Chapter 2 : Cipratan Darah di Bawah Jembatan Layang
Karena Nira belum menyadari apa yang dilihat Hendra saat itu, si pria memutuskan untuk menyadarkannya. Dia melirik ke arah Nira yang kini memasang ekspresi bingung karena tiba - tiba saja Hendra malah meliriknya.
"Ra, aku melihat warna merah di bawah jembatan layang," ujar Hendra.
Nira sudah paham betul apa maksud pernyataan Hendra tadi. Ada beberapa kalimat tertentu yang kadang digunakan Hendra untuk mengindikasikan hal yang berhubungan dengan kejahatan, dan salah satunya adalah "warna merah". Nira kini berusaha memperhatikan sekelilingnya, untuk mencari di mana Hendra melihat hal yang membuat instingnya terpanggil.
"Darah? Kau yakin?" tanya Nira.
"Aku yakin. Lebih baik kita cek saja, karena firasatku benar - benar tidak enak."
Setelah lampu lalu lintas menyala hijau, Hendra langsung saja mengendarai motornya mendekat ke tempat di mana benda mencurigakan itu berada. Kedua orang itu turun dari kendaraan mereka, lalu Hendra langsung melangkah menuju ke tempat di mana dia melihat hal menarik itu.
Ketika mereka mendekat, Hendra melihat ada sebuah gundukan yang ditutupi oleh jas hitam. Dari bau anyir yang mereka bisa cium, hanya ada satu kemungkinan yang ada. Selain itu, beberapa noda merah bisa terlihat di sekitar sana. Sebuah jas menutupi bagian punggung dan sebagian kepala si korban, yang membuat si pria semakin penasaran. Hendra menjauhkan sedikit jas hitam itu dari bagian kepala orang itu, lalu dia tersenyum saat melihat apa yang ada di hadapannya.
"Ra, rupanya firasatku memang tidak salah," kata Hendra.
Nira kini memperhatikan dengan seksama apa yang ada di hadapannya selama beberapa saat. Pemandangan yang tersaji di hadapannya ini kelihatan tak pantas untuk dilihat saat sedang makan atau setelah makan, karena akan langsung menimbulkan sensasi mual dan menghilangkan selera makan. Di hadapannya kini ada tubuh seorang pria yang berada dalam posisi telungkup, dan punggungnya dihiasi dengan luka tusuk dan darah, dengan sebuah lubang di kepalanya yang kini bisa Nira sebut sebagai luka tembak.
Pada keadaan normal, seharusnya para perempuan akan mual dengan pemandangan ini. Tapi, Nira sudah pernah terlibat beberapa petualangan dengan Hendra, jadi dia sudah terbiasa akan pemandangan yang ada di hadapannya. Nira melirik ke arah Hendra, lalu dia mengedikkan bahunya.
"Tunggu apa lagi? Kurasa akan lebih baik jika kau segera hubungi teman - temanmu," kata Nira.
"Aku baru saja mau melakukannya, tahu."
Hendra merogoh saku celananya, lalu mengambil ponselnya yang berada di sana. Setelah beberapa saat, dia menemukan nomor telepon Yoshi dan langsung meneleponnya. Hendra berharap kalau sepupunya tidak terlalu asyik kencan dengan Delia, karena tentunya keadaan ini cukup penting. Untungnya, harapan Hendra itu terkabulkan, karena dalam tiga kali deringan, Yoshi langsung mengangkat telponnya.
"Halo Ndra? Ada apa kamu telepon jam segini? Jangan bilang kamu lagi - lagi terlibat dalam masalah," tanya Yoshi.
Perkataan Yoshi ini membuat Hendra terkekeh. Tak heran kalau sepupunya menanyakan hal itu, karena terlibat "masalah" adalah salah satu keahlian Hendra. Terutama karena akhir - akhir ini memang para cecunguk dari Underground mengincar Hendra dengan sedemikian rupanya. Telepon dari Hendra jarang membawa kabar baik, jadi sepertinya Yoshi tidak akan kaget kalau Hendra berada di dalam masalah lainnya.
Di seberang sambungan, Yoshi hanya bisa menggeleng. Dia tahu kalau sepupunya yang satu ini penuh dengan kejutan, tapi tentunya agak menyebalkan juga kalau dia memberi "kejutan" saat dia tengah kencan. Delia yang ada di hadapannya hanya bisa terkekeh, tahu akan kelakuan pak gurunya. Delia sudah hapal akan kelakuan Hendra, jadi rasanya tidak aneh kalau dia tidak kaget karena telepon yang diterima oleh Yoshi itu.
Entah kenapa, Yoshi bisa merasakan kalau Hendra terdengar bangga dari caranya terkekeh. Yah, yang kita bahas ini Hendra. Jadi, jangan heran kalau dia bangga akan penemuannya ini.
Hendra kini sudah berhenti menertawakan respon Yoshi tadi, dan dia mencoba untuk mengetahui kenapa alasannya Yoshi terdengar sarkastik begitu. Sesaat, Hendra dapat mendengarkan suara keramaian sebagai latar belakang yang ada di seberang sambungan. Langsung saja Hendra dapat mengetahui kalau Yoshi mungkin tidak berada di rumah. Kemungkinan terbesar yang bagi Hendra paling masuk akal adalah, Yoshi tengah kencan dengan Delia.
"Aku tidak terlibat masalah, bisa aku jamin. Tapi, di sini ada sedikit masalah. Kuharap kau segera ke sini, Yo. Karena di bawah jembatan layang ada sesuatu yang sangat menarik. Kamu tunda dulu kencanmu dengan Delia, aku rasa kalian akan tertarik dengan apa yang aku temukan. Sementara menunggu kalian datang, aku akan menghubungi Pak Indra," kata Hendra.
"Ini kamu serius, Ndra?" tanya Yoshi, yang agak kaget karena Hendra tidak berbasa - basi.
Yoshi memang agak kaget, tapi tidak lama kemudian dia mengerti kenapa Hendra berkata begitu. Tentu saja Hendra bisa tahu kalau dirinya tengah kencan dengan Delia, karena suara berisik di sekeliling mereka. Yoshi kemudian melirik Delia, yang kini menatapnya dengan serius. Kalau memang sepupunya ini serius, seharusnya apa yang Hendra punya di lokasinya saat ini memanglah menarik. Tidak ada salahnya jika mereka mengeceknya.
"Iyalah. Coba deh kamu datang ke sini, kamu akan mengerti kenapa."
"Ya sudah kalau begitu. Aku sama Delia akan ke sana sebentar lagi."
Panggilan mereka tidak berlangsung lama, karena Yoshi tentunya tahu betul apa maksud sepupunya ini. Kalau Hendra bilang hal ini menarik dan penting, tidak diragukan lagi kalau telah terjadi sesuatu. Yoshi segera saja meluncur ke lokasi bersama dengan Delia, tanpa banyak bertanya lagi.
Delia juga tidak banyak bertanya, karena dia mengerti akan situasi yang mereka miliki, jadi dia menurut saja. Toh, pak gurunya yang eksentrik itu pasti punya sesuatu yang penting untuk dia tunjukkan. Kemungkinan besar mereka akan mendapatkan kasus baru, jadi Delia tentunya bersemangat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara itu, Hendra kembali menuju ke kontaknya dan menghubungi Pak Indra. Beliau juga harus tahu akan hal ini, karena yah, beliau adalah ketua dari Sub Divisi Penyelidikan Kriminal di Kepolisian Inkuria. Keberadaan beliau juga penting. Pak Indra mengangkat teleponnya dengan segera, karena dia melihat nama Hendra sebagai pemanggilnya.
Setelah beliau mendengarkan situasi apa yang terjadi di tempatnya, Pak Indra juga langsung menuju ke lokasi tempat Hendra berada. Beliau tidak banyak membuang waktu dengan menanyakan apa yang terjadi, toh dia akan tahu apa jawabannya. Apapun yang terjadi, ini kemungkinan adalah sebuah kasus dan Hendra memang memerlukan dirinya. Karena itulah beliau tidak membuang waktu dan juga segera menyusul Hendra ke jembatan layang yang dimaksud bersama dengan istrinya.
Hendra mengantongi kembali ponselnya, dan menatap Nira selama beberapa saat. Mereka berdua berpandangan sejenak, sebelum akhirnya Hendra mengedarkan pandangannya ke arah mayat yang ada di depan mereka.
"Kurasa, akan lebih baik jika kita melakukan sesuatu sebelum mereka datang. Mengecek keberadaan mayat ini adalah pilihan terbaik yang kita punya, dan sepertinya tidak ada salahnya jika kita melakukannya," kata Hendra.
"Lebih tepatnya sih kau. Kan aku tidak punya kemampuan untuk memeriksa hal seperti ini. Aku akan biarkan kau melakukan pekerjaanmu, dan jika EG Group datang, aku akan memberitahumu," sahut Nira.
Hendra terkekeh, kemudian dia mendekati mayat yang ada di hadapannya, kemudian berjongkok. Dia menggunakan cahaya dari senter saku yang selalu dia bawa kemana - mana untuk melihat keadaan dengan lebih jelas. Hal pertama yang Hendra lakukan adalah menyibak jas hitam itu lebih lebar lagi dari tubuh kaku yang ada di hadapannya, agar dia bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Hendra berusaha memeriksa mayat itu dengan seksama, seteliti yang dia bisa.
Sementara itu, Nira membiarkan Hendra melakukan pekerjaannya, dan jujur saja dia tertarik akan apa yang dilihatnya. Sudah sering Nira melihat mayat dan Hendra beraksi, dan sepertinya kasus - kasus yang didapatkan oleh temannya itu adalah hal yang sangat menarik, atau ganjil, dan bisa saja campuran dari keduanya. Sambil mengawasi keadaan di sekitar mereka, Nira memutuskan untuk memperhatikan apa yang Hendra lakukan.
Hendra memulainya dengan mengamati ciri fisik dan luka apa saja yang ada di tubuh si korban. Bisa terlihat bagian belakang kepala korban yang mulai botak, dan sisa rambutnya yang memutih. Dari rambutnya yang pendek, Hendra merasa kalau mungkin saja korban adalah seorang pria paruh baya. Tubuhnya juga terlihat agak tambun, yang membuat Hendra berpikir mungkin saja kalau dia adalah seorang pekerja kantoran. Apalagi dengan jas yang menutupi tubuh korban, memang mungkin kalau dia bekerja di kantor. Toh, tempat mereka berada sekarang ini memang terletak di sekitar kawasan perkantoran di Inkuria.
Hal mencolok pertama yang Hendra perhatikan setelah selesai mengidenfikiasi korban secara umum adalah luka tusukan yang ada di punggungnya, dengan darah yang membanjiri kemeja putih yang dikenakan korban. Rupanya jas yang berada di atasnya menutupi semua luka itu. Dengan cepat, Hendra menghitung berapa banyak luka tusukan yang bisa dia lihat. Beberapa lukanya ada yang tumpang tindih, tapi Hendra bisa mendapatkan setidaknya 21 luka tusuk. Cukup banyak, dan Hendra jadi agak ngeri sendiri membayangkan bagaimana cara pria ini mati.
Tapi, luka korban tidak hanya itu. Hendra bisa melihat ceceran darah dari bagian belakang kepala korban, dan sebuah lubang menuju ke dalam isi kepala korban. Hendra bisa melihat kalau itu adalah sebuah luka tembakan, tapi dia tidak tahu peluru apa yang menembus batok kepala korban ini. Walau begitu, lukanya cukup dalam, jadi mungkin saja senjatanya berkekuatan besar.
Perhatian Hendra teralihkan pada keadaan lengan korban. Dia menemukan kalau kedua lengannya telah diikat menjadi satu dengan sebuah dasi berwarna merah. Hendra tidak punya dugaan selain bahwa korban telah dilumpuhkan sebelum dieksekusi. Ini masuk akal, karena siapa sih yang akan diam kalau seseorang mengancam sambil mengacungkan pisau di hadapan hidungmu? Tentunya tidak ada yang akan diam saja. Tapi pria ini sepertinya tidak punya pilihan lain, jadi dia terpaksa harus menerima semua tusukan itu.
Hendra memperhatikan sekujur tubuh korban, untuk mencari hal ganjil lainnya. Sebuah kacamata tergeletak tak jauh dari wajah korban, sepertinya milik si korban. Pakaian kerja yang melekat di tubuh korban ini cukup rapi dan berkelas, jadi Hendra berpikir mungkin saja orang ini punya posisi yang cukup penting. Selain itu, sepatu yang dia kenakan dipoles dengan baik dan kelihatannya cukup mahal. Tapi ketika melihat kaki korban, Hendra mengernyitkan alisnya.
Ada banyak sekali goresan yang terdapat di betis korban. Bahkan beberapa goresan itu mengoyak sedikit sepatunya. Hendra jadi berpikir, apakah mungkin kalau pembunuhnya yang dengan sengaja melukai kaki korban? Kalau memang iya, maka ini berarti hal ini sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melumpuhkan korban. Kalau tidak, maka ini bisa jadi adalah usaha dari korban untuk melepaskan diri dari pelaku, dan dalam prosesnya dia terluka karenanya. Tapi, Hendra kembali mengamatinya, dan melihat ada banyak sekali robekan di bagian bawah celana korban. Kalau dipikir, rasanya tidak mungkin ini tidak sengaja.
Setelahnya, Hendra berdiri. Untuk sementara ini, Hendra masih tidak berani menyentuh tubuh korban. Dia tidak ingin meninggalkan jejak sidik jari di tubuh korban, dan dia juga tidak membawa sarung tangan yang bisa membantunya untuk menjamah korban dengan lebih seksama lagi. Mungkin kalau rekan - rekannya sudah datang, dia akan bisa mendapatkan bantuan untuk meneliti dengan lebih seksama lagi.
Hendra kini mengamati sekelilingnya. Dia bisa melihat kalau pilar - pilar di jembatan layang ini dihiasi oleh grafiti, tapi dia tidak akan bisa mengamati semuanya malam ini karena penerangan yang minim. Walau begitu, Hendra tetap bisa menemukan bercak - bercak darah yang berhamburan di sekelilingnya. Bercak itulah yang menarik perhatian Hendra tadinya, dan kemungkinan besar adalah ceceran dari darah korban.
Selain bercak darah, Hendra bisa menemukan beberapa lubang bekas peluru di pilar - pilar jembatan layang. Di dalam hatinya, dia berharap apapun yang sudah ditembakkan di sini bukanlah sesuatu yang berkekuatan besar, karena dia khawatir kalau itu bisa merapuhkan fondasi jembatan layang yang ada di atas kepalanya. Kalau sampai Hendra mati karena tertimpa reruntuhan jembatan layang kan tidak lucu ceritanya.
Di sekitarnya, Hendra bisa melihat kalau ada banyak bekas selongsong peluru yang berhamburan. Hendra berjongkok kembali, dan memperhatikan selongsong peluru tadi. Dia menghela napasnya lega, karena Hendra mengenalinya sebagai selongsong dari peluru revolver. Jadi, sepertinya kerusakan yang terjadi di tempat ini tidaklah terlalu parah.
Setelah berhasil mengumpulkan apa saja yang bisa dia lihat, otak Hendra langsung berpacu untuk menyusun kemungkinan apa saja yang mungkin terjadi. Walau begitu, Hendra masih merasakan ada banyak hal yang belum lengkap dalam kasus ini. Mungkin nanti dia akan bisa melengkapinya, tapi untuk sekarang, bisa jadi dia punya sedikit ide.
Hal ganjil pertama yang Hendra sadari adalah, bagaimana caranya mereka bisa sampai di sini, mengeksekusi korban, dan tidak menimbulkan kecurigaan di tempat yang terbuka seperti ini. Yah, memang sebelumnya harinya hujan, dan Hendra sendiri tidak tahu sederas apa hujannya karena dia berada di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Tapi, masa sih tidak ada orang di sekitar sini yang tertarik akan apa yang terjadi?
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, kenapa pelakunya memilih tempat yang mencolok? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Apakah ini hanya sekedar untuk mencari sensasi belaka, atau ada tujuan lainnya? Atau malah bisa saja keduanya? Lalu, apa motifnya? Apakah ada dendam, atau alasan lainnya yang menurut si pelaku masuk akal sebagai alasan bahwa pria ini harus dimusnahkan?
Nira memperhatikan bagaimana Hendra bergulat dengan pikirannya sendiri dalam diam. Apapun yang berada di dalam kepalanya, Nira tidak akan bisa menebaknya. Hendra punya pola pikir yang cukup rumit, jadi tidak ada gunanya Nira berusaha menebaknya sendiri. Tapi dari apa yang dilihatnya, kini sepertinya Hendra tengah berpikir. Pandangan Hendra terfokus pada si korban, sambil mengerutkan alisnya. Nira memutuskan kalau lebih baik dia menanyakan apa yang sebenarnya ada di dalam kepala Hendra.
"Jadi, apa kamu sudah menemukan sesuatu?" tanya Nira.
Perkataan Nira tadi melemparkan Hendra kembali ke dunia nyata. Dia terlalu asyik bergulat dengan isi kepalanya sendiri, dan berusaha untuk menyusun sejuta kemungkinan akan apa saja yang sudah terjadi. Hingga akhirnya kini dia sadar kalau Nira bersamanya. Hendra tersenyum, kemudian dia melirik ke arah Nira.
"Masih agak dini untuk membuat spekulasi, tapi aku bisa menemukan beberapa keganjilan yang ada di tempat ini. Membunuh seseorang di sini bukanlah sesuatu yang mudah, tapi entah bagaimana hal itu bisa terjadi di sini. Tempat ini terlalu mencolok, dan aneh karena tidak ada seorangpun yang menyadari kalau seseorang terbunuh di sini," sahut Hendra.
Nira mengangguk, menyetujui perkataan Hendra. Memang aneh, karena pada awalnya Nira tidak percaya kalau mereka menemukan seseorang yang telah tewas di bawah jembatan layang. Kini Nira juga jadi ikut penasaran akan misteri yang tidak biasa ini.
Tidak lama setelah perbincangan itu, bisa terlihat sebuah kendaraan membelok ke tempat Hendra dan Nira berada. Orang yang baru saja datang ini tidak lain dan tidak bukan adalah Yoshi dan Delia. Melihat kedatangan mereka, Hendra langsung saja berdiri. Keduanya langsung menghampiri Hendra ketika Yoshi sudah memarkir kendaraannya. Delia melirik ke gundukan yang merupakan tubuh korban itu, kemudian dia melirik ke arah Hendra. Setelah menatap pak gurunya selama beberapa saat, Delia kini memandang ke arah Nira. Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya terkekeh.
"Tunggu dulu, jangan bilang orang ini mati karena bapak menghajarnya dan kami yang harus membereskan TKP?" tanya Delia.
Hendra menghela napasnya. Perkataan Delia memang maksudnya bercanda, dan Hendra tidak tersinggung sama sekali. Tapi, dia tahu kalau sebenarnya ada maksud lain dari pernyataannya itu. Meski keadaannya agak gelap, Hendra bisa melihat raut wajah Delia, dan menebak niat tertentu yang dia miliki.
"Aku baru saja pergi nonton film bersama Nira, kalau itu menjawab apa yang sebenarnya ingin kamu tanyakan. Tapi tidak, aku tidak bawa senjata, jadi aku tidak bisa memberikan 21 tusukan di punggung pria malang ini. Aku dan Nira baru saja mau pulang, saat aku melihat ada cipratan darah di sini. Jadi, kami memutuskan untuk mengecek, dan menemukan orang ini. Makanya aku langsung menelepon Yoshi dan terpaksa menghentikan kencan kalian untuk malam ini," sahut Hendra.
"Siapa orang gila yang mau membunuh di bawah jembatan layang seperti ini? Orang lain pasti akan segera menyadarinya!" kata Yoshi, yang kini sudah berada di sebelah Delia.
"Nah, karena itulah aku meminta kalian ke sini. Entah bagaimana, yang satu ini berhasil lolos dan tidak menarik perhatian orang lain. Lokasi pilihannya menarik, dan harus ada yang membereskan hal ini. Kurasa kalian akan tertarik."
"Boleh juga, meski kedengarannya tidak akan ada banyak petunjuk yang bisa didapatkan," sahut Delia.
Pak Indra dan Bu Risa akhirmya juga sampai di lokasi. Mereka mengendarai mobil, jadi ketika sampai Pak Indra mengarahkan lampu mobilnya ke tempat di mana empat orang itu berkumpul. Beliau menghampiri Hendra, dan melihat bagaimana keadaan tubuh yang tidak bernyawa itu.
"Oke, pantas saja kau menelepon. Kenapa dia bisa ada di sini, dan kenapa orang lain tidak menemukannya sebelum kamu?" tanya Pak Indra.
Hendra mengangkat bahu, "Mungkin aku sedang beruntung hari ini. Jadi, kurasa kalian bisa ambil alih dari sini?" kata Hendra.
"Oke, kurasa akan lebih baik jika masalah ini kami ambil alih. Lalu, kamu sudah melakukan sesuatu pada tubuh ini?"
"Tidak, aku hanya menyibak jas yang tadi menutupi tubuhnya. Selain itu, aku tidak menyentuhnya. Aku tidak ingin sidik jariku ada di sana, dan aku tidak bawa sarung tangan."
"Kau beruntung, Ndra. Aku bawa beberapa," kata Bu Risa, lalu menyerahkan dua pasang kepada Hendra.
Hendra menerimanya, lalu melemparkan satu pasang sisanya kepada Yoshi. Sepupunya itu menerimanya, dan kedua pria ini mengenakan sarung tangan itu. Setelah siap, mereka mendekat ke arah mayat korban.
"Apa yang sudah kamu dapatkan, Ndra? Kamu tentunya mengamatinya sebelum kami datang, kan?" tanya Pak Indra.
"Tentu saja. Tidak banyak yang aku dapatkan, selain bahwa sepertinya korban kita ini adalah seorang pria paruh baya, kemungkinan adalah seorang pekerja kantoran, dan mendapatkan tusukan sebanyak 21 kali di punggungnya serta sebuah tembakan di bagian belakang kepalanya. Kedua tangannya terikat dan betisnya dipenuhi dengan goresan, jadi kemungkinan besar dia dilumpuhkan. Yah, siapa juga yang mau ditusuk 21 kali, aku juga bakalan lari sih kalau begitu," kata Hendra, kemudian dia berjongkok.
"Menarik. Lokasi mayat ini agak tidak biasa. Oke, aku akan hubungi kantor dulu. Kalau tidak salah Pak Dani tugas piket malam ini, beliau pasti senang kalau dia bisa melakukan sesuatu yang menarik malam ini," sahut Pak Indra, lalu mengambil ponselnya yang ada di saku.
"Nah, jadi apa yang kita lakukan, Ndra?" tanya Yoshi.
"Kita lihat apa saja yang ada di sakunya, dan aku juga ingin membalik tubuh korban. Aku ingin lihat wajahnya," jawab Hendra.
Yoshi mengangguk, lalu mereka berusaha mencari apa saja yang ada di dalam kantung pakaian korban. Mereka bisa menemukan beberapa uang receh, kertas struk, sebuah kunci mobil, sebuah ponsel dan juga sebuah dompet. Setelah mendapatkan apa yang mereka bisa, keduanya membalik tubuh korban dengan perlahan, kemudian mengamati wajahnya.
Si pria memang kelihatan seperti seorang pria paruh baya pada umumnya. Ada sedikit lemak di pipinya, dan juga kerutan di keningnya. Tampangnya biasa saja, tapi ekspresi wajahnya tidaklah terlihat tenang. Dari apa yang bisa mereka lihat dari wajahnya korban, sepertinya di saat terakhir dari hidup si korban, dia sangat ketakutan dan kesakitan. Ekspresi penuh horor itu kini sudah terpahat di wajahnya yang mulai kaku. Dia pastinya memohon ampun pada orang yang menjadi pencabut nyawanya, karena sepertinya dia tidak menginginkan kematian ini.
"Tubuhnya sudah mulai dingin, apa ini sudah lama?" tanya Yoshi.
"Aku tidak tahu, Yo. Bisa juga karena cuacanya yang dingin. Tadi kan sempat hujan, jadi bisa saja suhu tubuhnya jadi lebih dingin. Tapi ... akan lebih baik jika kita serahkan ini pada Pak Dani dan timnya, beliau pasti akan bisa memberikan hasil yang lebih pasti," sahut Hendra
Yoshi mengangguk, dan dia memutuskan untuk membuka dompet korban. Dia berharap untuk menemukan kartu identitas di dalamnya, sehingga mereka tahu siapa pria ini. Sementara itu, kini Hendra mengamati bagian depan tubuh korban.
Selain wajah yang menggambarkan ekspresi horor itu, hanya ada beberapa goresan lain di tubuhnya. Tidak ada hal mencolok lainnya. Jadi, Hendra hanya memandang wajah si pria selama beberapa saat, berusaha mengingat kalau - kalau dia mengenali wajah pria ini. Rasanya, Hendra mungkin punya sesuatu yang tersimpan dalam otaknya, entah apa itu.
Sementara itu, Yoshi membuka dompet yang dia temukan di saku korban. Dompet itu berbahan kulit dengan warna cokelat, dan punya kualitas yang bagus. Yoshi membalik - baliknya sejenak, untuk mengamati. Dari apa yang bisa dia lihat, dompet itu masih dalam kondisi sangat baik, dan tidak terlihat adanya usaha pencurian. Setelah puas memperhatikannya, Yoshi membukanya, untuk melihat isinya.
Di dalamnya, dia bisa melihat ada lembaran uang kertas, dan juga berbagai macam jenis kartu. Ada beberapa kartu kredit, kartu - kartu nama, sebuah STNK, serta sebuah SIM dan kartu tanda penduduk. Langsung saja Yoshi mengambil kartu tanda penduduknya tadi, dan membacanya untuk mendapatkan identitas si korban.
"Kalau memang ini adalah dompetnya, seharusnya ini adalah KTP miliknya. Identitas yang ada di sini adalah atas nama Rizky Alfian. Tempat lahir, jenis kelamin .... ah, menarik. Rupanya beliau adalah seorang pejabat daerah," kata Yoshi.
Perkataan Yoshi tadi membuat Hendra mengerutkan alisnya. Dia melirik ke arah si pria, kemudian menelengkan kepalanya sedikit sambil berpikir. Hendra mulai mengendus sesuatu yang terasa familiar, tapi dia tidak tahu apa itu. Setelah beberapa saat, barulah Hendra tersenyum.
"Ada apa lagi di dompetnya?" tanya Hendra.
"Hal biasa. Uang tunai, kartu kredit, SIM, STNK, dan beberapa kartu nama di dalamnya."
"Bisa aku pinjam kartu - kartu nama itu?"
Yoshi mengerutkan alisnya, tapi dia tetap menyerahkan kartu - kartu yang diminta oleh Hendra. Ketika kartu itu sudah berada di tangannya, Hendra langsung saja memeriksanya dengan seksama. Dia menelusuri nama - nama yang ada di depannya, dan kelihatannya otaknya tengah bekerja dengan keras.
"Rizki Alfian? Kok tidak asing ya?" tanya Nira.
Hendra terkekeh, "Akhirnya! Aku tidak menyangka kalau kalian tidak kenal dengan nama ini! Seharusnya kalian tahu sedikit soal pria ini, dari pemberitaan yang ada," sahut Hendra.
"Berita? Hm, tunggu dulu ... ah iya, aku pernah dengar namanya! Kalau tidak salah, dia adalah satu dari beberapa pejabat yang dicurigai melakukan korupsi dana dalam proyek perbaikan gedung pajak, ya?" tanya Bu Risa.
Hendra mengangguk, "Tepat. Kurasa, sekarang kita tahu kalau orang ini adalah orang penting. Pasti ada beberapa alasan tertentu kenapa orang ini bisa mati, yang aku yakin akan cukup menarik untuk ditelusuri."
"Kamu ada dugaan sementara, Ndra?" tanya Pak Indra.
"Eh, tidak banyak sih. Sepertinya masih terlalu dini untuk menyimpulkan sesuatu, tapi kalau mau dipikir, rasanya tidak mungkin pelakunya hanya satu orang. Sepertinya ada beberapa orang yang terlibat, karena sepertinya pria ini tidak punya kesempatan untuk lari. Aku masih tidak tahu bagaimana bisa ceritanya tidak ada yang bisa mendengar suara tembakan di tengah hujan, jadi yah ... entah bagaimana pelakunya bisa kabur. Mungkin saja mereka tidak menusuk pria ini di sini, bisa saja kalau tempat ini jadi tempat eksekusi mereka. Akan lebih baik kalau kalian coba cari saksi yang ada di sekitar sini sih."
Pak Indra mengangguk, "Oke, sepertinya tidak banyak yang bisa kita lakukan, karena tentunya penyelidikan di malam hari agak kurang efektif. Tapi, kurasa akan lebih baik kalau kami mengeceknya. Besok pagi, sepertinya kita bisa kembali ke sini lagi. Sementara ini, mayat ini akan diurus oleh Pak Dani."
"Nah, baguslah kalau begitu. Aku pamit dulu ya, soalnya mau ngantarin Nira balik nih," kata Hendra, sambil memandang Nira.
Pak Indra akhirnya menyadari keganjilan itu, ketika dia melihat adanya Nira bersama Hendra. Di dalam kepalanya Pak Indra mengira kalau ini adalah sebuah kebetulan, tapi keberadaan Nira patut dipertanyakan.
Tidak hanya Pak Indra yang berpikiran seperti itu. Bu Risa juga mengerutkan alisnya, karena dia heran kenapa Nira bisa menempel dengan Hendra malam ini. Dia jadi teringat kalau entah kenapa akhir - akhir ini Nira sering berada di dekat Hendra, yang tidak biasanya terjadi. Ada sedikit kecurigaan di sini, tapi tentunya Bu Risa tidak bisa menuduh seenaknya.
"Nah, iya nih! Pak Hein gak tanggung jawab betul, masa iya bawa anak orang sampai larut malam! Pulangin sana sama emaknya, nanti dicariin lagi!" kata Delia.
Nira terkekeh, "Hei, kayak kamu nggak diculik sama Yoshi aja," sahut Nira.
"Eh, aku kan sudah seizin dari bapake kok, jadi gak apa~"
"Iya deh, iya. Enak saja kamu bilang kalau saya nggak tanggung jawab! Ini juga mau dipulangin kok!" kata Hendra.
Delia terkekeh, "Ya sudah, buruan pulangin!"
Hendra hanya bisa mendengus, agak kesal karena ledekan Delia tadi. Tapi, anak muridnya yang satu ini memang sableng kelakuannya, jadi seharusnya dia memakluminya. Entah kenapa dia bisa sableng, bisa jadi karena memang Delia punya bakat untuk itu, atau pergaulannya dengan Hendra yang membuat Delia ketularan kegilaannya. Atau malah kombinasi mematikan di antara keduanya.
"Ah sudahlah, kalau begitu mending aku antar Nira pulang sekarang. Besok pagi aku juga ikut ke sini lagi, sepertinya akan lebih baik jika aku mengamati tempat ini dengan keadaan pencahayaan yang lebih baik. Kalau begitu, sampai besok," kata Hendra.
Kedua orang itu berpamitan dengan empat polisi yang masih ada di sana, dan menghilang dalam keheningan malam. Pak Indra mengedarkan pandangannya kepada Yoshi dan Delia, yang masih memperhatikan kepergian Hendra tadi.
Kalau mau jujur, Pak Indra masih agak penasaran kenapa Nira bisa menempel dengan Hendra. Kedekatan mereka akhir - akhir ini agak mencurigakan, dan tidak ada seorangpun yang bisa menjelaskan kenapa. Pak Indra tahu kalau Hendra tengah menghadapi beberapa penjahat yang mengejarnya akhir - akhir ini, yang mungkin bisa membahayakan Nira sehingga Hendra memutuskan untuk berada di dekatnya. Tapi, keberadaan mereka berdua di luar saat malam Minggu adalah satu hal yang tidak biasa.
Pak Indra berpandangan dengan Bu Risa selama beberapa saat. Keduanya pernah mendiskusikan akan keanehan itu, tapi mereka tidak pernah bisa menemukan apa jawabannya. Kemudian, mereka memandang ke arah Yoshi dan Delia selama beberapa saat. Entah karena alasan apa, Delia kelihatannya cukup senang. Kalau mau dipikir, Yoshi dan Delia cukup dekat dengan Hendra, terutama karena Yoshi masih merupakan sepupu Hendra. Mungkin kedua orang ini tahu sesuatu yang mereka tidak tahu. Karena rasa penasaran itu masih ada, Bu Risa memutuskan untuk menanyakannya pada kedua yunior mereka.
"Hei, kalian tahu kenapa bisa si Hendra malah nempel terus sama Nira?" tanya Bu Risa.
"Kenapa ibu tanya soal itu ya?" ujar Yoshi, balas bertanya.
Diam - diam, Delia menyikut Yoshi dengan pelan. Pak Indra kini berpandangan dengan Bu Risa, karena sepertinya Yoshi tidak mempertanyakan keberadaan Nira yang sering berada di dekat Hendra. Di saat yang sama, Yoshi dan Delia juga saling bertukar pandangan, yang membuat Yoshi kini tersenyum.
"Habis, akhir - akhir ini mereka nempel terus. Kalian tahu kenapa?"
"Oh, palingan Bu Nira cuma kepengen buat menghibur Pak Hein," sahut Delia.
"Menghibur yang bagaimana?" tanya Pak Indra.
"Ya, kan mereka berdua berteman sejak lama, tentunya Bu Nira tahu banyak soal Pak Hein. Pastinya beliau sudah dengar kalau ada banyak masalah yang dihadapi oleh Pak Hein akhir - akhir ini, dan salah satu cara menghibur Pak Hein adalah dengan keberadaan Bu Nira. Makanya mereka nempel terus."
Pak Indra kembali berpandangan dengan Bu Risa. Kalau memang itu penjelasannya, maka hal itu masuk akal. Tapi entah kenapa, masih ada perasaan mengganjal di dalam pasangan suami istri ini seputar Hendra.
"Kamu tahu banyak soal Hendra ya, Del?"
"Yah, aku kan muridnya. Selama tiga tahun, aku bisa memperhatikan bagaimana kelakuan beliau dari dekat. Jangan heran karena aku tahu soal beliau. Tapi kalau bapak masih penasaran, mungkin bapak bisa coba tanya langsung sama Pak Hein. Siapa tahu apa yang aku bilang tadi salah."
Percakapan mereka terhenti, karena terdengar suara sirine mendekat. Pak Indra dapat mengenalinya sebagai sebuah mobil ambulans, yang berarti bahwa tenaga medis sudah datang untuk membantu mereka. Diam - diam, Delia terkekeh dan Yoshi menghela napasnya. Keduanya saling berpandangan, kemudian tersenyum.
"Oke, Pak Dani sudah datang. Kita harus jelaskan keadaannya pada beliau, dan kita bisa lihat - lihat sekali lagi sebelum kita pulang," kata Pak Indra.
Tiga orang yang bersamanya mengangguk, menyetujui komando dari Pak Indra. Mereka mungkin bisa pulang setelah ini, tapi kasus ini baru saja dimulai. Masih ada banyak hal yang harus mereka ketahui seputar masalah yang ada di hadapan mereka.
~~~~~
Sesuai dengan apa yang dikatakan tadi, Hendra mengantarkan Nira pulang. Tujuannya tentu saja adalah titik awal mereka, yaitu kediaman keluarga Nira. Perjalanan mereka hening, karena tidak ada pembahasan yang keluar dari mulut mereka.
Hendra sendiri tengah asyik berpikir. Dia tahu betul siapa pria yang sudah tewas itu. Dia agak kaget saat mengetahui kalau pria itu sudah tidak bernyawa dan dia yang menemukannya. Tapi hal ini juga membuatnya berpikir keras, karena ada beberapa keganjilan yang tersisa di dalam kepalanya.
Seputar kasus korupsi yang disebutkan oleh Bu Risa tadi memang benar. Rizky Alfian adalah salah satu orang yang dicurigai seputar korupsi pembangunan kembali gedung pajak yang sempat mereka kunjungi saat menyelamatkan Bu Risa sesaat setelah pernikahannya dengan Pak Indra. Akhirnya gedung itu mendapatkan kontraktor yang mau menerimanya, dan pihak dari Pacifia Construction menjadi tender dalam pembangunan ini.
Sayangnya, berhembus kabar tidak sedap kalau dana yang dikucurkan untuk pembangunan ini sudah dikorupsi. Ada banyak nama yang tersangkut masalah ini, dan Hendra tahu semua nama itu. Ada beberapa orang tidak bersalah di dalamnya, seperti si CEO dari Pacifia Construction, Jonathan Pacifia. Kini beliau berusaha membersihkan nama baiknya dengan bantuan salah seorang teman Hendra, dan semoga saja itu akan berhasil.
Sementara itu, nama Rizky Alfian adalah satu dari beberapa orang yang diduga menerima dana korupsi itu. Alasan kematian pria ini masih misterius, dan Hendra masih mencari kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Ada banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi.
Hendra tahu persis apa yang terjadi pada proyek itu. Akhir - akhir ini, dia sudah bekerja untuk membantu temannya dalam mencari penuturan dan bukti yang bisa mereka dapatkan. Dari semua informasi yang dia dapatkan, ada satu kemungkinan besar apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Masalahnya, Hendra tidak suka ke mana kemungkinan ini mengarah. Kalau memang benar apa yang ada di dalam pikirannya ini, maka keadaannya bisa jadi sangat berbahaya. Musuh yang ada di hadapannya bukanlah orang yang akan menyerah begitu saja, dan sepertinya mereka akan menyebabkan kekacauan. Ini toh salahnya juga, jadi dia tidak kaget kalau akan ada yang mengamuk.
Tidak terasa, akhirnya Hendra sampai di kediaman keluarga Nira. Si perempuan sendiri di sepanjang jalan hanya diam, karena dia tahu kalau ada banyak hal yang terjadi di dalam pikiran Hendra dan dia tidak ingin mengganggunya. Tapi ketika mereka sudah sampai, Nira jadi ingin mengetahui apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Hendra, jadi dia langsung menanyakannya.
"Hei Ndra. Sepertinya kamu memikirkan soal mayat itu, ya?" tanya Nira.
Hendra mengangguk, "Tentu saja aku memikirkannya. Keadaannya tidak biasa. Kelihatannya dia memang sengaja dieksekusi di sana, dengan alasan untuk menarik perhatian. Aku bisa mengerti kenapa, tapi masih ada beberapa hal yang tidak masuk akal di sini," sahut Hendra.
"Kamu tahu sesuatu tentang pria yang tewas itu?"
"Aku tahu terlalu banyak hal, Ra. Rasanya, tidak bohong kalau aku bilang kalau aku tahu apa saja kejahatan yang terjadi di Inkuria. Saking banyaknya, sampai kadang aku pusing sendiri. Tapi, apa boleh buat, sudah jalan hidupku begini."
"Oke, jadi ... ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Yang menggangguku adalah, aku rasa aku tahu apa yang terjadi. Aku tahu motifnya, siapa pelakunya, dan semuanya."
"Kamu mengenal mereka, ya?"
"Dengan sangat baik. Aku jadi takut karenanya."
Perkataan itu membuat Nira mengerutkan alisnya. Kenapa Hendra takut? Selama ini, temannya itu sudah menghadapi banyak sekali penjahat, tapi tidak pernah dia terlihat seperti ini. Ekspresi wajah Hendra benar - benar memancarkan rasa khawatir, dan Nira tahu kalau hal ini serius.
"Takut? Tidak biasanya kamu takut?"
"Aku tahu. Tapi ini sangat berbahaya. Aku punya firasat yang tidak enak akan hal ini."
Nira tersenyum, lalu meletakkan tangannya di bahu Hendra. Si perempuan mengelusnya dengan lembut, berusaha untuk menenangkan Hendra.
"Aku yakin kamu bisa menghadapi semua ini. Aku percaya kalau kamu bisa keluar hidup - hidup dari masalah apapun ini yang kamu sedang hadapi."
"Tapi aku takut, Ra. Keadaannya bisa jadi bahaya kapan saja."
"Aku mengerti. Kamu harus hati - hati, dan aku rasa kamu sudah mengetahui apa yang harus kamu lakukan."
Hendra mengangguk, "Aku harap begitu. Tapi ... aku tidak ingin ada yang terluka. Aku harap kamu tidak akan terluka. Aku takut terjadi apa - apa padamu."
"Aku akan jaga diriku dengan baik. Percaya deh. Kamu fokus saja pada apa yang harus kamu lakukan, oke?"
Hendra tersenyum, merasa kalau dirinya akan lebih baik dengan dukungan dari Nira. Perlahan, Nira menurunkan tangannya dari bahu Hendra. Kesempatan ini Hendra gunakan untuk menggenggam kedua tangan Nira.
"Doakan agar aku selamat, Ra."
"Selalu, Ndra. Selalu."
Nira mendekat ke arah Hendra, dan kini wajah mereka semakin mendekat. Nira mendaratkan sebuah ciuman di pipi Hendra, yang membuat si pria terkekeh.
"Terima kasih. Aku pulang dulu ya?"
Hendra berpamitan pada Nira untuk kembali ke rumahnya. Mereka berpisah, dan Hendra memacu motornya melalui kegelapan malam. Sementara itu, Nira memandang kepergian Hendra, sambil berharap dalam hatinya agar pria itu baik - baik saja dalam menghadapi masalah yang ada ditangannya.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top