Chapter 3 : Makan Siang dan Rencana Perang

Sesuai dengan keputusan yang dia buat, Yoshi bergegas untuk pulang saat jam makan siang di kantornya sudah tiba. Tentu saja dia pulang, soalnya dia penasaran dengan apa yang dirahasiakan oleh kedua orang tuanya itu. Rei mungkin sudah memberikannya informasi secara sekilas, tapi itu saja belum cukup. Belum lagi karena ayahnya mengundang sepupunya untuk makan siang bersama mereka. Pasti apa yang ingin disampaikan oleh ayahnya itu sangatlah penting.

Yoshi mengetuk pintu rumahnya saat dia sampai di depannya. Setelah menunggu selama beberapa saat, pintu dibukakan oleh adiknya. Mereka berdua bertatapan, dan Rei memberikan sebuah senyuman pada kakaknya, yang tentunya langsung dibalas Yoshi.

"Halo Rei!" ujar Yoshi.

"Nah, nih dia manusianya. Yuk masuk! Si Hen belum datang tuh!" sahut Rei.

"Sudah bisa ditebak kalau sih kalau Hendra belum datang. Aku tidak melihat adanya tanda keberadaan dia di sini. Kalau dia sudah sampai di sini, pasti sudah berisik kalian!"

"Pastinya. Masuklah!"

Rei menyingkir, memberikan jalan bagi kakaknya untuk masuk, lalu menutup pintu. Sementara itu, Yoshi melepaskan sepatunya dan meletakkannya ke rak. Dia masuk ke dalam disusul oleh adiknya, kemudian Yoshi menyampaikan salamnya.

"Chichi, haha, watashi wa ie ni yo~*" teriak Yoshi ke dalam rumah.

[* : "Ayah, ibu, aku pulang~]

"Yokoso, Yoshi - kun! Chichi wa ima ni imasu!*" sahut Pak Kazuki.

[* : "Selamat datang, Yoshi! Ayah ada di ruang tengah!"]

Yoshi langsung menuju ke asal suara tadi berada, dan dia menemukan ayahnya sedang duduk di sofa sambil menonton acara berita di ruang tengah rumah mereka. Sang ayah, Pak Kazuki, adalah seorang pria dengan karakter wajah khas Asia Timur, yang semuanya diwariskannya pada Yoshi dan Rei. Beliau menoleh ke arah pintu masuk ketika melihat putra sulungnya datang, lalu tersenyum. Ditepuknya ruang kosong di sebelahnya, lalu Yoshi tersenyum pada ayahnya.

"Halo Yoshi! Gimana harimu?" tanya Pak Kazuki.

Yoshi langsung mengempaskan diri dan duduk di samping ayahnya. Sang ayah terkekeh mengamati kelakuan anaknya itu, lalu mengangkat tangannya untuk mengacak rambut Yoshi. Si anak tidak menolak sentuhan ayahnya itu, karena hal ini sudah biasa dilakukan oleh Pak Kazuki terhadap anak - anaknya.

"Begitulah, " ujar Yoshi, diiringi dengan sebuah senyuman.

"Hei, kenapa kamu senyum - senyum begitu? Ayah jadi curiga deh."

"Oh, gak ada apa - apa kok."

Yoshi terkekeh, dan ayahnya menyipitkan matanya untuk memperhatikan Yoshi. Sang anak tahu kalau ayahnya akan segera menyadari kalau dia menyembunyikan sesuatu, tapi dia tidak ingin mengatakannya dengan begitu saja. Ayahnya pasti akan menggodanya habis - habisan kalau beliau tahu apa yang terjadi di kantor hari ini. Bagi Yoshi, cukup Pak Indra yang menggodanya tadi, jangan sampai ayahnya juga ikut - ikutan.

"Hei, kalau kamu senyum itu patut dicurigai, tahu. Pasti ada apa - apanya."

"Emang gak boleh ya kalau aku senyum?"

"Enggak juga, cuma ada sesuatunya pasti. Apa hayo sesuatunya?"

Yoshi terkekeh, "Dasar ayah, mau tahu saja."

Pak Kazuki menggeleng, "Ya terserah kamu deh, kalau kamu gak mau kasih tahu ya gak apa. Walau hal ini malah membuatku semakin curiga sih. Ah sudahlah, setidaknya bagus deh, karena kamu sudah datang. Sekarang kita tinggal nungguin si tukang ngaret."

Yoshi tersenyum, dan Rei menyusul ke ruang tengah. Si bungsu duduk di sisi lain ayahnya, sehingga Pak Kazuki berada di tengah kedua puteranya. Mereka menonton acara berita sambil bertukar topik obrolan sementara menunggu kedatangan si Hendra.

Selang setengah jam kemudian, barulah terdengar sedikit kegaduhan di depan kediaman Ikemasa, dikarenakan kedatangan Hendra. Dia masuk tanpa mengetuk dan tanpa menimbulkan bunyi sama sekali. Sepertinya ini terjadi karena Rei lupa mengunci pintu depan. Tapi suara langkah kakinya yang mendekat ke ruang tengah bisa terdengar dengan samar, sebelum akhirnya tiba - tiba saja dia sudah ada di belakang Yoshi, Rei, dan Pak Kazuki.

"Halo semua!!! Wah, rupanya tiga Ikemasa ini lagi pada ngerumpi ya?" seru Hendra, yang suaranya bisa terdengar ke seluruh penjuru rumah.

"Eh, sudah datang rupanya! Halo Ndra, apa kabar?" ujar Pak Kazuki, lalu menoleh.

"Halo om~ kabar baik kok!"

"Lumutan kami nunggunya kak, " ujar Yoshi, dengan maksud bercanda.

"Hehehe, sori. Tadi kan aku baru selesai mengajar, makanya agak lama. Tapi, aku lalu langsung ke sini kok."

"Iya, aku ngerti kalau kamu pasti habis mengajar. Tapi gak bisa apa enggak selama itu?" tanya Rei.

"Ugh, nggak? Kan kamu tahu sendiri kalau aku nggak bisa benar - benar tepat waktu. Aku benci rutinitas dan jadwal, dan hidupku memang kacau dari sananya."

"Yah, kamu paham sedikit dong Rei, kakak sepupumu ini kan hidupnya tanpa aturan, walau dia kerjanya sebagai guru. Heran juga bagaimana bisa dia bertahan hidup sampai sekarang," ujar Pak Kazuki.

"Udaaaah! Cukup deh kalian ngegosipnya! Ayo makan, sudah siap tuh!" ujar istri Pak Kazuki, Bu Sila yang melonggokkan kepalanya dari pintu ruang makan yang bersebelahan dengan ruang tengah.

"Nah, tuh! Kalau ibu sudah nyuruh, ayo cepetan deh!" ujar Pak Kazuki, yang langsung saja berdiri.

Keempatnya langsung beranjak dari ruang tengah menuju ke ruang makan. Bukan hanya untuk sekedar makan siang, tapi membahas sebuah masalah yang akan disampaikan oleh Pak Kazuki sebentar lagi.

~~~~~

Lima orang sudah duduk berkumpul di ruang makan keluarga Ikemasa. Pak Kazuki duduk di ujung meja yang bisa memuat enam orang itu. Mejanya sendiri berbentuk persegi panjang yang di atasnya sudah tersaji berbagai macam masakan dari Bu Sila. Di sebelah kanan Pak Kazuki ada Bu Sila, dan di sebelah kirinya ada Yoshi. Di sebelah Yoshi ada Rei yang duduk berhadapan dengan Hendra. Pada awalnya mereka hanya diam dan menikmati santapan yang ada di hadapan mereka, tapi akhirnya Pak Kazuki membuka percakapan antara mereka.

"Kalian tahu kan, apa alasan kalian dikumpulkan di sini?" tanya Pak Kazuki.

"Dengan sangat jelas, om. Kalau om sampai nyuruh aku ke rumah, biasanya sih urusan penting itu," sahut Hendra, lalu menyendok sesuap nasi ke mulutnya.

"Baiklah, aku akan menceritakan masalah ini dengan singkat kepada kalian berdua. Rei mungkin sudah dengar, tapi yah, aku ulangi deh."

Pak Kazuki kembali mengulaingi penjelasan yang sudah disampaikannya pada Rei tentang apa saja yang telah terjadi di kampus tempat Pak Kazuki dan Bu Sila bekerja. Yoshi menyimaknya dengan penuh minat, sementara itu Hendra terlihat seperti sedang berpikir keras sambil menyuap dan mengunyah makanannya.

Bagi Yoshi, mungkin apa yang di alami oleh ayahnya cukup mengerikan. Kenyataan bahwa sebuah tempat untuk mendidik anak bangsa rupanya tidak bisa lepas dari serangan teror. Terlebih bahwa teror itu ditujukan kepada para dosen di kampus itu. Kalau para dosen tertekan karena ancaman yang ada, Yoshi yakin itu juga akan memengaruhi para mahasiswanya. Terutama kalau sampai terjadi kekacauan, maka lingkungan kampus tidak akan jadi kondusif lagi.

Sementara itu Hendra mencerna ceritanya sembari mencerna makanannya. Dia tahu kalau di Universitas Inkuria terjadi banyak hal yang kadang membahayakan. Teror seperti ini bukan kali pertamanya terjadi di kampus, dulu juga pernah ada beberapa teror yang terjadi. Dia bahkan pernah mengalami sebuah teror yang lebih parah lagi, dengan melibatkan dirinya dan juga ledakan. Di dalam pikiran Hendra kini muncul berbagai spekulasi tentang siapa pelakunya dan apa motifnya. Mengingat kalau Hendra tadi pagi sempat berkunjung ke Universitas Inkuria bersama murid - muridnya, dia juga berusaha mengingat apakah ada hal aneh yang dilihatnya.

Setelah Pak Kazuki selesai dengan penjelasannya itu, tiba - tiba suara deringan ponsel menyahut. Rupanya itu milik Pak Kazuki. Beliau langsung membukanya, mungkin mengira kalau itu adalah sebuah pesan yang penting. Tapi setelah membacanya, Pak Kazuki terlihat sangat terkejut dan membaca isinya sekali lagi. Ekspresi wajah beliau yang berubah secara drastis menjadi pucat itu menarik perhatian empat orang yang ada di hadapannya.

"Oh tidak," ujar Pak Kazuki.

"Ada apa, Yah?" tanya Yoshi.

"Kalian lihat saja sendiri."

Pak Kazuki menyodorkan ponselnya ke Yoshi, yang kemudian dia membaca isinya. Yoshi menatap ayahnya, kemudian menyodorkan ponselnya pada Rei, yang kemudian mengopernya ke Hendra. Di sana tertulis sebuah pesan yang dikirim oleh sebuah nomor yang tak dikenal, dan pesan itu berbunyi :

'Aku akan mengubah malam yang menyenangkan itu menjadi penuh bencana. Aku akan menghancurkan kalian semua secara bersamaan.'

Hendra menyerahkan ponsel tadi pada Bu Sila untuk dikembalikan ke Pak Kazuki. Sepertinya tiba - tiba saja selera makan Hendra hilang, karena dia kini berhenti menyuap makanannya. Sesaat, dia terdiam, dan tidak ada orang yang menegurnya. Hingga akhirnya tiba - tiba saja Hendra melotot sambil sedikit berseru. Sebuah ide muncul di kepalanya, tentang apa yang mungkin akan menjelaskan maksud dari pesan itu. Tapi Hendra tidak suka ide macam apa yang muncul itu.

"Oh tidaaak!" ujar Hendra dengan nada suara frustasi.

"Kenapa kak?" tanya Rei.

"Pesan itu berarti sebuah pertanda buruk. Mereka bilang tentang malam yang menyenangkan, iya kan? Menurutku, bisa jadi mereka, siapapun penenor ini, tahu tentang pesta dansa Sekolah San Rio! Tidak ada acara kampus yang akan dilaksanakam pada malam hari untuk satu bulan ini kan? Jadi aku rasa mereka merujuk pada pesta itu! Mereka sepertinya bakalan berusaha untuk mengacau di pesta itu! Tolong om, jangan bilang kalau akan ada dosen yang diundang di acara itu!"

"Sebenarnya, memang ada. Setiap fakultas nanti akan mengirimkan beberapa dosennya, atas kehormatan dan undangan dari San Rio sendiri. Dan di antara dosen - dosen itu, ya termasuk aku dan Sila," ujar Pak Kazuki, dengan nada suara yang sepertinya tidak senang.

"Kalau kamu memang perlu konfirmasiku, maka kamu benar. Tidak ada acara besar yang terjadi di kampus pada malam hari, sejauh yang aku tahu. Mungkin ada beberapa organisasi mahasiswa yang mengadakan rapat, tapi hanya itu," sahut Rei.

"Ah, sialan! Seharusnya aku sudah bisa duga, tentu saja San Rio mengundang pihak kampus! Satu hal yang bisa kukatakan atas hal ini adalah, ini gawat. Aku sudah sering melihat acara pesta dansa Sekolah San Rio dikacaukan, tapi sepertinya kali ini akan lebih parah lagi! Untungnya kita bisa tahu lebih awal kali ini!" kata Hendra

"Emang kenapa sih ka? Kalau memang ini lebih awal daripada yang biasanya terjadi, kamu ada rencana atau langkah antisipasi?" tanya Yoshi.

"Ya, bisa dibilang? Setidaknya kita bisa lakukan sesuatu sebagai pencegahan adanya korban jiwa tak berdosa. Aku sudah pernah mengabaikan tanda kekacauan seperti ini, jadi tolong dengarkan perkataanku."

"Jelaskan apa ide yang kamu punya, Ndra," pinta Pak Kazuki layaknya seorang dosen yang mengetahui seorang mahasiswanya bisa menjawab dengan benar, lengkap dengan nada suara yang beliau sering gunakan ketika mengajar.

"Simpel saja sih sebenarnya. Kita perlu siapkan beberapa orang di pesta itu. Tapi bukan pasukan polisi, karena itu akan terlalu mencolok. Tapi setidaknya beberapa orang yang bisa mengamankan keadaan kalau terjadi sesuatu, sementara menunggu polisi datang. Di pesta itu, satu orang biasanya boleh bawa maksimal dua orang luar dari luar San Rio. Jadi, aku akan undang Yoshi dan Pak Indra. Sementara itu Rei nanti pasti akan ada di sana juga, karena ada beberapa mahasiswa dari badan eksekutif yang diundang."

"Begitulah, kami kan juga ada di sana sebagai undangan," sahut Rei.

"Eh? Bukannya aku sama Pak Indra polisi ya? Katanya yang tidak mencolok?" tanya Yoshi.

"Aku bilang kan bukan pasukan polisi. Kamu akan terlihat seperti undangan pada umumnya, tampangmu itu kan masih bening begitu, gak akan ada yang curiga deh! Lalu, Pak Indra akan terlihat seperti wali murid yang menemani anaknya. Aku sendiri juga akan ada di sana nantinya. Mungkin itu cukup untuk pencegahan. Walau aku tetap berharap kalau kekacauan itu tidak akan terjadi," jawab Hendra.

"Hmm, baiklah. Kalau memang begitu, aku akan datang."

"Bagus, nanti kita akan berjaga - jaga di sana. Jangan lupa bawa senjata, Yo! Kamu bisa tenang karena tidak akan ada pemeriksaan ketat sebelum kamu masuk ke dalam audiotorium, selama kamu bisa menyembunyikan senjatamu dengan baik. Kasih tahu Pak Indra juga nanti!"

"Siap kak!"

"Oke, tindakan pencegahan kita setidaknya sudah cukup bagus."

"Setidaknya kita sudah berusaha. Tapi aku tetap berharap semoga saja tidak terjadi apa - apa deh."

"Aku juga mengharapkan hal yang sama, Yo. Tapi dari pengalamanku, kalau kita sudah mendapat yang namanya ultimatum seperti itu, kemungkinan kita untuk tidak mengalaminya jadi agak mustahil, Yo. Kemungkinan besar kita nantinya akan menghadapi sebuah perang. Jadi persiapkan dirimu untuk sesuatu yang buruk. Percaya deh, aku sudah pernah terjebak dalam keadaan seperti ini."

~~~~~

Keesokan harinya, ketika Yoshi duduk di mejanya yang ada di kantor, kepalanya masih dipenuhi dengan masalah yang diperbincangkannya dengan keluarganya kemarin. Dari nada bicara Hendra, dia tentunya bisa merasakan hal yang tidak benar. Kemungkinannya, mereka akan menghadapi sesuatu yang gawat. Kalau Hendra sudah memprediksi sesuatu kejadian seperti itu, biasanya hasilnya cukup akurat. Hendra itu bukan cenanyang, tapi dia jelas punya pengalaman akan masalah seperti ini, yang membuat tebakannya sering kali jadi akurat. Jadi, Yoshi tidak akan main - main dalam mengatasi masalah yang satu ini.

Ketika Pak Indra datang, Yoshi langsung saja menjelaskan secara urut kejadian yang di alaminya di rumah kemarin. Pak Indra menyimak ceritanya, dan kemudiang mengangguk. Beliau langsung saja menyanggupi permintaan Hendra untuk berjaga di sana.

"Baik, saya bakalan hadir kok. Lagian, itu kan juga acara kelulusan anak saya," ujar Pak Indra.

Yoshi mengerutkan alisnya. Hendra memang sempat menyinggung soal Pak Indra yang akan terlihat seperti seorang wali murid. Tapi jelas Yoshi tidak tahu kalau maksudnya itu kalau Pak Indra benar - benar wali murid dari salah satu siswa di Sekolah San Rio.

"Hah? Pak Indra punya anak?" tanya Yoshi.

"Loh, saya enggak pernah cerita ya?"

Yoshi menggeleng, karena Pak Indra belum pernah menjelaskan secara rinci soal anaknya. Pak Indra menceritakan tentang anaknya, yang bernama Jessica Sutedja. Kebetulan sekali tahun ini dia akan lulus dari Sekolah San Rio. Pak Indra jelas langsung menyetujui ajakan tadi, karena beliau junga ingin melihat acara kelulusan anaknya. Pak Indra jarang melihat anaknya, mengingat kalau hak asuhnya jatuh ke sang mantan istri. Yoshi mengangguk saat Pak Indra selesai bercerita, memahami situasi yang di alami oleh sang atasan.

"Wah, sayang sekali ya, kenapa anda bisa bercerai. Padahal kelihatannya anda dan mantan istri anda itu baik - baik aja," komentar Yoshi.

"Mantan istri saya yang minta. Padahal, kalau mau jujur sih, saya masih mencintai dia. Tapi apa boleh buat, kalau dia memang tidak merasakan cinta itu lagi, saya tidak bisa mencegahnya kalau dia memang memutuskan untuk pergi," sahut Pak Indra.

"Bapak masih mencintainya sampai sekarang?"

"Ya. Tuh, lihat?"

Pak Indra menunjuk meja yang ada di samping kirinya. Bunga mawar di meja itu setiap hari selalu terlihat baru dan segar. Pada awal dia di tempatkan di ruangan itu, Yoshi tidak mengerti kenapa bunganya selalu diganti setiap hari, dan lama kelamaan dia mengabaikannya. Kini, Yoshi tahu kenapa.

"Jadi, bapak yang selalu mengganti bunganya?" tanya Yoshi.

Beliau mengangguk, "Ya, dulu saat kami masih suami - istri dan dia juga bekerja di sini, saya membelikan dia bunga mawar, hampir setiap hari. Dia selalu meletakkannya di meja kerjanya," jawab Pak Indra, lalu beliau tersenyum tipis.

"Ooh! So sweet deh pak!" sahut Delia, yang baru saja datang di tengah pembicaraan soal anak Pak Indra, kemudian dia ikut menguping.

"Ya, bapak sih enak, pernah mencintai dan dicintai. Saya boro - boro, pacaran sama cewek aja belum pernah," sahut Yoshi.

"Hah? Serius kamu Yo enggak pernah pacaran? Masa iya, kamu kan ganteng begini, masa nggak laku?" tanya Pak Indra.

"Sebenernya sih, enggak juga. Pernah sih, sekali, tapi itu cuma bercanda antara saya sama teman sekelas. Saya nggak pernah berada dalam hubungan yang serius."

"Kaliin aja enggak pernah. Kalau nggak pernah, saya patut curiga sama kamu."

Yoshi terkekeh, "Eh, nggak kok pak, saya masih normal kok."

"Kamu nggak sendiri, karena aku juga sama kok Yo! Masih jomblo bin ngenes ..." sahut Delia.

"Yah, setidaknya jomblo itu banyak di pasaran, nggak cuma satu atau dua macam barang yang ketinggalan di etalase."

"Banyak di pasaran? Kamu kira barang murahan?" sahut Pak Indra, yang geli ketika mendengar gagasan Yoshi itu.

"Kalau begitu, kamu beruntung. Di pesta dansa San Rio kamu bisa ketemu banyak cewek cakep! Siapa tahu ada siswa yang ngundang kakaknya. Mereka kan boleh bawa tamu!" ujar Delia, yang sepertinya juga sempat mendengar sedikit pada bagian saat Yoshi meminta Pak Indra pergi ke acara itu.

"Eh, beneran?" tanya Yoshi.

"Yaelah, enggak percaya! Aku kan alumni San Rio, tepatnya murid kakak sepupumu yang eksentrik itu loh! Jelas saja aku tahu! Kujamin kamu enggak menyesal deh! Malah ini acaranya pesta dansa topeng lagi. Kamu kan pasti bisa mengira - ngira, kalau ceweknya masih pakai topeng kamu sudah terpesona, gimana kalau dibuka coba? Wow kan?"

"Wah, benar juga,"

Khayalan Yoshi langsung mengembang. Entah kenapa, dia malah membayangkan jika seandainya Delia mengenakan topeng dan gaun di pesta dansa itu, pasti akan sangat misterius dan ... anggun. Tapi itu hanya imajinasi sejenak, sebelum akhirnya Yoshi kembali ke alam sadarnya.

Masalahnya, Yoshi juga harus ingat satu hal. Kalau dia pergi ke pesta dansa itu dengan tujuan untuk memantau keadaan, dan mengamankan jika memang ada sesuatu yang mencurigakan terjadi. Itulah tugas utama yang diberikan Hendra kepadanya.

"Halooo? Yoshi?" ujar Pak Indra sambil melambaikan tangannya tepat di depan wajah Yoshi.

"Eh, sori, saya melamun," sahut Yoshi, lalu terkekeh.

"Yee, belum juga ketemu ceweknya, sudah main mengkhayal yang enggak - enggak nih anak!"

"Ya wajar dong pak! Lagian, siapa sih, cowok yang tahan berlama - lama jomblo sampai lumutan?"

"Palingan cuma Pak Hendra. Dia sih, pemegang rekor jomblo terlama deh kayaknya," sahut Delia.

Mereka bertiga langsung meledak dalam tawa saat menyadari bahwa yang dikatakan Delia adalah kenyataan. Kenyataan yang menyakitkan, tapi akurat.

~~~~~

Sementara itu, di saat yang sama, di tempat yang berbeda ...

Rima sedang berkutat dengan catatannya di meja ruang OSIS. Pandangannya dengan serius meneliti daftar nama yang ada di hadapannya. Sementara itu, Jessica duduk di sebelah Rima, saat tiba - tiba pintu terbuka dan Febri merangsek masuk.

"Wah, kalian masih betah ya berkutat di sini?" ujar Febri, saat melihat keduanya di hadapan catatan yang tak kunjung juga selesai mereka periksa.

"Iyalah. Aku harus menyempurnakan risetku," sahut Rima, tanpa mendongak dari catatannya, lalu membalik satu halaman.

"Oh ya, tadi aku sempet ketemu sama Pak Hen, katanya dia mau mengundang sepupu sama temennya. Ini namanya!"

Rima melirik sekilas tulisan di kertas itu. Dia bisa melihat tulisannya yang lumayan rapi, yang dia kenali sebagai tulisan Hendra. Bukan hal yang mengejutkan, tapi nama yang tertulis di sana membuatnya kaget. Sesaat, Rima terdiam, tapi otaknya berpacu dengan cepat sehingga yang wajahnya perlihatkan berikutnya adalah sebuah seringaian.

Oh, ini pasti akan seru sekali, pikir Rima.

"Sudah aku duga," ujar Rima, lalu terkekeh.

"Apaan sih?" tanya Jessica.

"Jangan kaget loh Kak Je. Coba kakak lihat sendiri deh."

Rima mengangsurkan catatan nama yang diberikan Febri tadi ke Jessica yang langsung saja menyambar kertasnya dari tangan Rima. Setelah Jessica membaca nama yang ada di kertas itu, Jessica menampakkan ekspresi wajah bahwa dia sangat terkejut.

"A - apa? Indra Sutedja?" bisik Jessica.

"Yap. Tepatnya, ayahmu. Iya kan, Kak Je?" sahut Rima.

"Kenapa bisa? Tapi bukannya ... bagaimana bisa Pak Hendra ...."

"Pasti ada kasus di kampus tempat kita menyewa audiotoriumnya itu. Aku dengar sendiri percakapan Pak Hen secara sekilas, saat nongkrong di perpus. Kebetulan aku nguping pembicaraannya sama Pak Kazuki, dosennya saat masih kuliah yang sekaligus om - nya. Mereka mengalami semacam teror di sana. Awalnya, aku pengen rencana ini cuma sebagai ... perjodohan kecil. Tapi sepertinya kali ini akan jadi mega perjodohan."

"Oh, pantas, sejak awal aku sudah curiga sama kelakuan kalian. Kak Rima sih, kalau sudah minta sesuatu pasti ada udang di balik bakwan!" sahut Febri.

"Ya, kan pada awalnya kupikir dia bakalan mengundang hanya satu orang, mungkin dua. Rupanya malah ada sesuatu yang terjadi di luar dugaan. Nah, di pesta nanti akan ada mamamu kan, Ka Je?"

"I - iya sih, Mama bakalan datang," ujar Jessica.

"Bagus! Feb, nanti kasih tahu kami ya, kalau pesanan topeng pestanya sudah kelar!"

"Siap kak!" seru Febri.

"Nanti aku akan bereskan semuanya. Aku yakin, kalau kali ini rencanaku akan berjalan dengan baik, walau sepertinya nanti kita harus mengalami sedikit kekacauan di pesta dansa tahunan San Rio kali ini."

Rima kembali terkekeh, dan dua orang yang ada di dekatnya hanya bisa memandang satu sama lain dengan penasaran. Sepertinya, anak yang satu ini sudah merencanakan sesuatu, tapi mereka tidak akan tahu apa itu, sampai hari di mana pesta dansanya di laksanakan.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top