Chapter 4 : Pesta Dimulai!

Seminggu kemudian, hari di mana pesta dansa tahunan San Rio diadakan ....

Yoshi sedang mematut dirinya di depan cermin, sambil merapikan dasi berwarna emas yang ada di lehernya. Setelah puas dengan dasinya, kini tangan Yoshi bergerak untuk merapikan rambutnya, sambil melirik ke jas yang dipakainya. Setelah merasa kalau penampilannya cukup oke, Yoshi langsung keluar dari kamarnya sambil memegang topeng yang telah diberikan Hendra tadi siang.

Yoshi mengenakan sebuah setelan berwarna emas yang dibelikan ayahnya dengan setengah bercanda ketika dia baru saja kembali dari akademi. Dia memadunya dengan kemeja warna hitam, dan dasi emas yang senada. Tapi menurutnya, walau agak mencolok, warna emasnya cocok untuk topeng yang dia gunakan.

"Wah, kakak keliatannya keren banget! Kalau ada cewek yang nggak ngelirik kakak, dia kayaknya butuh kacamata deh!" celetuk Rei yang sedang duduk di sofa ruang tengah.

"Apaan sih Rei, biasa aja kenapa?" sahut Yoshi.

"Habis, kakak kece sih!"

Yoshi menggeleng. Padahal adiknya juga tidak kalah menariknya. Rei mengenakan setelan berwarna biru gelap, yang sesuai dengan topeng yang ada di pangkuannya. Dia tahu kalau adiknya juga bisa memikat banyak perempuan seperti dirinya, tapi entah karena alasan apa Rei masih saja sendirian sampai saat ini.

Tak lama kemudian, ada suara pintu diketuk. Yoshi yang masih berdiri langsung saja bergegas untuk membukakan pintunya. Ketika pintu terbuka, Yoshi dapat melihat Hendra di depannya, dengan setelan hitam dan dasi merah. Dia memang sudah berjanji akan menjemput Yoshi dan Rei.

"Kalian sudah siap? Mending kita langsung ke sana saja kalau kalian siap," kata Hendra.

"Eh, kalau gitu, nanti Ayah gimana?" tanya Yoshi.

"Tadi beliau mengirimiku pesan, katanya nanti beliau bisa nyusul. Ayo, kita duluan saja. Kalau nungguin ayahmu, nanti lama. Nggak usahlah kita nunggu ayahmu dandan. Yuk!"

Rei kini muncul di belakang Yoshi, dan dia sudah mendengar perkataan Hendra tadi.

"Aku sudah siap sih, kalau kita mau pergi sekarang. Kalau Kak Yo?" tanya Rei.

Yoshi mengecek saku pakaiannya, dan dia juga sudah memegang topengnya di tangannya. Dia memastikan kalau barang yang harus dia bawa ada bersamanya. Setelah merasa yakin, dia mengangguk.

"Ya sudah, kalau begitu kita langsung saja," kata Hendra

"Ayah! Aku, Rei sama kak Hen pergi duluan yaaa!" teriak Yoshi, ke dalam rumah.

Keadaan hening. Tidak ada sahutan apapun dari Pak Kazuki atau Bu Sila. Ketiganya saling melirik selama beberapa saat, kemudian kembali melihat ke dalam rumah. Masih saja tidak ada sahutan. Hendra mengangkat bahunya, kemudian Yoshi dan Rei bertukar pandangan penuh arti.

"Wah, nggak nyahut mereka. Ada apa nih?" tanya Rei.

"Biasanya ya Rei, kalau mereka enggak nyahut, ya nggak usah di tanya lagi. Mending ya, kita langsung kabur saja! Aku rasa ... yah, mereka lagi sibuk di dalam sana," ujar Yoshi.

"Setuju. Lagipula, kan beliau sudah nyuruh kita duluan. Tahu aja kan ayahmu orangnya kayak gimana, jadi mending kita langsung cabut aja deh!" tambah Hendra.

Tanpa banyak berkata lagi, ketiganya langsung saja menutup pintu rumah, dan bergegas pergi dengan mobil Hendra yang ada di depan rumah Yoshi. Hendra memegang setirnya, dan langsung saja mereka melesat ke tempat pesta diadakan, audiotorium Universitas Inkuria.

~~~~~

Yoshi, Rei dan Hendra telah sampai di tempat pesta dansa topeng Sekolah San Rio diadakan. Mereka diperiksa undangannya di pintu depan, dan setelah di pastikan kalau mereka ada undangan resmi, ketiganya di perbolehkan masuk. Ketiganya masuk, dan mereka melirik ke sekeliling mereka. Ruangan sudah didekorasi dengan berbagai macam pernik, dan panggung sudah disiapkan dengan segala perlengkapan untuk menunjang musik. Selain itu, di sediakan juga makanan dalam bentuk buffet di area pinggir audiotorium. Di balkon, sudah disediakan banyak meja dan kursi untuk menikmati pesta kalau ada yang tidak berminat untuk berdansa.

Pesta dansa memang sudah jadi tradisi di Sekolah San Rio, yang selalu diadakan setiap tahunnya ketika kelulusan sudah resmi di umumkan. Anak - anak dari SMP dan SMA San Rio bergabung jadi satu di sini dan mereka mengadakan pesta ini dalam rangka pesta perpisahan. Hal ini memang sudah jadi tradisi semenjak sekolah ini didirikan.

Para undangan kebanyakan sibuk melirik ke setiap orang yang ada di sana, sambil mencari orang topengnya berpasangan dengan yang mereka miliki. Beberapa orang bahkan sudah menemukan pasangannya. Dari apa yang terlihat, acaranya belum dimulai, karena masih ada beberapa orang yang melakukan persiapan terakhir terkait dengan perlengkapan musik yang berada di atas panggung. Musik dengan irama santai mengalun mengisi kekosongan itu dari alat pengeras suara yang terpasang di empat sudut ruangan.

"Ini kapan mulainya ya?" tanya Yoshi.

Hendra melirik jam tangannya, "Mungkin lima belas menit lagi. Setelah beberapa sambutan dari pihak sekolah dan panitia, acaranya akan dimulai secara resmi," jawab Hendra.

Rei melirik ke sekelilingnya, dan dia bisa melihat Mira di antara kerumunan manusia yang ada. Dia melirik Yoshi sejenak, dan Hendra bisa melihat gerak - gerik Rei itu. Sepupunya mungkin tidak tahu ada kegelisahan macam apa di dalam kepala Rei, tapi Hendra sudah terasah nalurinya dari banyak pengalamannya untuk mengetahui bahwa ada yang tidak beres dengan Rei.

"Kenapa Rei?" tanya Hendra.

"Eh, nggak. Aku lihat ada teman - temanku di sana, jadi aku mau menyapa mereka dulu. Nggak apa kan nih kalau kutinggal?" tanya Rei.

Yoshi mengangguk, "Santai saja. Kamu samperin deh sana," ujar Yoshi.

"Oke deh, kalau gitu aku tinggal dulu ya?"

Rei melangkah menuju ke arah teman - temannya berada, dan kini tinggallah Yoshi dan Hendra. Keduanya menghabiskan waktu mereka dengan melirik ke sekeliling. Tak lama kemudian, Yoshi merasakan ada seseorang yang menepuk bahunya. Yoshi langsung menoleh, dan dia menemukan satu sosok yang familiar di hadapannya.

"Eh, ada Pak Indra nih!" ujar Yoshi.

"Halo Yo! Halo Ndra! " sapa Pak Indra.

Yoshi langsung memperhatikan Pak Indra dari atas ke bawah. Atasannya itu kali ini mengenakan jas formal berwarna hitam dengan sepasang sepatu yang mengkilat, serta topeng berwarna ungu. Dasi kupu - kupu yang berwarna senada dengan topengnya menghiasi leher Pak Indra, melengkapi penampilannya.

"Ckckckck, rupanya bapak kalau didandanin begini jadinya kece juga ya? Pak In jadi nggak ada seramnya loh kalau didandanin," komentar Yoshi.

"Wah, makasih Yo! Kamu juga keren. Cewek yang bisa dansa denganmu malam ini pasti beruntung sekali," sahut Pak Indra.

"Pak Indra kan memang kece Yo! Kece ... lakaan," celetuk Hendra, yang langsung tertawa karena lawakannya sendiri.

"Sialan kamu Ndra! Kalau saya kutuk nanti kamu bisa kena karmanya loh! Saya sumpahin kamu kalau punya bini, dapatmya janda!" sahut Pak Indra, lalu terkekeh.

"Tahu nggak pak, bukan cuma bapak yang mengutuk dia nikah sama janda. Ada beberapa orang yang juga berpikiran sama, termasuk ayahku dan aku," ujar Yoshi.

"Nah, bukan cuma saya rupanya yang berpikir seperti itu. Hati - hati loh kalau jadi betulan, Ndra!"

"Janda sih gak apa, asal bukan nenek - nenek. Kalau masih oke kan boleh juga tuh. Kalian kan tahu, untuk sementara ini saya masih kepengen sendiri dulu," sahut Hendra, lalu terkekeh.

"Eh, kamu sih, kelamaan sendirian! Umurmu sudah 33 tahun loh Ndra! Nggak pengen punya penerus kepintaranmu? Keburu jadi kakek - kakek loh kamu Ndra."

"He - eh, lagian aku juga pengen punya keponakan kecil yang bandel, pas kayak bapaknya," tambah Yoshi.

"Emang kenapa sih? Itu kan bukan prioritas saya. Kalian tahu sendiri kenapa," sahut Hendra, dengan cueknya.

"Hendra memang kepengen jadi pejaka seumur hidup kayaknya pak. Asal aku jangan bernasib sama dengannya,"

Hendra menyeringai, entah karena alasan apa. Kedua temannya tidak memperhatikan ekspresi itu, karena mereka memandang ke arah lain. Pak Indra melihat ke sekelilingnya, begitu juga Yoshi.

"Nah, kalau begitu, mending sekarang coba deh kita cari siapa pasangan kita malam ini," ujar Pak Indra.

Belum juga sempat ada yang menyahut, tiba - tiba saja terdengar sebuah suara dari mikrofon. Sang pembawa acara hari ini menyampaikan beberapa acara pembukaan, yang diisi dengan sedikit sambutan dari beberapa pihak. Setelah sambutannya selesai, acaranya langsung saja dimulai. Sebuah band yang disiapkan untuk acara itu memulai dengan iringan lagu yang lambat dan mengalun sambil melantunkan liriknya sebagai pengiring untuk para hadirin berdansa.

"Kita ke balkon yuk? Aku mau mengamati situasi dari atas, biar lebih jelas," sahut Hendra.

"Yah, kok kamu tidak semangat gitu sih Ndra? Nikmatin sedikit kenapa! Mungkin nanti bisa saja kita menghadapi sedikit kekacauan, tapi tidak ada salahnya kan kalau kita berdansa sebentar? Carilah pasanganmu Ndra," ujar Pak Indra.

Hendra menggeleng, "Tidak usah. Kalau kalian mau, ya sudah, kalian di sini saja. Aku yang ke balkon. Jadi kalau ada apa - apa, aku bisa bersiap. Palingan juga pesta ini akan diadakan ulang kalau ujung - ujungnya kacau, seperti yang sudah - sudah. Di pesta yang kedua itu, aku yakin kita bisa bersenang - senang,"

Pak Indra menghela napas, "Kamu itu loh Ndra, sudah jomblo kok masih saja doyan sendirian sih? Santailah sedikit kenapa?"

"Aku sudah terbiasa dengan kesendirian, karena aku hidup dalam kesendirian itu, dan mungkin kesendirian itu adalah bagian dari diriku. Lagi, kalau aku lengah, maka bisa saja nanti kita kecolongan."

"Sudah Ndra, kamu itu kalau jomblo jangan ngajak - ngajak orang!" ujar sebuah suara dari belakang.

Ketiganya langsung menoleh, dan mereka mendapati Pak Kazuki sudah menggenggam bahu Hendra. Orang yang disentuh langsung menampakkan ekspresi bertanya selama beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah tawa terdengar dari ayahnya Yoshi itu.

"Buset dah! Sejak kapan anda di situ!" seru Hendra.

"Dari kapan saja boleh kan?" ujar Pak Kazuki.

"Kalian itu, rupanya satu keluarga semuanya emang gaib ya?" ucap Pak Indra.

"Eh, kadang sih pak. Tapi enggak separah Hendra," sahut Yoshi.

"Sudahlah Yo, jangan dengerin Hendra. Ayo, kita cari siapa pasanganmu. Jangan sampai kamu jadi jomblo karatan kayak Hendra. Soalnya, aku sebagai ayahmu nggak rela kalau anakku sampai nasibnya sama kayak bocah satu ini," ujar Pak Kazuki.

"Tuh kan, aku lagi yang kena," sahut Hendra, lalu menghela napas.

"Kan kamu juga yang mulai," kata Pak Indra.

"Aku yakin panitia pasti sudah menyiapkan pasangan yang terbaik buat kamu, Yo. Nih, buktinya aku bisa pakai topeng yang samaan kayak ayahmu" ujar Bu Sila, yang dari tadi hanya menyaksikan perdebatan mereka.

"Wah, benar juga," sahut Yoshi, sambil melirik ibunya yang memang mengenakan topeng berwarna hijau tua yang serasi dengan milik ayahnya.

"Nah Yo, misalnya saja nanti kamu bakalan menyeret perempuan yang kamu ajak dansa malam ini ke pelaminan, ayah akan memberimu restu penuh. Yang penting, dia anaknya baik, dan mau menerima keluarga kita dan juga mencintai kamu. Oke?" ujar Pak Kazuki, lalu menepuk bahu Yoshi.

"Hei, belum juga apa - apa, kok sudah main bahas pelaminan sih?" sahut Hendra.

"Kan cuma sekedar ngasih tahu saja, Ndra,"

"Iya deh, terserah Ayah," sahut Yoshi, lalu menggelengkan kepalanya.

"Itu topengnya sama kayak kamu kan?" ujar Pak Indra sambil menunjuk 30 derajat ke arah kanan Yoshi.

"Eh, betul tuh Pak In! Dia pakai topeng yang sama kayak Yoshi!" sahut Hendra.

Yoshi langsung saja mengikuti arah tunjukan Hendra, tapi dia belum menemukan perempuan yang dimaksud. Perempuan itu mengenakan gaun berwarna emas yang sangat pas di tubuhnya serta memperlihatkan bagian punggungnya. Sangat pas dengan topeng yang dipakainya. Dari kejauhan, mereka juga bisa melihat rambutnya yang hitam bergelombang, dengan wajah yang dipulas sedikit riasan, membuatnya terlihat semakin menarik

"Kayaknya cantik tuh," celetuk Pak Kazuki.

"Mana sih?" tanya Yoshi yang masih belum tahu siapa yang mereka maksud.

"Itu loh Yo," ujar Bu Sila, lalu memegang bahu anaknya dan menunjuk ke arah perempuan yang dimaksud.

Yoshi langsung mengikuti arah tunjukkan ibunya, dan menemukan siapa yang dimaksud. Sejenak, Yoshi terpana. Parasnya yang cantik, semakin misterius karena tertutup topeng yang dikenakannya. Tapi senyumnya tetap menawan, dengan bibir sedang dan dipulas dengan lipstik warna merah yang menggoda. Dalam sekejap, Yoshi langsung dibutakan karena kecantikannya. Di dalam jantungnya kini muncul sebuah gejolak di dadanya yang tak bisa dijelaskan dengan kata - kata.

"Wow, utsukushi,*" bisik Yoshi, lalu menggigit bibir bawahnya.

[*Utsukushi: Cantik]

"Saya tidak paham apa yang barusan kamu bilang, tapi bisa kulihat kalau dia adalah perempuan yang sangat menarik. Nah, karena kamu sudah ketemu siapa pasanganmu, tunggu apa lagi? Samperin sana!" kata Pak Indra.

Dalam kepalnya, berbagai kata muncul untuk menggambarkan kecantikannya. Menggoda, misterius, elegan, dan juga seksi, pikir Yoshi. Dia terpaku sesaat, menikmati setiap gerakannya yang indah dan setiap detilnya yang mengagumkan. Satu hal muncul dalam kepala Yoshi : dia ingin memilikinya.

"Wah, kayaknya Yoshi sudah beneran terpikat sama dia deh. Sampai kita semua dicuekin begini," sahut Bu Sila.

"Tuhan, dia cantik sekali! Aku mau dia jadi milikku," bisik Yoshi.

"Nah, tunggu apa lagi, ajak dansa dong!" ujar Pak Kazuki, lalu menyikut Yoshi dengan tujuan untuk memanas - manasi anaknya.

Yoshi tidak pikir dua kali lagi, karena dia langsung saja melangkah menyeruak melewati lautan manusia di hadapannya, dan menghampiri wanita yang memikat hatinya itu.

~~~~~

Yoshi langsung saja menghampiri wanita yang membutakan matanya itu. Memang, dia terlihat sangat cantik dan juga seksi. Tak heran Yoshi terpana hanya dalam sekali lirikan. Sepertinya perempuan itu juga menyadari akan pesona yang dimilikinya, tapi dia tetap sibuk berbicara dengan perempuan lain yang ada di dekatnya.

Yoshi ingin sekali mengajaknya berdansa, tapi perasaannya sedikit meragu. Kenapa? Rasanya kalau melihat kecantikan perempuam itu dari jarak dekat, rasanya Yoshi bisa mati kutu dan tak berkutik karenanya. Dia terlalu cantik buat standar Yoshi.

Tapi terlalu cantik bukan berarti dia tak pantas untuk diperjuangkan, iya kan? Malah mungkin sebaliknya, dia pasti akan diperjuangkan mati - matian oleh pria yang terpikat dengannya.

Dengan sopan, Yoshi menyentuh bahu wanita itu untuk menarik perhatiannya. Tentu saja hal ini menarik perhatian si perempuan, karena dia langsung menoleh. Sebelum si wanita sempat bicara, Yoshi langsung membuka mulutnya.

"Maaf nona, maukah kau berdansa denganku?" ujar Yoshi sambil mengulurkan tangannya.

Wanita itu terlihat sedikit ragu, dan dia melirik ke arah perempuan yang ada di sebelahnya. Temannya itu terlihat memaklumi apa yang terjadi pada si wanita. Buktinya, dia langsung memberikan senyum lebar penuh pengertian dan mengangguk.

"Pergilah kak! Aku akan cari pacarku sekarang. Nikmatilah malam ini, dan semoga status jomblomu juga berakhir malam ini!" sahutnya.

Si wanita terkekeh, mungkin kesal karena sahutan dari rekannya. Dari kedekatan yang mereka berdua perlihatkan, sepertinya mereka masih kakak beradik. Suara tawanya saja sudah membuat Yoshi semakin terpikat, apalagi kalau dia berbicara coba?

"Baiklah! Kalau begitu sana, cari dia!" ujar si wanita.

Setelah adiknya itu pergi, mereka berdua bertatapan canggung selama beberapa saat sebelum akhirnya wanita itu menyambut uluran tangan Yoshi. Keduanya langsung berjalan ke tengah audiotorium, dan memulai dansa mereka.

Yoshi semakin mengagumi wanita itu saat melihatnya dari dekat. Iris matanya yang berwarna hitam pekat, rambutnya yang hitam bergelombang, senyumnya, kulitnya yang halus, dan semuanya. Yoshi sepertinya benar - benar jatuh cinta dengan wanita itu. Belum lagi gerakan dansanya yang menawan.

Inikah cinta pandangan pertama, atau ....

"Kurasa kamu sedikit kaget saat aku mengajakmu berdansa," ujar Yoshi.

"Kuakui, aku memang agak terkejut. Baru kali ini ada pria yang benar - benar berani mengajakku berdansa," sahutnya.

Yoshi terdiam sejenak. Dia juga mengagumi suara wanita - nya itu. Untuk saat itu, sepertinya Yoshi melupakan tujuan awalnya kenapa dia bisa berada di pesta dansa itu.

"Benarkah? Aku benar - benar jadi yang pertama ya?"

"Begitulah. Bahkan semasa aku masih bersekolah di San Rio, tak pernah ada yang berani mengajakku berdansa. Oh ya, aku alumni San Rio. Dan kali ini adikku yang mengajakku datang ke sini."

"Oh ya? Kenapa tidak ada pria lain yang mau mengajakmu berdansa?"

"Kata mereka, aku terlalu cantik untuk mereka," sahutnya, diiringi dengan kekehan kecil.

Yoshi langsung tersenyum lebar, "Sejujurnya kau juga terlalu cantik buatku. Tapi, kau adalah tipe perempuan yang harus diperjuangkan, kalau menurutku."

"Sungguh jantan sekali. Aku suka lelaki yang jantan."

"Kan sudah seharusnya lelaki bersikap seperti itu. Apalagi terhadap wanita secantik dirimu."

"Ah, kau terlalu memuji."

"Memang begitulah kenyataannya."

"Bisa kusimpulkan kau jatuh cinta padaku."

"Kalau ya, memangnya kenapa?"

"Apakah itu tidak terlalu cepat?"

"Tidak ada yang terlalu cepat bagi yang namanya cinta."

"Tapi bagiku, ini agak terlalu buru - buru."

"Kalau begitu, berikanlah aku sedikit waktu. Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, sayang," bisik Yoshi lembut di telinganya.

"Kau yakin bisa?"

"Aku akan mencoba. Kalau tidak hari ini kan masih ada hari esok."

"Kita lihat saja. Walau sebetulnya aku memang suka seorang gentleman sepertimu."

"Baiklah sayang. Aku akan membuatmu jadi milikku, cepat atau lambat."

~~~~~

Sementara itu, Rei berbagi keceriaan pesta bersama dengan teman - temannya. Tapi dia tahu kalau keadaannya tidak seceria seperti yang dia inginkan. Mira yang ada di sebelahnya terlihat agak gelisah, dan kegelisahan itu sepertinya menular pada Rei. Malah, Rei terlihat lebih gelisah daripada Mira. Rei tahu Mira pasti akan mencari Yoshi. Tapi dia tahu kalau kakaknya berada di sini untuk urusan penting, atau malah dia sudah pergi bersama perempuan lain, yang memiliki topeng yang sama dengan Yoshi.

"Di mana Yoshi?" tanya Mira, sambil menarik lengan jas Rei.

Rei melirik ke sekitarnya. Untungnya Yoshi memakai jas yang cukup mencolok, pikir Rei. Warna emas dari jas Yoshi bisa ditemukan dengan mudah. Dia bisa melihat kalau kakaknya bersama dengan Hendra, yang kini ada pria lain yang bergabung bersama mereka. Rei menebak kalau pria itu adalah Pak Indra.

"Tuh, bareng si Hen sama Pak Indra," sahut Rei.

"Topeng kami sama?" tanya Mira, sambil menatap Rei penuh harap.

Untungnya tidak, pasanganmu ada di hadapanmu, Mira, pikir Rei sekali lagi. Rei tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Mira dan Yoshi berdansa bersama. Kalau dia tidak bisa mengendalikan dirinya dengan baik, maka bisa saja dia akan menangis di tengah keramaian ini.

"Sayangnya enggak. Dia pakai topeng warna emas."

"Yah, sayang, aku malah dapat topeng warna biru."

"Ah, andai saja aku sempat menukarkan topengku sama punya kak Yo. Kebetulan punyamu pasangannya punyaku kan? Sayangnya Kak Hendra baru ngasih ini topeng tadi siang, ketika aku masih ada urusan di luar. Kak Yo sudah mengambil topeng miliknya, dan aku nggak bisa mencegahnya karena aku belum tahu apa warna topengmu."

Mira menatap Rei dengan seksama. Sepertinya dia baru menyadari kalau topeng yang dipakai oleh temannya itu sama dengan miliknya. Mira menghela napas, padahal dia sangat berharap kalau dirinya bisa bersama Yoshi di pesta ini. Mira awalnya tidak percaya akan keberuntungan apa yang dia dapatkan, karena sepupunya Rei mengundang Yoshi ke sini. Rei bahkan tidak perlu susah payah untuk meyakinkan kakaknya untuk datang kemari seperti rencana awal mereka.

Di sisi lain, Rei merasa lega karena dia tidak sempat melakukannya. Dia tidak akan siap akan apa yang dilihatnya. Dia tahu apa yang akan terjadi, tapi sepertinya takdir melawan kehendak Mira kali ini. Sebagian dari diri Rei mengharapkan kalau hal yang mereka rencanakan tidak akan pernah terjadi karena Mira dan Yoshi mungkin tidak seharusnya bersama. Tapi sisi waras Rei tahu kalau ini adalah sebuah kebetulan. Kebetulan yang ajaib.

"Yah, memang deh, panitianya enggak terduga."

"Dan Kak Hendra lebih tidak terduga dari apapun di muka bumi ini. Eh tunggu, itu Kak Yo mau kemana?" tanya Rei yang sejak tadi memperhatikan kakaknya, dan kini melihatnya melangkah ke sudut lain audiotorium itu.

Kakaknya menghampiri seorang wanita dengan gaun berwarna emas, dan tak lama kemudian Yoshi sudah berdansa dengan seorang wanita yang di mata mereka berdua sangatlah cantik. Bahkan ketika Mira melihat perempuan itu, bisa dibilang dia agak iri dengan kecantikannya. Saat melihat Yoshi tersenyum senang saat bersamanya, Rei langsung yakin kalau kakaknya itu sudah jatuh cinta pada wanita itu.

Rei tahu kalau hal ini akan membuat Mira makin gelisah, yang dia sadari memang terjadi. Dia teringat akan perkataan Rima saat tadi sore melakukan persiapan terakhir. Sepertinya memang apa yang dikatakan Rima itu terjadi ....

"Itu siapa Rei? Kamu kenal?" tanya Mira sambil berusaha menahan emosinya.

"Nah, aku juga enggak tahu, Mir. Tapi, aku sebagai adiknya tahu pasti kalau Yoshi itu hampir - hampir gak pernah jatuh cinta. Dari apa yang ada di hadapanku, jujur aku enggak pernah lihat dia sesenang itu saat bersama dengan perempuan manapun," sahut Rei, menyampaikan pendapatnya yang paling jujur.

"Kamu yakin?"

"Aku mengenalnya dengan baik, dan aku selalu bertemu dengannya di sepanjang hidupku, Mir. Aku kenal dia dari A sampai Z. Aku jelas yakin soal itu."

"Itu berarti ...."

"Yah, mungkin memang berat untuk mengatakannya Mir, tapi ya, kurasa dia sudah jatuh hati pada perempuan itu. Kalau dia bisa terpikat pada perempuan lain seperti itu, mungkin juga kak Yo ... sejak awal tak memiliki perasaan apapun kepadamu."

Seketika itu jugalah Mira merasa hancur. Dia tak menyangka kalau orang yang selama ini dicintainya bisa memilih orang lain secepat itu. Sementara itu, Rei yang menyadari reaksi Mira langsung saja mengelus punggungnya, berusaha untuk menguatkan si perempuam.

"Mira, tenanglah. Nanti kita bisa mencoba lagi," ujar Rei.

"Tapi aku tak yakin perasaan bisa berubah secepat itu," sahut Mira.

"Aku juga tahu soal itu, Mir. Tapi kalau kita mencoba, pasti kita bisa kan?"

"Aku ... nggak tahu."

"Sudahlah Mir! Gimana ... kalau sekarang kita dansa bareng aja? Lagian, topeng kita kan sama," tawar Rei, sambil menaik - turunkan alisnya.

Mira tertawa ringan, "Kamu sih, kalau sudah naik - turunkan alis begitu pasti ada apa - apanya!"

"Ehe ... apaan sih? Kan aku temanmu. Menghibur masa gak boleh sih?"

"Iya deh, iya," ujar Mira, lalu tersenyum lebar.

"Gitu dong, senyum! Yuk ah!"

Mereka berdua langsung saja turun ke area dansa dan mulai berdansa. Rei bersyukur karena dia berhasil menghibur hati Mira. Rei tau dia bisa menghiburnya. Hanya dia yang bisa melakukannya. Hanya Rei ....

Walau begitu, dia tahu kalau hal ini mungkin hanya akan bertahan untuk sementara. Mungkin nanti Rei harus memikirkan cara lainnya jika saja ada hal lain yang terjadi.

"Kalau Kak Yo jatuh cinta sama perempuan itu, dia juga jatuh cinta sama kakakku enggak ya?" ujar Rei.

"Maksudnya?" tanya Mira.

"Kan kalau dia enggak suka sama Kak Yo, itu berarti masih ada kesempatan buatmu."

"Aku enggak tahu. Kayaknya sulit. Kamu sama Yoshi itu kurang lebih sama. Sama - sama gentleman. Susah buat enggak suka atau senang ketika bersama kalian."

"Eh, jangan salahkan kami dong! Kan ayahku emang sudah dari sananya juga gentleman!"

"Iya, iya. Aku tahu kok."

"Hmm ... Mir, sekarang ini, kalau kamu mau menganggap aku sebagai kak Yoshi juga gak apa kok."

"Aku sudah mencobanya, Rei."

"Maksudmu?"

"Sejak pertama ketemu dengan Yoshi, aku suka sama kakakmu, dan aku sadar kalau mungkin saja aku enggak bisa mendapatkannya. Aku berusaha menganggap kamu sebagai dia, supaya aku bisa melupakan rasa aneh yang aku miliki, tapi rasanya beda. Kalian adalah orang yang berbeda, dan aku nggak bisa menyamakan kalian. Kamu lebih kayak kakakku sendiri ketimbang Yoshi."

Sudah kuduga, pikir Rei. Antara dia dan Yoshi memanglah mirip. Tapi mereka berdua tidak bisa disamakan. Yoshi adalah tipe orang yang kurang menyadari kalau orang lain terpikat padanya, persis seperti ayahnya. Sementara itu Rei seperti ibunya yang bisa merasakan dan memahami emosi orang lain dengan lebih cepat.

Padahal Rei sudah berusaha sebisa mungkin untuk membuat Mira merasa senyaman mungkin ketika bersamanya. Senyaman yang diberikan kakaknya. Tapi Rei terlalu peduli, tidak seperti kakaknya. Rei selalu terlalu peduli. Selalu.

"Ooh ... gitu toh masalahnya? Yah, kalau dipikir benar juga sih. Tapi Mir, kamu boleh percaya kalau aku akan selalu ada di saat senang dan susahmu sebagai seorang sahabat."

"Makasih Rei. Kamu memang sahabat yang baik."

Rei tersenyum. Sahabat. Hatinya hanya bisa tertawa kecil. Rei tahu kalau dirinya hanya akan jadi seorang sahabat bagi Mira. Dia sadar. Tapi Rei menolak untuk menerima kenyataan itu.

~~~~~

"Itu namanya cinta pandangan pertama, Yo," ujar Pak Indra, saat beliau akhirnya melihat Yoshi berdansa dengan wanita pujaannya itu.

"Anakku sudah dewasa rupanya," sahut Pak Kazuki.

"Duuuh! Gak sabar pengen punya menantu!" tambah Bu Sila.

Empat orang yang ditinggalkan Yoshi tadi tengah asyik mengamati si pemuda. Mereka tentu saja bahagia karena Yoshi mendapatkan seseorang yang disukainya. Bahkan Hendra sekalipun, dia kelihatannya senang karena Yoshi bisa berdansa dengan si perempuan. Walau begitu, Hendra terkekeh kecil ketika melihat perempuan yang jadi teman dansanya Yoshi. Sepertinya dia mengetahui sesuatu.

Tapi keheningan di antara mereka itu terpecah karena ada sebuah suara yang membuat keempatnya menoleh. Pak Kazuki dan Bu Sila mengerutkan alisnya heran, sementara itu Pak Indra terlihat agak terkejut dan Hendra hanya tersenyum. Ada seorang pemudi mendekati mereka.

"Ayah!" ujar suara itu.

"Jessica?" kata Pak Indra yang rupanya mengenali siapa dia, "kamu ngapain di sini?"

"Seharusnya aku yang nanya ke ayah! Kok ayah bisa ada di sini sih?" tanya Jessica.

"Biasalah. Nih, karena pak gurumu," sahut Pak Indra, sambil nunjuk Hendra.

"Halo Je~" sapa Hendra.

"Oh, Pak Hen toh. Pantesan saja!" ujar Jessica.

"Sendirian?" tanya Pak Indra.

"Enggak! Tuh ada Bunda! Bun, ini nih, ada Ayah!"

Tak lama kemudian datanglah seorang wanita dengan potongan rambut pendek seperti laki - laki. Tapi wajahnya tetap terlihat menarik, dengan gaun berwarna ungu dia kenakan, senada dengan topeng yang melekat di wajahnya.

"Indra?" ujar ibunya Jessica, atau kalau mau tepatnya, mantan istri Pak Indra.

"Risa?" Sahut Pak Indra.

"Kok kamu bisa ada disini?"

"Gara - gara ini makhluk, dia nyuruh aku ke sini sih," sahut Pak Indra, sambil menunjuk ke arah Hendra.

"Hm, sudah kuduga. Apa aku harus khawatir? Kalau Hendra sampai membawa kamu ke sini, sepertinya akan terjadi sesuatu nantinya."

"Kuharap sih tidak ada yang terjadi. Tapi lebih baik mencegah daripada mengobati kan?"

"Wah, ada yang reunian nih!" celetuk Hendra, yang sepertinya merasa sedikit diabaikan oleh keduanya.

"Iya, topengnya samaan lagi," tambah Pak Kazuki.

Pernyataan tanpa maksud apa - apa dari Pak Kazuki itu menyadarkan keduanya. Pak Indra dan Bu Risa saling berpandangan. Benar saja, mereka mengenakan topeng yang sama. Mereka berdua langsung tersenyum saat menyadarinya.

"Ehm, Yah, Bun, aku mau ... cari Aldo dulu ya? Enggak apa kan kalau kutinggalin?" tanya Jessica.

"Nggak apa kok nak, lagian ini kan pesta kelulusanmu. Nikmatilah!" ujar Bu Risa.

"Ibumu benar. Sudah sana, dia pasti juga sudah menunggumu!" tambah Pak Indra

"Oke, kalau begitu, aku pergi dulu!" kata Jessica, lalu langsung kabur meninggalkan mereka.

Mereka berlima terdiam selama beberapa saat, dan akhirnya Pak Indra memecah kesunyian di antara mereka.

"Risa, dansa yuk?" kata Pak Indra.

"Boleh. Lagian aku pengen banget ngobrol sama kamu. Sudah agak lama sejak terakhir kali kita ngobrol," sahut Bu Risa.

"Oke, kalau gitu, ayo," ujar Pak Indra, lalu keduanya meninggalkan tiga orang lainnya.

"Eh, Ndra, aku juga mau dansa dulu sama Sila! Sana, kamu cari pasanganmu!" kata Pak Kazuki.

"Iya deh. Sudahlah, kalian pergi saja sana! Aku mau ke balkon!" sahut Hendra.

Tersisalah Hendra sendirian, di tengah lautan orang yang sedang berdansa. Dia memandang sekitarnya, lalu menghembuskan nafas dengan berat dan akhirnya dia pergi ke balkon sendirian.

~~~~~

Hendra akhirnya sampai di balkon. Ketika dia sampai, suasananya di sana agak sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang duduk di sana dan bercengkrama. Mungkin karena orang lain masih terlalu sibuk di bawah sana untuk bersenang - senang, makanya tempat itu masih sepi.

Pandangan mata Hendra terpaku pada seorang wanita yang mengenakan gaun berwarna merah dan topeng dengan warna senada. Dia sedang berbicara dengan dua pasang anak muda dengan akrabnya. Hendra langsung bisa mengenali mereka semua.

"Nira!" ujar Hendra memanggilnya.

"Hendra!" sahut Nira.

Hendra langsung menghampiri Nira, dan dia menyadari kalau topeng yang dia kenakan sama dengan Nira. Dalam hatinya, Hendra merutukinya, dan segera sajabtahu kenapa alasan Rima meminta semua topeng itu. Seharusnya aku sudah tahu, Rima itu terkadang niat sekali kalau punya rencana, pikir Hendra. Tapi sepertinya, bukan cuma Hendra yang menyadarinya.

"Cieeee! Sensei sama Bunda samaan nih topengnya!" ujar salah satu dari empat orang yang ada di dekat Bu Nira.

Anak muda yang menyahut tadi adalah seorang pemuda dengan wajah oriental, berkacamata, yang tampangnya terlihat sangat alim plus polos. Ketika bertukar pandangan dengannya, Hendra langsung saja menggeleng dan menyumpah dalam hatinya.

"Berisik deh lu Akira!" semprot Hendra.

"Hehehe, gommen Sensei*. Saya kan cuma bercanda," sahut anak yang bernama Akira itu.

[*gommen : Maaf]

"Kok kalian bisa ada di sini sih?"

"Aku sama Nayla di undang sama Kak Del. Lalu, Bu Nira ngundang Daniel sama Dania," ujar Akira sambil nunjuk Bu Nira.

"Ooh, kamu toh Ra? Tumben kamu ngundang mereka ke sini?"

"Aku lagi kepengen reunian sama anak - anak Mystical Sanrio. Lagian, Rima bilang dia ngundang Akira, jadi mending sekalian kita bikin formasi lengkapnya. Aku juga kangen sih sama mereka semua," sahut Nira.

"Eh, pantas saja. Ngomong - ngomong, tumben kamu nggak sama Senpai - mu, Ra! Biasanya juga kalau ketemu kamu sama Delia pasti bakalan adu tabokan!" ujar Hendra sambil menepuk bahu Akira.

"Tuh, Kak Delia lagi sibuk dansa sama pacarnya!" ujar perempuan yang ada di sebelah Akira.

Perempuan itu terlihat sangat cantik, kulitnya putih bersih seperti salju. Dia mengenakan gaun yang menutup tubuhnya dengan sempurna. Dia adalah Nayla, pacarnya Akira.

"Mana sih, Nay?"

"Tuh!"

Hendra terkekeh. Dari arah tunjukan Nayla, dia bisa melihat seorang perempuan dan juga Yoshi. Hal ini membuatnya senang, karena dugaannya tidak meleset.

"Eh tunggu dulu, bukannya itu Yoshi ya, yang sama dia? Wah, berarti aku tadi nggak salah lihat kalau perempuam yang diliriknya itu adalah Delia."

"Hah? Adik sepupunya bapak itu?" tanya seorang pemuda lainnya yang mengenakan topeng berwarna oranye. Namanya Daniel.

"Iya! Waaah, kayaknya Senpai kalian itu bakalan jadi sepupu iparku," ujar Hendra, lalu tertawa kecil.

"Cocok! Kalian kan sama - sama ngeselin! Gak salah kalau dijadiin satu keluarga," sahut Akira.

"Sialan kamu Ra! Eh, kalian pada enggak dansa nih?"

"Kami nungguin Sensei datang tadi."

"Loh? Kenapa nungguin aku? Kalian kangen sama aku ya?"

"Ih! Amit - amit saya kangen sama Sensei! Saya kangennya sama Bunda!"

"Kami nungguin bapak supaya Bu Nira ada temannya," ujar seorang perempuan dari tadi hanya memperhatikan perdebatan mereka.

Anggota terakhir dari perkumpulan kecil ini adalah seorang perempuan keturunan Indo - Belanda, berambut ikal yang warnanya agak kecoklatan dan kulit putih bersih yang di pipinya ada beberapa bintik - bintik merah, dengan iris berwarna hijau. Perempuan ini bernama Dania.

"Oalah, aku kira kenapa. Lalu, sekarang kalian mau ngapain?" tanya Hendra.

"Karena Sensei sudah datang, ya kami mau dansa dulu! Dadah!" ujar Akira, yang langsung mengambil langkah seribu bersama teman - temannya.

"Hei! Sialan kalian!" seru Hendra, tapi mereka sudah keburu kabur.

Keempat anak murid Hendra itu langsung saja menuruni balkon, untuk berdansa dengan pasangannya. Mereka tertawa sambil meninggalkan kedua guru mereka, kemudian tingallah Hendra dan Nira di sana.

Kedua insan yang tersisa itu terdiam di sana selama beberapa saat sambil memandangi lautan orang yang sedang berdansa. Sepertinya keduanya sedang sibuk dengan pikiran mereka masing - masing. Mereka tetap terdiam, sampai akhirnya Nira memecahkan kesunyian itu.

"Eh, Ndra, kita dansa yuk!" kata Nira.

"A - apa? Nggak lah! Masa aku dansa sama istri orang!" sahut Hendra, dengan maksud bercanda.

Nira terkekeh karena respon dari Hendra ini. Nira sudah mengenal Hendra sejak lama. Terlalu lama, malah. Dia tahu kalau yuniornya ini akan meresponnya dengan cara yang seperti itu. Hendra tidak banyak berubah sikapnya sejak mereka masih bersekolah. Tapi Nira tahu pasti kalau Hendra sudah bukan bocah bau kencur yang dia lihat di pesta dan tempat yang sama, sekitar delapan belas tahun yang lalu.

Sementara itu, bukannya Hendra mau menolak tawaran Nira tadi. Dia malah tidak bisa menolak kalau memang Nira memintanya. Tidak pernah bisa, sebenarnya. Tapi Hendra tahu, kalau dia tidak seharusnya melakukannya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri.

Apalagi pesta dansa tahunan San Rio selalu membangkitkan banyak kenangan dalam diri Hendra. Beberapa di antaranya adalah kenangan manis. Tapi banyak di antaranya adalah ingatan tentang kekacauan, yang entah kenapa sering kali terjadi di pesta dansa tahunan ini kalau dia menghadirinya. Lagi, Hendra punya alasan tertentu untuk tidak mengingat peristiwa ini. Ada satu hal.

"Tidak usah khawatir kali! Kan Haris ada di luar kota! Malam ini saja Ndra, kita berdua dansa, ya? Please?" pinta Nira.

"Nggak bisa, Ra. Aku datang ke sini bukan karena peraturan sialan yang di minta sama Rima dan teman - temannya. Aku selalu bilang kalau aku akan hadir ke sini kalau ada satu alasan khusus. Mungkin kamu kira aku datang karena terpaksa, tapi aku ke sini karena ada alasan khusus itu. Aku harus berjaga, karena aku mendapat ultimatum kalau malam ini sebuah kekacauan akan terjadi. Aku harus siap kapan saja untuk melakukan manuver yang diperlukan," jawab Hendra.

Tentu saja. Kasus. Satu - satunya hal khusus yang bisa menyakinkanmu, selain aku, pikir Nira. Dia mengenal Hendra dengan terlalu baik. Kalau ada sebuah bahaya, Hendra kemungkinan besar akan muncul. Sesaat, dia agak khawatir kalau akan terjadi kehebohan. Tapi yang Nira inginkan sekarang ini adalah untuk berdansa bersama Hendra.

"Hah? Memang kamu menghadapi kasus apa lagi sih?"

Hendra langsung menceritakan hal apa saja yang dihadapinya sekarang ini. Hendra tahu kalau Nira bisa di percaya, dan perempuan ini mengenalnya lebih baik daripada kebanyakan orang yang mengenalnya. Jadilah dia menceritakan soal teror yang diterima para dosen. Dia selalu menjelaskannya dengan senang hati kepada Nira, karena perempuan ini adalah seniornya saat masih bersekolah di San Rio, seniornya di kampus, dan juga kakak dari sobatnya, Ilham.

"Ooh, begitu ya Ndra? Aku jadi khawatir kalau akan ada banyak kekacauan nantinya. Tapi, seharusnya kamu bisa menikmati acara ini sedikit kan? Lagipula, kita kan sama - sama nganggur. Jadi, mau ya, kalau kita dansa?" ujar Nira.

"Nggak bisa Ra. Apa saja bisa terjadi di saat seperti ini," sahut Hendra.

"Dasar kepala batu. Ya sudah, sepertinya aku harus memaksamu ya?"

Nira langsung menggenggam tangan Hendra dengan mesra, sementara itu Hendra terlihat agak risih. Tangan Nira terasa lembut di tangan Hendra. Tapi tangan lembut ini jugalah, yang membuat Hendra ... entahlah. Baginya, Nira sudah menjungkir balikkan, memporak - porandakan, mencampur adukkan hidup Hendra dalam waktu yang lama. Terlalu lama.

"Ra, apa yang kamu lakukan?" tanya Hendra.

"Nggak boleh kenapa? Walau aku istri orang, kalau enggak ada suamiku di sini, ya enggak apa kan kalau aku mengajakmu dansa? Semua orang sudah tahu kalau kita teman dekat," sahut Nira.

"Bukannya begitu ...."

"Kenapa? Perasaanmu terhadapku sudah hilang? Kamu sekarang sudah berubah jadi robot tanpa perasaan, yang hidup hanya untuk kasus?"

"Enggak. Sebenernya, perasaanku tetap seperti dulu, saat aku pertama kali menyukaimu. Entah itu dulu, sekarang, atau nanti, perasaanku tetap sama, walau takkan pernah berbalas."

Nira menghela napas. Aku tahu, tapi sedikit banyak, kamu sudah berubah, Hendra. Kamu bukan bocah pemimpi seperti dulu. Kamu adalah pria dewasa yang akan melindungi semua hal yang kamu sayangi, pikir Nira.

"Tapi kurasa hatimu tidak bilang begitu deh."

"Itu cuma penampilan luarku saja yang kelihatan tanpa hati. Sebenarnya aku masih punya hati dan cinta."

Dan aku juga tahu soal itu. Kalau tidak, kamu tidak akan di sini, membiarkanku menggenggam tanganmu. Aku tidak akan bertahan hidup sampai sekarang ini, pikir Nira lagi. Hendra sudah melakukan banyak hal untuk Nira. Terlalu banyak, malah.

"Nah, kalau kamu bilang kamu masih punya hati dan cinta, kumohon kamu berdansalah denganku. Kalau tidak, sama saja kamu menyakitiku. Sekali saja."

"Aku punya firasat buruk, Ra."

"Kumohon ..."

"Bukannya aku enggak mau Ra, tapi ..."

Kali ini wajah Hendra berhadapan dengan Nira. Tinggi mereka yang hanya beda beberapa senti jelas tak meyulitkan Hendra untuk memandang mata wanita itu lekat - lekat. Hendra langsung meletakkan tangan kanannya melingkar di pinggul Nira, dan tangan lainnya di bahunya. Tubuh mereka hanya berjarak beberapa senti saja.

Nira menikmati saat itu. Dia tidak ingin berhenti. Dia tidak peduli. Sementara itu, Hendra menatap wanita yang ada di hadapannya tanpa tahu harus berbuat apa, selain menahan agar jantungnya tidak melompat keluar dari mulutnya.

Di saat yang sama, Hendra merasakan ada sesuatu yang aneh disekitarnya. Telinganya bisa menangkap ada beberapa gerakan di sekitarnya, dan beberapa kelabat benda bergerak, yang membuatnya langsung menoleh ke berbagai arah.

"Aku benar - benar punya firasat buruk, Ra. Dan kamu tahu kalau biasanya firasatku itu ada benarnya," ujar Hendra, lalu melepaskan dekapannya pada Nira dengan perlahan.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top