Chapter 7 : Bukan Sekedar Informan

Malam harinya, Hendra memutuskan untuk mengadakan rapat dadakan di rumahnya. Mereka sudah hampir sebulan berada di SMP 7, dan mereka setidaknya ingin agar meringkas semua informasi yang mereka miliki jadi satu. Selain itu, mereka juga mengundang Bu Amy untuk datang. Selama ini, mereka memang belum memberikan banyak informasi kepada beliau, karena mereka mau mengumpulkan semua yang mereka bisa.

Jam masih menunjukkan jam setengah sembilan malam, dan Hendra kini duduk di ruang tengah rumahnya. Janji rapat mereka akan di mulai pada pukul 9 malam. Karena itulah, Hendra memutuskan untuk duduk dan berpikir sejenak.

Pikiran Hendra kini tertuju kepada rekaman suara baru yang diberikan oleh Levitator tadi siang. Hendra memang belum memutar rekaman itu kepada teman - temannya, karena dia ingin sekalian saja melakukannya dalam rapat. Tapi karena penasaran, Hendra sudah memutar rekaman itu terlebih dahulu dan mendengarkan isinya.

Apa yang dia dengarkan jelas membuatnya kaget. Memang, apa yang dilakukan Yoshi di kelasnya tadi siang kepada Jamie bisa dibilang agak kejam. Tapi, kalau mau dibandingkan, Yoshi lebih mendingan daripada ayahnya, Pak Kazuki, kalau soal mengajar. Yoshi masih mending, karena dia hanya menyuruh Jamie untuk lari keliling lapangan dan keluar dari kelas untuk mengerjakan tugas yang diberikannya. Pak Kazuki lebih parah lagi daripada itu, dan Hendra masih ingat persis bagaimana rasanya mengambil kelas Statistika dengan beliau.

Walau Hendra adalah keponakan Pak Kazuki, bukan berarti semuanya bisa berjalan dengan mudah bagi Hendra selama berada di kelas Statistika. Omnya yang kadang agak mengesalkan itu bisa tahu dengan mudah apa saja yang dia lakukan selama di luar kelas, jadi Hendra harus memastikan kalau tugasnya selesai sebelum menghadap ke Pak Kazuki.

Terutama karena tidak seorangpun yang bisa menghindar dari Pak Kazuki di prodinya. Beliaulah yang mengajar semua kelas untuk mata kuliah Statistika. Mata kuliah lain yang juga dipegang oleh Pak Kazuki mungkin masih bisa dihindari, tapi tidak untuk yang satu itu. Jadi, ada semacam kenangan tersendiri di kelas Pak Kazuki bagi para mahasiswa di prodi Pendidikan Matematika.

Padahal, Pak Kazuki bukanlah tipe dosen yang ribet dan cerewet. Beliau orangnya toleran, dan sebenarnya punya cara mengajar paling asyik kalau dibandingkan dengan dosen - dosen yang lainnya. Hanya saja, ya beliau memang tegas kalau soal waktu dan kedisiplinan. Setelan ala orang Jepang memang masih melekat dalam diri Pak Kazuki.

Hendra terkekeh ketika kembali mengingat masa kuliahnya itu. Bagaimana teman - temannya akan mencoba menghindari kelas Pak Kazuki mati - matian karena kakak tingkat banyak yang menakut - nakuti mereka. Atau bagaimana mereka bilang kalau Hendra punya keuntungan tersendiri karena dia berkeluarga dengan Pak Kazuki. Lalu bagaimana teman - temannya yang tidak mengerti karakter Pak Kazuki akan terlibat masalah yang membuat mereka ingin sekali menangis darah karenanya. Terakhir, adalah bagaimana teman - temannya menyadari kalau sebenarnya Pak Kazuki itu adalah orang baik.

Suara omnya kembali terngiang di dalam kepala Hendra. Bagaimana cara beliau mengajar dan ketepatannya yang mematikan ketika melempar alat tulis ke jidat anak muridnya. Atau bagaimana cara beliau membentak dengan ekspresi yang tenang namun nada suaranya bisa membuat seisi kelas merinding dengan kata "Hei, keluar kamu!" yang singkat dan padat.

Tidak heran kalau selain ayah dan kakeknya, Pak Kazuki juga jadi salah satu orang yang menginspirasi Hendra, terutama sebagai guru. Beliau mengajarkan banyak hal yang berharga untuk diingat. Hendra masih menyesali karena dia tidak bisa melindungi salah satu keluarga dekat yang masih dia miliki saat kejadian di pesta dansa San Rio saat itu. Terlebih lagi, dia sudah melibatkan Yoshi ke dalam dunianya sebagai penyidik.

Hendra menghela napas. Tidak terasa kalau air matanya sedikit menetes. Dia melepaskan kacamatanya dan mengusap air mata itu. Pak Kazuki sudah pergi, dan tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Walau begitu, sosok sang om akan tetap hidup di dalam dirinya, dan juga kedua anaknya.

Dari rekaman yang diberikan Yoshi ketika dia menghadapi Jamie, Hendra bisa mendengarkan sosok Pak Kazuki yang hidup dalam diri Yoshi. Kalau saja Hendra tidak tahu apa - apa soal rekaman itu, mungkin dia akan percaya kalau itu adalah suara omnya. Intinya, Hendra bisa merasakan andai saja Yoshi tidak jadi seorang polisi, maka dia bisa saja jadi guru yang sama hebatnya seperti ayahnya.

Hendra terkekeh, karena dia bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau saja Jamie diajari oleh Pak Kazuki. Dia pasti tidak akan bisa macam - macam. Ancaman foto aib sekalipun pasti tidak akan mempan bagi Pak Kazuki. Anak itu akan mampus semampus - mampusnya di hadapan sosok seperti Pak Kazuki.

Dari apa yang bisa Hendra simpulkan, Jamie memang seorang anak yang manja. Hukuman yang diberikan oleh Yoshi masih belum seberapa, karena Hendra sudah pernah memberikan hukuman yang lebih berat lagi kepada beberapa muridnya di San Rio. Tapi Hendra tetap agak kesal, karena guru SMP 7 tidak pernah memperlakukan Jamie dengan cara seperti itu. Padahal, bocah seperti Jamie kadang harus diberi hukuman biar jera akan perbuatannya.

Tapi, rekaman yang diberikan oleh Levitator justru lebih mengagetkan Hendra daripada kemarahan Yoshi. Pertama, dia tidak menyangka kalau kedua anak muridnya itu punya kemampuan sekelas mata - mata papan atas. Kedua, Hendra mengira kalau mereka hanya sekedar membenci Jamie dan selalu mencari celah kekurangannya semata untuk balas menjatuhkannya. Rupanya mereka juga mengamati Jamie dengan saksama, sampai ke detil yang mengagumkan.

Fakta bahwa Jamie membolos mungkin informasi yang biasa saja. Tapi fakta bahwa Rista mengamati kalau Jamie akan selalu bolos ketika dia ditendang keluar dari kelas merupakan satu detil berharga. Apalagi dia bisa mengidentifikasi guru mana saja yang berani menendang Jamie keluar, yang infonya disampaikan pada Hendra melalu Sherlina dari sebuah file yang juga dia kopi dari flashdisk kedua anak itu.

Belum lagi Rista bisa tahu kalau Jamie akan mencari pacarnya saat membolos. Kata Rista, kalau bisa, maka Jamie akan mengajak pacarnya bolos ke kantin, atau kalau tidak, dia akan pergi bersembunyi di perpustakaan. Kalau kelas kosong, maka dia akan mengajak Rena yang sepertinya jadi orang kepercayaannya untuk pergi keluyuran keluar kelas.

Azka sendiri, dia sangat pintar dalam bersikap bodoh dan memancing amarah Jamie. Dari rekaman yang dibuat Yoshi, tidak ada seorangpun yang mencurigai kalau Azka berada di sisi yang sama dengan Levitator. Belum lagi insiden soal gambar itu. Dia bersikap seolah dirinya masa bodoh, dan bertingkah polos bahwa gambarannya hanyalah iseng. Hendra tahu kalau memang gambar itu ada sesuatunya setelah Sherlina memberi tahu.

Sherlina sendiri ... dia orangnya teratur. Dia bisa mengorganisir info mana yang penting atau tidak, tapi dia tetap menambahkan informasi yang tidak terlalu penting kalau - kalau diperlukan di akhir laporannya sebagai catatan kaki untuk Hendra. Sosok Sherlina selalu mengingatkannya pada para informan di Underground yang sering kali dia temukan di blok 13.

Hendra tersenyum. Dia tidak tahu kalau dirinya akan menemukan beberapa anak yang cocok untuk menjadi mata - mata kelas internasional. Akan menarik kalau mereka bisa mengembangkan kemampuannya. Hendra tahu kalau ada beberapa orang yang mau memberikan mereka kesempatan untuk jadi mata - mata, yang mereka butuhkan hanyalah sedikit koneksi.

Pikiran Hendra sudah terlalu banyak mengawang, dan dia sadar itu. Pikirannya akan pergi ke sana - kemari kalau dia sedang memikirkan hal penting seputar kasusnya. Tapi terkadang, dia mendapatkan ide bagus saat pikirannya menjadi tidak jelas begitu. Entah bagaimana, tapi itulah yang terjadi.

Kembali ke intinya, informasi yang didapatkan Sherlina dan Rista merupakan sebuah hal penting. Karena kini mereka tahu rencana macam apa yang akan dilakukan Jamie. Masalah yang mereka miliki adalah, rencana ini akan dilakukan di waktu yang tidak terduga. Ini berarti mereka harus mengawasi Jamie dengan ketat.

Karena itulah, Hendra merasa harus mengadakan rapat ini. Semua rekannya harus tahu kalau keadaannya bisa jadi gawat kapan saja. Selain itu, Hendra juga sudah minta agar Sherlina mengumpulkan semua alamat akun pribadi Jamie. Hendra berharap, kalau mereka bisa melacak tindakan Jamie di dunia maya.

Lamunan Hendra dibuyarkan ketika ada sebuah ketukan di pintu. Langsung saja dia berdiri, dan membukakan pintunya. Rupanya yang berada di hadapannya adalah Bu Amy, yang jadi orang pertama yang datang ke rumahnya.

"Selamat malam, Hendra,"  sapa Bu Amy.

"Malam, bu! Ayo masuk dulu, mungkin yang lainnya akan datang sebentar lagi," sahut Hendra.

Hendra mempersilahkan Bu Amy untuk masuk. Sang tuan rumah meninggalkannya sebentar untuk membuat teh. Setelah tehnya selesai, Hendra kembali dengan sebuah poci dan beberapa cangkir. Hendra duduk di seberang Bu Amy, sementara mereka menunggu EG Group datang.

"Jadi, apa yang sudah kalian dapatkan, Ndra?" tanya Bu Amy.

"Ada banyak hal soal Jamie yang kami ketahui. Tapi, sepertinya kehadiran kami benar - benar membuat Jamie merasa tertekan dengan sedemikian rupanya sehingga dia merasa kalau kami adalah ancaman yang serius baginya," sahut Hendra.

"Maksudmu?"

"Begini, rekan - rekan saya memang dua pertiganya adalah guru gadungan. Tapi seperti apa yang bisa anda lihat, mereka tetap serius dalam mengajar anak - anak murid mereka. Dari bagaimana tingkah tegas kami terhadap para murid, Jamie tidak menyukainya. Dia ingin kami menderita karena kami dianggap menyusahkannya di kelas. Bahkan, dia sudah mengumpulkan foto - foto soal kami."

"Apakah karena hari ini Yoshi mengeluarkannya dari kelas?"

"Bukan hanya itu. Jamie menganggap kami semua adalah guru yang menyebalkan sejak awal bertemu, walau kami sudah berusaha untuk memberikan kesan pertama yang bagus, mudahnya sih begitu. Dia semakin tidak suka karena kami bukan tipe orang yang bisa diajak kompromi, seperti tipe guru yang dia idamkan. Tapi, karena apa yang Yoshi lakukan hari ini, bisa saja keadaan berubah jadi gawat tanpa diduga. Bukan salah Yoshi sih, setiap guru normal pasti akan melakukan hal yang sama dengan yang Yoshi lakukan."

"Memang benar. Tapi bagaimana kalian bisa yakin kalau memang Jamie punya foto kalian?"

Hendra terkekeh. Dia memang belum memberitahukan keberadaan Levitator kepada Bu Amy. Mungkin beliau akan kaget kalau tahu bahwa di kelasnya ada beberapa murid yang berani melawan Jamie, dengan cara mereka sendiri.

"Itu karena kami punya informan dari dalam kelas~"

Bu Amy mengerutkan keningnya, seperti dugaan Hendra. Menemukan keberadaan informan di kelas yang dibawah kuasa seorang tirani memang susah, tapi sepertinya pada kasus kali ini, kebertungan berpihak pada kebaikan.

"Memang kedengarannya mustahil, tapi ada beberapa anak yang menentang keberadaan Jamie. Dalam Levitator, terkumpul beberapa anak yang menentang kelakuan Jamie secara diam - diam. Mereka tidak terlihat, tapi mereka bergerak dengan licin. Selama ini, banyak bukti dan informasi yang sudah mereka kumpulkan untuk kasus ini," kata Hendra.

"Levitator?" tanya Bu Amy.

"Anda mengenalnya sebagai Sherlina, Rista dan Azka. Merekalah yang selama ini membantu kami untuk mengawasi Jamie selama kami tidak ada. Banyak hal menarik yang mereka kumpulkan, yang nantinya akan saya perlihatkan pada anda dan teman - teman yang lainnya."

"Mereka? Saya tahu kadang Sherlina dan Rista suka iseng untuk memancing keributan dengan siapapun terutama Jamie, tapi rasanya saya hampir tidak percaya kalau mereka melakukan hal yang semacam ini."

"Hm, saya sebenarnya juga agak kaget, setelah melihat bagaimana tingkah mereka selama di kelas. Tapi, selama ini Sherlina sudah jadi informan yang sangat baik untuk kasus ini. Dua temannya yang juga tidak menyukai Jamie memutuskan untuk membantu dalam mengumpulkan informasi."

"Hm, mereka memang anak yang tidak biasa. Mereka memang punya kepintaran yang sulit dijelaskan."

Tak lama kemudian, Pak Indra dan Bu Risa datang, disusul oleh Rendi dan Arin. Hanya tinggal Yoshi dan Delia yang harus mereka tunggu. Janji mereka memang pada jam sembilan, walau rekan - rekannya datang sedikit lebih cepat.

"Mereka tahu alamatmu kan?" tanya Arin, yang bingung kenapa Yoshi dan Delia belum datang.

"Jelas sajalah. Mereka kan sudah ratusan kali ke sini. Mustahil kalau mereka sampai nyasar," sahut Hendra, lalu terkekeh.

"Palingan mereka tadi makan malam berdua dulu, baru ke sini. Lagipula, ini kan malam Minggu," ujar Rendi.

"Lah? Terus kenapa kalau mereka kencan? Kamu cemburu, Ren?"

"Iyalah, orang sekarang aku statusnya masih nggak jelas begini."

"Hahaha, kamu yang sabar yah Ren, nanti ketemu kok sama pujaan hatimu~"

"Halah, kayak statusmu sendiri lebih jelas daripada Rendi, dasar kamu itu Hen," celetuk Pak Indra.

"Wah, kalau status saya jangan ditanya deh pak. Status saya kan lebih nggak jelas daripada keberadaan alien di alam semesta ini."

Hendra terkekeh, dia tahu kalau dirinya memang masih sendirian. Tapi dia tidak ambil pusing tentang sahutan Pak Indra tadi. Toh, dia memang masih nyaman sendirian. Tapi, Hendra sengaja membuat pernyataan tadi dengan tujuan untuk memancing Rendi, karena Hendra ingin menggodanya sedikit.

Hendra memang tidak tahu apa saja yang terjadi di dalam EG Group saat Arin bergabung. Tapi, berada di sekolah selama sebulan bersama EG Group membuat Hendra bisa mengamati apa yang sebenarnya tidak terjadi. Hendra tahu, hanya saja dia memilih untuk diam.

"Sebenarnya, kamu memang betulan ada ide buat menjebak Jamie atau gimana sih?" tanya Bu Risa.

"Sebetulnya sih nggak. Tapi, tadi pas pulang sekolah ada sebuah info baru yang diberikan Sherlina. Mungkin keadaan bisa jadi gawat kapan saja, jadi aku sudah pikirkan beberapa langkah pencegahan nantinya. Nanti aku akan hubungi Sherlina lagi, kalau - kalau dia sudah menemukan beberapa informasi baru yang dibutuhkan," jawab Hendra.

"Kamu memang sangat memanfaatkan mereka ya?" ujar Pak Indra

"Mau bagaimana lagi? Kalau kita mengintai Jamie secara langsung, kan nanti yang ada kedok kita yang terbongkar. Lagipula, toh mereka setuju untuk membantu kita, karena pada dasarnya mereka benci tiga perempat mati sama Jamie."

"Mereka nggak takut ya, menentang Jamie dengan cara frontal seperti itu? Apalagi seperti yang terjadi di kelasnya Yoshi tadi," tanya Arin.

"Melihat kelakuan si Jamie yang tirani dan pilih - pilih itu, mereka jelas tidak mau diam. Sudah ada perang dingin di antara mereka sejak lama, jadi Levitator tidak akan menolak kalau mereka bisa menyerang. Mereka geram akan bagaimana Jamie memanfaatkan orang dengan seenak dengkulnya. Anak - anak Levitator itu kan kaum "terpinggirkan" karena mereka dianggap nggak gaul dan mereka juga nggak terlalu menonjolkan kemampuan otak mereka. Kelihatan banget saat di kelas ketika aku mengadakan pemilihan anggota kelompok. Levitator tidak dipilih oleh teman sekelasnya karena mereka pada dasarnya nggak memiliki kemampuan yang mendukung untuk membuat tugas itu lebih cepat selesai."

"Padahal mereka itu pintar dan ramah. Awalnya, saya agak heran kenapa mereka tidak begitu bergaul dengan teman sekelas mereka, tapi setelah melihat bagaimana Jamie di kelas, tidak heran kalau mereka memang tidak dekat dengan yang lainnya," komentar Bu Amy.

"Mereka memang sengaja menghindar, Sherlina sih bilang begitu. Mereka nggak suka dengan pertemanan dan persaingan tidak sehat yang ada di kelas mereka. Lebih baik mereka dianggap sebagai orang bego daripada mereka dibodohi oleh orang macam Jamie, begitulah. Kalau saja Jamie tidak ada di kelas mereka, mungkin akan lain ceritanya. Mereka tahu kalau hampir semua anak kelas IX B takut pada Jamie. Tapi mereka ingin memperlihatkan kalau mereka semua tidak perlu takut. Mereka ingin membuktikan kalau mereka benar dan kebenaran akan menang."

"Hm, mereka memang punya kemampuan yang tidak biasa. Selain itu, mereka sepertinya sengaja tidak terlihat mencolok, agar tidak jadi sasaran Jamie," kata Rendi.

"Itu pintarnya mereka. Seharusnya mereka tidak ada di SMP 7. Mereka lebih cocok masuk ke akademi khusus agen rahasia, dan mengembangkan bakat mereka di sana," sahut Hendra, lalu terkekeh.

"Mereka memang berbakat, tapi kurasa bagian jadi agen rahasia itu akan betulan terwujud kalau kita berada dalam cerita fiksi saja," ujar Pak Indra.

"Mungkin. Tapi saya kenal beberapa orang yang akan datang jauh - jauh ke sini hanya untuk menjadikan mereka agen rahasia yang handal. Siapa tahu, setelah kasus ini selesai aku akan memperkenalkan mereka dengan beberapa rekanku yang bisa membantu mengembangkan bakat mereka?"

"Tapi mereka melakukan semua ini atas keinginan mereka sendiri kan?" tanya Bu Amy.

"Tentu saja. Mereka tipe manusia - manusia yang bebas, dan saya suka itu. Prinsip hidup bebas mereka terlihat dari tugas foto yang aku berikan. Tema yang mereka ambil adalah freestyle, yang menggambarkan kebebasan mereka. Karena mereka juga mau bebas dari keberadaan Jamie, makanya mereka memutuskan untuk membantu."

Pembicaraan mereka terhenti karena terdengar sebuah suara ketukan. Yoshi dan Delia kini berada di depan pintu rumah Hendra yang terbuka, yang membuat semua orang lega karena kedatangan mereka. Keduanya langsung masuk tanpa permisi ke dalam, dan menutup pintunya.

"Nah, akhirnya datang juga mereka! Ke mana saja kalian woy? Kalian muterin taman kota tujuh kali dulu ya, baru kemari?" tanya Hendra.

"Emang kami selama itu ya?" tanya Yoshi, lalu duduk di bagian sofa yang masih kosong.

"Enggak juga sih. Kami nggak sampai berlumut kok nunggin kalian. Si Hendra saja nih yang penggambarannya agak alay," sahut Rendi.

"Heh, Pak Hein mah kebiasaan begitu," sahut Delia.

"Ya maaf kalau kami telat, soalnya tadi jalanannya lumayan ramai. Tahu sendiri lah, ini kan malam Minggu," tambah Yoshi.

"Ah sudahlah. Yang penting, sekarang semuanya sudah lengkap. Lebih baik, kita mulai saja rapatnya," kata Pak Indra.

Hendra mengangguk, dan dia membuka laptopnya. Karena Bu Amy belum tahu sejauh mana perkembangan kasus ini, maka Hendra memberitahukan semuanya secara ringkas, sambil memperlihatkan semua bukti yang sudah diberikan oleh Levitator.

Setelah ringkasannya selesai, Hendra memperdengarkan rekaman yang diberikan oleh Levitator tadi siang. Mereka menyimaknya dengan seksama, untuk mencerna informasi apa saja yang sudah didapatkan.

Laporan Hendra selesai setelah rekaman itu selesai. Tujuh orang tamu Hendra kini tengah berpikir akan apa yang seharusnya mereka lakukan. Yoshi terlihat sedang mengusap lengan Delia dengan lembut, mungkin supaya kekasihnya tidak meledak.

"Satu hal yang pasti adalah, ini gawat. Jamie pasti bisa menyerang kapan saja," kata Bu Amy.

"Memang. Kalau mau jujur, aku masih belum punya ide bagaimana cara kita menangkap Jamie dan mengambil semua foto itu. Walau begitu, setidaknya kita semua tahu fakta ini dan harus waspada. Levitator sudah kuminta untuk bersiaga, kalau - kalau ada sesuatu yang terjadi," ujar Hendra.

"Memang tidak ada cara lain selain dengan mereka membantu kita ya? Padahal kita sudah turun langsung ke SMP 7 loh. Apa kita tidak bisa melakukan sesuatu?" tanya Yoshi.

"Mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa membuat Jamie curiga dengan keberadaan kita. Jamie tentunya tidak akan membicarakan rencananya di hadapan kita. Apalagi kalau sampai Jamie tahu apa yang sebenarnya kita rencanakan. Levitator bisa menguping semua informasi dan percakapan akan apa yang Jamie bicarakan dengan Rena dengan lebih mudah. Sementara mereka melakukan tugas menguping itu, kurasa kita harus melakukan beberapa langkah pencegahan."

"Pencegahan macam apa?" tanya Pak Indra.

"Aku sudah meminta Sherlina untuk mengirimkan alamat media sosial milik Jamie, dan semua hal yang berbau komunikasi. Dari situ, kuharap kita bisa mencari keberadaan perangkat dia, dan mungkin melakukan sedikit peretasan untuk memantau bagaimana aktifitas dari akun media sosialnya dan perangkat elektronik yang dia punya."

"Oh? Menyadap perangkat yang dia gunakan, begitu? Bagus juga, siapa tahu kita bisa mendapatkan beberapa informasi dari chat dan juga kegiatan perangkatnya. Aku bisa bantu soal itu, tapi sepertinya akan lebih cepat kalau kita serahkan ke tim IT di kantor ...." kata Rendi.

"Yang mana saja boleh, selama Jamie tidak akan menyadarinya. Sherlina bilang kalau dia akan mengirimkan datanya lewat e - mail sekitar jam sembilan. Seharusnya sih, e - mail itu sudah ada," sahut Hendra, lalu menekan beberapa tombol di keyboard laptopnya.

Hendra membuka kotak pesan di e - mailnya. Dugaannya tidak salah, karena dia menemukan sebuah pesan baru yang berasal dari Sherina. Isi pesannya pendek saja, yang mengatakan bahwa data yang dikirimnya adalah alamat media sosial, nomor telepon, dan semua yang berhubungan dengan jejaring milik Jamie. Awalnya Hendra mengira kalau dia akan mendapatkan masing - masing satu akun untuk satu media sosial, tapi rupanya Sherlina mengirimkan nama beberapa akun sekaligus, lengkap dengan keterangannya. Hal ini membuat Hendra tersenyum.

"Sepertinya Sherlina ini adalah stalker kelas kakap ya? Banyak juga yang bisa dia dapat dalam waktu enam jam ...." kata Hendra.

Rendi mengintip ke arah layar laptop Hendra, "Wah, lengkap betul! Tapi dengan begini, aku yakin kalau data yang didapatkan akan jadi lebih akurat!" seru Rendi.

"Kirimkan saja semua itu ke tim IT, Ndra. Mereka pasti bisa mengurus ini dengan cepat," kata Bu Risa.

"Tentu saja, nanti saya akan kirim ke mereka. Untuk sekarang, kita hanya bisa mencegah dan memantau pergerakan Jamie. Jadi .... semoga saja kita bisa mendapatkan sesuatu dari media sosialnya Jamie ...." ujar Hendra.

EG Group mengangguk. Memang bukan langkah yang besar, tetapi setidaknya ada sebuah pergerakan yang bisa mereka lakukan. Jarak mereka sudah semakin dekat dengan Jamie, jadi semoga saja mereka akan bisa meraihnya sebentar lagi.

~~~~~

Dua hari berlalu dengan biasa saja. Walau begitu, tanpa orang banyak ketahui, Levitator diam - diam memantau keadaan kelas mereka yang tenang itu. Mereka sudah terlibat dalam sebuah misi rahasia, dan mereka bertekad untuk menyelesaikannya dengan baik.

Saat itu sedang jam istirahat siang, karena siswa kelas IX harus ikut kelas tambahan setelah sekolah selesai, sehubungan dengan dekatnya masa ujian akhir mereka. Sebagaimana normalnya jam istrahat, dapat terlihat kalau anak - anak kelas IX B yang lainnya sudah mulai pergi untuk makan siang, dengan beberapa di antara mereka memutuskan untuk diam di kelas dan menyantap bekal yang mereka bawa.

Ponsel Sherlina berbunyi, dan dia melirik pesan yang diterimanya. Dia tersenyum, karena si pengirim pesan memberinya sebuah pesan yang menarik.

Cepat. Ruang bendahara. Ketuk pintunya tiga kali, lalu langsung masuk saja. Kami menunggu kalian.

Sherlina paham apa maksudnya dan siapa pengirim pesan itu. Jadi, langsung saja dia melirik Rista yang baru saja ingin membuka kotak bekalnya. Sang teman menepuk bahu Rista, yang membuat temannya menoleh.

"Rista, ayo," ujar Sherlina.

"Ayo apaan?" tanya Rista, yang masih tidak mengerti.

"Katanya mau fotokopikan soal latihan? Makan siangnya bisa menunggu sebentar kan?"

Diam - diam, Sherlina memperlihatkan pesan di ponselnya kepada Rista di balik meja mereka berdua. Rista tersenyum, dia sekarang tahu apa maksud dari kode "soal latihan" tadi.

"Ah iya! Maaf, aku lupa! Sebentar, aku ambil dulu bukunya!" sahut Rista, lalu mengambil sebuah buku dari bawah mejanya.

Keduanya berdiri, setelah Rista menyimpan kotak bekalnya di bawah mejanya. Ketika mereka melangkah di dekat meja Azka, Sherlina langsung menarik lengan temannya. Orang yang ditarik tentu saja bingung, karena temannya bertindak tiba - tiba seperti itu.

"Eeeh … ada apaan sih Senpai?" ujar Azka, sambil melawan tarikan Sherlina.

"Ayo, katanya kamu mau ikut kan?" tanya Rista.

"Ngapain sih? Sejak kapan aku bilang begitu?"

"Nggak usah banyak bacot deh lu bocah! Katanya mau bareng buat fotokopi soal? Lu kan yang dengar halaman berapa saja kemarin!" seru Sherlina.

Jamie yang mejanya di depan Azka hanya melirik sejenak. Dia melihat sebuah buku kumpulan soal Matematika di tangan Rista, dan terkekeh.

"Kalian mau fotokopi soal dari buku yang dikasih tahu sama Pak Hendra? Kenapa nggak sekalian saja fotokopikan buat satu kelas?" tanya Jamie, dengan santai.

"Memang kamu mau bayarin fotokopinya?" tanya Rista dengan santainya.

Sherlina tahu, dari respon tadi bahwa itu berarti Jamie tidak curiga pada mereka. Buku kumpulan soal Matematika itu memang hanya pengecoh. Dia senang kalau rencana mereka berhasil. Azka sendiri berhenti meronta, karena dia melihat buku yang dipegang oleh Rista. Azka tahu apa maksud kedua temannya sekarang.

"Kamu bisa pelan - pelan nggak sih Senpai? Kok jadi perempuan tenaganya kayak badak sih?" ujar Azka, lalu berdiri dan melepaskan tangan Sherlina dari lengannya.

"Kagak! Cepetan ah, waktu istirahat kita cuma sebentar, tahu! Aku juga butuh makan," sahut Sherlina.

"Ah, jadi cewek kok nggak lembut sih Senpai?"

"Kalau guanya ngelembutin lu, yang ada lu malah jadi cowok dengan mental dodol. Yuk, nanti kita diazab sama Pak Hendra kalau sampai nggak punya soalnya!"

Sherlina kembali menarik lengan temannya, dan menyeret Azka tanpa ampun agar bisa ikut dengannya. Azka agak kesal karena temannya itu agak tidak berperikemanusiaan, meski kadang tingkahnya memang menyebalkan. Sherlina hanya diam dalam menanggapi protes dari Azka, karena dia ingin segera kabur dari kelas, kalau - kalau Jamie curiga pada kelakuan mereka.

Alih - alih menuju ke ruang tata usaha untuk mengkopi buku, mereka malah berbelok ke ruangan bendahara. Sherlina mengetuk tiga kali, dan langsung masuk ke dalamnya. Ketiga anak itu sudah sampai di ruang bendahara, dan berhadapan dengan Seven Wonder serta Bu Amy. Nira juga ada di sana, dan sedang asyik dengan laptopnya.

"Sori kalau kami agak lama. Saya harus menyeret bocah ini dulu soalnya," ujar Sherlina, sambil melepaskan cengkramannya dari lengan Azka.

"Akhirnya ... sakit tahu!" seru Azka, lalu mengelus lengannya yang tadi dicengkram Sherlina.

"Kalau nggak diseret kan lu nggak bakalan mau ikut dan bisa melarikan diri seenak jidatmu. Kerusuhan kita tadi kan ada supaya nggak ada yang curiga sama kelakuan kita."

"Kalau mau ngajak ke sini ya bilang lah! Nggak bisa pakai cara yang lebih gampang kenapa?"

"Udaaah! Kalau kalian berantem begitu terus, bisa - bisa perang dunia ke - seratus pecah! Ayo, kami perlu tambahan info dari kalian! Katanya kamu punya, Sher!" ujar Hendra melerai mereka berdua.

"Yah, tentu saja kami punya, Pak Hein. Bukan aku sih yang punya, tapi dua orang ini. Kamu bisa mulai Ris!" kata Sherlina.

Semua orang langsung hening, tanda bahwa mereka siap mendengarkan perkataan Rista. Si anak perempuan memegang sebuah buku di tangannya, yang membuat para "guru" dihadapannya bertanya kenapa.

"Jadi begini, kan tadi ada jam olahraga, aku dan Sherlina masuk ke kelas untuk mengambil botol minum, setelah izin dengan Pak Indra. Kebetulan aku melewati mejanya Jamie. Nah, saat aku lewat di meja itu, aku menemukan beberapa lembar foto yang tercecer di bawah meja Jamie. Coba tebak itu foto apa? Tidak lain dan tidak bukan adalah hasil jepretannya Jamie. Aku mengecek di bawah mejanya dan menemukan banyak sekali foto berhamburan di sana. Aku melihat sekilas kalau itu adalah foto skandal para guru. Ada banyak sekali, mungkin seratus lembar lebih, sepertinya itu baru saja diperbanyak. Tapi, aku memutuskan untuk mengambil tiga lembar yang terjatuh dari lacinya dan membiarkan sisanya. Terlalu bodoh kan jika kuambil semuanya?" ujar Rista.

Semua orang di sana, kecuali Sherlina dan Azka, langsung menampakkan wajah kaget saat mendengar perkataan Rista tadi. Mereka jelas tidak menyangka kalau Rista licinnya bukan main.

"Tunggu! Dia tidak curiga?" tanya Yoshi.

"Tadi kami sempat memeriksa fotonya sekilas. Ada lima jenis foto, tapi yang lainnya hanyalah kopiannya. Kami menggunakan sarung tangan karet yang belum sempat kami gunakan untuk mewarnai kain untuk pelajaran Seni Budaya, jadi tidak akan ada jejak tertinggal. Setelah masuk kelas, Jamie juga tidak merasakan ada apapun yang aneh telah terjadi pada fotonya," kata Sherlina.

"Tapi yang kamu lakukan nggak salah loh Ris. Jika aku ada di posisimu, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Terlalu beresiko kalau diambil semuanya," sahut Delia.

"Dan memanfaatkan sarung tangan karet? Boleh juga kalian ...." ujar Arin, lalu terkekeh.

"Wah, pantas kalian lama sekali pas mengambil botol minum kalian ... rupanya kalian teliti sekali ...." kata Pak Indra.

"Hehe, hukuman push - up sepuluh kali yang bapak kasih ada balasannya kok," sahut Rista.

Hendra yang sejak tadi terdiam langsung menatap ketiga anak muridnya dengan serius. Tindakan yang sangat berani, tapi juga pintar. Kalau memang fotonya diperbanyak, ya Jamie tidak akan curiga. Lagipula, yang diambil kan cuma tiga. Tapi ini artinya sekarang para penyidik bisa mengungguli Jamie tanpa sepengetahuannya.

"Kalian bawa fotonya? Kalau bawa, cepat kemarikan benda itu, jangan sampai dia curiga!" ujar Hendra, yang mulai agak histeris.

"Sabar dong pak," kata Rista.

Rista membuka buku yang ada di tangannya. Sebuah halaman langsung terbuka karena sesuatu diletakkan di sana. Ketika Rista mengambilnya, terlihat bahwa itu adalah lembaran foto. Rista menyodorkan tiga lembar foto tadi, yang langsung disambar dengan ganas oleh Yoshi. Teman - temannya mengerubungi di sekitar Yoshi untuk melihat foto itu.

Hendra tersenyum saat dia melirik buku yang ada di tangan Rista. Rupanya dia menyembunyikannya di antara halaman buku. Hendra ingat, dia meminta anak muridnya untuk mengkopi beberapa soal dari buku itu. Rupanya ini adalah kamuflase. Pintar juga, kalau mereka beralibi bahwa mereka mengkopi soal, maka tidak akan ada yang curiga akan apa yang sebenarnya terjadi. Satu lagi tindakan teliti dari Levitator.

"Wah, kok aku lihatnya jadi salah paham ya?" kata Yoshi, lalu terkekeh.

"Jauhkan. Atau aku malah akan menghancurkan barang bukti itu ...." ujar Delia, yang langsung menjauh.

"Wah, editannya cukup pro ini. Tapi kalau memang dia seorang profesional dalam dunia fotografi, seharusnya dia sadar kalau di sini masih ada kecacatan. Walau begitu, ini cukup bisa meyakinkan orang awam," komentar Rendi.

"Kamu yakin kalau memang ini kelihatan seperti editan?" tanya Pak Indra.

"Aku punya teman yang bekerja sampingan sebagai fotografer profesional, Wendy namanya. Dia mengajariku beberapa hal yang seringkali orang awam luput dalam mengamati foto seperti ini. Kita bisa kirim ini ke bagian IT untuk diteliti, tapi kalau boleh, aku akan minta kopian dalam bentuk digitalnya. Aku mau tahu apa pendapat Wendy soal ini,"

"Ada lagi yang bisa kamu simpulkan dari foto ini?" tanya Bu Risa.

Rendi mengambil satu lembar, dan mengamatinya dengan seksama. Dia menyentuh, membaui, menerawang, dan melihat ke berbagai sisinya. Setelah mengerutkan alisnya selama beberapa saat, Rendi kemudian mengembalikan foto tadi pada Yoshi.

"Foto ini memang baru dicetak, kertas fotonya masih agak lengket soalnya. Permukaannya fotonya sangat licin dan kesat saat disentuh, berarti kertas fotonya murahan, atau biasa saja, bukan kertas foto kualitas tinggi seperti yang dari percetakan. Tintanya juga tinta yang biasa saja, bukan tinta khusus untuk foto. Jadi, jangan sampai kena air atau cahaya langsung, atau fotonya akan pudar. Lalu ... foto ini dicetak sendiri, bukan cetakan studio foto atau dari fotografer profesional. Bekas potongan fotonya tidak begitu rapi, karena dia menggunakan gunting, bukan alat pemotong khusus. Terakhir, kertas fotonya sudah agak lama dibiarkan, karena bagian belakangnya agak menguning. Jadi, siapapun yang mencetak ini memang punya stok kertas foto, tapi dia tidak menggunakannya dalam waktu lama. Dan entah kenapa, kertas fotonya terasa familiar bagiku."

Hendra mengangguk, "Pak Indra bisa simpan fotonya, dan serahkan ke bagian IT. Temanmu bisa dipercaya, Ren?" tanya Hendra.

"Wendy tahu aku kalau aku adalah seorang polisi. Jadi dia tidak akan membocorkan apapun. Dia juga tinggal sendirian, jadi kurasa tidak akan ada yang tahu soal ini. Dia temanku saat di bangku SMK, dan dia ketua ekskul fotografi."

"Oke, kalau begitu, minta bagian IT untuk mengirimkan salinannya ke Rendi kalau mereka sudah selesai."

"Siap~" kata Pak Indra, lalu mengambil fotonya, dan mengamankannya di dalam tasnya, yang dia letakkan di lantai.

"Ada info yang lain lagi?" Tanya Delia.

Sherlina mengangguk, "Untuk yang berikutnya, Azka yang bakalan menyampaikan," ujar Sherlina.

"Baik, silahkan Ka," kata Hendra.

Si anak laki - laki mengangguk. Dia maju selangkah, dan mempersiapkan dirinya untuk menyampaikan informasi apa yang dia punya.

"Begini, aku kan duduk tepat di belakang Rena, jadi aku punya posisi yang strategis buat menguping percakapan antara Jamie dan Rena. Apalagi mereka sering berbicara dengan cukup keras. Aku akan beri tahu apa yang kudengar saat jam kosong, di jam ketiga tadi, karena saat itu Sherlina dan Rista masih berada di toilet untuk berganti pakaian sehabis jam Penjaskes, " ujar Azka.

Para gurunya mengangguk, dan Azka menjelaskan apa yang didengarnya. Saat itu, Jamie mengacungkan sebuah foto pada Rena, dan Azka mengintip bahwa foto itu adalah foto Yoshi dan Delia. Dengan kata lain, salah satu dari foto - foto yang ada di bawah meja Jamie.

Saat itu, Jamie menjelaskan pada Rena bahwa dia akan meletakkan foto - fotonya di sebuah kotak yang lebih pantas disebut kotak perhiasan berwarna cokelat dengan ornamen di tutupnya. Kotaknya dilengkapi dengan kode kombinasi dengan tiga angka. Kombinasinya untuk membukanya disampaikan dalam sebuah teka - teki. Katanya, kombinasinya adalah nama panggilan sayang untuk pacar Jamie, diubah dalam kode chiper buatannya, dan diubah lagi menjadi angka tiga digit.

Selain itu, Jamie juga menyampaikan tentang isi koper itu. Di dalamnya tidak hanya terdapat foto - foto dalam bentuk cetak yang sudah dia kumpulkan, melainkan juga terdapat dalam sebuah flashdisk milik Jamie. Flashdisknya berwarna hitam, tanpa pengamanan apapun. Di dalamnya, terdapat "bahan mentah" dari hasil jepretannya, dan juga hasil editannya.

Kemudian, Jamie mengatakan kalau dia menggunakan laptop milik Marcell sebagai media mengedit foto. Berdasarkan penuturan Jamie, dia tidak bisa mengedit di laptopnya sendiri karena aplikasi yang dia gunakan tidak ada di sana. Selain itu, dia juga tidak ingin kakaknya tahu soal foto - foto itu, karena mereka menggunakan laptopnya sebagai milik bersama. Hasil editan yang tadinya ada di laptop Marcell dikirim Jamie ke flashdisk tadi, dan dia akan menghapus data yang ada di laptop Marcell kalau dia sudah selesai mengeditnya. Jadi, laptop Marcell adalah tempat transisi data itu. Marcell juga mengetahui soal keberadaan foto - foto itu, karena Jamie memerintahkan Marcell untuk mencetaknya, yang mana hasilnya diserahkan tadi pagi. Tapi, Marcell tak bisa melakukan apa - apa terhadap suruhan Jamie itu selain menurutinya.

"Sialan! Anak itu memang sudah keterlaluan!" seru Delia.

"He - eh. Sudah nggak modal, pakai laptop Marcell segala lagi. Alasannya juga ada - ada saja," ujar Arin.

"Ah! Pantas saja! Masuk akal juga kalau Marcell yang mencetak fotonya!" seru Rendi.

"Memang kenapa, Ren?" tanya Pak Indra.

"Karena kertas fotonya! Aku juga meminta muriku untuk mengumpul hasil mereka memotret kehidupan sehari - hari dalam bentuk cetak foto. Aku ingat betul kalau kertas fotonya Marcell berbeda dengan yang lainnya, begitu pula dengan beberapa temannya. Aku tahu kalau kertas fotonya sudah lama disimpan. Jadi, aku menanyakannya pada Marcell, dan memang benar kalau kertas foto yang dia punya sudah lama tidak digunakan."

"Wah, teliti juga kamu Ren. Temanmu pasti mengajari banyak hal soal fotografi ...." kata Bu Risa.

"Nah, itu yang kami dapat sampai saat ini, pak. Sekian laporan dari Levitator!" ujar Sherlina.

"Yah! Tapi itu lebih dari cukup! Kita sekarang tahu soal keberadaan foto - foto itu!" sahut Yoshi.

"Kalian memang bisa jadi informan yang handal, nggak salah lagi. Cocok tuh kalau ada yang bercita - cita sebagai intel," ujar Delia.

"Kami kan bukan sekedar informan. Yah, bisa dibilang kaki tangan lah," sahut Rista.

"Lah, kamu sendiri Sher, nggak ada info yang mau disumbangkan?" tanya Hendra.

Sherlina menggeleng, "Aku gak punya info apapun. Tapi, penemuan kedua temanku ini membuatku nggak konsen saat jam pelajaran terakhir tadi," jawab Sherlina.

"Lalu?"

"Karena aku kepikiran terus, akhirnya aku malah dapat satu ide ... yang luar biasa absurd. Entah kalian mau coba pakai ideku ini atau enggak."

"Kami akan dengar dulu apa idemu, Sher, biar seabsurd apapun itu! Siapa tahu kita bisa dapat suatu cara yang menarik."

"Oke, kalau begitu, dengarkan baik - baik. Jadi begini ...."

Sherlina membeberkan idenya kepada para penyidik yang ada di hadapannya. Mereka mendengarkan ide itu dengan seksama, sambil berusaha memahami apa yang direncanakan Sherlina. Ketika selesai, mereka mengangguk.

"Ide yang bagus. Patut untuk dicoba. Tapi nanti akan kami pikirkan lagi. Kalau mau kami gunakan, maka akan kami kabari. Kalian bisa bubar sekarang," kata Hendra.

Ketiganya mengangguk, dan mengucapkan salam mereka sebelum pergi. Hendra tersenyum, mengamati anak - anak dengan kemampuan penyidikan yang hebat itu. Tapi sebelum mereka pergi, Hendra menghentikannya.

"Eh, tunggu dulu!" kata Hendra.

"Ya pak? Ada apa?" tanya Azka.

"Saya akan telat masuk kelas kalian selama kira - kira lima belas menit. Anggap saja bonus waktu istirahat kalian. Jadi kalian santai saja. Tapi jangan kasih tau teman sekelas kalian ya?"

Rista tersenyum, "Makasih pak! Kami pergi dulu kalau begitu!" kata Rista.

Hendra juga ikut tersenyum. Mereka memang bukan informan biasa. Hendra bersyukur karena dia mengambil kasus ini dan bisa bertemu dengan mereka. Sebuah pengalaman unik, yang nantinya akan dia tuliskan di catatannya.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top