Chapter 2 : Persiapan Pesta dan Pengakuan Mira
Rei baru saja menyelesaikan kelasnya, dan kini dia sedang berjalan menuju ke audiotorium kampus. Sesampainya di sana, dia langsung saja mengerahkan tenaganya untuk merapikan ruangan tersebut. Dia dan rekan – rekannya harus menyiapkan ruangan itu untuk di pakai oleh Sekolah San Rio dalam acara pesta dansa perpisahan yang akan di adakan seminggu lagi. Sebagai wakil ketua organisasi mahasiswa di kampusnya, dia jelas harus membantu persiapan, karena kebetulan ketuanya sedang tidak bisa berhadir.
"Kak Rei! Ini sudah oke kan panggungnya?" tanya seorang pemuda yang kini sudah ada di depan Rei, sambil membenarkan posisi kacamata yang ada di depan hidungnya.
"Iya, sudah cukup kok Bi! Tapi, kita lihat saja nanti apa kata utusan dari San Rio yang datang ke sini, siapa tahu mereka mau minta perubahan sedikit,” sahut Rei.
"Ngomong - ngomong, utusan mereka bakalan datang sebentar lagi," ujar salah seorang perempuan yang tiba – tiba sudah ada di sebelah Rei.
"Ooh, gitu ya? Makasih infonya Selfi!"
"Aku kan sebagai sekretaris harus ngasih tahu waketum akan hal – hal penting. Sudah kewajiban saya itu pak,” sahut si perempuan yang di panggil Selfi itu, lalu dia terkekeh.
"Dasar kamu ini, kayak ada apa aja gitu.”
Keadaan tiba – tiba menjadi agak hening hening sejenak, sampai akhirnya ada sebuah suara yang seketika memecahkan kesunyian yang indah itu.
"Halo? Apa di sini ada yang namanya Rei?" tanya seorang perempuan yang tiba – tiba sudah ada di depan pintu masuk.
Ketiga orang tersebut langsung saja menoleh untuk mengetahui siapa yang datang. Rei langsung mengerutkan alisnya ketika dia melihat sosok yang familiar di sana.
Sementara itu, si sosok perempuan tadi langsung saja melangkah ke arah ketiga orang itu, sambil menebar sebuah senyum ramah yang membuat Rei terdiam sejenak sebelum akhirnya dia bisa mengeluarkan beberapa patah kata dari bibirnya.
"Eh? Mira, ngapain kamu di sini?" tanya Rei.
"Cie, yang didatangi pacarnya," goda si anak laki – laki berkacamata tadi.
"Apaan sih Bi? Berisik ah," sahut Rei, lalu menyikut rekannya dengan pelan.
"Si Abi kan enggak pernah liat orang pacaran, maklumin aja Rei. Pacaran saja gak pernah tuh dia,” ujar Selfi, lalu terkekeh sambil menahan gelak tawanya.
"Apaan sih Kak Selfi!" sahut laki - laki yang dipanggil Abi tadi.
"Wah, lagi kerja nih kalian? Aku boleh ikut mengganggu nggak?" tanya Mira.
"Bukannya tugasmu sudah selesai ya?" tanya Rei.
"Iya, tapi karena aku lagi ada masalah dikit sama teman – temanku, makanya aku kabur ke sini. Daripada gak ada kerjaan, kan mending aku bantu kalian."
"Oh, begitu? Ya sudah, boleh saja sih kalau kamu mau bantu. Toh kan kalau ada lebih banyak orang lebih cepat juga selesainya kerjaan kita."
"Oke, makasih sudah bolehin aku bantu, pak waketum!"
Rei tersenyum, lalu mengangguk, “Iya, sama – sama. Yuk, kita lanjut lagi kerjaan kita!”
Mereka baru saja ingin kembali ke aktivitas mereka yang sebelumnya saat Rei mendengar sebuah suara yang langsung membuatnya membeku selama lima detik. Dia mengenal suara ini dengan sangat teramat sangat baik.
"Halo semuanya!" seru seorang pria dari arah luar ruangan.
Suaranya itu seolah menggema di audiotorium sehingga menjadi lebih nyaring lagi, yang otomatis membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menoleh ke arah asal suara.
Rupanya, tidak lain dan tidak bukan suara itu berasal dari pak guru kesayangan kita, Hendra. Dia kini ada di depan audiotorium bersama dengan rombongannya yaitu seorang wanita berhijab dan juga berkacamata, serta 5 orang remaja yang kelihatannya adalah murid dari kedua guru tersebut.
Melihat siapa yang datang, Rei langsung menghela napasnya, kemudian menepuk jidatnya. Dia hampir saja lupa kalau sepupunya itu bekerja di San Rio, dan tentunya dia sudah mengajukan diri untuk menemani anak muridnya, karena dia tahu akan ada kemungkinan untuk menemui Rei di sini.
Sepertinya memang susah melepaskan diri dari jeratannya si Hendra. Apalagi kalau kamu adalah keluarganya.
“Ya Tuhan, kenapa manusia gaib itu bisa ada di sini? Tapi yah, ini dia, si guru paling nyeleneh sepanjang masa," bisik Rei.
"Emang siapa dia?" tanya Mira, yang rupanya mendengarkan bisikan Rei tadi.
"Dia sepupuku .... Oi, sini kak!" jawab Rei, singkat, lalu melambai ke arah Hendra.
Hendra melambai heboh ke arah Rei, dan masuk ke dalam audiotorium. Hendra mempersempit jaraknya dengan Rei, dan ketika jarak mereka sudah cukup dekat, langsung saja Hendra menyapa sepupunya tersebut.
"Halo Rei! Wah, sudah cukup lama ya kita enggak ketemu?" ujar Hendra.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?!" tanya Rei, meski pertanyaannya itu bisa di jawab dengan mudah.
"Eh, emang salah ya? Kamu lupa ya, aku kan guru di San Rio. Jadi, kali ini aku mendampingi anak - anak muridku ini buat lihat gimana gedung yang mereka pakai buat pesta dansa nanti," jawab Hendra.
"Kalau itu sih aku tahu. Tapi dari sekian banyak orang di San Rio, kenapa harus kamu yang datang?"
"Kan aku tahun ini mengambil posisi sebagai guru pembimbing mereka dalam urusan pesta dansa ini. Lagi, aku tahu betul soal audiotorium ini karena ya ... aku juga lulusan sini, dan pernah mengadakan acara serupa di sini."
Rasanya saat itu Rei ingin sekali untuk membenturkan kepalanya ke dinding. Jelas saja dia benar kalau Hendra adalah guru pembimbing mereka kali ini. Seharusnya dia tidak mempertanyakan itu. Tapi Rei menahan dirinya, karena ya ... tidak ada gunanya sih dia marah atau kesal. Sekekali kan bagus juga bisa melihat Hendra tidak cuma mengoreksi kertas jawaban anak muridnya.
"Nah, kenalkan! Ini, rombongan panitia pelaksana pesta dansa tahunan San Rio tahun ini. Ada Nira, teman seprofesiku yang juga jadi pendamping, lalu ada Rima, Damien, Jessica, Aldo, dan juga Febri. Lalu guys, ini Rei, dia perwakilan dari badan eksekutif mahasiswa di Universitas Inkuria, yang kebetulan masih sepupu saya," ujar Hendra memperkenalkan mereka.
"Aku sudah kenal sama Kak Rei kali pak!" sahut Rima.
"Jelas aja kamu kenal aku, Rim! Lama enggak ketemu nih! Gimana kabarmu?" tanya Rei
"Lama banget malah kita nggak ketemu kak, semenjak kejadian itu aku gak pernah lihat kakak lagi. Kabarku baik kok!"
"Lalu, kakakmu?"
"Dia hari pertama masuk kerja hari ini."
"Wah, nanti bisa ketemu Yoshi dong~"
"Bisa jadi," sahut Rima, lalu memberikan sebuah senyuman penuh arti.
"Wah, rupanya audiotoriumnya enggak banyak berubah ya?" Ujar Nira, yang kini melirik sekitarnya.
"Iya Ra. Emang enggak berubah," Sahut Hendra.
"Haduuuh ... kok aku jadi kangen sama masa sekolah dan kuliah ya? Kan terakhir angkatannya kamu yang bisa bikin acara pesta dansa di sini, kan Ndra?"
"Emang."
"Pak, Bu, jangan pacaran mulu dong. Kita terabaikan nih," ujar Damien.
"Siapa yang pacaran sih? Kamu kali Mien, yang terlalu romantis sama Rima!" balas Hendra.
"Bapak nggak sadar diri ya? Situ kan juga pasangan yang paling romantis se - San Rio." ujar Rima, lalu terkekeh.
Hendra menghembuskan napas kesal. Dia mengarahkan tangannya untuk menjitak Damien. Si remaja tanggung itu mengaduh, kemudian Hendra mengarahkan kepalan tangannya ke Rima. Tapi korban selanjutnya itu berhasil menghindar di saat yang tepat sebelum Hendra mengenainya. Rima tersenyum untuk kemenangannya, dan si guru hanya bisa geleng - geleng kepala.
Sementara itu, Rei memperhatikan Nira, rekan Hendra, hanya diam memerhatikan ketigannya sambil geleng - geleng kepala. Tapi semburat merah terlihat di pipi sang guru. Rei mengerutkan alisnya, tapi tidak ingin menduga - duga lebih jauh lagi. Hanya Tuhan yang tahu kenapa bu guru itu memerah wajahnya di ruangan audiotorium yang sejuknya minta ampun itu.
"Wah, dasar bocah - bocah sialan kalian. Enak betul ya kalian main pasang - pasangkan gitu? Bu Nira sudah punya suami loh, kalau ada macam - macam nanti saya bisa dipites sama suaminya! Terus, kalian kan sudah tahu kalau saya masih berminat sendirian, entah sampai kapan," ujar Hendra.
Rei tersenyum. Ah iya, Hendra dan idealismenya. Entah kapan sepupunya itu akan memikirkan kebahagiaannya sendiri, karena selama ini dia terlalu sibuk dengan bahaya yang menantang hidupnya, dan membahagiakan orang lain.
Walau dalam hati, sebetulnya Rei agak setuju dengan apa yang di katakan oleh Damien kalau Nira cocok dengan Hendra. Rei jarang melihat sepupunya dekat dan senyaman itu dengan seorang perempuan, dan mereka bisa dibilang serasi. Tapi Rei tidak akan mengatakannya di hadapan Hendra karena dia tahu sepupunya pasti akan menghadiahinya sebuah jitakan, dan sekarang dia ini sedang tidak berminat untuk dijitak. Terutama karena dia sudah dapat dua jitakan dari ayahnya pagi ini.
"Habis, kalian nempel begitu sih! Kan jadi curiga gitu loh. Kalian ini juga, katanya teman tapi kok mesra begitu? Siapa yang nggak diam - diam nyomblangin coba?" sahut Damien.
"Kami kan sudah kenal sejak kalian masih wacana bagi ortu kalian. Kamu tuh yang sama Rima romantis betul! Sebagai jomblo saya iri."
"Tapi tetap kalian pasangan terepik se - San Rio."
"Kalian kali .... "
"Hoi, hoi! Kalian jangan berantem terus dong! Kapan kita mau keliling?" ujar seorang pemuda, yang sudah di beritahu tadi kalau namanya adalah Aldo.
"Tahu ah kalian ini! Sudah ah, saya capem dengarnya. Terserah kalian mau nganggap saya gimana sama Hendra," sahut Nira, yang entah kenapa pipinya semakin memerah.
"Ya sudah, kalau begitu mending kita mulai keliling sekarang! Yuk!" ajak Rei.
Rei mulai melangkahkan kakinya memimpin rombongan tamunya untuk berkeliling di audiotorium dan mengecek apakah ada kekurangan dari tempat itu. Pihak dari San Rio memberikan Rei beberap detil yang perlu ditambahkan, dan mereka hanya menghabiskan waktu selama setengah jam untuk mengecek bahwa semuanya sudah sesuai dengan keinginan mereka.
"Gimana Feb? Sudah oke kan?" tanya Hendra.
"Wah, mantap deh semuaya pak! Makasih loh pak, sudah ngasih rekomendasi tempat ke panitia!" sahut Febri, anak yang rambutnya di kuncir kuda.
"Gak masalah. Sudah kewajiban saya sebagai pembimbing untuk memberi saran pada kalian."
"Oke! Eh, Kak Je sama Kak Rima udah mikirn permintaan spesial kalian buat panitia gak? Kalian kan ketua angkatan, jadi sudah ada kesepakatan?"
"Eh iya ya, biasanya di pesta dansa tahunan panitia bakalan mengabulkan 3 special request buat para senior mereka! Sudah kepikiran?" tanya Nira.
"Oh iya! Kami sudah diskusikan itu sama angkatan kami kok! Kasih tahu deh hasilnya gimana, Kak Je!" ujar Rima.
"Oke, jadi berdasarkan hasil rapat, kami sudah putuskan permintaan kami apa. Yang pertama, kami minta disedikan kursi di balkon audiotorium ini. Tujuannya biar nanti ada tempat buat duduk, kalau sudah bosan dansa dan pengen mengamati keadaan sekitar," ujar Jessica.
"Oh, kalau soal itu bisa di atur! Kami punya banyak kursi kok di gudang, nanti aku dan teman - teman akan menyiapkannya buat kalian!" sahut Rei.
"Yang kedua ... ini agak ribet sih, apalagi sudah H - 8, tapi semoga masih sempat. Soalnya, kami mau setiap orang yang akan hadir disediakan topeng dari sekolah. Jadi di undangan yang di sebar nanti, diberikan juga topengnya. Nggak ada kewajiban buat berdansa sih, tapi kami mau setiap undangan berdansa dengan orang yang punya pasangan topeng dengan yang mereka pakai. Nanti kami akan siapkan daftar semua warna dan namanya."
"Wah, kayaknya ide bagus tuh, pesta kali ini temanya pesta topeng! Aku bisa urus itu, nanti aku bisa minta bantuan tanteku!" ujar Febri.
"Dan yang terakhir ... kami minta semua guru di wajibkan hadir di acara dansa ini! Enggak peduli alasannya apa, harus ada sampai acaranya selesai! Titik!"
Rima dan Damien saling memberikan tatapan penuh arti satu sama lain, Nira hanya bisa tersenyum mengamati keinginan anak muridnya itu. Tapi sepertinya ada satu orang yang tidak senang akan permintaan itu.
"Alamak! Kenapa kalian pakai minta semua guru hadir sih? Aku ngurusin acara ini sih oke, tapi aku kan nggak kepengen datang ke pesta dansanya! Aku sudah ke acara serupa setiap tahunnya di masa sekolahku! Sekarang aku jadi guru harus datang juga? Bosan, tau!" seru Hendra.
Rima dan Damien menahan tawa mereka ketika melihat Hendra protes. Sementara itu yang lain terlihat geleng - geleng akan kelakukan pak guru mereka yang agak nyeleneh itu.
"Permintaan yang bagus tuh kak! Kan selama ini kadang ada guru yang bolos dari acara pesta dansa! Kan seharusnya mereka juga datang, ini kan sebagai ... detik terakhir untuk mengenang semua siswa yang lulus!" ujar Febri, lalu melirik Hendra.
"Iya, saya setuju. Memang banyak banget yang sering bolos! Terutama manusia yang satu ini!" sahut Nira sambil menunjuk Hendra.
"Aku kan gak punya pasangan dansa! Ngapain coba datang kalau akhirnya aku cuma diam saja dan gak ngapa - ngapain?" sahut Hendra.
"Ya tapi datang dong, seengaknya! Datang ke pesta dansa kan gak musti dansa! Kamu kan bisa ngobrol, lihat - lihat, atau ngeladenin fans - fansmu buat berfoto selfie! Dan kali ini kan lebih enak, kalau kamu malas di lantai dansa, bisa duduk di balkon, dan pasangan dansanya juga sudah ditentukan. Kalau gurunya jomblo semacam kamu, pasti dicariin pasangannya juga kan?"
"Betul sekali bu! Karena itulah kami meminta secara khusus agar setiap topeng itu ada pasangannya," sahut Rima, lalu mengerling ke arah Hendra.
Mereka terdiam, dan Rei bisa melihat beberapa bulu di leher Hendra berdiri. Entah apa alasannya, tapi hanya dua hal yang bisa di pikirkan oleh Rei sebagai alasan kenapa Hendra tidak mau berhadir di pesta itu. Pertama, Hendra merasa tidak nyaman karena dia akan di serbu oleh banyak siswa putri yang berdandan habis - habisan. Lalu yang kedua, bisa saja malah harus Hendra harus berdansa dengan ibu - ibu rekan kerjanya yang sudah berumur. Entah yang manapun alasan Hendra, keduanya sama - sama horor menurut Rei.
"Nah, dan lagi, kalau kamu beneran kepengen dansa dan nggak suka sama pasangan dansamu ... kamu bisa dansa sama aku kok ... "
Keadaan kembali hening, dan kini Rei kembali melihat rona merah di pipi Nira. Hendra langsung menoleh menatap rekannya sambil mengerutkan alisnya. Aldo dan Jessica kini bertukar pandangan, semenyara itu Damien dan Rima saling melongo setelah mendengar pernyataan tadi. Hanya Febri yang sepertinya tidak mengerti apa yang barusan saja terjadi. Rei sendiri membeku, mendengar pernyataan yang mungkin perempuan lain harus berjuang setengah mati dulu sebelum mengatakannya, karena dia tahu kalau Hendra biasanya akan menolak mentah kesempatan untuk bisa sangat dekat dengan lawan jenisnya.
Hendra akhirnya menghela napasnya, "Tapi kamu nanti kan pasti ke pesta dansa itu sama Haris," sahut Hendra.
"Enggak kok. Dia ada tugas luar kota di hari pesta dansanya diadakan. Jadi, nanti aku cuma sendirian."
Hendra sekali lagi memandang Nira dengan ekspresi tak percaya. Matanya penuh telisik, berusaha mencari sesuatu di dalam ekspresi Nira. Tapi akhirnya dia kembali menghembuskan napasnya lewat hidung, dan mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu lebih baik aku datang saja nanti." ujar Hendra.
Damien dan Rima terlihat sangat terkejut atas pernyataan guru mereka itu. Sepertinya semua orang yang mengenal Hendra juga akan kaget, karena kalau Hendra sudah bersikap keras kepala, maka akan sulit untuk mengubah pendiriannya. Semua orang masih terdiam, tapi Damien bisa dengan cepat menguasai dirinya lagi.
"Nah, akhirnya mau juga nih orang datang! Biasanya juga pasti cuma datang karena alasan khusus, kasus misalnya," ujar Damien.
Mungkin anak - anak itu tidak mendengarkannya, tapi Rei berada tepat di sebelah Hendra, sehingga dia bisa melihat bibir Hendra berbisik pelan, dan mengatakan "aku memang punya alasan khusus .... "
"Oke, ini sudah semua kan? Gimana kalau kita pamit saja?" usul Nira.
Semua muridnya menganggu setuju, kemudian Hendra tersenyum. Diraihnya tangan Rei untuk bersalaman.
"Ya sudahlah. Kita pamit ya Rei? Sampai ketemu nanti siang!" ujar Hendra.
"Oke, sampai nanti!" Ujar Rei, membalas genggaman tangan Hendra.
Mereka semua pamit undur diri, lalu tersisalah Rei. Si pemuda mengamati sekelilingnya, dan melihat kalau rekan - rekannya sudah membubuarkan diri karena mereka perlu untuk menyiapkan kursi di balkon. Tapi di sana tersisa Mira, yang kini tersenyum ke arah Rei. Mira melangkah mendekati Rei, kemudian Mira membuka mulutnya untuk memulai sebuah percakapan.
"Eh Rei, sebenarnya ... aku ke sini karena aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ujar Mira.
Rei ingin tidak percaya akan apa yang didengarnya. Karena dia tahu, kalau sampai Mira mengatakan kalau dia ingin untuk bicara soal sesuatu, berarti masalah ini bisa jadi cukup penting. Rei mulai menduga apa yang ingin dibicarakan oleh temannya itu, tapi dia mengenyahkan pikirannya, lalu tersenyum.
"Ooh, gitu? Yah, okelah. Kita bisa ngobrol nanti. Setelah urusan kita dengan kursi - kursi di gudang selesai," ujar Rei.
"Aku bantuin ya, pak waketum?"
Rei terkekeh, tapi dia menganggk mengiyakan, "Boleh deh, makin banyak tenaganya, makin cepat juga kita selesai."
~~~~~
Sekitar satu jam kemudian, Rei dan teman - temannya sudah selesai menyusun kursi di balkon audiotorium. Sekarang, Rei dan Mira sudah meninggalkan audiotorium dan memutuskan untuk duduk di bangku taman yang kebetulan tersebar di sekitar audiotorium. Mira sedang menatap air mancur yang ada di depannya, sementara itu Rei baru saja kembali dari kantin terdekat, membawa dua kaleng minuman ringan.
"Nih, kamu haus kan?" ujar Rei, lalu menyodorkan satu kaleng minuman ke Mira.
"Makasih Rei," sahut Mira, kemudian dia menyambut kalengnya dari Rei.
"Sama - sama."
Rei langsung duduk di samping Mira sambil sedikit menjaga jarak. Maklum, Mira kan banyak fansnya, jadi dia tidak mau mengambil resiko dengan membuat fans Mira cemburu kalau kebetulan ada yang lewat di dekat mereka. Rei tahu apa resikonya kalau dia sampai terciduk terlalu dekat dengan Mira di lingkungan kampus, dan dia tidak akan mau kalau sampai di amuk orang - orang, terutama kalau itu adalah fans garis keras dari Mira.
"Katanya tadi kamu mau ngomong sesuatu sama aku. Nah, sekarang silahkan deh, aku bakalan dengerin," ujar Rei, sambil membuka penutup kaleng minumannya.
"Sebelum aku ngomong ... aku harap kamu jangan kaget ya Rei?" kata Mira, lalu menatap kaleng dan meminum isinya.
"Akan aku coba. Ada masalah apaan sih?"
"Jadi gini, sebenarnya, aku jatuh cinta ... sama salah seorang Ikemasa."
Rei sudah bisa menebak arah omongan mereka menuju ke mana, dan Rei beruntung karena dia sekarang tidak dalam keadaan minum. Kalau tidak, dia pasti spontan akan menyemburkan soda yang ada di mulutnya, atau tersedak karenanya. Tapi Rei mencoba untuk tetap tenang dan mengorek lebih jauh lagi.
"Maksudmu?" tanya Rei, pura - pura tidak mengerti.
"Aku ... jatuh cinta sama kakakmu, Kiyoshirou Ikemasa ..."
Rei seketika membeku. Dia sudah tahu kalau Mira akan mengucapkan kata itu. Semuanya jelas sudah bisa dia tebak dengan mudah. Tapi, entah kenapa perasaannya tetap terasa ... sangat sakit? Dalam hati Rei merutuki dirinya sendiri karena dia masih bisa benar - benar kaget atas pernyataan itu, padahal dia sudah bisa melihatnya. Rei tahu. Sangat tahu. Tak perlu diragukan lagi, dan Rei sudah melihat semua buktinya.
"Jadi, gimana?" tanya Mira.
"Uh, wow ...." sahut Rei.
"Kenapa wow?"
"Aku enggak nyangka saja gitu, kalau ... seorang Mira del Chasseur, yang dikenal sebagai primadona kampus, tapi -sayangnya- juga dikenal karena dingin dan berani nolak puluhan cowo ... bisa luluh sama seorang Kiyoshirou Ikemasa? Wow! Hebatnya lagi, orang yang kamu maksud adalah kakakku sendiri!"
"Memang mengagetkan. Aku sendiri juga sampai sekarang masih gak bisa percaya kalau aku jatuh cinta sama kakakmu."
"Kalau begitu, nanti aku bakalan jadi kakak iparmu dong, aku kan lebih tua beberapa bulan darimu! Hahaha!"
"Wah, benar juga ..." ujar Mira, kemudian pipinya bersemu merah.
"Jadi, ini ceritanya kamu mau ngomong sama aku karena kamu mau minta aku nyomblangin kamu sama kakakku, begitu?" tanya Rei, lalu memandang Mira dengan penuh arti.
"Intinya begitulah. Kamu ingat kan saat aku sama teman - temanku masih ... melakukan kejahatan? Nah, aku merasa tersentuh, karena dia tidak menyalahkan kami semua. Dia juga ... lembut dan bisa mengerti aku seutuhnya."
Tentu saja. Kakaknya memang tidak sesering Rei berhadapan dengan perempuan, tapi dia punya kemampuan alami untuk itu. Salahkan ayah mereka untuk kemampuan yang satu itu. Rei juga sudah tahu semuanya. Dia melihat saat Mira pulang pagi itu, setelah dia dan Yoshi selesai mengurus soal perampokan itu. Lalu juga dari cerita kakaknya saat Mira dan Yoshi pergi nonton film bersama. Kakaknya mungkin tidak menyadarinya, tapi Rei bisa melihat kalau Mira jatuh cinta pada Yoshi. Dia tahu itu. Dia kenal Mira lebih dulu daripada Yoshi, jadi dia bisa melihat kalau temannya ini sedang jatuh cinta.
"Hahaha, kakakku emang seorang gentleman sih. Jangankan kamu, kalau aku jalan sama kak Yo, pasti deh dia bakalan dilirikin sama banyak cewek. Sepertinya sih, kemampuan itu menurun dari ayahku."
"Wah, pantas saja. Aku bisa bayangkan kalau kalian berdua jalan, pasti banyak cewek yang ngelirikin kalian, ahaha .... "
"Oke, jadi tadi kamu minta dicomblangin kan? Kamu sudah ada ide awal untuk pedekate kalian?"
"Sayangnya ... enggak. Aku masih nggak begitu paham caranya mendekati kakakmu, makanya aku minta bantuan kamu. Kalau kamu sendiri, ada ide?"
Rei memasang wajah berpikir. Yoshi bukannya tidak bisa didekati lawan jenisnya. Tapi Rei tahu kalau ada seseorang di hati kakaknya sejak dulu. Rei tidak ingin mengatakan hal itu pada Mira, karena dia tidak ingin mematahkan semangat temannya. Lagipula, mungkin masih ada kesempatan bagi Mira mendekati Yoshi, karena kakaknya sudah lama sekali tidak bertemu perempuan yang disukainya itu.
Kemudian Rei teringat akan Rima dan pesta dansanya. Selain itu, Rei juga baru ingat akan apa yang disampaikan Rima padanya. Saat itulah dia sadar, kalau mungkin saja kesempatan yang Mira miliki itu tipis. Sangat tipis.
Ya, dia telah kembali, pikir Rei.
"Hm, kayaknya aku punya satu ide. Walau sepertinya ide ini sedikit nekat. Akan aku kasih tahu kamu."
Mira memasang ekspresi wajah yang sangat antusias, dan Rei langsung menceritakan ide yang ada di dalam kepalanya. Di dalam hatinya, Rei tau dia harus menjaga perasaan Mira akan kenyataan tentang perasaan kakaknya yang mungkin nyaris mustahil untuk Mira miliki. Selain itu, Rei juga harus berusaha keras untuk menjaga perasaannya yang hancur berkeping - keping demi melihat wanita yang merupakan sahabatnya ini bahagia. Karena kebahagiannya itu menghancurkan Rei.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top