sempat turun hujan, dan hujan ini cukup deras. Kejadian ini terjadi sekitar jam setengah sembilan malam, dan berlangsung selama setidaknya satu jam. Dealer tempat Pak Mulyadi bekerja berada di satu sisi jalan dan pos jaganya memiliki sebuah jendela yang berhadapan dengan jembatan layang. Sebagaimana satpam pada umumnya, dia berjaga, bersama seorang rekannya yang mengambil cuti hari ini.
Setelah hujan telah berlangsung selama setengah jam, Pak Mulyadi melihat kalau ada sebuah mobil yang berhenti di bawah jembatan layang, tepat di sebelah pos jaga polisi lalu lintas yang ada di sana. Beliau bisa melihat empat orang turun dari sebuah mobil, dan menuju ke bagian jembatan layang yang lebih rendah. Dua orang terlihat memegangi satu orang di antara mereka, dan terlihat kalau orang yang di tengah ini bergerak dengan tingkah yang ganas. Satu orang lainnya berjalan mendahului mereka. Pak Mulyadi tidak mencurigainya, tapi pandangannya kini terarah lurus ke arah jembatan layang itu, karena dia penasaran.
Hujannya cukup deras, dan jarak antara pos jaga Pak Mulyadi dan jembatan layang lumayan jauh, jadi beliau tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di sana. Walau begitu, di satu saat, terlihat gestur yang cukup terburu - buru, seperti ada beberapa orang yang tengah berlari. Semak yang berada di sisi jalanan itu membuat Pak Mulyadi hanya bisa melihat kepala mereka, dan apa yang mereka lakukan tidak terlihat. Apa saja bisa terjadi saat itu.
Setelah beberapa saat kemudian, kejar - kejaran mereka berhenti. Pada saat hujan itu, petir beberapa kali terdengar menyambar, tapi entah kenapa Pak Mulyadi merasakan kalau satu suara letusan nyaring yang dia dengar saat itu bukanlah suara dari petir. Terdengar juga beberapa letusan lainnya yang lebih kecil, dan entah kenapa ada banyak sekali letusan seperti itu selama empat orang itu ada di sana.
Ketika kejar - kejaran tadi berhenti, tiga orang terlihat berdiri di dekat satu sama lainnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya mereka melangkah ke dekat mobil yang membawa mereka. Ketika mereka menaiki mobil, Pak Mulyadi yakin kalau hanya tiga orang yang masuk ke dalamnya. Tiga orang itu masuk ke kendaraan mereka, dan segera pergi.
Mobil itu sempat lewat di dekat pos Pak Mulyadi. Dia tidak terlalu memperhatikannya saat itu, tapi mobil yang mereka naiki cukup berkelas. Beliau dapat mengenali sebuah mobil Toyota Rush berwarna hitam lewat, dan setelahnya mereka menghilang begitu saja dalam keramaian kota.
Pak Mulyadi menambahkan sedikit detil akan orang yang dilihatnya. Beliau tidak bisa memastikan apa yang dia lihat, tapi tiga orang yang kembali ke mobil itu mengenakan pakaian serba hitam, dan mereka menutupi wajah mereka. Sementara itu, orang yang satunya terlihat agak beda sendiri, karena dia mengenakan kemeja berwarna kemerahan.
Itulah beberapa hal yang bisa dituturkan oleh Pak Mulyadi. Setelah beliau selesai menuturkan ceritanya, Pak Indra berbasa - basi sedikit dengan si satpam, sebelum akhirnya Pak Mulyadi pamit undur diri. Beliau segera saja pergi dan kembali ke pekerjaannya, meninggalkan EG Group dan Hendra yang memandang satu sama lain. Anggota EG Group kini penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi, tapi Hendra tidak terkejut sama sekali dengan pengakuan dari Pak Mulyadi.
"Nah Ndra, ada sesuatu yang muncul di dalam kepalamu? Kalau menurut saya, kita tentunya tidak akan bisa dengan mudah menemukan pelaku yang kita cari, karena tidak banyak yang bisa kita temukan," tanya Pak Indra.
Hendra terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia tersenyum, "Menurutku, Pak Mulyadi seharusnya mendapatkan promosi dari bosnya. Pengamatannya cukup bagus, karena tentunya tidak akan ada banyak orang yang peduli dengan apa yang orang lain lakukan di situasi yang seperti itu. Lalu, bagaimana dengan hasil autopsi? Apa Pak Dani sudah selesai?" ujar Hendra.
"Hm, dari kabar yang aku dengar sih, dia dan timnya sudah selesai memeriksa tubuh korban. Jadi seharusnya, dia bisa memberikan kita beberapa informasi yang berguna."
"Kalau begitu, bagaimana jika kita berkunjung ke ruangan beliau? Aku ingin tahu apa saja yang sebenarnya terjadi pada pria itu."
"Yah, sepertinya sih tidak ada salahnya. Kalau kalian sudah selesai, kita bisa langsung menemui Pak Dani."
Anggota EG Group yang lainnya mengangguk. Mereka sudah selesai mengumpulkan apa yang mereka bisa, jadi sepertinya akan lebih baik kalau mereka segera beralih. Pak Dani mungkin punya penemuan menarik atau sesuatu yang perlu untuk beliau sampaikan seputar mayat korban.
~~~~~
"Siapa yang tahu kalau aku akan dapat teman kencan tadi malam? Aku harus berterima kasih soal itu pada kalian," kata Lukman.
Kini EG Group dan Hendra sudah ada di dalam ruang kerja milik Pak Dani dan timnya. Lukman juga berada di sana, dan menyambut tujuh orang yang datang ke ruangan mereka itu.
"Kadang aku curiga, kamu ini normal atau tidak sih Man? Apa jangan - jangan kamu menderita nekrofilia?" tanya Pak Dani, yang kini juga ikut menghampiri rekan - rekannya.
Pernyataan tadi membuat Lukman tertawa, "Hei, pernyataan saya ini kan maksudnya sarkastik, pak. Saya masih waras kok! Cuma yah, dengan apa yang mereka bawakan malam tadi, kan saya jadi ada sesuatu yang bisa dikerjakan, bukannya hanya menemani bapak main catur."
Pak Dani terkekeh, "Iya, iya. Saya paham maksudmu kok. Saya kan tadi juga cuma bercanda. Nah, jadi bagaimana dengan penyelidikan kalian di TKP? Ada sesuatu yang kalian temukan?"
Pak Indra menggeleng, "Ada seorang saksi, tapi karena dia tidak berada di jarak yang cukup dekat untuk mengamati ciri - ciri pelaku, jadi kami tidak bisa mengidentifikasi mereka secara rinci. Lalu, tidak ada jejak apapun yang bisa membantu kami untuk mengetahui identitas mereka. Itu sejauh apa yang kami dapatkan. Entah apa yang ada di dalam kepala Hendra, bisa jadi dia tahu sesuatu," jawab Pak Indra.
Hendra tersenyum, "Ada beberapa hal yang mengganggu saya, karena untuk alasan tertentu, tindakan mereka terlalu bersih. Tapi tempat mereka melakukan kejahatan itu cukup bahaya. Saya masih perlu berpikir soal ini terlebih dahulu," kata Hendra.
"Hm, baiklah. Apa yang ingin kalian ketahui soal si korban?" tanya Pak Dani.
"Sejauh apa hasil yang sudah kalian dapatkan?"
"Lukanya cukup banyak juga. Ada 21 tusukan di punggung korban, dan tusukannya cukup dalam. Lalu, ada sekitar 48 goresan di kakinya, kemungkinan juga dari pisau. Bagian depan tubuhnya memar - memar. Tapi apa yang membunuhnya adalah tembakan di belakang kepalanya. Pelurunya sudah berhasil dikeluarkan, dan berasal dari sejenis pistol genggam."
"Pasti menyakitkan. Pria ini disiksa terlebih dahulu dengan pukulan di beberapa bagian yang cukup fatal di tubuh bagian depan, lalu dibuat lemas dengan tusukan dan luka yang dia terima. Akhirnya, baru dia ditembak untuk mengakhirinya," kata Lukman.
"Kalian kemarin malam juga sudah melihat apa yang berada di TKP, kan? Apa yang menurut kalian menarik dari sana?" tanya Hendra.
"Tidak ada cukup banyak darah di sana. Seharusnya dia kehilangan banyak darah, karena lukanya cukup parah. Hasil penelitian kami juga membuktikan kalau korban kehilangan banyak sekali darah. Tapi, hanya ada sedikit jejak darah yang berada di kepalanya ketika kami memeriksa TKP. Dari bentuknya sih, kemungkinan itu terciprat saat korban ditembak."
Hendra terkekeh, "Kalian tahu apa alasannya hal itu bisa terjadi?"
Mereka terdiam sejenak, berusaha memikirkan keganjilan itu. Setelah diingat lagi, tidak ada genangan darah di sekitar TKP. Hanya ada beberapa bercak dan cipratan saja. Semuanya berpikir akan apa yang sebenarnya terjadi, hingga akhirnya Rendi mengatakan sesuatu.
"Dia tidak ditusuk di bawah jembatan layang? Jadi, sebelum korban berada di sana, dia sudah terlebih dahulu terluka, sehingga tidak ada ceceran darah di TKP?" tanya Rendi.
Hendra mengangguk, "Seratus buat kamu, Ren. Menurut saya, dia memang sudah ditahan dan disiksa oleh pelakunya di tempat lain, sebelum akhirnya dibawa ke jembatan layang. Karena itulah si pria hanya bisa melawan sejenak sebelum akhirnya menyerah. Lalu, Pak Mulyadi bilang kalau salah satu orang yang dilihatnya memakai kemeja berwarna kemerahan, kan? Ya itu karena darahnya, dan tentu kalian sudah lihat sendiri. Kalian tentunya bisa lihat kalau kemeja korban sebenarnya berwarna putih, kan?"
"Begitu ya? Tapi tentunya kita tidak bisa menghabiskan waktu dengan mencari sebuah mobil Toyota Rush yang kursi penumpangnya berlumuran darah, kan? Kita butuh sesuatu yang lebih daripada itu," ujar Yoshi.
"Ya jelas lah, masa iya kalian mau mencari sampai ke ujung kota cuma untuk menemukan mobil itu? Mereka bisa saja sudah membersihkannya ketika kalian sudah menemukannya."
"Lalu, bagaimana soal keluarga korban? Mereka sudah tahu, kan?" tanya Delia.
Bu Risa mengangguk, "Trio Koplak yang mengabari mereka. Tadi saat di jalan, aku membaca pesan dari mereka. Katanya, pihak keluarga tidak melihat ada apapun yang mencurigakan dari si korban. Mereka hanya tahu kalau korban ada janji temu malam itu," jawab Bu Risa.
Pak Indra menghela napasnya, "Nah, sepertinya tidak ada banyak hal yang bisa membantu kita. Kapan hasil resmi autopsi korban bisa selesai?" tanya Pak Indra.
"Mungkin nanti sore. Apa kami harus siapkan juga agar jenazahnya bisa langsung diserahkan ke pihak keluarga?" tanya Pak Dani.
"Kurasa ya. Kalau tidak ada apa - apa lagi, mungkin saja bisa langsung diserahkan ke pihak keluarga," sahut Hendra.
Baru saja Pak Indra ingin menanyakan respon dari Hendra, ketika sebuah suara nada dering ponsel menginterupsi. Semua orang melirik satu sama lainnya, untuk mengetahui asal suara itu. Hendra terkekeh, dan dia mengambil ponselnya.
Setelah merogoh saku celananya, Hendra bisa mendapatkan ponselnya. Dia melirik siapa yang menelponnya, kemudian dia terkekeh. Langsung saja Hendra mengangkat telepon itu.
"Halo? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hendra.
"Ah, halo, Hoodie Detective. Senang bisa bicara langsung denganmu," kata seseorang dari seberang sambungan.
Hendra terkekeh, karena dia bisa mengenali suara itu dengan sangat baik. Sementara itu, teman - temannya penasaran akan siapa yang tiba - tiba menelponnya dan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak bisa mendengar suara si penelpon, karena itulah mereka tidak tahu. Sementara itu, Hendra hanya melirik rekan - rekannya sambil tersenyum.
"Oh, rupanya kau. Aku sudah bisa menebak kalau itu kamu, tidak mungkin aku tidak mengenali aksenmu."
Lawan bicara Hendra terkekeh, "Senang karena rupanya aku bisa menarik perhatian orang sibuk sepertimu. Jadi, apa kau sudah mendapatkan teka - teki kecil yang aku berikan padamu?"
"Tentu saja. Aku bisa melihat 'titik kecil' yang kalian tinggalkan itu. Sangat pintar. Aku menyukainya."
"Jadi, kau sudah mendapatkan jejak itu? Aku terkesan. Kukira kau masih penasaran akan ulah siapa sebenarnya kejadian ini."
"Tentu saja aku tahu. Mungkin aku tidak langsung tahu, tapi toh aku lebih cepat daripada kau. Kalau aku bodoh, pasti aku sudah ada di tangan kalian. Sekarang, katakan apa maumu. Aku tidak punya banyak waktu, setelah ini aku masih ada janji makan siang."
"Tentu saja aku ingin bermain. Aku suka bermain, kau tahu? Aku baru saja menunjukkan boneka favoritku padamu. Tapi sayangnya, dia adalah boneka yang nakal, jadi aku ingin memberikannya padamu. Aku tidak suka boneka yang terlalu banyak bicara."
"Aku juga tidak suka boneka yang kamu berikan, dia jelek dan kotor. Kau tidak perlu memancingku seperti ini, kawan. Bilang saja kalau kau ingin bermain denganku."
"Ah, baiklah kalau begitu! Kau sangat baik sekali, Hoodie Detective! Jadi, kuanggap kau ingin memainkan sebuah permainan denganku?"
"Yah, apa salahnya? Jadi, apa yang ingin kau mainkan?"
"Hm, sebenarnya aku masih bingung. Bagaimana kalau nanti aku beri tahu kau apa yang ingin aku mainkan?"
"Baiklah, kalau itu maumu. Apa yang bisa aku lakukan, coba? Toh aku memang sudah ada dalam permainan ini."
"Ah, bagus! Kita akan mengobrol lagi, Hoodie Man. Sampai nanti!"
Sambungan telponnya terputus, dan Hendra terkekeh. Orang lain yang ada di ruangan itu hanya bisa diam sambil melirik ke arah Hendra. Tentu saja si pria menyadari kalau semua mata tertuju kepadanya, dan memberinya tatapan seperti meminta penjelasan akan apa yang baru saja terjadi.
Tapi, bukan Hendra namanya, kalau dia tidak iseng. Dia balas menatap teman - temannya, kemudian memasang tampang terpolos yang dia punya.
"Ada apa?" tanya Hendra, berpura - pura tidak mengerti akan maksud tatapan teman - temannya.
Di dalam hati mereka, orang - orang ini tentunya kesal akan kelakuan Hendra yang satu itu. Orang yang satu ini tentu saja tahu alasan kenapa mereka menatapnya seperti itu. Tapi, mereka menahan diri mereka untuk tidak langsung menghajar Hendra. Untungnya, ada Pak Indra yang bisa mengendalikan emosinya dengan baik, sehingga beliau bisa mengajukan pertanyaan tanpa melayangkan tinjunya ke wajah Hendra.
"Hendra, kamu tahu sesuatu ya?" tanya Pak Indra.
Hendra menatap Pak Indra, kemudian beralih ke semua temannya. Tentu saja Hendra tahu sesuatu, tapi dia tidak tahu apakah dirinya harus memberitahukan semuanya. Dia masih tidak tahu apa yang dia hadapi, meski lawan yang ada di hadapannya ini sudah jelas siapa. Setelah beberapa saat, Hendra memutuskan kalau mungkin ini belum saatnya.
"Tentu saja aku tahu sesuatu. Aku tahu terlalu banyak hal soal kota ini dan apa saja yang terjadi di dalamnya, terutama soal kejahatan. Aku bisa beritahu kalian kalau aku tahu siapa yang kemungkinan besar saat ini tengah aku hadapi dan apa yang mereka mau, tapi aku masih tidak tahu permainan macam apa yang mereka inginkan aku terlibat di dalamnya," jawab Hendra.
"Ini ulah mereka, ya?" tanya Delia.
Hendra mengangguk, "Kurasa kalian bisa tebak sendiri siapa mereka ini, secara umum. Tapi, sekarang bukan saat yang tepat memberitahukan apa yang aku ketahui. Dalam sudut pandangku sendiri, aku masih berusaha mencari tahu bahaya macam apa yang ada di hadapanku ini. Jadi, aku tidak akan menjelaskannya sekarang. Aku janji kalau sudah saatnya, aku akan memberitahukannya pada kalian."
"Seberat itukah masalahnya?" tanya Bu Risa.
"Lebih parah daripada apa yang kalian kira. Aku tidak ingin kalian kenapa - napa kalau sampai kalian terlibat langsung. Tapi aku janji, kalau aku perlu bantuan, maka kalian adalah orang - orang pertama yang akan aku hubungi."
Pak Indra bertukar pandangan dengan Hendra selama beberapa saat. Beliau bisa melihat kalau sebenarnya Hendra sangat khawatir, yang tidak biasanya ekspresi seperti itu bisa terlihat di wajahnya. Pak Indra merasa kalau masalah ini memang serius, dan sepertinya akan lebih baik jika Hendra menghadapinya dengan caranya sendiri.
"Baiklah, kurasa akan lebih baik jika kamu cari tahu dulu apa yang mereka mau. Tapi, kamu harus berjanji kalau kamu akan memberitahukan semuanya di saat yang tepat, atau setidaknya sebelum semuanya jadi gawat. Aku tidak mau kau melakukan hal gila seperti saat itu," kata Pak Indra.
Hendra terkekeh. Tentu saja Pak Indra tidak akan membiarkannya menyongsong bahaya sendirian seperti saat itu. Lagipula, Hendra tidak sebodoh seperti saat dia masih lebih muda. Dirinya di masa lalu memanglah agak goblok, dan dia berniat untuk tidak mengulangi kegoblokan yang sama di masa depan.
"Tentu saja. Aku tidak mau mati sebelum saat yang tepat."
Pernyataan itu membuat semua orang tidak perlu lagi mempertanyakan apa yang ada di dalam kepala Hendra. Semoga saja dia bisa melakukan sesuatu, dan tidak melakukan hal bodoh yang tidak diperlukan. Pak Indra menghembuskan napasnya dengan lega, sementara itu Hendra tersenyum sambil melirik jam tangannya.
"Nah, ada lagi yang mau kalian tanyakan?" tanya Pak Dani.
"Saya rasa tidak. Aku sudah mendapatkan semua hal yang aku butuhkan. Lagipula, aku juga harus segera pergi. Ada janji makan siang yang penting hari ini. Aku akan temui lagi kalian kalau ada hal yang penting, ya?" jawab Hendra.
Dengan begitu saja, Hendra memutuskan untuk pamit pada teman - temannya dan segera pergi dari ruangan itu. Semua rekannya hanya bisa memandang kepergiannya dalam diam. Sepertinya, tidak ada gunanya sedekat apapun kau dengan seorang Hendra Wardana, karena akan masih saja ada banyak hal yang tidak kau ketahui dan atau pahami darinya.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top