Chapter 7 : Rapat Di Rumah Sakit

Yoshi membuka matanya dengan perlahan. Hal yang pertama dilihatnya adalah atap berwarna putih dengan sebuah lampu di sisi kirinya yang bersinar redup. Gelap dan asing. Dia mengerjapkan mataya beberapa kali, lalu melihat ke sekelilingnya. Ada meja di sebelahnya dan sebuah tiang besi yang jadi tempat meletakkan botol infus. Yoshi mengikuti kemana selangnya mengarah, yang mana menuju ke tangan kirinya. Sebuah sofa nyaman terdapat di sudut ruangan dan bau khas menyeruak ke hidungnya.

"Di mana ... aku?" tanya Yoshi.

Yoshi melihat ke sekelilingnya. Kosong dan sepi. Tidak ada satupun makhluk hidup yang ada di ruangan itu, sampai akhirnya dia menoleh ke sebelah kirinya.

Di sana ada Delia. Dia tertidur dengan cara duduk di sebuah kursi dan meletakkan kepalanya di pinggir kasur tempat Yoshi berada sekarang. Delia mengenakan kaus berlengan panjang, dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai.

Setelah Yoshi melihat sekali lagi bahwa di lengannya ditancapi selang infus, dia yakin kalau dirinya berada di rumah sakit. Yoshi kembali menyusun kepingan memori yang terjadi kemarin, saat dia berada di pesta dansa. Dia ingat terakhir kali bahwa dia melindungi wanita pujaannya dari sebuah peluru, lalu dia tumbang setelah menyampaikan sedikit pesan pada wanita itu.

Di dalam lubuk hatinya dia menginginkan wanita itu bisa bertemu lagi dengannya lain kali. Mungkin itu bisa saja terjadi, kalau Hendra benar soal pesta dansa San Rio yany biasanya akan diselenggarakan ulang kalaua ada kekacauan terjadi. Mungkin masih ada sedikir harapan untuk Yoshi.

Yoshi kini melirik ke arah Delia, dan dari satu sisi wajah Delia yang terlihat, Yoshi menemukan kantung mata di bawah mata gadis itu. Apa dia menjaga di sini semalaman? Kemudian, pertanyaan lainnya adalah, bagaimana dia bisa ada di sini? Entahlah, tapi sepertinya tidak masalah. Yoshi menyukai kehadiran Delia, jadi dia tidak akan mempertanyakannya.

Yoshi menggerakkan tangan kanannya dan mengelus kepala Delia lembut. Dia tersenyum mengingat kebaikan perempuan ini. Delia selalu saja memperhatikan Yoshi dan berlaku baik padanya sejak dulu. Selalu.

"Makasih sudah jagain aku semalaman di sini, Del. Maaf juga karena ngerepotin kamu. Kamu pasti capek. I owe you, Del ...." bisik Yoshi.

Sementara itu, perlahan Delia menggerakkan kepalanya dan membuka matanya. Gerakan dari kepala Delia ini membuat Yoshi langsung menjauhkan tangannya dari kepala Delia. Yoshi tersenyum saat melihat temannya mengangkat kepala dan menatapnya dengan pandangan masih setengan sadar.

Pernah dengar kalau katanya perempuan itu cantik ketika dia baru bangun tidur? Nah, itu yang dipikirkan oleh Yoshi saat ini. Dalam hatinya, dia membatin kalau Delia kelihatan sangat manis ketika baru membuka matanya, dan Yoshi semakin menyukainya ketika Delia tersenyum padanya.

"Halo," sapa Yoshi.

"Nggg ... halo. Kamu sudah sadar?" sahut Delia, sambil merenggangkan badannya.

"Begitulah. Eh, ini rumah sakit kan?"

"Kamu kira ini kebun binatang?"

"Kukira tadi kita ada di stasiun."

"Heh, ngelantur kamu! Ngapain juga kita di stasiun? Jelas kita ada di rumah sakit! Kamu ini, baru sadar kok sudah ngawur sih?" sahut Delia, lalu tertawa.

Yoshi terkekeh. Dia tahu kalau selera humornya agak menyebalkan kadang. Tapi dia senang karena bisa membuat Delia tertawa. Kapan sih, Yoshi tidak senang kalau melihat Delia tertawa? Sepertinya hampir tidak pernah, kalau Yoshi coba mengingatnya lagi.

"Jadi, intinya aku diangkut ke sini setelah kekacauan itu terjadi dan langsung dioperasi untuk mengangkat peluru?"

"Ya gampangnya sih begitu. Kalau enggak, kemungkinan besar kamu sudah ada di surga. Atau neraka, tergantung amalmu."

"Haish, kamu ngedoain aku mati ya?"

"Enggak lah! Kasian tuh perempuan pujaan hatimu! Dia pasti sedih kalau tahu pahlawannya langsung mati mengenaskan begitu. Eh, tapi dia cantik banget ya? Aku sempat lihat dia. Iri deh sama kecantikannya."

Delia melihat wajah Yoshi yang berubah jadi cerah. Delia tahu kalau Yoshi akan senang membahasnya. Jadi, lebih baik dia mengungkitnya lebih dahulu, karena dia iseng. Mungkin semua orang kecuali Yoshi sudah tahu siapa sebenarnya perempuan itu. Tapi Delia ingin mencoba memainkan sesuatu. Dia ingin tahu bagaimana Yoshi menanggapinya.

"Eh? Serius? Kamu sudah lihat siapa perempuan itu?"

"Sudah dong," sahut Delia, lalu terkekeh.

"Argh! Curang! Aku belum lihat bagaimana wajahnya, tahu! Dia kan masih pakai topeng saat itu! Gimana sih orangnya, kasih tahu aku dong!"

Delia terkekeh,"Singkat saja : Gila Yo ... cakep bingit! Aku mengakui deh kalau dia puluhan lapis lebih cakep daripada aku. Hebatnya lagi itu perempuan terpesona sama elu! Waduh, you're such a lucky guy!"

"Eh, kamu juga cantik kok! Memang dia secantik itu ya?"

Pipi Delia memerah. Dalam kepalanya, dia ingin sekali mengatakan yang sebenarnya, tapi Delia masih penasaran akan bagaimana pendapat Yoshi tentang "perempuan itu", jadi dia akan menyembunyikan semuanya dan mencari tahu dengan berpura - pura tidak tahu.

"Tapi dia jauh lebih cantik, coba kamu lihat sendiri nanti kalau kalian ketemu lagi!"

"Yaaahhh, harus sabar dulu deh, padahal penasaran. Dia sempat ke sini ya?"

"Iya. Aku sempat ngobrol sama dia juga. Katanya ... ummm ... gak jadi deh!"

Delia hampir saja ingin mengatakan kalau "perempuan itu menyukai kamu," tapi Delia membatalkannya. Dia tidak ingin terlalu banyak berbohong pada Yoshi. Walau yang sebenarnya dia katakan itu benar adanya, bahwa "perempuan itu" menyukai Yoshi.

"Hei! Kasih tahu dong! Kamu jangan bikin aku mati penasaran dong Del!"

"Kamu nggak bakalan mati kok, ini kan di rumah sakit. Aku bakalan langsung panggil dokter kalau tiba - tiba kamu serangan jantung atau apalah. Tapi, aku nggak mau ngasih tahu ke kamu apa yang dia bilang, biar seru," ujar Delia, lalu dia menjulurkan lidahnya.

"Hei, setidaknya kasih aku sedikit petunjuk soal dia dong!"

"Pokoknya dia itu cantik, perhatian, jago nembak lagi!"

"Hah?"

"Serius deh Yo. Nanti tanya deh sama Pak Hen, atau Pak Indra. Dia sempat pinjam pistolmu loh. Keren deh! Kemampuan menembaknya luar biasa!"

"Lalu, gimana kamu bisa ada disini?"

Nah, sudah kuduga akan ditanyakan, pikir Delia. Tentu saja, kehadiran Delia yang tidak disangka itu akan menimbulkan pertanyaan. Tapi karena Delia sudah memutuskan untuk memanikan skenario ini, maka dia akan melanjutkannya. Dia sudah tahu apa yang harus dikatakan pada Yoshi.

"Piket malam. Aku ikut bantuin Trio Koplak kemarin, makanya aku bisa ketemu dia. Kami sempat ngobrol juga. Intinya sih, dari apa yang bisa kulihat, dia sudah kepincut sama kamu, Yo. Siapa sih, yang gak suka sama laki - laki yang rela mengorbankan hidupnya cuma demi dirinya? Katanya, dia bakalan nungguin kamu di pesta nantinya. Dia juga minta aku untuk menjagamu dan ngasih tahu soal keadaannya ke kamu."

"Pesta? Maksudnya?"

"Acara pesta dansanya bakalan di selenggarakan ulang sama pihak sekolah nantinya. Seperti keadaan yang sudah - sudah kalau ada kekacauan di pesta dansa tahunan San Rio. Jadi, kurasa kamu bisa tahu sendiri lah apa maksudku."

"Ooh, oke."

"Cieee, yang sudah ketemu belahan jiwanya! Aih, aku jadi iri ih! Soalnya aku masih jomblo!"

"Ya sudah, kalau gitu kamu mending sama Hendra aja sana, kan dia juga masih jomblo," canda Yoshi.

"Kamu kira aku gila? Dia ketuaan buatku, tahu! Lagi, Pak Hen kan memang kepengen jomblo selamanya, yah, kalau memang dia nggak ada minat buat nyari pasangan sama sekali. Tapi, ya siapa tahu diam - diam dia sudah mendekati orang lain? Walau begitu, menurutku sih, Bu Nira adalah belahan jiwanya Pak Hen. Sampai saat ini, kejombloan pak guru yang satu itu kayaknya Bu Nira penyebabnya. Walau yah, kisah mereka, kamu tahu sendiri gimana."

"Nira? Siapa lagi tuh?"

"Teman sekantornya Pak Hen. Sekaligus seniornya semenjak jaman sekolah. Wah, kalo diceritakan soal mereka itu, pasti panjang deh. Bu Nira ini juga, ehm, cinta pertama dan terakhirnya Pak Hen."

"Oh, aku baru ingat kalau dia pernah cerita soal itu."

"Bagus deh kalo sudah tahu! Aku malas jelaskan semuanya, soalnya melelahkan!"

"Eh, ngomong - ngomong mana Hendra sama Pak Indra? Mereka baik - baik saja? Apa mereka juga terluka?"

Delia mengangguk, "Mereka juga kena beberapa tembakan ketika melindungi belahan jiwa mereka. Tapi sekarang mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan, karena mereka sadar lebih dulu daripada kamu."

"Memang ini ruangan apaan?"

"Ruang intensif. Katanya kamu akan dipindahkan setelah sadar."

"Oke, dan sekarang sudah jam berapa? Apa aku tidak sadarkan diri selama itu?"

Delia melirik jam tangan yang ada di tangan kirinya, "Jam empat sore. Huh, lama juga ya kamu tidur? Operasimu diadakan tengah malam dan selesai jam 6 pagi. Sekarang, kamu baru sadar jam 4 sore? Hampir dua belas jam loh."

"Mungkin karena faktor energiku yang terkuras?"

"Bisa jadi, Yo. Oke, aku panggilin dokter dulu ya?"

Yoshi mengangguk mengiyakan, kemudian Delia langsung berdiri dan meninggalkan Yoshi di ruangannya untuk memanggil dokter.

"Tunggu Del!" ujar Yoshi, dan itu menghentikan langkah Delia yang sudah hampir mencapai pintu ruangannya.

"Ada apa lagi, Yo?" tanya Delia.

"Umm ... enggak, cuma ... makasih, karena kamu sudah jagain aku selama aku enggak sadar."

"Nggak masalah Yo. Aku kan temanmu..."

Delia tersenyum. Kini dia sudah mendapatkan pernyataan apa yang dia inginkan dari Yoshi. Jadi, Delia tidak akan membahas soal "perempuan itu" lagi. Walau begitu, Delia akan tetap merahasiakan identitasnya, sebagai kejutan untuk Yoshi.

Delia langsung keluar meninggalkan Yoshi yang tengah tersenyum melihat tingkahnya itu. Di saat yang sama, Yoshi juga merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya.

~~~~~

Sekitar jam 7 malam, semua orang yang terlibat dalam kasus ini berkumpul di ruangan inap yang ditempati bersama oleh Yoshi, Pak Indra, dan juga Hendra. Setelah Yoshi sadar dan diperiksa oleh dokter, dia langsung dipindahkan menuju ruang rawat inap yang juga ditempati oleh rekannya, jadi mereka memutuskan untuk mengadakan rapat di sana.

Mereka berkumpul di sana untuk membahas kasus ini, dan juga bagaimana untuk menangkap pelakunya yang masih berkeliaran dengan bebas. Lebih lengkapnya, di sana sudah berkumpul Yoshi, Pak Indra, Hendra, Rei, Mira (yang ingin menjenguk Yoshi), Delia, Rima, Damien, Nira, Bu Risa, Jessica (yang menjenguk ayahnya), Aldo (yang ingin terlihat sebagai calon menantu yang baik), dan juga Akira, Nayla, Daniel dan Dania, yang sepertinya sangat tertarik akan masalah yang terjadi semalam (dan mungkin juga ingin ngerusuh sama pak guru mereka).

Mereka semua awalnya mengobrol masing - masing, tapi saat Trio Koplak masuk ke dalam ruangan itu sebagai rombongan terakhir yang sampai, Pak Indra langsung mengumpulkan suara mereka.

"Hei, bagaimana kalau kita rapat sekarang? Trio Koplak sudah datang, jadi kita bisa mulai sekarang," ujar Pak Indra.

"Rapat dalam rangka apa?" tanya Hendra, tanpa mendongak atau mengalihkan perhatiannya pada Pak Indra.

Hendra kini sedang duduk di kasurnya yang terletak di tengah, di antara kasur Yoshi dan Pak Indra. Jarinya tengah asyik menekan layar ponselnya, sepertinya dia  sedang asyik memainkan online game.

"Ya dalam rangka apa lagi? Masalah yang membuat kita bisa ada di sini harus dibahas, Ndra. Mereka belum di tangkap, jadi kita tidak bisa diam begitu saja!"

"Oh, kalian mau bahas itu. Kalau aku sih, mungkin aku cenderung ingin menunggu mereka beraksi dulu. Kan kalau tidak ada jejak lainnya, kita tidak akan bisa menemukan mereka."

"Tapi kan kita tidak bisa selamanya menunggu!"

"Saya tahu itu pak. Menunggu kan memang membosankan. Kadang juga tidak efektif."

"Lalu, saat kita berhadapan dengan mereka, sepertinya kamu mengenal suara si pemimpin mereka itu? Pria yang ada di balkon?"

Hendra kini meletakkan ponselnya di meja yang ada di sebelahnya. Dia menatap Pak Indra yang ada di sebelah kanannya, lalu mengangguk.

"Samar - samar aku mengenal suaranya. Tapi kalau dugaanku benar, kuakui kalau sebenarnya mereka lebih mengincarku, daripada para dosen itu," jawab Hendra.

"Akhirnya, lepas juga si bapak dari hapenya! Dari tadi Pak Hen asyik banget deh, lagi ngapain?" tanya Rima.

"Oh, saya lagi ngecek desa barbar saya di game Clash of Clans," sahut Hendra, lalu dia nyengir kuda.

Damien langsung memasang ekspresi wajah facepalm, "Ampun deh, dikira tadi lagi ngapain, soalnya serius banget deh," ujar Damien.

"Si Hendra sih, dia memang sudah ketebak kalau lagi ngegame," sahut Yoshi.

"Sensei memang enggak berubah ya?" kata Akira

"He - eh. Dia mah ngegame mulu manusianya. Sudah doyan ngewibu, gamers pula! Guru macam apa anda Pak Hen?" ujar Delia, yang setelahnya menggeleng.

"Orang yang ngincer Sensei itu bukan keluarga Gloody kan?"

"Jelas bukan lah, dasar dodol! Keluarga Gloody kan udah lama musnah! Elu gak baca Black Note - nya Pak Hen ya?"

"Aku baca, tapi kan sudah lama jadi rada lupa sama isinya. Lagian, aku kan nanyain Sensei, bukan tanya Senpai! Kok malah Senpai yang jawab?"

"Ya kan aku tahu juga soal itu. Saksi hidup dari kejadian itu, malah,"

"Tepatnya sih korban. Iya kan Senpai?"

Delia mengangguk. Dia tidak akan melupakan saat dirinya menemui musuh yang sudah lama mengincar Hendra dan keluarganya. Awalnya, Delia tidak menyangka kalau dirinya akan terseret pada masalah itu. Siapa yang peduli pada anak bau kencur yang jadi muridnya Hendra? Toh dia kan tidak tahu apa - apa soal masalah yang dialami oleh sang guru. Tapi, rupanya para penjahat yang satu ini peduli, sehingga Delia terlibat dalam satu petualangan tak terduga.

"Kasarnya sih begitu. Tapi seru loh, bisa lihat Pak Hen beraksi!"

"Wah, jadi pengen lihat deh!"

"Nanti juga bakalan liat kok kamu, kalau beruntung."

"Sudah, sudah. Kalian simpan dulu deh perdebatan kalian buat nanti. Lebih baik kita kembali ke topik awal kita. Jadi, kalian ada ide bagaimana untuk mengatasi masalah ini?" tanya Pak Indra.

Hening sejenak. Tidak ada yang menyahut seorangpun yang menyahut, sepertinya mereka tengah asyik bergulat dengan pikiran mereka masing - masing. Sampai akhirnya sebuah suara ponsel yang terdengar nyaring memecah keheningan itu. Yoshi mengambil ponselnya dari meja, dan dia mengerutkan keningnya karena dia tidak mengenal nomor yang masuk dan menelponnya. Tapi, Yoshi tetap memutuskan untuk mengangkatnya.

"Halo?" ujar Yoshi.

"Jam yang sama. Tempat yang sama. Tentunya juga dengan orang yang sama. Dua minggu lagi aku menunggumu. Datanglah. Saat itu, kau akan bisa berhadapan langsung denganku."

"Hah? Apa maksudmu?"

Yoshi tidak mendapatkan jawabannya, karena tiba - tiba sambungannya terputus. Hanya nada dering yang terdengar, dan Yoshi bertanya apa maksudnya. Mungkinkah ....

"Siapa yang telepon, kak Yo?" tanya Rei.

"Aku juga gak tahu, Rei. Nomornya enggak dikenal," jawab Yoshi, lalu dia meletakkan ponselnya kembali ke meja.

"Lalu, dia bilang apa?" tanya Delia.

" 'Jam yang sama. Tempat yang sama. Tentunya juga dengan orang yang sama. Dua minggu lagi aku menunggumu. Datanglah. Saat itu, kau akan bisa berhadapan langsung denganku' .begitu katanya."

Hendra yang dari tadi terdiam dan melamun langsung saja mengarahkan pandangannya dan menatap Yoshi dengan tajam. Setelah dia diam selama beberapa saat, akhirnya dia berseru. Mungkin, kalau saja Hendra cukup sehat, dia akan melompat beberapa meter dari posisinya.

Itu yang aku butuhkan!, pikir Hendra. Sebuah kesempatan langsung untuk menemui pihak lawan. Sebuah undangan untuk bertarung satu sama lainnya. Karena Hendra tahu, itulah yang dia mau. Kalau memang Hendra benar akan dugaannya tentang siapa yang dia hadapi, maka si pemimpin memang akan mengirimkan sebuah tantangan untuknya. Hendra senang karena dia benar akan dugaannya yang satu itu.

"Itu dia!" ujarnya setengah berteriak, membuat kaget seisi ruangan.

"Eh! Gak perlu teriak juga kali Ndra!" sahut Pak Said yang sedari tadi juga terdiam.

"Aku kan baru sadar, sori," kata Hendra, lalu terkekeh.

"Emang ada apa sih?" tanya Yoshi.

"Selamat Yo, kamu telah mendapatkan undangan dari si penjahat itu. Kamu memang tidak mengatakan apapun pada mereka, tapi kamu sudah meresponnya dengan baik."

"Hah?" tanya Yoshi, yang langsung mengerutkan keningnya.

"Dia tadi menyuruhmu ke kampus sendirian, kan? Dia mengundangmu, kan? Saranku, kamu jangan pernah percaya dengan bualan para penjahat yang seperti ini."

"Aku tidak akan mudah percaya dengan bualan macam itu, tapi kenapa?"

"Soalnya aku sudah pernah kena batunya. Penjahat itu kalau bilang kata "aku", tapi belum tentu dia beneran akan datang sendirian untuk menemuimu. Dia bisa saja malah membawa seregu pasukan penembak bersamanya. Aku menghadapi hal yang seperti itu saat menghadapi keluarga Gloody. Aku percaya akan surat yang diberikannya dan aku datang menemuinya sendiri. Padahal dia itu bersama sepuluh orang penembak. Jelas aku kalah."

"Pantas saja. Aku mengerti sekarang kenapa kamu kewalahan menghadapi mereka."

Tentunya Hendra tidak akan melupakan hal itu. Kebodohan paling fatal yang pernah dilakukannya seumur hidupnya, dengan membiarkan dirinya sendiri masuk ke dalam sarang buaya yang berpuasa selama seminggu. Untungnya, dia bisa bertahan hidup sampai saat ini berkat kemurahan hati Tuhan dan kesigapannya untuk menelpon Pak Indra sebagai pihak pertama untuk menolongnya, yang mana Pak Indra juga membantunya dengan senang hati, walaupun beliau harus menyongsong bahaya demi menolong Hendra.

"Nah, kalau begitu, kamu ada rencana gak, Ndra?" ranya Pak Bambang.

Hendra terdiam sejenak. Roda - roda dalam kepalanya sudah bergerak sejak cepat sejak tadi untuk menyusun sebuah rencana yang menurutnya paling masuk akal. Tak lama kemudian, Hendra menanggukkan kepalanya.

"Ada. Begini, awalnya Yoshi sendirian aja masuk ke audiotorium itu, lalu kita menyusul. Kita harus bersembunyi dan masuk lewat pintu samping kampus. Saat sudah terdengar keributan, kita langsung keluar membantunya untuk membantai semua cecunguk itu," ujar Hendra, membeberkan rencananya dengan semangat berapi - api, sudah serupa dengan tentara Indonesia pas melawan Belanda.

"Terlalu simpel buat dibilang rencana, kalau mau jujur," komentar Nira, yang sejak tadi hanya memantau pembicaraan mereka.

"Tapi yang simpel kan juga bagus. Malah kadang yang simpel itulah yang paling efektif," sahut Bu Risa.

"Nanti kalian ke sana dalam keadaaan terlindungi dan disenjatai kan? Kalian jelas tidak akan ke sana tanpa apa - apa untuk menyongsong kematian kalian, kan?" tanya Rei, yang sepertinya khawatir kalau kakaknya kenapa - napa.

"Iyalah. Kita gak boleh sebodoh sebelumnya. Nanti kita akan kenakan rompi anti peluru dan senjata AK - 47, kalau perlu amunisi lainnya sekalian!" jawab Pak Indra.

"Wah, kalau begitu bakalan saya siapkan deh pak! Bakalan saya jelajahi tuh gudang amunisi buat cari perlengkapan yang oke! Kalau perlu saya bawakan granat sekalian!" sahut Pak Hendri.

"Woy, kita kan cuma mau membantai cecunguk itu pak, bukan meledakkan kampusnya sekalian," ujar Damien.

"Kan saya bilang kalau perlu. Kalau enggak, ya nggak usah,"

"Maaf ya nak, teman saya ini kadang terlalu alay. Maklumi majas hiperbolanya yang kadang keterlaluan, ya?" sahut Pak Hendri.

"Oke, rencana sudah siap. Nanti kita bisa cari bantuan tambahan tim di kantor. Lalu, siapa di antara kalian yang mau ikut?" tanya Pak Indra.

"Eh, aku kan yang diundang, jadi jelas aku harus datang," ujar Yoshi.

"Aku sih jangan ditanya. Gak bakalan lah aku absen di urusan yang segawat ini," sahut Hendra.

"Kalau aku dan Aldo? Aku tahu kalau Ayah enggak bakalan ngizinin aku. Lagi, aku nggak bisa pakai senjata," ujar Jessica.

"Kayaknya kalian lebih cocok buat jadi pemandu kami dalam memonitor keadaan. Kita bisa meretas sistem CCTV kampus, jadi kalian bisa memantau lewat laptop, dan kita bisa saling berhubungan lewat sistem wireless. Pasti membantu, kalau - kalau mereka masuk lewat jalan lain, dan supaya kita tidak ketahuan," kata Hendra.

"Pekerjaan bagus, dan idak membahayakan. Kalian bisa bantu soal itu," sahut Pak Indra.

"Kalau begitu, nanti sekalian disiapkan alat komunikasinya deh. Saya bisa bantu soal itu," ujar Pak Bambang.

"Oh, itu ide bagus. Aku dan Jessie memang cocok kalo jadi pihak yang berhubungan dengan yang namanya IT," sahut Aldo.

"Lalu, siapa yang bakalan meretas sistem CCTV - nya?" tanya Mira.

"Bocah itu saja," ujar Hendra, lalu menunjuk Akira, "Dia itu ya, walau tampang polos dan suka pura - pura bego di pelajaran Teknologi dan Komunikasi yang kuajarkan, dia diam - diam jago meretas. Dia bahkan pernah meretas sistem CCTV sekolah supaya dia gak ketahuan melakukan kejahatan. Hal ini sukses bikin aku pusing tujuh keliling saat itu," tambahnya.

"Hehehe, iya deh. Saya akan coba, Sensei. Aku akan mencoba meretas sistem CCTV - nya, kuharap sistem mereka tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku main ke sana," sahut Akira, kemudian dia mengacungkan jempolnya.

"Aku boleh ikut kan?" Tanya Mira.

"Yah, karena sudah terjamin dengan rompi anti peluru, sepertinya enggak akan ada yang bisa mencegahmu kan Mir? Kuharap kamu hati - hati, walau aku tahu kamu bisa menggunakan senjata dari pengalamanmu saat itu," sahut Rei, yang sepertinya lebih khawatir karena Mira akan menyongsong bahaya nantinya.

"Iya, aku akan hati - hati kok Rei."

"Aku juga ikut ya Ndra?" tanya Nira.

"Jangan deh Ra. Kamu ... aku enggak mau kamu ada dalam masalah. Nanti kalau Haris tahu gimana? Lagipula, kamu belum lama kuajari menembak, kan? Keadaannya bisa jadi di luar apa yang kamu pelajari," tanya Hendra.

Pak Indra mengakat alisnya. Belajar menembak? Sejak kapan? Pertanyaan itu muncul dalam kepalanya. Beliau mencurigai kalau keduanya banyak menghabiskan waktu bersama, yang sepertinya agak tidak biasa. Tapi ... ah sudahlah. Itu bukan urusan yang harus dipikirkan oleh Pak Indra.

"Ayolah Ndra. Mereka nggak bakalan tahu kok! Aku kan bukan bocah lagi! Sekali saja, aku ingin terlibat dan membantumu. Please?" ujar Nira, sambil menggenggam tanga Hendra dan melancarkan jurus mautnya yang pasti tak bisa Hendra tolak : Jurus Puppy Eyes.

"Ugh, jangan pake tatapan yang itu dong,"

"Please?"

"Ugh, iya deh. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu kenapa - napa ya," ujar Hendra, dia akhirnya menyerah setelah beberapa saat.

"Jadi, kita semua kecuali Jessica dan Aldo bakalan terjun ke lapangan?" tanya Nayla.

"Ya, intinya begitu."

"Waahhhh... asyik, aku ada kesempatan mempraktekan hasil belajarku selama tinggal dan liburan di Belanda nih," ujar Dania.

"Oh iya, ayahmu kan suka olahraga menembak. Kamu juga sudah akrab sama tembak - menembak sejak kecil kan?" sahut Akira.

"Ya, kami belajar bersama ayahnya saat mengunjungi beliau," sahut Daniel.

"Bagus! Aku bisa melihat banyak orang yang bersimbah darah nantinya," ujar Akira, lalu menggosokkan kedua belah tangannya.

"Dasar bocah psikopat," sahut Delia.

"Oke, kalau begitu semuanya sudah disepakati, jadi saya rasa rapatnya selesai! Mending kita tutup sekarang, karena sebentar lagi jam makan malam. Intinya, dua minggu lagi, jam 10 malam, kita akan berkumpul di kantor Kepolisian Kota Inkuria, untuk melaksanakan rencana kita. Siap?" tanya Pak Indra.

"SIAP!!!" seru semua orang.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top