Chapter 4 : 9Bahrelway
Yoshi meletakkan bukunya di meja guru, lalu menatap anak - anak murid di hadapannya yang sedikit gaduh. Dia berdehem, yang menarik perhatian anak - anak muridnya. Kali ini, mata anak - anak kelas IX B tertuju ke arah Yoshi. Beberapa di antaranya terlihat bingung, tapi ada juga yang memasang tampang penasaran.
"Selamat pagi anak - anak!" sapa Yoshi, diiringi dengan senyuman mautnya.
Saat dia menyampaikan salamnya, Yoshi bisa melihat kalau beberapa murid sudah terkena jeratan pesonanya. Hal itu membuat senyumannya semakin melebar.
"Selamat pagi pak!" sahut anak - anak kelas IXB dengan serempak.
"Kalian semua semangat buat belajar?"
"Semangaaaaatttt!!!!!"
"Bagus! Kalian memang harus semangat, karena hari ini adalah hari pertama kalian kembali ke sekolah! Walau begitu, hari ini kita nggak bakalan belajar. Karena saya mau kenalan dulu sama kalian semua."
Yoshi mengambil sebuah spidol hitam yang ada di atas meja, lalu dia melangkah menuju ke arah papan tulis. Dia menuliskan namanya di papan berwarna putih itu, agar para murid bisa mengenalnya. Yoshi mencatat dalam kepalanya, kalau dia harus terbiasa untuk menulis di papan tulis, karena ini akan jadi rutinitasnya selama beberapa bulan ke depan.
"Nama saya Kiyoshirou Ikemasa, dan saya adalah guru pertukaran dari SMP San Rio. Saya akan menjadi guru IPS kalian selama sekitar tiga bulan ini dalam program pertukaran kali ini. Jadi, mohon kerjasamanya ya~" ujar Yoshi.
"Panggilannya apa pak?" tanya seorang anak laki - laki berkulit sawo matang dan berpostur tinggi.
Pandangan Yoshi kini tertuju pada si anak laki - laki. Kalau saja dia tidak mengenakan seragam SMP, maka Yoshi yakin dia bisa saja seorang murid dari akademi polisi. Karena tubuhnya tegap, dan kalau dikira - kira, tinggi tubuhnya hanya berbeda sedikit saja dari Yoshi.
"Panggil aja saya Pak Yoshi. Nah, kalau namamu sendiri siapa?" tanya Yoshi.
"Nama saya Raihan pak. Tapi biasanya dipanggil Rei. Saya ketua kelas di kelas IX B ini," jawab si anak.
Yoshi terkekeh mendengar jawaban si murid," Loh, kok nama panggilan kamu sama kayak adik saya ya?"
"Eh? Masa pak? Jangan - jangan saya adiknya bapak lagi?"
"Nah loh? Kok kamu di sini, Rei? Adik saya sudah kuliah loh, masa dia balik lagi ke SMP?"
Anak - anak kelas IX B tertawa mendengar candaan yang terlontar tadi. Yoshi juga tidak menyangka kalau anak muridnya menyambutnya dengan baik di kelas ini. Fakta itu membuat Yoshi merasa sedikit lebih baik karenanya.
"Pak! Adeknya bapak ganteng nggak?" tanya seorang anak perempuan berambut panjang yang ada di pojok depan sebelah kiri kelas.
"Kalau kakaknya ganteng, ya adiknya seharusnya ganteng juga sih," sahut Yoshi, lalu tersenyum.
Si anak perempuan tersipu saat dia merasakan tatapan Yoshi tertuju kepadanya. Temannya yang berambut bergelombang pendek yang ada di sebelahnya terlihat menyikutnya lalu membisikkan sesuatu kepada si anak perempuan. Beberapa anak perempuan lainnya juga pada berbisik.
"Oke, jadi ketua kelas di sini Rei ya? Nanti kalau ada apa - apa, biar ketua kelas yang bantu saya, oke?" kata Yoshi.
"Oke pak!" sahut Rei.
"Wah, sudah kelihatan nih si Rei aura kepemimpinannya. Sudah orangnya hitam manis, bodinya bagus, punya jiwa pemimpin pula. Fix, kalau nggak punya pacar, pasti banyak deh yang ngantri buat Rei!"
Si Rei mengembangkan sebuah senyuman lebar, yang langsung jadi ledekan teman - teman sekelasnya yang laki - laki. Para perempuan di kelasnya melirik Rei, entah dengan maksud apa.
"Ah, bapak bisa saja~"
"Eh, saya serius loh. Biasanya cowok kayak kamu itu pasti banyak yang ngantri. Nanti kamu mau jadi apa Rei? Kayaknya cocok deh kamu jadi tentara."
"Eh, saya kepengennya jadi tentara sih pak."
"Wah, cocok nih! Sudah, Rei ini calon menantu idaman ini! Nah, sudah dulu ya soal Rei, nanti dia malah jadi kesenangan karena kebanyakan dipuji. Nah, ada pertanyaan lagi soal saya?"
"Nomor teleponnya dong pak! Nomor hape!" seru beberapa anak.
Yoshi terkekeh, karena dia tidak menyangka kalau anak kelas IX B akan seheboh ini. Rasanya seperti tidak ada yang salah akan kelas ini. Kalau saja Yoshi tidak tahu soal apa yang sudah dilakukan oleh Jamie, dia tidak akan percaya kalau sebenarnya anak - anak ini takut dengan ancaman teman sekelasnya sendiri.
Karena spidol yang tadi Yoshi gunakan masih ada di tangannya, dia kembali membuka tutupnya dan menuliskan nomor teleponnya di papan tulis, tepat di bawah namanya.
"Nah, itu nomor saya. Silahkan kirim SMS atau telepon kalau kalian pengen tanya pelajaran, asal jangan tengah malam ya. Mau curhat juga boleh, tapi khusus buat cowok saja ya," ujar Yoshi.
Satu kelas langsung agak riuh karenanya. Mereka ribut mencatat nomor ponsel Yoshi, dan beberapa perempuan ada yang berbisik - bisik. Yoshi terdiam sambil tersenyum. Kini dia mengerti kenapa ayahnya sangat suka mengajar. Masa muda memang masa yang dipenuhi keseruan, yang membuat ayahnya betah berlama - lama dengan mahasiswanya. Walau efeknya ya Pak Kazuki gaulnya jadi kebangetan.
"Nah, ada lagi?" tanya Yoshi.
"Pin BB dong pak!" seru beberapa anak perempuan.
"Waduh, pin saya juga? Kalian ini mau kenal saya apa mau jadi stalker sih? Tapi ya sudah, saya kasih tahu sekalian deh," ujar Yoshi, sambil terkekeh.
Yoshi kembali membuka tutup spidol yang ada di tangannya, kemudian menuliskan sederet angka dan huruf yang merupakan pin di aplikasi BlackBerry Messenger. Sekalian saja Yoshi juga menuliskan alamatnya, karena entah kenapa dia berfirasat kalau akan ada yang menanyakan soal hal itu.
"Nah, ini sekalian sama alamat saya ya! Ada yang rumahnya dekat saya? Siapa tahu saja kita tetanggaan. Kapan - kapan kalau mau main boleh, tapi jangan sendirian. Ramai - ramai kalau bisa, biar seru. Ada lagi yang mau ditanyakan?" ujar Yoshi.
"Pak, saya mau nanya!" kata seorang anak laki - laki bertubuh tinggi yang duduk di pojokan.
"Ya? Ada apa?"
"Bapak sudah nikah?"
"Waduh, pertanyaannya kok ngejleb banget ya? Boleh saya jawab? Saya kasihan sama yang jomblo, kalau saja kalian tersinggung," ujar Yoshi sambil berjalan mendekati anak itu.
"Jawab saja pak!" sahut beberapa anak dengan antusias.
"Nikah sih belum, tapi sudah taken sih~"
"Siapa pacar bapak? Cantik nggak?" tanya si laki - laki tadi.
"Kenapa? Jangan bilang kalau kamu mau rebut pacar saya ya?"
"Enggak pak. Pacar bapak punya adek nggak?"
Yoshi terkekeh, "Punya. Tapi dia setahun lebih tua daripada kalian. Sudah taken juga."
"Nggak jadi deh kalau gitu."
Teman - teman sekelasnya menyoraki teman mereka yang berniat untuk modus tadi. Yoshi hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat kelakuan mereka itu.
"Memang kamu masih jomblo ya, sampai kepingin betul nyari pacar begitu?" tanya Yoshi.
"Enggak sih pak, kalau pacar saya sudah punya. Cuma, ya buat cadangan," sahutnya.
"Cadangan? Kamu kira pemain bola?"
"Enggak juga sih. Buat di modusin kan lumayan."
"Haduuuh, jangan deh! Kalau niatmu begitu, ya kasian cewek yang kamu modusin!"
"Pacar bapak siapa sih?" tanya teman sebangku si anak tadi.
"Nanti kalian mungkin bisa kenalan sama dia kok. Ada juga ada di program pertukaran guru ini kok."
"Yaaahhh ...."
"Ada pertanyaan lagi nggak? Hari ini kita santai saja dulu ... kalau nggak ada, nanti saya yang nanyain kalian lagi."
"Pak, umur bapak berapa ya?" tanya seorang perempuan berkulit putih yang ada di dekatnya.
Si anak perempuan hanya berjarak satu barisan kursi ke sebelah kiri dari tempat Yoshi berdiri. Pandangan mata sang guru kini tertuju pada si anak perempuan, yang kini menatapnya dengan antusias.
"Oh? Umur saya masih 24 kok, saya baru saja setahun mengajar di San Rio. Memangnya kenapa?"
"Enggak, habis bapak keliatannya masih muda gitu. Masih ganteng - ganteng gimana gitu," sahut si anak perempuan.
Pujian tadi membuat senyum Yoshi terkembang. Kalau saja teman - temannya ada di sini, mungkin mereka sudah menabok Yoshi karena kepedeannya.
"Oh ya? Baru kali ini ada yang bilang begitu. Biasanya juga saya kena ledek karena saya masih muda. Makasih loh! Eh, namamu siapa?"
"Rista pak."
"Ah, oke. Doakan semoga saya hapal sama kalian yak. Kalian kan banyak nih orangnya. Gimana, ada pertanyaan lain? Kalau nggak ada, saya minta kalian tuliskan biodata kalian di kertas selembar. Terserah isinya apa, tapi yang pasti harus ada nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat, dan juga hobi. Selebihnya bebas. Mau promosi akun Twitter, atau apapun terserah. 10 menit bisa selesai semua ya?"
"Siap paaak!!!"
Murid - muridnya mulai melakukan perintah Yoshi dengan penuh semangat. Sementara menunggu muridnya selesai, Yoshi memutuskan untuk duduk di meja guru dan mengamati. Dia menggunakan kesempatan ini untuk melakukan pekerjaan yang "sebenarnya".
Mata Yoshi mendarat ke arah dua orang anak perempuan yang duduk tepat di paling belakang kelas. Keduanya terlihat biasa saja, tapi ada sebuah kehebohan tersembunyi yang bisa Yoshi lihat dari sorot mata mereka. Salah satunya adalah Rista, yang tadi sudah memperkenalkan dirinya.
Sementara itu, Rista menuliskan apa yang diminta olehnya sambil berbisik dengan teman sebangkunya. Keduanya sama - sama tersenyum, dan entah kenapa mereka melirik Yoshi di saat yang bersamaan. Yoshi memasang wajah penuh tanda tanya, yang membuat mereka berdua menatap satu sama lainnya. Rista berbisik, dan teman sebangkunya mengangguk.
Yoshi melepaskan pandangannya dari kedua anak itu dan kembali mengamati sekitarnya. Yoshi berusaha mencari keberadaan Jamie, dan berharap ingatannya akan foto yang diperlihatkan Bu Amy masih melekat di kepalanya.
Pandangan mata Yoshi kini tertuju ke arah barisan meja ketiga dari pintu kelas, deretan ketiga dari depan. Ada seorang anak perempuan berkulit cokelat yang memasang wajah jutek, dan dia tengah mengisi kertasnya. Dari aura tidak nyaman yang dirasakannya, Yoshi meyakini kalau anak itulah Jamie.
Di dalam kepalanya, Yoshi berusaha mengingatkan dirinya sendiri agar berhati - hati. Mungkin Jamie kelihatan seperti anak SMP biasa. Kadang, perasaan yang tidak enak itu ada benarnya, karena Yoshi bisa merasakan sesuatu yang berbahaya dari anak itu.
Dua jam pelajaran berlalu begitu saja dengan cepat. Setelah bertanya sana - sini tentang anak muridnya, akhirnya lonceng tanda jam istirahat berbunyi. Yoshi langsung saja pamit dari kelas IX B, dan menuju ke ruang guru.
Yoshi duduk di meja kerjanya, dan menghela napas. Mengajar jelas berbeda dengan kebiasaannya di kantor. Mungkin akan ada banyak tenaga yang dia kuras nantinya. Walau begitu, setidaknya Yoshi sudah mengetahui di mana Jamie berada. Karena tadi Yoshi menanyai muridnya satu per satu, maka dia bisa mengetahui kalau Jamie memang benar duduk di barisan ketiga dari pintu di deret ketiga dari depan.
"Gimana?" tanya Delia yang kebetulan mejanya ada di sebelah Yoshi.
"Begitulah. Cuma perkenalan kok. Tapi ... menarik. Anak kelas IX B cukup menarik," sahut Yoshi.
"Lalu, soal Jamie? Kamu sudah ketemu sama dia?" tanya Rendi.
"Pastinya. Dia duduk di baris ketiga dari pintu, deret ketiga dari depan.
"Gimana anaknya?" tanya Arin.
"Begitulah. Susah mau jelaskannya gimana. Mending kalian lihat sendiri deh,"
"Yah, padahal penasaran nih. Walau toh nanti aku juga masuk ke kelasnya, ya aku pengen tahu dulu gimana orangnya," kata Bu Risa.
"Hen, di kelas itu aku kok aku tidak ketemu anak yang namanya Sheryl?"
"Kamu cari sampai tahun depan juga nggak bakalan ketemu, Yo. Sheryl itu cuma nama samaran, aliasnya dia. Walau katanya nama aslinya nggak jauh beda dari nama samarannya, katanya," sahut Hendra, yang duduk di sebelah kanan Yoshi.
"Eh, pantas saja. Rupanya Jamie itu anggota OSIS juga ya? Tadi kusuruh mereka bikin biodata, biar aku bisa tahu soal kelas itu secara keseluruhan," kata Yoshi, sambil menepuk tumpukan kertas yang dia bawa.
"Memang, Jamie itu anggota OSIS. Tepatnya, dia sekretaris OSIS. Tapi katanya kinerja Jamie di situ nggak terlalu oke, begitu sih kalau menurut pendapat Sheryl."
"Sepertinya Sheryl ini pengkritik tingkat akut ya?"
"Jangan heran. Dia dan beberapa temannya merupakan pemuka dari kelompok penentang keberadaan Jamie. Kemarin dia sempat jelaskan keadaan kelasnya dan dirinya juga secara terperinci. Jadi sepertinya tidak akan susah untukku mencari keberadaannya. Katanya sih, dia duduk di barisan paling belakang. Sudah lihat, Yo?"
Yoshi mengerukan alisnya. Dia kembali mengingat Rista dan teman sebangkunya. Teman sebangkunya Rista kurang lebih sama ramainya dengan Rista, dan dia ....
"Oooh .... Kayanya aku tahu yang mana deh," sahut Yoshi, lalu mengangguk.
"Bagus deh. Kamu istirahat dulu deh Yo, nanti masih ada kelas lain yang harus diajar, kan? Lalu, siapa yang selanjutnya ke IX B?"
Hendra melirik jadwal yang dia tempel di atas mejanya. Tapi belum sempat dia melihatnya, sudah ada yang menyahut pertanyaannya.
"Aku yang dapat giiliranku masuk kelas mereka setelah jam istirahat ini," sahut Delia.
Hendra mengangguk, dan teman - temannya menguatkan Delia. Yoshi juga memberikan beberapa tips dan info seputar anak kelas IX B. Delia menerima semua ucapan itu dengan senang hati. Meski di dalam hatinya Delia agak khawatir kalau dirinya akan "meledak" saat menghadapi Jamie. Semoga saja itu tidak akan terjadi.
~~~~~
Delia menyiapkan dirinya untuk memasuki kelas IX B. Lonceng tanda masuk kelas dibunyikan setelah dua puluh menit waktu istirahat. Delia mengambil kelengkapan yang dia perlukan, lalu langsung menuju ke kelas IX B.
Pintu diketuk, dan Delia masuk ke dalam kelasnya. Seperti penggambaran Yoshi, sekilas tidak ada yang aneh dari mereka semua. Delia memberikan salam dan memutuskan untuk mengabsen mereka terlebih dahulu, sebelum menanyai mereka satu per satu.
"Gimana? Kalian sudah pada makan kan?" tanya Delia.
"Sudaaah ...." sahut anak kelas IX B dengan serempak.
"Oke, kalau begitu kalian siap belajar ya?"
"Bisa jadiii ...."
"Waduh, kok banyak anak labil nih di sini? Jawabannya kok malah bisa jadi? Harusnya siap dong!"
"Namanya juga remaja bu, ya masih labil lah!" sahut seseorang dari belakang.
Delia melirik ke arah belakang. Anak yang menyahutnya tadi adalah seorang perempuan yang berambut panjang dan digulung ke belakang. Dia berkulit kecokelatan, dan wajahnya dipenuhi jerawat. Mata dan alisnya tegas, membuat Delia tidak tahan untuk tersenyum. Karena saat melihat anak itu, rasanya seperti melihat kembali dirinya di masa sekolah dulu.
Hendra bilang kalau narasumbernya duduk di bagian paling belakang kelas. Dirinya merasa kalau anak ini mungkin saja narasumber itu. Kalau dugaan Delia benar, maka hal ini akan sangat menarik.
"Iya sih, tapi nggak kayak begitu juga kan? Ya sudahlah, mending sekarang kita kenalan ya? Mulai dari saya dulu deh," kata Delia
Delia mengambil sebuah spidol di meja, dan dia bisa melihat sebuah tulisan di papan tulis. Dia menghapus tulisan Yoshi yang sebelumnya ada di papan tulis, dan menuliskan namanya dan juga beberapa data diri lainnya.
Anak muridnya menyaksikan dengan antusias perkenalan yang dia sampaikan, kecuali seorang anak. Dari ciri fisiknya, dia sesuai dengan penggambaran Jamie. Belum lagi dia duduk di kursi yang Yoshi katakan sebagai tempat Jamie berada. Tidak salah lagi kalau memang dialah orangnya.
Untungnya, keantusiasan anak kelas IX B bisa meredam amarah Delia. Kalau tidak, mungkin Delia sudah mencekik mati Jamie. Anak - anak perempuan menanyainya dengan semangat, sementara itu yang laki - laki banyak yang merayunya. Kemudian, sampailah saatnya untuk anak muridnya yang memperkenalkan diri mereka.
"Nah, saya kan sudah perkenalkan diri, sekarang giliran kalian lagi ya? Nanti saya tunjuk kalian satu - satu, terus kalian berdiri dan kasih tahu saya nama lengkap, nama panggilan, tanggal lahir, dan hobi. Gimana? Siap?"
"Siap bu!" sahut koor anak kelas IX B.
"Hmm, siapa dulu ya?" ujar Delia, sambil berjalan ke arah meja Jamie.
Tenntu saja, Delia memilih Jamie sebagai "korban" pertamanya. Dia memang ingin sekali tahu bagaimana pembawaan seorang Jamie ini. Delia menepuk meja tempat Jamie berada, dan memintanya untuk memperkenalkan dirinya.
Jamie memperkenalkan dirinya pada Delia, sesuai dengan permintaannya tadi. Dari luar, Jamie tampak seperti seorang anak SMP biasa dengan rambut sepunggung, kulit cokelat, dan seragamnya. Hanya saja, ada sesuatu yang lain saat Delia berada di dekatnya.
Sang guru harus menahan dirinya agar tidak menonjok wajah Jamie. Ekspresi wajah Jamie yang agak congkak membuat Delia menegang, terutama saat Delia melihat senyuman jahatnya. Delia tersenyum sebisanya ketika Jamie sudah selesai dengan perkenalannya, dan agak menjauh. Dia memutuskan untuk mencari korban berikutnya.
"Oke, sekarang cowok lagi. Tanya dong, di sini siapa sih yang paling ganteng?" tanya Delia.
Ada beberapa nama yang disebutkan, Delia terkekeh dan jadi bingung untuk memutuskan yang mana. Tapi, ada satu nama yang disebutkan paling nyaring, dan nama ini menarik perhatian Delia.
"Iqbal Handsome!" seru beberapa anak.
"Hah? Iqbal? Hayo, mana orangnya?" tanya Delia.
Beberapa anak menunjuk ke arah barisan keempat, tepatnya yang paling depan. Delia langsung mendekatinya dan menelisik mukanya lebih jauh lagi. Si anak laki - laki hanya tersenyum malu - malu, yang membuat Delia agak gemas.
"Jadi di sini kamu julukannya Iqbal Handsome ya? Ibu nggak tahu teman sekelasmu ini maksudnya memuji atau bercanda, tapi sebenarnya sih ibu setuju kalau kamu dibilang ganteng," kata Delia, sambil tersenyum.
"Kenapa bu?" tanya anak perempuan yang duduk di belakang si Iqbal.
"Tuh, itu loh, yang bikin dia cakep itu kismis yang nempel di deket idungnya itu loh," ujar Delia iseng, sambil menunjuk tahi lalat yang ada di dekat hidung Iqbal.
Semua anak langsung tergelak saat mendengar candaan Delia. Si Iqbal jadi tersipu, yang membuat Delia terkekeh. Setelah Iqbal sudah tidak tersipu lagi, Delia memintanya untuk memperkenalkan diri.
"Tadi ibu serius loh. Iqbal ini kalau diperhatiin manis soalnya. Wah, enak nih, saya kalau lihat ke depan langsung ketemu yang manis. Yang ganteng kan sudah nih, sekarang yang cantik lagi. Nah, siapa sih yang paling cantik di sini?" tanya Delia.
Satu kelas riuh, menentukan siapa teman sekelas mereka yang paling cantik. Seorang anak laki - laki tiba - tiba nyeletuk dengan iseng.
"Marcell bu!" serunya.
Delia menoleh ke arah asal suara. Dari tempat duduknya, Delia meyakini kalau anak itu adalah Rei, ketua kelas IX B. Selain itu, tinggi badan Rei juga membantu Delia dalam mengenalinya.
"Marcell? Yang mana ya?" tanya Delia.
"Nih, di sebelah saya," kata Rei.
Rei menunjuk teman sebangkunya yang rupanya adalah seorang anak laki - laki. Delia ingin sekali menepuk jidatnya, karena lawakan Rei seleranya beda tipis dengan Reiza Ikemasa. Tapi kalau diperhatikan, Delia bisa mengerti kenapa. Anak lelaki yang ada di sebelah Rei itu terlalu lembut kalau disandingkan dengan Rei yang sangat maskulin.
"Lah, saya kirain beneran, rupanya cowok. Memangnya dia cantik ya?"
"Cantiiiiiik banget bu!"
"Oh, kalau kamu bilang dia cantik, berarti kamu mengakui ya kalau kamu itu suka sama dia?"
"Oh my god ... enggak bu! Masa iya saya dibilang maho sih?" ujarnya Rei, tidak terima akan pernyataan Delia, yang disahuti oleh tawa anak - anak lainnya.
"Habis, kamu sih! Kan saya nanya serius nih! Kok kamu malah bercanda. Saya memang bisa lihat di mana cantiknya dia, ya tapi kamu yang buka kartu, iya kan?"
"Ya maaf bu, habisnya dia memang cantik. Maaf juga Mar."
"Iya, gak apa kok Rei," sahut anak laki - laki yang bernama Marcell tadi.
Delia berkedip tidak percaya saat mendengar bagaimana nada suara Marcell. Delia mengira kalau si Marcell ini masih ada sisi lelakinya, rupanya dia salah sangka. Anak laki - laki ini terlalu cantik, bahkan suaranya juga terdengar seperti perempuan.
"Duh, kok kamu jadi cowok comel betul sih Mar? Malu dong sama teman sebangkumu yang macho, kok kamu malah melambai begitu sih? Sia - sia kamu jadi cowok kalau akhirnya jadi begini," kata Delia, sambil menggelengkan kepalanya.
"Tahu nih! Aku juga capek dicubitin terus sama dia!" sahut Rei.
Delia menggeleng sekali lagi. Kelas IX B memang kelihatan seperti kelas pada umumnya, tapi rupanya makhluk di kelas ini banyak yang tidak biasa. Tingkat keunikan mereka di atas rata - rata, yang mengingatkan Delia akan teman sekelasnya saat SMP. Andai saja Jamie tidak ada, maka kelas ini akan jadi kelas yang rusuh lagi seru.
"Eh, kelas kalian punya nama tersendiri nggak? Misal kayak kelas sebelah, kelas IX A yang bilang nama kelas mereka itu 9Amazing. Kalian punya nggak?" tanya Delia.
"Punyaaaa!!!" seru satu kelas.
"Apa namanya?"
"9Bahrelway!"
Delia terdiam sejenak. Mencerna maksud dari kata "Bahrelway" tadi. Setelah beberapa saat, baru akhirnya dia mengerti akan apa maksud dari perkataan mereka itu.
"Hah? Bahrelway? Yang ada memenya itu? Yang lagu Amburegul Emeseyu itu ya? Yang awalnya dari iklah pasta gigi itu?"
"Iya bu!
"Waduh, unik juga namanya. Nggak pernah nih saya nemu nama kayak gitu. Rupanya dari meme, saya kira singkatan dari apa gitu."
"Ada singkatannya kok bu!" sahut seorang anak perempuan yang ada di sebelah kiri kelas.
"Apa coba?"
"Bahenol, rese, lebay!"
Delia sedikit terkekeh mendengar jawaban muridnya itu. Teman - temannya juga ikut bersorak dan tertawa. Tidak salah lagi, kelas ini alami rusuhnya.
"Ya, ya, saya setuju. Kalian semua rusuh dan rese, tapi keresean kalian yang bikin kelas ini lebih seru daripada kelas sebelah."
Di saat itu Delia ingat, kalau dia akan banyak berurusa dengan anak 9Bahrelway nantinya. Dia tersenyum, tahu kalau mungkin menghadapi Jamie tidak akan seburuk seperti dugaannya sebelumnya.
~~~~~
Hari pertama mengajar bagi EG Group berakhir dengan cepat. Setelah jam istirahat kedua, Hendra sempat masuk ke kelas IXB di jam terakhir, yang jadi akhir dari pertemuan mereka hari ini. Ada beberapa hal dasar yang mereka sudah tahu, dan setelah Hendra keluar dari kelas, EG Group dan Hendra merangkum apa yang mereka dapatkan.
"Jadi kita tahu di mana kursi Jamie sekarang. Serta tentang anak - anak IX B. Nggak nyangka, kalau di balik keceriaan mereka ada setan yang berkuasa. Tidak ada yang curiga pada kalian, kan?" tanya Hendra.
"Enggak sih," sahut Yoshi.
"Yah, seharusnya sih tidak. Soalnya tiap dua tahun pasti ada pertukaran guru. Karena pas banget kasus ini masuk di awal tahun ajaran semester genap, maka ini enggak bakalan terlihat aneh bagi mereka."
"Ya gak heran, sudah biasa rupanya," ujar Rendi.
"Nah, makanya. Kita harus mulai mengorek info soal dia. Dan aku juga tahu sekarang informanku ada di mana. Dua baris di belakang Jamie, paling belakang."
"Oh? Rista?" tanya Delia.
"Teman sebangkunya."
Delia tersenyum, "Sejak awal aku sudah menduga kalau ada yang tidak biasa dari anak itu. Senang kalau dugaanku rupanya benar,"
"Nah, inilah akhir dari hari pertama kita. Walau begitu, kita takkan bisa mendapatkan apa - apa kalau cuma sehari. Kita harus mengamati lebih lanjut lagi besok, sampai kita tahu bagaimana kekuatan lawan kita ini."
EG Group mengangguk. Mereka tahu, ini masih awal dari penyelidikan mereka. Masih banyak hal yang harus mereka lakukan dalam penyamaran mereka kali ini.
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top