Chapter 11 : [Epilog] Malam yang Sempurna

Dua hari berlalu dengan sangat cepat. Akhinya, hari di mana Yoshi akan bertemu lagi dengan pujaan hatinya datang. Malam itu, Yoshi kembali berdandan rapi jali dan mengenakan topengnya. Dia tidak sabar untuk menemui kembali wanita yang sanggup melelehkan hatinya itu.

Selama Yoshi hidup lebih dari dua puluh tahun ini, tak pernah sekalipun dia merasakan perasaan yang sama seperti saat dia bersama si wanita itu ketika dia bersama wanita manapun selain ibunya. Tapi, ibunya tak masuk hitungan kan? Kalau mau jujur ya, Yoshi hampir - hampir belum pernah jatuh cinta seumur hidupnya.

Yoshi sendiri juga tidak begitu mengerti apa itu definisi pacaran. Dia tidak menganggap hubungan semacam itu sebagai sesuatu yang sangatlah penting, yang otomatis hubungan romantis bukanlah prioritas baginya. Tapi tentu saja, Yoshi ingin merasakan keberadaan perempuan lain di sisinya. Walau dalam kenyataannya, Yoshi agak dingin pada perempuan lain, terutama kalau mereka tidak begitu menarik baginya.

Lucunya, ketika masih muda ayahnya malah dikenal sebagai seorang playboy. Agak mengejutkan karena anaknya tidak ada yang mengikuti jejak Pak Kazuki. Tapi sang ayah hanya tertawa dan berkata, "Baguslah, anakku tidak ada yang sesat seperti aku," yang mana sepertinya ada benarnya.

Tapi, kali ini ceritanya agak berbeda. Perempuan di pesta dansa itu telah berhasil melelehkan karang hati yang meliputi sekeliling dinding perasaan Yoshi yang sangat kokoh. Kalau mau diibaratkan, dinding pelindung yang dimiliki Yoshi bahkan lebih kokoh daripada dinding yang ada di iklan - iklan. Tapi perempuan itu ... Yoshi roboh pertahanannya hanya karena sekali tatap saja! Itu asalah sebuah hal yang aneh bagi seorang Kiyoshirou Ikemasa. Yoshi sendiri bahkan masih tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi.

Tapi Yoshi justru malah menikmati perasaannya itu. Dia tak pernah merasa sesenang itu seumur hidupnya. Wanita itu ... saat mengingatnya saja bisa membangkitkan semangat Yoshi. Membuat segala hal yang berat jadi terasa ringan. Cinta itu luar biasa, begitulah yang dipikirkan Yoshi.

Yoshi sepertinya terlalu asyik melamunkan wanita pujaan hatinya. Karena dia tak sadar kalau adiknya sudah ada di sebelahnya dan berusaha mengembalikan kakaknya itu ke alam nyata.

"Hei, Kak Yo! Hullo, ngapain kak? Ngelamun ya? WOY!!!" ujar Rei, karena kesal kini dia akhirnya berteriak tepat di hadapan telinga kakaknya.

Hal ini tentunya membuat Yoshi terkejut. Dia akhirnya kembali dari alam khayalannya, dan dia bisa melihat bahwa ada Rei di sebelahnya. Sang adik juga sudah bersiap untuk pesta dansanya, lengkap dengan setelan dan topengnya.

"Ah, sori Rei, ada apa?" tanya Yoshi.

"Aku sudah siap nih! Nanti kita ke sana bareng sama Mira juga kan? Nah, aku mau jemput dia dulu! Buruan siapkan mobilnya sana!"

Yoshi terkekeh, walau sebenarnya dia agak kesal karena diteriaki. Tapi dia tidak berselera untuk memarahi adiknya, karena suasana hatinya sedang sangat baik malam ini. Jadi, dia langsung saja keluar rumah, mengekor adiknya yang sudah keluar duluan. Dia mengunci pintu rumah dan mengeluarkan mobilnya. Ketika dia sudah selesai dengan tugasnya, Rei dan Mira sudah ada di depan pintu rumah Mira, menunggunya. Keduanya memanjat masuk ke dalam mobil dan mereka melesat ke lokasi.

~~~~~~

Sesampainya mereka di sana, Pak Indra, Bu Risa, dan Hendra sudah berkumpul, lengkap dengan penampilan mereka yang rapi. Ketiganya sedang asyik mengobrol. Yoshi, Rei dan Mira yang baru datang langsung menghampiri teman - teman mereka.

Mereka semua langsung mengobrol seru dengan berbagai topik sebelum acara dimulai. Setelah acaranya dimulai, mereka mulai berpisah. Berdansa dengan pasangannya masing - masing.

"Hei ... aku sama Risa pergi dulu, ya?" ujar Pak Indra lalu menarik tangan Bu Risa.

"Silahkan saja! Tapi kalau kalian habis ini tiba - tiba mau rujuk, jangan lupa ngundang saya ya?" goda Hendra.

"Iya deh, terserah! Kamu juga, kalau mau bikin acara nikahan jangan lupa ngundang ya!"

"Itupun kalau saya memang beneran saya nikah, ahaha,"

Hendra tidak menyadari saat itu kalau Nira ada di sebelahnya, dan dia menyentuh bahu Hendra. Keduanya saling bertukar pandangan. Hendra hanya tersenyum sambil mengerutkan alisnya, sementara itu Nira memberikan sebuah senyuman penuh arti.

Pak Indra dan Bu Risa sudah pergi ke lantai dansa. Yoshi melirik sekelilingnya, dan akhirnya dia bisa menemukan perempuan pujaan hatinya. Dengan topeng yang sama. Gaun yang sama. Langsung saja Yoshi berpikiran untuk segera pergi menemuinya.

"Aku juga mau cabut dulu, sampai nanti!" ujar Yoshi, kemudian langsung saja dia menghilang dengan cepat dalam kerumunan manusia.

"Jangan lupa bawa anak ya!" celetuk Hendra.

Sementara itu, Mira memandangi kepergian Yoshi dengan ekspresi agak kecewa. Mira tahu, kalau dia tidak akan bisa menghentikan Yoshi. Walau dia sudah tahu siapa perempuan di balik topeng itu, tetap saja Mira masih merasakan kepedihan di dalam dadanya. Mira juga mulai sadar kalau sepertinya Yoshi memang tidak pernah menaruh hati padanya. Jadi, dia mungkin harus berhenti berharap. Kecuali kalau keajaiban itu ada. Mira melirik ke arah Rei. Sepertinya Rei harus jadi partner dansanya lagi malam ini.

"Umm ... Rei?" ujar Mira.

"Iya Mir?" tanya Rei.

"Eh, dansa yuk!"

"Heh? Tumben kamu ngajakin aku, biasanya juga nggak mau."

"Gak apa kan? Sekekali boleh lah."

"Iya deh. Yuk, kami pergi dulu Ndra ..."

Kini Rei dan Mira telah pergi. Sekali lagi, Hendra harus merasakan bagaimana kesendiriannya di tengah keramaian. Tapi, Hendra malah tersenyum. Setidaknya, dia bahagia karena bisa melihat bahwa orang - orang yang ada di sini masih bisa hidup, setelah melewati kekacauan yang ada di pesta sebelumnya.

Hendra mengedarkan pandangannya dan melihat ke sekelilingnya. Lalu pandangannya tertuju ke Nira yang kini sedang asyik mengobrol bersama Akira, Nayla, Daniel dan Dania di pinggir ruangan. Tanpa pikir panjang, Hendra langsung menghampiri mereka.

"Waah ... halo Sensei!" seru Akira lalu melambaikan tangannya.

"Halo juga! Kalian asyik betul ya menggosipnya?" balas Hendra.

"Ehehe, bapak sendirian nih?"

"Iyalah! Kamu sendiri, biasanya juga berantem sama Senpai - mu? Mana dia sekarang?"

"Kalau Senpai mah jangan ditanya! Dia kan mau dansa dan mencari kekasih hatinya itu!"

Hendra menepuk jidatnya. Hampir saja dia lupa kalau Yoshi adalah teman kencannya malam ini, "Oh iya ya ..."

"Ya sudah, karena Sensei sudah ada di sini, Bunda berarti sudah ada yang nemenin. Aku mau dansa sama Nayla dulu! Cao!"

"Hei! Enak betul ya kamu pakai langsung kabur begitu?"

Tapi Akira tak mendengarkan seruan Hendra. Dia langsung menarik Nayla untuk diajak berdansa. Diikuti dengan Daniel dan Dania di belakang mereka. Kini, tersisalah Hendra dan Nira di sana.

Nira ingin sekali menegur anak muridnya. Tapi untuk apa? Nira sudah menantikan saat di mana dia bisa berdua dengan Hendra. Dia ingin sekali berada dekat - dekat Hendra. Apalagi karena kali ini tidak akan ada orang atau tembakan yang akan mengganggu mereka.

Hendra menatap Nira. Wanita yang ada di sebelahnya itu terlihat sangat cantik. Kecantikan itu memang salah satu hal yang menarik dari Nira. Tapi ada banyak hal lainnya dari wanita yang satu ini. Hendra bisa saja menghabiskan waktu semalaman suntuk hanya untuk menjelaskan soal apa saja yang menarik dalam diri Nira.

Dalam kepalanya, Hendra menyadari sejak lama kalau ada sesuatu yang aneh dari Nira, terutama akhir - akhir ini. Tapi Hendra selalu tidak sempat untuk menanyakannya pada Nira. Keduanya sama - sama sibuk di sekolah, jadi mereka tidak punya banyak waktu untuk mengobrol. Jadi, Hendra melihat hal ini sebagai kesempatan untuk mengobrol dengannya.

"Kamu mau ke balkon bareng aku, Ra?" tawar Hendra.

"Aku sebenarnya lebih senang jika kamu mau mengajak aku dansa, Ndra," jawab Nira.

"Maksudmu?" tanya Hendra, dengan ekspresi muka bodohnya yang sangat keterlaluan polosnya itu.

"Yaaah, bukannya ini tebakan gampang? Aku ingin kalau kita malam ini dansa bersama."

Hendra menghela napas. Dia merasakan kalau Nira entah berusaha untuk menghindar agar tidak berbicara dengannya, atau malah berusaha mengundang Hendra untuk melakukan sesuatu yang sama ganjilnya. Bisa saja keduanya. Tindakannya akhir - akhir ini sangat aneh. Tapi ... kenapa?, pikir Hendra.

"Ra, tapi aku kan gak bisa. Soalnya ...."

"Ayolah! Kesampingkan saja semuanya, apapun itu yang menurutmu mengganggu! Sekarang aku nggak peduli akan apapun! Berdansalah denganku, Ndra. Setidaknya, aku malam ini adalah milikmu."

"Tapi ... bagaimana dengan Haris? Kenapa dia tidak ada di sini?"

"Dia tidak ada di sini karena tugasnya diperpanjang. Ayolah ... tidak akan ada yang tahu soal ini, kan? Let's make this our little secret, baby ...." sahut Nira, lalu mengedipkan sebelah matanya.

"Tapi aku tetap tidak mau," ujar Hendra, kukuh dengan pendiriannya.

"Kalau begitu, aku memaksa!" sahut Nira, lalu dia langsung menarik Hendra.

Hendra awalnya hendak melawan, tapi dia tahu kalau hal itu tidak akan ada gunanya. Jadi, dia membiarkan Nira menarik tangannya. Ah, kapan sih aku bisa menolak permintaan Nira? Kalau ini memang bisa membuatnya senang, aku akan menahan perasaanku sebisa mungkin untuknya malam ini. Siapa tahu kami bisa sedikit ngobrol nanti, pikir Hendra.

Sementara itu, Nira menggiring Hendra ke tengah lautan manusia yang tengah berdansa. Nira tahu kalau Hendra tidak akan bisa menolak permintaannya. Jadi, Nira memanfaatkan keadaan itu untuk mendapatkan apa yang dia mau. Pada akhirnya, Hendra merapatkan dirinya pada Nira dan mereka bedua berdansa dengan mesranya.

"Dasar ya kamu," ujar Hendra, lalu terkekeh.

"Kenapa sih? Aku tuh heran sama kamu, tahu tidak? Kamu itu orangnya keren, banyak orang yang melirikmu, atau malah mungkin ada juga guru muda yang naksir sama kamu. Tapi anehnya, kok kamunya malah dingin dan menjaga jarak sama perempuan sih? Jangankan sama orang lain, sama aku yang masih temanmu juga begitu! Heran aku! Padahal dulu kan kamu masih lumayan ramah sama perempuan!" sahut Nira.

"Hm, nggak ada alasan khusus sih," jawab Hendra, berusaha menyembunyikan yang sebenarnya dari Nira.

"Yakin kalau nggak ada alasan khusus? Kamu jadi aneh, apalagi akhir - akhir ini. Terutama kalau kamu ngobrol atau dekat sama aku. Kamu itu kenapa? Apa dunia detektif merubah kamu sampai sebegitunya?"

"Enggak juga. Tapi sedikit banyak sih iya. Terutama soal dingin sama perempuan tadi."

"Tuh kan! Kenapa sih kalau misalnya kamu jatuh cinta dan punya pacar? Pekerjaanmu bakalan hancur, begitu?"

"Kamu tidak akan mengerti masalah itu, Ra."

"Aku akan coba untuk mengerti, Ndra. Coba kamu kasih tahu aku apa yang sebenarnya jadi kekhawatiranmu, dan jadikanlah aku satu - satunya perempuan yang mengerti masalah itu."

Hendra menghela napasnya, "Kau tahu, aku tak ingin kalau perempuan yang aku suka itu terancam kehidupannya. Kau tahu kan aku punya banyak musuh yang berpikiran picik dan bisa saja berpikiran untuk melukai orang yang penting bagiku? Kurasa kamu cukup paham soal masalah itu. Lalu, aku tak ingin kehilangan seseorang dengan cara yang sama untuk kesekian kalinya. Cukup aku sekali saja, kehilangan keluargaku dengan cara yang sejahat itu sudah cukip menyakitkan. Jangan sampai orang yang tak berdosa juga ikut terluka karena aku. Kalau memang aku pada akhirnya bisa mencintai seseorang, itu malah akan membuat resiko pekerjaanku jadi makin berat."

Nira terdiam sejenak, kemudian dia mengangguk, "Oke, kurasa aku paham. Nah, misalkan saja kamu ketemu seorang perempuan, yang bisa mengerti kamu seutuhnya. Termasuk soal pekerjaanmu itu, bagaimana coba?"

"Tapi apakah aku mencintainya? Aku tidak yakin kalau aku bisa jatuh cinta dengan cepat. Walaupun dia adalah orang paling baik di seluruh dunia, aku tak bisa menjamin kalau aku bisa mencintainya dengan tulus. Masalah percintaan nggak pernah ada dalam prioritasku. Bahkan, walau dia mau bersamaku dan mengerti aku, aku tidak yakin kalau itu akan mengubah banyak hal."

"Jadi... misalnya saja suatu saat nanti aku memutuskan untuk kembali padamu, kamu tak akan menerimanya, begitu?"

Hendra terdiam sejenak. Pertanyaan yang satu ini jelas agak ganjil. Hati kecilnya masih menginginkan keajaiban itu, tapi otaknya tahu bahaya apa saja yang bisa terjadi misalkan Nira bersamanya. Dia tentunya tidak ingin kehilangan Nira, apalagi kalau memang entah karena apa Nira malah tiba - tiba bisa menyukai Hendra.

"Emmm ... bisa jadi? Entahlah. Aku tidak ingin memikirkan soal cinta. Aku bahkan merasa kalau hatiku ini sepertinya sudah membatu."

Nira tersenyum. Dia tahu kalau hati Hendra tidak pernah membatu seperti apa yang dia katakan. Perasaan dan hati Hendra masih ada di sana. Kadang, kata hatinya malah bisa mengalahkan logikannya. Apapun kondisinya, pasti akan ada pengecualian. Termasuk untuk perasaan Hendra. Di dalam diri Hendra, Nira tahu kalau masih ada satu pengecualian.

"Kamu salah, Ndra. Kalau kamu tidak punya perasaan, aku pasti sudah lama tidak berada di sini. Kamu pasti sudah membiarkanku mati sejak dulu," kata Nira, lalu tersenyum.

"Huh, yah ... kamu kan temanku. Bagaimana aku bisa membiarkanmu mati begitu saja?" sahut Hendra.

Nira terkekeh, "Begitu? Tidak ada pengecualian bagimu, ya? Bahkan untukku?"

"Ya, tidak ada."

"If you say so, Hendra. Who knows it will changed soon. Maybe I'll make you fall to me again."

Hendra terkekeh, "Then try me, lady."

~~~~~

Sementara itu, Yoshi telah menemukan wanita pujaannya dan langsung kembali mengajaknya berdansa. Mereka berdua diam selama beberapa saat, hingga pada akhirnya keheningan di antara mereka terpecahkan karena wanita itu.

"Kamu ... lukamu gak apa?" tanyanya.

"Tidak apa kok. Daripada keadaanku, aku lebih mengkhawatirkan kamu," sahut Yoshi.

"Hei, bukannya seharusnya aku yang menanyakannya? Kamu kan tertembak!"

"Tapi aku lebih khawatir sama kamu, karena aku enggak mau kamu kenapa - kenapa. Kan sayang, kamu terlalu cantik untuk terluka."

Si perempuan terkekeh, lalu menepuk bahu Yoshi dengan lembut, "Ish, gombalanmu bisa saja!"

"Eh, tapi benar kan?"

Pipi si wanita bersemu merah karena rayuan Yoshi, "Emmm, iya deh. Terima kasih ya, karena kamu sudah menyelamatkan nyawaku saat itu."

"Itu kan sudah kewajibanku. Ingat ya, aku akan selalu melindungimu, bahkan walau harus mempertaruhkan nyawaku."

Dia tersenyum, "Aku suka lelaki yang seperti itu."

"Setelah ini bolehkan kita mengobrol sebentar?"

"Kamu mau mengajak ngobrol atau ada maksud lain nih?"

Yoshi memberikan sebuah senyuman penuh makna, "Kamu lihat saja nanti."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita sekalian saling memberi tahu identitas kita?"

"Eh? Beneran?"

"Ngapain sih aku bohong?"

~~~~~

Sementara itu, di bagian lain lantai dansa, Pak Indra dan Bu Risa tengah menari dengan mesranya, sambil bercanda ria. Tubuh mereka menempel satu dengan yang lainnya, dan senyuman lebar terpasang di wajah mereka.

"Um, Indra?" ujar Bu Risa, dengan tiba - tiba.

"Ya, ada apa?" tanya Pak Indra.

"Aku ... ada sesuatu yang mau aku omongkan sama kamu."

"Iya, bilang saja. Memang ada apa sih?"

"Sini, coba aku bisikin ke kamu," sahut Bu Risa, lalu terkekeh.

Bu Risa mendekatkan bibirnya ke telinga Pak Indra, lalu membisikkan sesuatu padanya. Pak Indra mendengarkannya dengan seksama. Untuk sesaat, Pak Indra memasang wajah terkejut. Dia menatap Bu Risa dengan ekspresi bahwa dia tidak percaya akan apa yang baru saja didengarnya, sementara itu Bu Risa hanya terkekeh.

"Hah? Kamu ... serius ini? Jangan bercanda ah kamu!" tanya Pak Indra.

"Iya, aku serius! Aku ... aku menginginkannya, dan aku sudah memikirkannya baik - baik. Mungkin aku hanya butuh sedikit waktu sendiri untuk menyadarinya. Kalau kupikir - pikir, selama beberapa tahun ini hidupku sangat hampa, dan akhrinya aku sadar kenapa itu bisa terjadi. Kamu ..."

Bu Risa belum sempat menyelesaikan perkataannya, tapi Pak Indra sudah memotongnya, "Ya, aku akan siap dan selalu siap untuk hal itu," jawab Pak Indra, lalu menampakkan sebuah senyuman lebar.

"Gimana ya, kalau yang lain tahu soal ini?"

"Pasti berisik tuh si Hendra."

Mereka berdua berpandangan satu sama lainnya, lalu tertawa lepas. Pasti akan heboh kalau mereka sampai menyampaikan berita itu ke teman - teman mereka.

"Pak Indra! Bu Risa!" kata Hendra.

Pak Indra dan Bu Risa masih asyik berdansa, sehingga mereka tidak mendengarkan langkah kaki yang mendekati mereka. Setelah Pak Indra merasakan sebuah sentuhan di bahunya, baru mereka sadar kalau Hendra kini ada di sebelahnya.

Pak Indra dan Bu Risa menoleh. Keduanya menoleh dengan ekspresi agak kebingungan karena ada banyak orang yang mengkuti Hendra. Bersamanya, ada Nira, Akira, Nayla, Daniel, Dania, Rima, Damien, Jessica, Aldo, Rei dan Mira. Singkat kata, semua rekannya kini ada di dekatnya.

"Loh, kalian kok ngumpul di sini semua?" tanya Pak Indra.

"Sini deh pak, mending bapak ikut kami deh!" kata Hendra, lalu memberikan sebuah senyuman iseng.

"Lah? Ngapain?"

"Ikut aja deh pak!" ujar Hendra, lalu menarik tangan Pak Indra, dan menyeretnya pergi bersamanya.

"Apa pasal sih?" tanya Bu Risa.

"Sudah, kalian coba ikut saja! Ayo kita nonton bioskop gratis sekarang!"

Pak Indra dan Bu Risa memandang satu sama lainnya dengan ekspresi heran. Mereka tidak tagu apa maksud Hendra, tapi satu hal yang mereka mengerti adalah, Hendra pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa yang direncanakannya ini baik atau tidak.

"Apa sih maksudmu Ndra?" tanya Pak Indra.

"Berisik ah! Nanti kalian juga tahu kok!"

Mereka semua mengikuti Hendra yang kini melangkah ke luar audiotorium. Dia membawa teman - temannya ke taman yang persis berada di seberang audiotorium, kemudian melangkah ke arah semak - semak yang berada di sekeliling taman.

"Loh? Kok kita ke sini?" tanya Pak Indra.

"Ssssh! Jangan berisik pak! Nanti kalian akan lihat sendiri kenapa!" sahut Hendra, lalu menyuruh mereka semua bersembunyi di balik semak - semak.

~~~~~

Acara selesai ketika malam sudah agak larut. Tapi masih ada banyak orang yang memutuskan untuk tetap tinggal di dalam audiotorium dan mengobrol dengan teman - teman mereka. Sementara itu, Yoshi menarik tangan si wanita dan membawanya ke taman yang ada di depan audiotorium. Yoshi menggenggam tangannya erat, seolah tidak ingin kehilangan perempuan itu. Hingga akhirnya kini mereka berhenti di satu sudut taman.

"Dansa sudah berakhir. Itu berarti kita harus melepaskan topeng kita," kata Yoshi, lalu menyentuh topeng yang ada di wajahnya

Dengan perlahan, topeng terlepas dari wajah Yoshi, menampilkan wajahnya yang tampan terkena sinar bulan. Mungkin si perempuan sudah pernah melihatnya, tapi tetap saja wajah itu terlihat sangat mengagumkan dari dekat. Yoshi tersenyum padanya.

"Sekarang giliranmu," kata Yoshi.

"Kuharap kamu enggak kaget, Yo," ujar wanita itu.

Yoshi mengerutkan alisnya, "Memang kenapa? Apa kecantikanmu sangatlah luar biasa?" canda Yoshi.

Dia terkekeh, "Kamu lihat saja."

Dia membuka topengnya, dan wajah Delia langsung terlihat dengan jelas. Walau sudah di peringatkan, tetap saja Yoshi kaget karenanya. Yoshi bisa mengenali wajah perempuan itu sebagai perempuan yang biasanya berada di kantor dengannya, dan saling berbagi cerita dengannya.

Saat itu juga, semuanya jadi masuk akal untuk Yoshi. Bagaimana Delia bisa tahu semua hal tentang perempuan yang diajaknya berdansa, dan semua pertanyaan anehnya .... Belum lagi dia teringat kalau Rima .... Sesaat, Yoshi merasakan bahwa dirinya baru saja menjadi seseorang yang paling bodoh di dunia karena tidak menyadari hal yang paling dasar ini. Tapi kemudian, dia tersenyum.

Mungkin karena inilah semuanya terasa pas bagi Yoshi. Yoshi tahu dirinya sendiri tidak akan bisa jatuh cinta secepat itu pada orang lain. Mengherankan karena dia bisa merasakan sebuah kenyamanan dalam waktu yang sangat cepat ketika bersama wanita ini. Yoshi juga kini tahu kenapa dia merasa wanita ini ditakdirkan untuknya. Karena Yoshi sudah bersabar dalam waktu yang cukup lama hanya untuknya. Sepertinya, kini usahanya terbayarkan.

"Delia?" tanya Yoshi.

"Kenapa? Kamu kaget Yo?" kata Delia.

"Akhirnya semuanya masuk akal! Kamu ... dasar ya! Jahat juga kamu nggak ngasih tahu semuanya!" seru Yoshi.

Delia terkekeh, "Kan biar seru, Yo,"

"Aku ada sedikit dugaan kalau kamu yang selama ini kuajak dansa. Tapi semuanya terasa tidak masuk akal. Semuanya terasa aneh, tapi entah kenapa rasanya tidak ada yang salah. Tapi tetap saja, aku masih tidak menyangka kalau yang ada di balik topeng itu adalah kamu."

"Aku juga awalnya masih belum tahu kalau itu kamu. Setelah kejadian penyerangan itu, baru aku tahu. Tapi itu tidak masalah. Karena sebenarnya sejak dulu aku sudah mencintaimu, Yo. Terserah kamu mau bilang apa dan bagaimana setelah ini. Kamu pasti kesal kan karena aku tidak bilang sama kamu soal identitasku? Nah, kamu boleh benci aku. Tapi aku pengen kamu tahu kalau aku sayang dan ... cinta sama kamu."

Setelah selesai ucapan Delia itu, terciptalah keheningan selama beberapa saat yang hanya disela oleh desauan angin. Yoshi ingin sekali berteriak karena pernyataan Delia tadi. Dalam hatinya, Yoshi menyumpah karena Delia mengatakannya terlebih dahulu sebelum Yoshi. Tapi itu bukan masalah. Karena yang penting adalah kini Yoshi mengetahui kalau perasaannya berbalas. Penantiannya tidaklah sia - sia.

Delia awalnya mengira kalau Yoshi akan mengungkapkan kekesalannya. Tapi kemudian, dia dikejutkan oleh sebuah pelukan hangat dari Yoshi. Delia membalas pelukannya, dan membiarkan responnya tercekat di dalam tenggorokannya.

"Aku tak menyangka kalau kau memiliki perasaan yang sama denganku, Del," bisik Yoshi.

Delia tidak percaya akan apa yang baru saja Yoshi katakan, "Ma - maksudmu?" tanya Delia.

"Oke, biar kujelaskan."

Yoshi langsung melepaskan dekapannya dan berlutut di depan Delia, dan menggengam tangan wanita itu. Mata keduanya bertatapan satu dengan yang lainnya.

"Delia, selama ini kamu selalu menghantui mimpiku, dan membuat pikiranku terkadang tak menentu. Sekarang, kamu harus membayar semuanya karena kamu telah mengacaukan pikiran dan hatiku. Kamu harus membayarnya, setidaknya selama sisa hidupmu di dunia ini. Jadi ... maukah kamu jadi pacarku?" tanya Yoshi

Delia agak kaget atas perkataan Yoshi tadi. Tapi dia terlihat sangat bahagia dengan senyumannya yang lebar. Delia langsung saja menganggukan kepalanya dengan antusias.

"Ya, aku ... aku mau jadi pacarmu!" jawab Delia.

"Terima kasih atas kesempatan yang kamu berikan. Aku janji aku akan selalu melindungimu, dan selalu ada di setiap momen kehidupanmu, entah itu suka atau duka," ujar Yoshi, lalu mencium punggung tangan Delia.

Yoshi berdiri dan menatap mata kekasihnya itu dalam - dalam. Delia juga melakukan hal yang sama. Yoshi meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Delia.

"Boleh aku ..." ujar Yoshi, tapi terpotong oleh Delia.

"Te - tentu saja, Yo. Aku ... selalu menginginkannya," sahut Delia, yang kemudian agak menunduk.

Yoshi langsung memberikan seringaian jahatnya. Dalam hitungan kelima, bibir mereka berdua telah menjadi satu. Yoshi menciumnya dengan lembut, sementara itu Delia melingkarkan tangannya di punggung Yoshi.

Entah berapa lama mereka ciuman itu berlangsung, tapi yang pasti saat mereka melepaskannya, terdengar suara kemerisik daun entah dari mana. Karena terganggu akan suara berisik ini, pasangan baru ini langsung menoleh ke arah asal suara. Dapat terlihat bahwa semak yang merupakan asal suara itu bergerak - gerak, hingga kemudian ....

GABRUKKK!!!

Mereka berdua dapat melihat daun - daun yang berjatuhan, dan satu bagian semak yang kini rusak karena Hendra jatuh ke depan dengan keadaan tubuhnya tertindih oleh Akira. Dari belakang semak yang rusak itu, bisa terlihat teman - teman mereka.

Delia menghembuskan napas kesal. Dia tahu kalau pak guru dan adik kelasnya yang menyebalkan itu akan melakukan banyak keisengan, terutama dengan menggodanya soal Yoshi. Tapi kali ini kelakuan mereka agak keterlaluan, karena mereka juga mengintip saat Yoshi menyatakan perasaannya pada Delia. Dasar, ngerusak suasana aja dua makhluk ini, pikir Delia. Walau begitu, Delia menahan dirinya untuk tidak langsung berlari ke arah keduanya dan menaboknya, karena dia masih berada dalam dekapan Yoshi.

"Kalian ngapain di sana?" tanya Delia, dengan nada kesal.

"Hehe, halo Senpai ..." ujar Akira, lalu melambaikan tangannya pada Delia.

"Oh, kami lagi ngintipin orang pacaran kak," sahut Damien.

"Jadi ... kalian dari tadi di sana?" Tanya Yoshi, yang tahu persis kalau Hendra adalah penyebab dari semua ini.

"Yaa, begitulah," jawab Pak Indra.

"Loh, bapak juga ada di sini?"

"Hendra sih tadi yang ngajakin nonton "bioskop gratis"," sahut Bu Risa.

"Sudah kuduga kalau ini kelakuanmu, Ndra. Kapan sih kamu bisa membiarkanku bahagia dengan tenang?"

"Woy, sampai kapan elu mau nindihin badan gua, Ra?! Berat, tahu! Turun gak, gua bukan kasur woy!" seru Hendra.

"Eh, gommen Sensei! Lupa!" ujar Akira, lalu langsung berdiri.

Hendra langsung berdiri dan membersihkan dirinya. Sementara itu di belakang mereka, perempuan - perempuan yang bersama Hendra tertawa karena kelakuan antara guru dan murid yang tidak lazim itu.

"Wah, cie yang jadian! Traktirannya oy, traktiran!" ujar Hendra.

"Ah, aku punya sepupu kok laknat betul sih! Ngerusak suasana aja lu!" sahut Yoshi.

"Akhirnya kakakku enggak jomblo lagi, aku turut bahagia," ujar Rei.

"Setidaknya aku nggak jadi jomblo karatan kayak Hendra."

Pak Indra dan Bu Risa mengamati sepasang kekasih baru yang ada di hadapan mereka. Keduanya menoleh dalam waktu bersamaan, kemudian mereka tersenyum. Sepertinya ini saat semua orang mengetahui apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan tadi.

"Kalian berdua mungkin akhinya jadian, tapi ... kami punya satu kabar yang tidak kalah mengejutkan," Ujar Pak Indra.

"Heh? Apaan tuh?" tanya Delia.

"Kami berdua memutuskan ... untuk rujuk!" jawab Bu Risa.

"Ya. Kami bakalan segera rujuk!" tambah Pak Indra sambil merangkul Bu Risa.

"APAAAAAA?!?!?!" Seru mereka semua.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top