Chapter 12 : [Epilog] Sampai Jumpa Lagi!

April 2016

Kasus teror foto Jamie akhirnya bisa selesai dengan cukup baik. Walau akhirnya mereka harus melihat kematian Jamie tepat di hadapan mata mereka, setidaknya sebuah skandal besar bisa dihindarkan. Foto - foto skandal yang jadi pokok permasalahan bisa diambil, dan permasalahan mereka bisa selesai dengan cukup baik.

Setelah foto - fotonya berhasil didapatkan, pihak sekolah tidak menutupi apapun tentang kematian Jamie. Pihak sekolah malah menceritakan secara lengkap seputar kronologinya pada semua murid, termasuk soal foto aib itu. Mulai dari Farah yang jadi korban pertama mereka, sampai penyelesaian yang membawa pada kematian Jamie.

Reaksi semua murid saat mengetahuinya, tentu saja mereka geram akan tindakan apa yang dilakukan oleh Jamie. Seandainya Jamie masih hidup, mungkin akan terjadi sebuah kericuhan di sekolah. Apa yang dilakukan Jamie memang keterlaluan, dan banyak siswa yang jadi terbuka atas kebenciannya pada Jamie setelah pemberitaan soal foto itu diungkapkan. Laman media sosial sekolah dipenuhi dengan berbagai cerita dan curahan hati penduduk sekolah akan aib - aib Jamie, sampai mereka sengaja membuat tagar tersendiri, yaitu #bongkaraibjamie.

Walau begitu, keadaan bisa berangsur menjadi tenang tak lama kemudian. Para siswa sudah puas mengungkapkan semua keluh kesah mereka, dan kini mereka sudah lega karena Jamie tidak ada lagi. Dinamika sekolah kembali menjadi normal, dan para siswa kembali ke rutinitas mereka. Semuanya sibuk, terutama karena ujian sudah dekat bagi siswa kelas IX. Walau begitu, semua orang terlihat lebih bahagia.

Sementara itu, foto - foto yang mereka dapatkan dianalisa oleh divisi IT Kepolisian Inkuria selama beberapa saat, untuk mengetahui perubahan apa saja yang diberikan Jamie pada foto - foto itu. Setelah analisisnya selesai, fotonya di kembalikan dan pihak sekolah memusnahkan semua foto yang ada, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Mereka memusnahkan foto - foto dalam bentum fisik dengan cara membakarnya. Pihak IT memusnahkan data dalam bentuk digital, termasuk yang sudah mereka salin dari laptop Marcell. Walau begitu, mereka membiarkan Hendra untuk menyimpan flashdisk Jamie dan juga kotak perhiasannya. Dengan senang hati dia menerimanya, sebagai kenang - kenangan dari kasus ini.

Lalu, apa yang terjadi dengan Jamie? Sebagai orang yang bertanggung jawab, setelah kejadian itu, mereka memanggil ambulans dan membawa tubuh Jamie ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Tentunya, hasil benturan di kepalanya adalah penyebab kematiannya. Terutama dengan bagian ujung air mancur taman yang tajam menusuk bagian belakang kepala Jamie, kematiannya tak terhindarkan.

Pihak sekolah memberitahu orang tua Jamie via telepon, tapi mereka tidak mengangkatnya. Setelah di cek ke kediaman keluarga Arsena, di sana rupanya tidak ada seorangpun. Ini membuktikan bahwa mereka juga pergi bersamaan dengan rencana Jamie untuk pergi dari Inkuria.

Bu Amy juga sudah berusaha untuk menghubungi kedua orang tua Jamie, tapi beliau tidak pernah mendapatkan jawaban. Karena itulah, Bu Amy memutuskan untuk menghubungi pihak keluarga Jamie yang lainnya. Mereka mengambil dan memakamkan jenazah Jamie. Walau begitu, sosok kedua orang tuanya tidak pernah muncul lagi. Keluarga besar Jamie dari pihak ibunya tahu siapa ayah Jamie, jadi mereka memaklumi kalau sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada Jamie, dan mereka tidak berkomentar apapun. Entah kemana kedua orang tuanya, karena mereka tidak pernah muncul lagi.

Jamie mungkin sudah mati, tapi apa yang dia lakukan tentunya sudah menjadi kenangan buruk yang akan sulit untuk dihapuskan bagi warga sekolah yang pernah berurusan dengannya. Semoga saja mereka bisa melupakannya. Jamie akan terkubur bersama sejarah, yang semoga tidak pernah terulang lagi.

Walau pihak sekolah sudah memberitahu semua hal soal kasus Jamie, mereka masih menutupi soal identitas Seven Wonder. Mereka hanya menyebutkan bahwa polisi terlibat dalam penyelidikan, tanpa menyebutkan kalau mereka adalah tujuh orang yang jadi guru pertukaran mereka. Tentunya, ini adalah permintaan Hendra. Sudah jadi rahasia umum kalau Hendra memang tidak menyukai publikasi, hal ini berkaitan dengan kerahasiaan identitasnya. Selain itu, dia tidak ingin membuat kehebohan dengan membongkar rahasia kalau selama ini ada polisi di lingkungan sekolah.

Begitu juga dengan identitas tiga anak yang membantu penyelidikan kasus ini. Nama Marcell tidak pernah disebut, karena memang tidak ada yang menyinggungnya. Hal ini membuat Marcell merasa lega karenanya. Tapi tidak dengan Levitator. Walau keberadaan mereka sudah ditutupi, tapi entah bagaimana para siswa bisa mengetahui kalau itu adalah ulah Levitator.

Mereka bertiga memang kadang berusaha menentang Jamie, tapi jelas fakta itu saja tidak cukup. Tapi bagi para murid sepertinya fakta itulah yang membuat mereka percaya. Beberapa analisis dan teori gila dari murid - murid yang lain juga banyak yang mengatakan kalau mereka adalah tiga orang yang paling mungkin untuk jadi penolong pihak kepolisian. Ketiganya selalu menangkis perkataan orang - orang tersebut, tapi tetap saja, di dalam hati para siswa SMP 7 yang lainnya, sebenarnya mereka percaya kalau Levitator adalah orang yang sudah membantu dalam memecahkan kasus ini.

Yah, itulah yang terjadi setelah Jamie mati dan semua fotonya bisa didapatkan. Kehebohan itu hanya bertahan selama sebulan, karena semua orang harus fokus untuk ujian dan ulangan mendatang. Sementara itu, di kelas IX B, ketiadaan Jamie tidak membuat mereka merasa aneh. Malah, mereka menjadi semakin ramai dan gokil semenjak terlepas dari Jamie. Setelah permasalahan mereka hilang, mereka menunjukkan wujud aslinya, sebagai satu kelas yang solid.

Teman - teman mereka yang awalnya terjerat dalam perangkap Jamie diterima di kelas dengan senang hati. Marcell yang awalnya ragu, kini dia bisa membaur dengan teman - temannya. Terkadang dia jadi sasaran godaan temannya karena tingkahnya yang kemayu, tapi mereka semua bersikap baik padanya. Kemudian, Levitator yang dulunya terpinggirkan di kelas, kini mereka mulai bisa akrab dengan teman sekelas mereka. Walau terlambat, setidaknya mereka bisa merasakan indahnya masa SMP di akhir cerita mereka.

Tapi, tentu saja setiap perjumpaan akan berakhir dengan sebuah perpisahan. Murid - murid SMP 7 harus segera berpisah dengan "guru - guru" dari SMP San Rio karena masa pertukaran guru harus berakhir. Di hari terakhir itu, Hendra menyampaikan salam perpisahannya kepada anak - anak IX B.

"Kalian jangan lupa belajar dan jaga kondisi tubuh ya! Seminggu lagi kalian sudah harus ujian! Karena saya bakalan pergi, saya harap kalian semua tetap akur dan bisa lulus dengan nilai yang baik. Terus, jangan pernah lupa sama saya dan semua pelajaran saya ya? Walau saya mungkin bisa saja lupa sama kalian, yah namanya juga saya, punya banyak murid, jadi gampang lupa. Tapi ingatlah kalau saya pernah menjadi guru kalian. Nanti kalau di antara kalian ada yang masuk ke SMA San Rio, kalian akan sering melihat saya nangkring di perpustakaan pusatnya. Jangan sungkan buat negur kalau ketemu ya~" ujar Hendra, menyampaikan pidato terakhirnya.

"Iya paaak~" sahut semua anak koor.

Ya. Mereka harus pergi sekarang. Kembali ke kehidupan mereka yang sebelumnya. Walau penyelidikan EG Group kali ini agak ribet, mereka pasti akan mengingat kembali masa saat berada di sini. Mereka juga pasti akan merindukan semua murid mereka yang ada di sini. Hendra sendiri, dia akan terus mengingat kasus macam apa yang dia dapatkan di sini. Dengan kotak perhiasan Jamie yang jadi kenang - kenangan dan catatannya,  dia tentunya bisa memutar kembali memori yang telah dia buat.

Di hari terakhir bagi semua guru pertukaran ini, jam terakhir didedikasikan untuk menjadi acara perpisahan dengan para guru dari San Rio. Semua murid berkumpul di lapangan, dan saling bersalaman untuk terakhir kalinya. Ada juga beberapa orang yang memberikan kenangan - kenangan terakhir. Ada yang menangis, ada yang tertawa, semua emosi bercampur jadi satu. Acara perpisahannya sendiri berjalan dengan cukup menyenangkan. Hingga akhirnya, waktu pulang sekolah datang. Seven Wonder tengah berkumpul di ruang guru, dan mereka sudah dengan sengaja memanggil Levitator.

"Wah, ada trio musketree kita di sini rupanya!" ujar Bu Amy, yang melihat kehadiran tiga anak muridnya itu.

"Duh ibu, kok nggak guru, nggak teman sekelas, semuanya doyan betul ya menggoda kami soal itu?" tanya Sherlina.

"Mau bagaimana lagi Sher, kan aku sudah jutaan kali bilang, kalau kita ini terlalu mencolok. Karena ya ... kita orangnya cocok saja untuk jadi orang yang mengalahkan Jamie," jawab Rista.

"Secara teknis, Senpai kan juga orang yang "membunuh" Jamie. Walau hal ini tentunya tidak akan pernah mereka ketahui entah sampai kapan. Jadi sudahlah, terima saja," tambah Azka.

"Azka benar loh. Semua orang bisa menebak itu adalah kalian. Sepertinya kalian memang punya bakat untuk mempengaruhi orang, karena secara alami kalian bisa jadi orang yang berpengaruh. Pihak sekolah bahkan berencana untuk menjadikan kalian sebagai siswa terbaik tahun ini loh," kata Bu Amy.

"Eh, kami memang melakukan hal yang cukup besar, tapi rasanya kami belum bisa dibilang punya pengaruh seperti itu deh,"

"Ah, tidak perlu lah bu! Kan kami melakukan semua ini cuma untuk kesenangan kami saja kok!" sahut Rista.

"Rista benar, bu. Kami sudah mendapat apa yang kami mau. Bagiku sendiri, jadi seseorang yang bisa "membunuh" Jamie saja sudah cukup. Itu adalah sebuah kehormatan, malah. Kami cuma melakukannya karena kami mau, bukan karena harus," kata Sherlina.

Perkataan Sherlina tadi membuat Delia yang menyimaknya sejak awal langsung tertawa. Perkataan itu bukanlah hal asing bagi Delia, karena mungkin dia sudah terlalu sering mendengarkannya. Sementara itu, Hendra yang ada di dekatnya hanya tersenyum.

"Ah kamu ini! Sejak kapan kamu menjiplak perkataannya Pak Hein hah? Kok bisa ya kamu berpikiran kalau penghargaan seperti itu tidak menyenangkan? Kalau saja aku tidak kenal kalian, mungkin aku akan curiga kalau kalian adalah ayah dan anak!" ujar Delia, lalu menepuk bahu Sherlina.

"Bisa saja. Aku cukup tua kok untuk jadi ayahnya Sherlina. Kalau saja aku menikah muda, mungkin saja aku punya anak sebesar Sherlina sekarang ini," sahut Hendra, lalu tertawa.

"Aku cuma tidak suka cari sensasi, itu saja sih. Susah tahu jadi orang terkenal. Soalnya aku menyukai privasi," kata Sherlina.

"Boleh juga. Tapi jangan salahkan aku, karena Pak Kepsek tidak suka ditolak. Jadi jangan kaget kalau beliau memanggil kalian ke panggung saat acara perpisahan nanti~" ujar Bu Amy, lalu pergi kembali ke mejanya.

"Itu gawat. Aku tidak suka berpidato di depan umum," kata Azka.

"Gampang, tinggal kita suruh saja makhluk ini untuk mewakili kita," ujar Rista, lalu menunjuk Sherlina.

"Kok aku jadi kepengen bolos saat acara perpisahan nanti ya?" kata Sherlina.

Hendra terkekeh saat mendengar perkataan Sherlina. Delia ada benarnya juga, kalau Hendra mau jujur. Sedikit banyak dia bisa melihat cerminan dirinya di ketiga anak itu. Mereka mengingatkannya akan masa mudanya, ketika itu dia sering kali membantu EG Group generasi pertama dalam memecahkan kasus. Dia tahu persis bagaimana rasanya menjadi seperti mereka.

Walau begitu, Hendra kini sudah mulai menua. Dalam waktu enam bulan lagi, dia akan berusia 36 tahun. Hal ini membuatnya sedikit khawatir akan masa depan. Akankah ada yang bisa mewarisi tekadnya ketika dia sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkannya? Dia takut kalau tekad penyidik milik kakeknya akan berakhir hanya sampai dirinya.

Tapi sepertinya kini dia tidak perlu takut lagi. Karena dia sudah menemukan anak - anak muda yang mempunyai semangat yang sama dengannya. Perjuangannya pasti bisa diteruskan. Hendra juga yakin kalau di luar sana masih ada anak - anak muda lainnya yang seperti Levitator. Hal ini membuat Hendra lega, tentunya.

"Nah, ngomong - ngomong, kenapa kalian meminta kami ke sini? Ada kepentingan apa?" tanya Rista.

"Ini loh, tadi Pak Indra pengen mengundang kalian untuk makan bareng. Tadi beliau juga sudah pesan makanan, jadi sebentar lagi mungkin sampai. Ini kan hari terakhir kita, jadi Pak Indra kepengen traktir kita semua, gitu," jawab Yoshi.

"Oalah, kirain apaan," kata Sherlina, lalu terkekeh.

"Waah, asyik~ makasih Pak Indra~" ujar Azka.

Pak Indra hanya tersenyum, yang membuat kumisnya terangkat. Setelahnya, mereka memutuskan untuk pindah ke ruang bendahara, yang akan jadi tempat untuk acara makan - makan mereka.

Ruang bendahara sendiri sudah dirapikan oleh Nira. Dia akan meninggalkan ruangan itu, jadi dia memutuskan untuk bersih - bersih sebelum pergi. Di bagian lantai yang kosong, dua belas orang duduk bersila dalam posisi melingkar, dan mulai mengobrol.

Tak lama kemudian, makanan mereka datang. Suasananya semakin meriah saja. Semua orang terlihat senang, dan mengobrolkan akan banyak hal. Hingga akhirnya, Rendi menyinggung akan satu topik yang menurutnya masih belum terselesaikan.

"Hei, Sherlina. Aku tahu kita seharusnya tidak membicarakan ini, tapi aku masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Farah. Anak - anak kelas IX A memberitahuku banyak hal soal Farah, dan aku juga sudah ceritakan sedikit kepada teman - temanku yang ada di sini. Tapi ... ada beberapa hal yang kata mereka tidak seharusnya diceritakan. Kalau tidak keberatan, apa itu?" tanya Rendi.

Sherlina mendongak, dan menatap Rendi sejenak. Ekspresi wajahnya tdak seperti biasanya yang agak keras, karena Sherlina memasang ekspresi yang lebih lembut. Dia terdiam, kemudian tersenyum. Hal ini membuat semua orang penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi.

"Memang, aku tidak menceritakan soal siapa Farah sebenarnya kepada kalian. Aku hanya menceritakan apa saja yang dilakukan Jamie pada Farah. Karena Jamie sudah tidak ada, rasanya aku tidak perlu menyimpan rahasia ini lagi. Selain itu, kurasa akan lebih baik jika kalian tahu cerita lengkapnya," kata Sherlina.

Sherlina mulai menceritakan soal Farah. Farah bukanlah anak yang punya kemampuan otak yang luar biasa. Tetapi, dia punya hati yang baik. Sherlina mengenalnya saat berada di Taman Kanak - Kanak, dan saat memasuki masa SMP, mereka bertemu lagi.

Sosok Farah yang ceria dan ramah membuat banyak orang nyaman bersamanya. Teman - temannya akan selalu membantunya dalam belajar, dan Farah akan selalu menghibur mereka ketika sedih. Semua orang menyukainya. Selain itu, Farah punya keahlian dalam bidang kerajinan tangan, sehingga banyak yang mengaguminya.

Hingga akhirnya Jamie mulai beraksi. Awalnya hanya ada beberapa ejekan kecil yang dilontarkan oleh Jamie, yang lama - kelamaan berubah jadi sebuah penindasan. Jamie tidak suka akan perhatian lebih yang didapatkan Farah dari orang lain. Tapi, banyak orang tetap membela Farah. Karena itulah, Jamie memutuskan untuk melakukan sesuatu yang jahat padanya.

Mungkin semua orang menganggap Farah bisa bertahan dan tetap ceria dari penindasan yang dia alami. Tapi sebenarnya, mereka tidak tahu kalau Farah ketakutan pada Jamie. Hanya Sherlina yang tahu akan fakta ini, karena Farah hanya merasa nyaman dengan Sherlina untuk mengungkapkan semua perasaannya.

Sherlina menyaksikan sendiri bagaimana Jamie selalu selalu berusaha untuk menjatuhkan dan menyakiti Farah. Jamie sendiri sebenarnya tidak sebegitu beraninya kalau sudah melawan orang yang lebih kuat daripada dirinya. Karena itulah, Jamie tidak bisa melukai Farah kalau Sherlina selalu ada di sekitarnya.

Akal Jamie tidak hilang, karena itulah dia mengirimkan foto - foto aib itu ke pihak sekolah secara anonim. Farah semakin tertekan karenanya. Sherlina berusaha untuk menenangkan temannya, tapi usahanya tidak begitu berhasil.

Akhir dari tekanan psikis yang dialami Farah adalah saat dia memutuskan untuk keluar dari sekolah. Sherlina tidak bisa mencegahnya, karena dengan kepergian Farah dari sekolah, seharusnya dia akan terbebas dari Jamie. Karena itulah, sebelum kepergiannya Farah membagikan banyak sekali berbagai hasil kerajinan tangannya sebagai kenang - kenangan pada teman seangkatannya.

Sherlina mengira kalau Farah akan terbebas dari Jamie jika dia pindah sekolah. Rupanya, temannya itu memiliki rencana lain. Saat itu, mereka berdua tengah berjalan di taman kota, karena Farah yang mengajaknya. Semuanya kelihatan normal saja, hingga akhirnya mereka menyusuri jembatan. Tidak ada yang aneh, hingga akhirnya Farah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di sana.

Kematian itu tentunya setelah adanya perlawanan dari Sherlina. Sebagai seorang teman, tentunya Sherlina tidak ingin Farah melawan takdirnya, sehingga Sherlina berusaha keras untuk mencegahnya. Tapi Farah tidak mau mendengarkan perkataan Sherlina. Di hari itu, Sherlina harus menyaksikan kematian Farah di depan matanya sendiri.

Karena itulah, tidak ada yang mau membahas secara detil soal kematian Farah. Semua orang tahu, kalau Sherlina melihat semua itu terjadi di depan matanya. Semua orang bersedih karena hal itu, karena mereka tidak bisa mencegahnya. Padahal, semua orang juga sudah berusaha sebisa mungkin untuk membuat Farah ceria lagi, tapi semuanya sia - sia. Jamie sudah melukainya terlalu dalam.

"Jadi itu yang membuatmu sangat ingin untuk menangkap Jamie? Karena dia bertanggung jawab atas kematian Farah? Kamu membencinya?" tanya Arin.

"Aku tidak sepenuhnya benci Jamie sih. Aku mengerti, dia pasti iri melihat bagaimana seseorang yang kelihatannya biasa saja kok bisa dicintai oleh banyak orang. Aku tahu bagaimana rasanya tidak dicintai, jadi aku mengerti kenapa Jamie sangat ingin untuk menjatuhkan Farah. Cuma yah, rasanya memang lebih baik kalau Jamie mati saja. Dia cuma membuat dunia sesak oleh orang jahat, seolah di luar sana masih belum banyak orang jahat saja," jawab Sherlina.

"Farah itu orang baik. Rasanya nggak adil kalau orang kayak Jamie nggak kena karmanya. Karena itulah aku mau membantu. Untuk membuat Jamie kena batunya," ujar Rista.

"Yah, Jamie keterlaluan. Aku tidak mengalami apa yang Farah alami, tapi aku tahu bagaimana rasanya jadi korban kejahatan Jamie. Karena itulah, aku tidak mau bernasib sama seperti dia," kata Azka.

Semua orang terdiam. Kini mereka mengerti kisah sedih macam apa yang ada di balik kematian Farah. Orang bilang biasanya orang baik akan duluan pergi meninggalkan dunia ini, tapi rasanya perkataan itu agak tidak adil. Kita butuh lebih banyak orang baik di muka bumi ini, agar hidup tidak terasa terlalu mengerikan. Tapi Farah sudah tidak ada, jadi semuanya tidak bisa diulang kembali.

"Yah, tapi sudahlah. Toh Jamie sudah mati. Keadilan itu ada dan sudah ditegakkan, walau caranya kadang agak aneh. Aku senang kok karena aku adalah orang yang menyebabkan kematian Jamie," kata Sherlina, lalu tertawa.

"Iya. Satu - satunya hal yang bisa kita lakukan adalah untuk mendoakan Farah supaya tenang di sana. Maka dari itu kami tidak membicarakan soal dia lagi. Kepergiannya menyisakan satu luka yang cukup mendalam, tapi semuanya sudah terjadi. Biarlah dia tetap hidup di dalam memori kita," tambah Rista.

"Pantas saja semua orang membenci Jamie. Dia memang kelewatan sih," kata Bu Risa.

"Hm, sekarang aku baru mengerti apa maksud dari kata - kata "Jamie adalah pembunuh berdarah dingin yang membunuh jiwa orang lain" yang sering muncul di posting soal aib Jamie. Jadi maksudnya itu karena dia secara tidak langsung sudah membunuh Farah?" tanya Yoshi.

"Begitulah. Lihat saja sendiri, sekolah jadi lebih baik tanpa adanya dia, kan?" sahut Azka.

"Hm, itu kan soal Farah ya. Kalau kamu sendiri Ndra, kenapa kamu marah besar saat menghadapi Jamie? Aku hanya pernah dua kali melihatmu marah seperti itu, dan keduanya karena musuh bebuyutanmu. Kamu memang doyan teriak dan suka kesal, tapi jarang marah. Kenapa, Ndra?" tanya Pak Indra.

Hendra tersenyum. Pak Indra rupanya menyadari kelakuannya. Tidak heran, karena beliau tahu banyak soal apa saja yang sudah terjadi dalam hidup Hendra. Si detektif Underground menghela napasnya, kemudian membuka mulutnya.

"Mungkin mirip dengan Sherlina. Kalau Jamie bertanggung jawab atas kematian Farah, maka ayahnya Jamie bertanggung jawab atas kematian kakak perempuanku. Kelakuan Jamie saat itu mengingatkanku akan apa yang ayahnya lakukan. Mereka berdua sama - sama makhluk yang merasa paling benar dan hebat, dan orang seperti itulah yang juga melukai kakakku," jawab Hendra.

Pak Indra mengangguk. Beliau kini mengerti apa yang dirasakan Hendra karena dia tahu soal apa yang dibicarakannya. Tapi bagi beberapa orang, informasi tadi baru bagi mereka. Delia dan Yoshi saling berpandangan, dan Nira melirik ke arah Hendra. Beberapa dari mereka tahu kemana maksud pembicaraan Hendra, tapi tidak dengan yang lainnya.

"Kayaknya walau aku nggak pernah dengar ceritanya, aku tetap bisa bayangkan deh apa yang terjadi," kata Rista.

Hendra terkekeh, "Memang bukan cerita yang menyenangkan, seperti yang bisa kamu bayangkan. Ayahnya Jamie saat itu sudah menikah, tapi dia berusaha memikat hati kakakku. Saat kakakku tahu kalau ayahnya Jamie hanya memanfaatkannya, dia nyaris gila karenanya. Dia jatuh sakit dan meninggal. Tapi sampai kini dia bisa berkeliaran dengan bebas."

"Hm, kebangsatannya memang menurun dari keluarga rupanya," kata Azka.

Mereka terdiam selama beberapa saat. Hingga akhirnya Sherlina tersentak. Dia langsung merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah kotak.

"Aku baru ingat, kalau aku harus memberikan ini kepada kalian," kata Sherlina, lalu membuka kotak itu.

Isinya adalah kerajinan tangan berbentuk gantungan kunci dari kain. Mereka menatapnya selama beberapa saat, kemudian tersenyum.

"Ini ... beberapa kerajinan terakhir yang dibuat Farah. Dia memintaku menyimpankannya. Katanya, aku boleh berikan pada siapa saja yang pantas menerimanya. Kurasa, kalian masuk kategori itu, karena aku yakin Farah pasti akan melakukan hal ini kalau dia masih hidup. Dia pasti akan berterima kasih karena kalian sudah menegakkan keadilan dan mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi, serta membersihkan namanya," ujar Sherlina.

Mereka masing - masingnya mengambil satu, dan berterima kasih pada Sherlina. Kejadian itu juga mengingatkan Hendra akan sesuatu, jadi dia membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang.

"Nah, kalau ini dariku untuk kalian! Kalau nggak ada kalian, pasti kasus ini belum selesai!" kata Hendra, lalu menyerahkannya pada Sherlina.

Sherlina menerimanya, dan tersenyum. Dia melirik kedua temannya. Mereka meletakkannya, dan akan membukanya nanti.

Nira yang sejak tadi mengamati kini tersenyum. Pertemuan ini sudah jadi sebuah roller coaster dengan penuh emosi. Semua emosi mereka rasakan dalam satu momen. Tapi satu hal yang pasti adalah, mereka merayakan ditegakkannya keadilan.

"Hei! Kalian semua jangan pada bahas yang sedih - sedih gitu dong! Bergembiralah sedikit! Setidaknya kali ini keadilan bisa menang lagi!" kata Nira.

Hendra terkekeh, "Kurasa kamu ada benarnya juga. Bagaimana kalau kita bersulang?" tanya Hendra.

Semuanya menyetujuinya, dan mereka mengangkat gelas kertas mereka untuk bersulang. Setelahnya, Hendra menatap Nira dengan sebuah senyuman penuh arti, yang membuat Nira tersipu. Di dalam hatinya, Hendra berterima kasih karena Nira bisa membuat suasananya jadi lebih ceria daripada yang sebelumnya.

~~~~~

Acara makan - makan mereka telah selesai, dan kini mereka berjalan ke gerbang sekolah, menikmati detik terakhir mereka di SMP 7 sebelum akhirnya mereka harus pergi.

"Yah ... kita harus kembali. Hari Senin sudah ke kantor lagi," ujar Yoshi.

"Kenapa? Kamu sudah kerasan jadi guru ya?" tanya Delia, lalu terkekeh.

"Mungkin? Tapi sekarang aku mengerti kenapa kedua orang tuaku sangat suka mengajar. Rupanya memang menyenangkan, karena bisa bertemu dengan orang - orang muda yang bersemangat dan dipenuhi oleh aura positif."

"Ya tapi kita harus berpisah kan?" kata Hendra.

"Perpisahan memang tidak bisa dicegah. Tapi kami akan selalu mendoakan kalian. Semoga kalian semua sukses dengan kasus - kasus lain yang akan kalian hadapi ya? Kami pasti akan merindukan kalian," ujar Rista.

"Iya! Jangan lupakan kami juga ya?" kata Azka.

"Pasti itu, Ka!" sahut Yoshi.

"Dan ... terima kasih," ujar Sherlina.

"Terima kasih buat apa?" tanya Delia.

"Semua ilmu yang kalian ajarkan, dan juga petualangan yang telah kalian berikan. Itu semua kenangan yang tak akan terlupakan. Kami akan selalu berdoa semoga kalian baik - baik saja di luar sana, jadi doakanlah agar kami juga begitu. Semoga kita semua dapat bertemu lagi di lain waktu, di kesempatan yang berbeda, dan di suasana yang beda juga."

"Waduh, Sherlina kok malah jadi pidato sih?" tanya Bu Risa, lalu terkekeh.

"Tuh kan, elu emang cocok deh buat ngasih pidato!" kata Rista.

"Tapi makasih doanya loh Sher," ujar Arin.

"Kalau kalian ada masuk San Rio kasih tahu saya ya? Saya pasti senang kalau masih bisa sering bercengkrama dengan kalian," kata Nira.

"Pasti bu!" sahut Azka.

Akhirnya, mereka saling bertukar kata dan pandangan terakhir antara satu dan yang lainnya. Bahkan ada juga beberapa pelukan yang mengejutkan. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk saling berpisah.

"Nah, kayaknya ini yang terakhir ya?" ujar Yoshi.

"Yah, bisa jadi pak," kata Rista.

"Okeee~ kalau begitu, selamat tinggal ....?" sahut Hendra, yang kedengarannya agak bingung.

"Bukankan orang sering bilang kalau ucapan itu adalah sebuah doa?" ujar Sherlina.

"Eh, iya sih. Lalu?" tanya Pak Indra.

"Daripada kita mengucapkan kata selamat tinggal, ada kata lain yang lebih bagus, dan bisa juga sebagai doa untuk kita semua."

"Apa itu?" tanya Nira.

"Sampai jumpa. Iya kan? Itu doa supaya kita bisa diberi kesempatan untuk bertemu lagi."

"Wah! Benar juga! Kalau begitu ... sampai jumpa lagi ya, guys!" seru Delia.

"Iya sampai jumpa!" Seru Seven Wonder.

"Sampai jumpa lagi ..." Balas Levitator.

Mereka sudah berniat untuk berpisah. Sampai akhirnya Hendra teringat akan sesuatu. Jadi, dia berlai kembali dan menarik lengan Sherlina. Si anak perempuan bingung, tapi dia pasrah saja. Hendra membisikkan sesuatu di telinga Sherlina.

Sherlina terkekeh, "Bisa diatur itu pak. Nanti kita bahas lagi ya?" kata Sherlina.

Hendra mengangguk, dan kembali pada teman - temannya. Semua orang bingung akan apa yang dibicarakan oleh mereka berdua. Tapi, sepertinya tidak akan ada yang tau akan apa sebenarnya yang mereka bicarakan sampai waktu yang menjawab semuanya.

Itulah akhir dari pertemuan mereka. Memang saat itu mereka berpisah, tapi mereka pasti takkan pernah melupakan apa yang terjadi di hari itu. Atau mungkin saja, mereka bisa bertemu lagi di masa depan. Siapa yang tahu, kan?

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top