Chapter 1 : Foto Aib

15 Desember 2015

Kini, kita sudah memasuki akhir tahun. Atau kalau mau lebih tepatnya lagi, sudah bulan Desember. Sudah hampir sebulan semenjak kasus Bu Intan berakhir. EG Group kembali pada rutinitas mereka yang sebelumnya. Arin juga mulai terbiasa dengan lingkungan kantor barunya, dan rekan - rekannya menerimanya dengan baik.

Tidak adanya kasus yang mengancam nyawa mungkin adalah momen yang menenangkan. Tapi setelah beberapa lama, jelas kebosanan mulai menghinggapi enam anggota polisi ini. Rasanya mungkin akan menyenangkan kalau ada kasus yang menantang di hadapan mereka.

Tapi hari itu, keadaan sedikit berbeda. Siang hari mereka yang awalnya tenang tiba - tiba dikacaukan karena pintu ruangan mereka terbuka dengan cara yang menakjubkan sehingga menimbulkan bunyi berdebam yang seram. Suara itu membuat ke enam orang penghuninya langsung menoleh.

Arin dan Rendi yang belum lama menghuni ruangan itu jelas saja terkejut, tapi Pak Indra sepertinya sudah terbiasa akan fenomena itu. Beliau yang tengah menikmati kuacinya kini menggelengkan kepalanya sambil memijat kening. Bersamaan dengan gestur Pak Indra itu, muncul seseorang yang tak asing di hadapan mereka, dengan senyuman tanpa dosanya.

"Hendra Wardana, sudah berapa juta kali aku kasih tahu kamu, kalau kamu masuk ke sini yang sopanlah sedikit! Coba setidaknya kamu hilangkan kebiasaan membanting pintu itu! Ini kantor polisi, tahu! Aku bisa saja mengirimmu ke penjara kapan saja kalau aku mau!" ujar Pak Indra, sambil berusaha menahan dirinya agar tidak menghujani Hendra dengan remah kuaci.

"Maaf pak, tapi ini ada keadaan darurat!" seru Hendra.

"Darurat sih darurat, tapi tidak perlu pakai banting pintu juga kali!"

"Iya maaf, saya terlalu semangat sepertinya."

"Kamu sih kelebihan tenaga, Ndra."

"Ada apa sih Ndra? Tumben kamu ke sini, masih pakai seragam lagi," tanya Yoshi.

"Biar beliau saja deh yang jelaskan semuanya," sahut Hendra, lalu mengarahkan jempolnya ke belakang bahunya.

EG Group memfokuskan mata mereka ke arah tunjukkan Hendra. Rupanya, di belakang Hendra ada seorang perempuan yang usianya kira - kira berada di kisaran 40 - an. Dia terdiam, mungkin masih agak terkejut akan kelakuan Hendra. Kalau di amati, dia mengenakan pakaian yang mirip dengan Hendra, yang membuat EG Group sepakat kalau bisa saja perempuan ini adalah rekan seprofesinya Hendra.

Nah, pertanyaannya adalah, apa yang dilakukan oleh seorang guru di kantor polisi? Terutama dia ditemani oleh seseorang yang seperti Hendra? Satu kemungkinan yang sepertinya paling masuk akal adalah, beliau tengah berada dalam masalah. Atau bisa juga berarti bahwa EG Group akan mendapatkan kasus baru.

Pak Indra mempersilahkan kedua orang itu untuk masuk ke dalam ruangan. Dua buah kursi di sediakan, dan mereka duduk di hadapan Pak Indra. Tanpa banyak basa - basi, si perempuan mulai memperkenalkan dirinya dan juga menyampaikan apa masalahnya.

"Saya akan perkenalkan diri dulu. Nama saya Amy Nuh Hidayah, panggil saja Bu Amy. Saya merupakan guru di SMP Negeri 7," ujar si wanita, memperkenalkan dirinya.

"Emm ... kira - kira masalah apa ya yang membuat ibu bisa ke sini?" tanya Yoshi.

"Semuanya karena anak ini!"

Bu Amy entah kenapa tersulut emosinya secara tiba - tiba. Dengan kasar, beliau meletakkan sebuah foto di atas meja. Rupanya itu adalah foto seorang anak SMP yang berkulit kecoklatan dan dengan senyum yang agak susah dijelaskan.

EG Group memperhatikan wajah si anak. Tidak ada hal yang aneh dari foto itu, cuma selembar pas foto yang kelihatan normal. Tapi bisa terlihat bahwa ada sebuah perasaan aneh menghinggapi mereka ketika mengamati lebih jauh soal si anak yang ada di dalam foto itu. Seperti ada aura yang lain dari anak itu.

"Dia adalah Jamie Arsena, murid kelas IX B di sekolah saya," ujar Bu Amy.

"Lalu, ada apa dengan dia?" tanya Arin.

"Penjelasannya mungkin agak panjang, tapi begini ceritanya."

Perkataan Bu Amy tadi diikuti oleh sebuah cerita yang mengantarkannya kemari. Anak yang ada di foto itu bernama Jamie Arsena, seperti yang sudah beliau katakan. Pada awalnya, dia terlihat seperti seorang anak SMP biasa. Bisa dibilang kalau dia sebenarnya anak yang cukup pintar di antara teman - teman sekelasnya.

Tapi satu hal yang bisa dibilang agak mengganggu adalah, dia tidak menggunakan kemampuan otaknya dengan benar. Dia malah menyalahgunakan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Dengan kemampuan otaknya itu, dia malah menggunakannya untuk memanfaatkan dan memeras teman - teman sekelasnya.

Bukan hanya itu, tapi dia juga menggunakan bakat yang dia miliki untuk hal yang tidak baik. Jamie mulai mendalami yang namanya fotografi semenjak SMP, tapi dia malah menggunakan kemampuan itu untuk mengambil gambar - gambar yang memicu skandal.

"Seperti ... foto - foto yang berisikan aib?" tanya Yoshi, ketika Bu Amy membahas soal bakat si Jamie ini.

"Bisa dibilang. Yang dia potret itu pada awalnya kelihatan seperti sesuatu yang tidak patut, tapi jika saja kamu tahu cerita yang ada di balik kamera itu, kamu akan mengerti akan kejadian yang sebenarnya. Hanya saja, kesalahpahaman pasti akan tetap ada. Sialnya lagi, Jamie sengaja mengedit foto - foto itu sedemikian rupa sehingga kelihatan meyakinkan," kata Bu Amy.

"Waaah ... minta di hajar tuh anak," ujar Delia.

Respon Delia tadi spontan membuat semua orang tidak dapat menahan tawanya. Nada suara Delia yang agak cuek tapi juga sekaligus gemas menggambarkan sekali perasaan macam apa yang di timbulkan oleh masalah ini. Pengungkapannya juga sangat jujur dan frontal, tidak ada yang di tutup - tutupi.

Ah, namanya juga Delia ....

"Jadi, intinya apa nih?" tanya Bu Risa.

"Intinya, ya Bu Amy mau minta tolong ke kalian buat mengambil foto - foto itu dari Jamie," sahut Hendra.

"Caranya?" tanya Yoshi.

"Nanti bakalan kita obrolin. Soalnya aku juga masih perlu mikir gimana caranya."

"Terus, apa yang akan terjadi kalau kita tidak mendapatkan foto - foto itu dari si Jamie ini? Apa ada bahaya tertentu yang akan muncul?" tanya Rendi.

"Oh, efeknya bisa jadi sangat fatal. Jamie akan merusak citra SMP 7 dan orang - orang yang ada di dalam foto itu dengan cara menyebarkan foto - foto itu kepada publik. Jamie itu sangat licik, dan dia juga pintar memanfaatkan orang dan situasi. Bisa saja dia menjadikan foto itu sebagai umpan untuk memeras para guru saat kelulusan nanti."

"Maksudnya dia mau pakai foto - foto itu buat menyogok guru - guru supaya dia bisa "lulus" dengan predikat bagus? Cih! Jangan sampai!" sahut Delia.

"Nah, itu dia yang jadi masalah kita sekarang ini."

"Tunggu, kalian kok bisa berkesimpulan sejauh itu?" tanya Pak Indra.

"Karena sayalah yang jadi orang pertama yang mendapatkan ancaman itu! Dia tidak memberikan surat atau permintaan apapun, hanya ada namanya dan juga foto ini, yang saya temukan terselip di buku bahan ajar saya," kata Bu Amy.

Bu Amy memperlihatkan sebuah foto lainnya kepada EG Group. Foto itu memiliki tanggal di bagian bawahnya yang bertuliskan 07/09/2015, dengan tulisan tangan. Di sana terlihat ada seorang perempuan yang bermesraan dengan seorang laki - laki. Keduanya sama - sama mengenakan seragam guru, dan lokasinya sepertinya masih ada di lingkungan sekolah.

Kelihatannya mungkin biasa saja, tapi orang mungkin akan salah paham dengan foto itu. Kalau hanya satu mungkin masih tidak masalah, tapi kalau sampai si Jamie ini mempunyai stok yang lebih banyak daripada itu, maka keadaannya akan berbahaya. Apalagi kalau sampai tersebar ke satu sekolah, atau yang lebih parah lagi, satu kota.

"Saya jadi korban pertamanya. Awalnya, kami kira Jamie hanya iseng saja dengan kameranya di sekitar sekolah. Ternyata dia malah memotret sesuatu yang seperti ini! Saya melaporkan ini kepada kepala sekolah, dan beliaulah yang menyarankan saya untuk bertemu dengan Hendra untuk meminta bantuan," kata Bu Amy.

"Yah, karena itulah kami kemari. Kalian pasti bisa membantu kalau - kalau ada sesuatu yang gawat terjadi," sahut Hendra.

Keadaan hening sejenak. Sepertinya EG Group tengah merenungkan apa yang akan terjadi kalau foto - foto itu sampai tersebar. Pasti akan ada kehebohan publik di kota Inkuria. Tapi di antara mereka berenam, Pak Indra yang terlihat paling serius. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu di kepala beliau.

"Bukannya kalau yang beginian kamu bisa selesaikan sendiri ya, Ndra? Ini kasus kan ada di ranah profesimu. Bukannya saya mau nolak kasus ya, tapi saya yakin, andai cuma kamu sendiri yang menyelesaikan kasusnya, rasanya semuanya akan tetap selesai dengan baik, iya kan?" tanya Pak Indra.

"Mungkin saja. Tapi kita tidak akan tahu apa yang bisa saja terjadi. Kalau aku tidak sempat menghindari insiden tersebarnya foto - foto itu, aku yakin akan ada kehebohan publik yang terjadi. Kalau sampai itu terjadi, maka aku tidak bisa meyakinkan semua orang di kota ini kalau foto itu palsu karena aku bukan siapa - siapa. Bapak tentunya juga tahu kalau aku membuka identitasku di depan publik, maka itu akan jadi hal yang berbahaya bagiku. Karena itulah aku butuh bantuan kalian," jawab Hendra.

Pak Indra menghela napasnya. Beliau menatap dengan serius ke arah Hendra, kemudian mengangguk. Kalau mau jujur, Pak Indra merasa kalau hal ini tidak biasa, karena Hendra hampir tidak pernah meminta bantuan kepolisian akan kasus sensitif yang terjadi di lingkungan sekolah.

Mungkin karena SMP 7 berbeda dengan San Rio. Keduanya sama - sama sekolah yang cukup elit, tapi San Rio lebih sensitif, karena sekolah itu adalah sekolah percontohan terbaik di seantero Inkuria. Pihak SMP 7 mungkin lebih terbuka akan masalah yang seperti ini. Apalagi kalau berpotensi jadi skandal besar seperti ini.

Hanya saja, Hendra tidak biasanya meminta bantuan. Malah kepolisian yang sering kali meminta bantuan Hendra. Karena itulah Pak Indra merasa ganjil. Ada beberapa hal yang menjadi perdebatan di dalam kepala si ketua divisi, tapi dia hanya diam saja. Kalau memang mereka harus menerima kasus ini, maka Pak Indra akan menerimanya dengan senang hati, karena Hendra selalu punya kasus yang tidak biasa.

"Baiklah, kami akan ambil kasus ini," ujar Pak Indra.

Anak - anak EG Group lainnya bersorak kegirangan. Mereka tentunya senang karena bisa mengambil kasus yang berbeda dari biasanya. Bu Amy juga berterima kasih kepada Pak Indra, dan lega kalau ada yang mau membantu mereka dalam masalah itu.

Tetapi, saat itu jam sudah menunjukkan jam setengah satu siang. Bu Amy harus kembali ke sekolah karena dia harus memberi pelajaran tambahan kepada para siswanya yang berada di kelas IX. Hendra sendiri memutuskan untuk tetap di sana dan melanjutkan untuk menceritakan tentang kasus ini lebih jauh lagi.

"Oke, jadi kami sudah tahu bagaimana inti dari kasus ini. Lalu, sejauh apa penyelidikan yang sudah kamu lakukan, Ndra?" tanya Pak Indra.

"Bu Amy sudah kasih tahu kasus ini padaku sejak seminggu lalu, tapi karena kami berdua sibuk, baru hari ini aku bisa mengajaknya kemari. Tapi selama seminggu itu, aku sudah punya narasumber orang dalam dari kelasnya Jamie, kelas IX B. Dia sudah memberi tahu aku mengenai beberapa kebiasaan di kelas dan juga pengetahuan umum soal Jamie," jawab Hendra.

"Huh? Perasaan kan beda sekolah, kok bisa sih kamu kenal sama teman sekelasnya Jamie?" tanya Bu Risa.

"Aku kan suka chatting nih, jadi aku minta bantuan sama beberapa anak muridku yang punya kenalan di SMP 7. Nah, salah satu dari mereka rupanya punya kontak orang yang katanya dari kelas IX B. Karena itulah, aku mengundangnya untuk kukepoin. Si narasumber ini nggak curiga dengan pertanyaanku, malah dia dengan senang hati memberitahukan semua tentang Jamie tanpa di tutupi sedikitpun. Dia jugalah yang memberitahu kalau Jamie punya motif tertentu atas foto yang dia kumpulkan itu."

"Tunggu, bagaimana bisa informanmu ini tahu bagaimana motifnya Jamie? Masa iya info kalau Jamie mau memeras guru bisa ketauan dengan segampang itu? Kalau dugaanku benar, maka seharusnya si Jamie ini punya otak, dan tidak akan membiarkan rencananya ketahuan oleh orang lain," tanya Delia.

"Jamie ini sepertinya memang sudah di kenal sebagai pemeras. Lalu, muridku yang memberikan pin BBM anak ini bilang kalau kenalannya itu bisa di bilang berbakat jadi informan. Mereka kenal karena sama - sama suka sastra dan ketemu di festival San Rio. Jadi yah ... pokoknya anak ini memang punya jiwa sebagai detektif dan penguping handal."

Delia tertawa, "Wah, nggak salah lagi deh kalau informannya seperti itu!"

"Ada juga ya yang berani jadi informan, padahal kalau dugaanku soal Jamie ini benar, maka dia adalah penindas kelas kakap," kata Arin.

"Tapi di setiap penindasan, pasti akan ada beberapa tokoh pergerakan yang menentangnya kan? Informanku ini bisa jadi salah satunya. Kalau dia bisa berada di pihak kita dan memberikan informasi, maka ini akan jadi sebuah keuntungan, karena kita punya orang dalam."

"Penindasan ya? Ini jelas nggak bisa di biarkan!" kata Delia.

Hendra tersenyum. Dia mengerti betul akan apa yang ada di pikiran muridnya yang satu itu. Delia mungkin kelihatannya galak, tapi dia sebenarnya peduli dengan orang lain. Kejadian di mana ada seorang penindas di sebuah kelas bukanlah skenario yang asing bagi Delia. Mungkin apa yang pernah dilihat Delia lebih parah lagi daripada apa yang dilakukan oleh Jamie.

"Kau tidak mau hal seperti itu terulang lagi ya, Del?" tanya Hendra.

"Tentu saja tidak! Adik kelas kesayanganku sudah pernah jadi korban dari sebuah penindasan! Jangan sampai kali ini ada orang yang jadi reinkarnasi dari makhluk bangsat itu! Sudah cukup adik kecilku itu saja yang kena masalah, jangan sampai ada lagi yang jadi korban penindasan di sekolah!" seru Delia.

"Kalau begitu ya kita harus ambil foto - foto itu sebelum terjadi apa - apa," sahut Yoshi.

"Caranya?" tanya Rendi.

"Nah, itu yang sekarang perlu untuk kita pikirkan," ujar Hendra.

Hendra berharap kalau Delia bisa tenang. Tapi sang guru tahu persis, kalau Delia tidak akan bisa tenang kalau sudah membahas masalah penindasan di sekolah. Delia memang tidak pernah jadi korban penindasan, tapi dia tahu betul apa yang bisa terjadi pada korbannya.

Masalah yang dulu Delia pernah lihat mungkin tidak separah Jamie yang sampai berniat untuk memeras gurunya. Tapi Delia pernah melihat bagaimana seorang adik kelasnya dijadikan korban penindasan, sampai hal itu mengganggu kejiwaannya. Delia selalu menjadi teman untuk adik kelasnya itu, walau pada akhirnya anak itu tidak tahan dan memutuskan untuk membunuh si pelaku penindasan.

Anak itu hampir saja terlibat masalah, kalau saja Hendra tidak melindunginya dengan bantuan Delia. Mereka tidak ingin menambah beban anak itu. Untungnya, dia bisa lepas dari jeratan hukum. Sampai sekarang, kejadian itu jadi rahasia di antara beberapa orang saja.

Delia tidak terlihat tenang, seperti dugaan Hendra. Tapi dia bisa melihat si perempuan mulai mendingin. Walau masih ada emosi di matanya, dia berusaha untuk tenang. Hendra tahu, kasus ini akan membuat Delia jadi agak sensitif, tapi dia ingin menyelesaikannya bersama EG Group. Delia pasti senang kalau bisa menghentikan masalah seperti ini.

Tiba - tiba saja, Delia berdiri dari duduknya, dan melangkah ke arah pintu. Sebelum Delia keluar, dia menoleh ke arah teman - temannya.

"Maaf, aku mau dinginkan kepalaku sebentar. Masalah ini mengingatkanku akan beberapa hal yang tidak aku suka. Sekalian juga aku harus menelpon seseorang," kata Delia, lalu keluar dari ruangan.

Keadaan ruangan hening sejenak selama beberapa saat, sampai akhirnya ada yang memberanikan diri untuk bertanya. Orang itu adalah Pak Indra.

"Ada apa dengan Delia, Ndra?" tanya Pak Indra.

"Tidak apa ... hanya saja dia agak sensitif kalau membahas soal anak yang suka menindas. Delia bukan penindas, tapi dia punya seorang adik kelasnya yang jadi korban. Adik kelasnya selalu curhat sama Delia, dan dia tahu kalau adik kelasnya itu lepas kendali dan akhirnya malah membunuh penindasnya. Delia juga hampir lepas kendali karena dia nyaris saja menumpahkan darah juga, tapi ya ... aku dan Delia berhasil menutupi kasus pembunuhan itu," jawab Hendra.

"Oh, soal itu ya? Pantas saja ... aku kira Delia sudah bisa melupakannya," kata Yoshi.

"Tidak, Delia tidak bisa, Yo. Delia akan selalu khawatir dengan korban penindasan dan masa depan mereka. Karena dia tahu hal buruk apa yang bisa terjadi. Delia banyak akrab dengan korban penindasan saat masih sekolah, karena itulah ... salah satu alasan lainnya kenapa aku membawa kasus ini kemari."

Semua orang mengangguk. Kalau begitu, pekerjaan mereka tidak hanya soal menangkap Jamie, tapi juga membantu menenangkan Delia kalau - kalau dia "meledak". Bisa bahaya juga kalau sampai Delia berniat untuk menghabisi seorang anak SMP karena kelakuannya. Mereka harus bisa menahan agar Delia tidak melakukan hal seperti itu.

Sementara itu, Delia kini berada di toilet, dan tengah membasuh wajahnya. Dia berusaha agar tidak meledak. Di dalam hatinya, dia menyumpah karena Hendra membawakan kasus seperti ini pada EG Group. Tapi di satu sisi, dia mensyukuri karena sang guru menawarkan kasus ini kepada mereka.

Delia masih saja tidak bisa merasa tenang. Kata "penindas" mengingatkannya akan kejadian buruk yang dialami oleh adik kelasnya. Dia tidak akan bisa tenang, kecuali semuanya selesai. Atau, setidaknya dia bisa memastikan kalau semuanya akan baik - baik saja.

Si perempuan melirik ke sekitarnya. Toilet sedang kosong, jadi dia akan memanfaatkan kesempatan ini. Di ambilnya ponsel dari saku roknya, lalu dia menekan sebuah nomor.

Calling "Lil Brother" ......

"Hei bocah! Apa kabar lu? Gimana, kangen sama gua nggak?!" celetuk Delia.

"Kirain siapa, rupanya kamu toh, Senpai! Iya, aku baik - baik saja kok! Dan nggak, aku nggak kangen sama Senpai!" sahut seseorang dari seberang panggilan.

"Aku bercanda kok Ra! Lagi ngapain sih kamu? Lagi berduaan sama pacarmu ya?"

"Nggak lah! Ini aku lagi di kampus, baru selesai kelas. Nayla mah lagi ada kelas. Senpai ini, walau cuma ada di sambungan telepon sekalipun tetap ngeselin ya? Gak heran aku nggak kangen sama dirimu."

"Kaliin aja lu kangen sama tabokan gua, gitu loh," sahut Delia, diiringi dengan sebuah kekehan.

"Idih, amit - amit jabang bayi! Kagak! Tabokan Senpai itu sakit, tahu!"

"Yakin lu? Biasanya juga kalau gua ketemu sama lu tapi gua kagak nabok lu pasti nanya 'tumben gak nabok', gitu."

"Lah kan cuma nanya. Karena Senpai kan jahat, kalau ketemu pasti nabok. Lah ini dirimu di mana sekarang, sempat - sempatnya nelpon?"

"Ya di mana lagi? Di kantor lah."

"Ya kaliin, aku kira Senpai lagi berduaan di mana gitu, sama kekasihmu itu loh~"

"Haish, mau mesra - mesraan kayak gimana coba? Ada empat makhluk lain yang menghuni ruangan yang sama denganku. Bisa dihajar gua kalau sampai kelihatan mesra - mesraan!"

"Eh? Jadi anggota kalian nambah lagi? Perasaan kamu baru saja gabung kan? Kok bisa ada dua orang lagi?"

"Elu mah kagak tahu ceritanya. Mau ngechat lu di BBM buat cerita juga malas, soalnya gua tau lu jarang online."

"Ya gommen, Senpai. Kan aku sibuk juga. Tapi kayaknya malam ini bisa deh kalau Senpai mau cerita. Aku juga kangen ngerusuh sama Senpai di chat."

Delia terkekeh, "Iya deh. Gimana kuliah lu?"

"Lancar kok. Ini juga mau ketemu dosen pembimbing. Soalnya minggu depan ada kunjungan buat praktek. Kayak meninjau lapangan gitulah, buat info sebelum praktek semester depan."

"Cieee, yang jadi anak praktek~"

"Dasar Senpai ...."

"Di mana nanti prakteknya? San Rio?"

"Iya. Kukira nggak bakalan cukup kuotanya. Eh rupanya aku dapat di sana. Bagus deh, jadi aku kan kenal gitu loh sama pengajarnya."

"Oooh, oke, bagus deh. Gimana sama yang lainnya? Apa kabar mereka? Masih sering di isengin sama Daniel gak lu?"

"Mereka baik - baik saja kok. Tadi kami makan siang bareng juga. Walau mereka juga pada sibuk kuliah."

"Gitu ya? Okelah,  semoga kalian sukses deh! Doain juga Senpai - mu ini biar bisa ngatasin kasus barunya ...."

"Widih, dapat kasus baru nih Senpai?"

"Yup!"

"Kasus apaan nih? Aku boleh tahu nggak?"

"Tanya sama Sensei deh, dia tahu kok."

"Hei! Aku kan nanya serius ini! Dasar Senpai baka!"

"Just kidding, Ra. Tapi bener kok, Sensei yang ngasih kasusnya."

"Oalah pantas saja. Pasti seru tuh kasusnya!"

"Bisa jadi? Baru juga di kasih tahu tadi, aku masih nggak tahu mau komentar apa. Kalau mau ceritanya, nanti malam ajalah. Kalau di sini nanti berisik. Katanya kamu tadi mau bimbingan kan?"

"Iya, ini lagi nungguin giliran sih, soalnya temanku duluan tadi!"

"Ya sudah, semoga dosen pembimbingmu nggak rese. Nanti hati - hati pulangnya yak? Jangan sampe lu ngebunuh anak orang ... lagi."

"Kok Senpai ngasih nasihatnya sadis betul begitu ya?"

"Tapi itu nasihat yang benar kan?"

"Terserah Senpai deh. Oke, bentar lagi giliranku konsultasi. Sampai nanti, Senpai!"

"Ya udah. Sampai nanti, bocah!"

"Senpaaaaai! Kebiasaan!"

Delia terkekeh, "Iya, iya. Dasar, sensian betul jadi anak. Take care, lil buddy."

"Makasih, Senpai."

"Ah, aku kan Senpaimu! Gak usah berterima kasih."

"Tapi boleh kan? Kalau gitu, nanti lagi ya Senpai?"

"Iya, daah!"

"Dah Senpai!"

Delia tersenyum. Kini perasaannya lebih lega, karena dia sudah mengetahui kabar adik kelas kesayangannya. Sekarang, saatnya dia kembali ke kasus barunya.

Ketika Delia kembali ke ruangan, teman - temannya tengah mengobrol dengan Hendra. Delia kembali ke posisinya yang berada di sebelah Yoshi. Kekasihnya memberikan sebuah senyuman kepada Delia, dan mendekat. Dia merangkul Delia, dan membiarkan kekasihnya bersandar padanya.

"Sudah mendingan, Del?" tanya Hendra.

"Iya ... maaf, aku agak ... bukannya aku tidak suka, hanya saja aku sudah bertemu banyak korban penindasan semasa di sekolah. Jadi yah, begitulah," jawab Delia.

"Tadi Hendra sudah cerita sedikit sih. Yah, sepertinya berat, ya?" kata Arin.

Delia melontarkan pandangan tajam pada Hendra. Sang guru meneguk liurnya, karena dia takut kalau Delia akan meledak dan memarahinya karena dia sudah memberitahu soal rahasia itu kepada orang lain. Tapi di luar perkiraannya, Delia malah menghela napasnya, lalu memandang teman - temannya.

"Tidak apa, Pak Hein. Ini sudah lumayan lama, kurasa tidak masalah kalau orang lain tahu. Toh, aku yakin kalau semua temanku bisa jaga rahasia. Namanya Akira, Akira Morikawa, kalau kalian mau tahu. Itu loh, yang kalian temui saat pesta dansa San Rio. Pak Hein pasti sudah cerita soal kejadiannya. Aku orang terdekat Akira, dan aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk mencegah Akira untuk bertindak buruk. Tapi aku tidak tahu kalau dia punya kekuatan untuk itu. Di satu sisi, aku ingin jadi orang yang membunuh penindasnya, tapi aku juga tidak bisa membiarkan Akira kenapa - napa karena apa yang sudah di lakukannya," tutur Delia.

"Sampai separah itu?" tanya Rendi.

"Yah, kadang anak San Rio bisa jadi keterlaluan penindasnya. Tapi orang luar tidak banyak tahu soal itu. Aku merasa ini adalah sebuah keajaiban karena Akira tidak betulan kehilangan akalnya."

"Rupanya kamu juga bisa peduli ya Del? Kukira kamu sedingin itu," kata Arin.

"Hei, tentu saja aku peduli! Begini - begini aku juga punya perasaan, tahu!"

"Hm, berarti kamu dekat ya sama dia? Jadi hubungan kalian cuma sebagai kakak dan adik kelas nih?"

"Kamu kira aku sempat pacaran sama bocah itu? Ya enggak lah! Dia itu kayak adikku sendiri. Sudah, itu saja. Akira itu seringkali kesepian, dan aku mencoba jadi sosok yang bisa dia jadikan teman. Andai aja aku bisa punya adek cowok ...."

"Daripada itu, mending kita yang punya anak cowok, Del," sahut Yoshi, lalu terkekeh.

"Hoo, oke! Kapan nih mau lamaran? Aku sih siap dilamar kapan saja!"

Semua orang yang ada di sana tertawa karenanya. Bahkan Rendi dan Arin. Arin sudah menyadari kalau Yoshi dan Delia punya hubungan spesial, dan kini dia bisa menerimanya. Toh, sekarang Arin punya Rendi di sisinya, jadi keduanya tidak terlalu iri karena hubungan yang dimiliki oleh Yoshi dan Delia.

"Oke, jadi soal itu kita sudahi saja. Mending, sekarang kita bahas soal narasumbernya Hendra. Apa saja yang sudah dia katakan padamu, Ndra?" tanya Pak Indra.

Hendra mengambil ponselnya, lalu menekan - nekan layarnya selama beberapa saat. Dia sepertinya tengah melihat - lihat riwayat percakapannya dengan narasumbernya itu.

"Sejauh yang kudapatkan ... Jamie memang dikenal sebagai anak yang suka memanfaatkan teman - temannya yang terlalu lugu. Minta kerjakan tugasnya lah, inilah, itulah. Belum lagi sifatnya yang suka mengejek orang di belakang doang, bukannya langsung dari depan. Lalu, dia juga bertingkah sok elit karena punya posisi di organisasi OSIS dan Pramuka, terutana karena reputasinya lumayan "bagus" di sekolahnya. Tipe pemeras yang haus perhatian memang si Jamie ini," jawab Hendra.

"Lengkap betul coba infonya. Ini teman sekelasnya atau agen rahasia sih yang kasih info?" tanya Bu Risa.

Hendra tertawa karena pernyataan Bu Risa, "Dia dengan sendirinya ngasih tahu semuanya. Cewek yang satu ini memang tipe orang yang frontal dan jujur sih, mirip lah sama Delia."

"Hah? Narasumbernya cewek? Seriusan ini?" tanya Yoshi.

"Iyalah. Kan perempuan adalah sumber gosip dan info terakurat. Dan dari seberapa frontal informan gua ini, sepertinya dia dapat di percaya. Walau ya, dia belum ngasih tahu identitasnya, aku cuma kenal nama alias dia saja."

"Intinya, kita tahu kalau Jamie bisa jadi calon orang brengsek dan pemeras. Jadi, apa yang akan kita lakukan untuk mengambil foto itu?" tanya Pak Indra.

"Itulah yang mau kubicarakan sama kalian. Ada yang punya ide?"

Semua orang di ruangan itu terdiam. Mereka sedang memikirkan ide apa yang terbaik untuk masalah mereka saat ini. Tapi sepertinya mereka masih menemukan sebuah kebuntuan.

"Hmm ... kalau kita labrak langsung ke rumahnya, jelas itu cara yang terlalu bego, walau itu adalah keuntungan kita sebagai polisi. Masalahnya, dia kan bisa saja membela diri dan bilang kalau kita melakukan usaha perampokan," ujar Bu Risa.

"Kalau tuh anak kita culik dengan tujuan untuk meminta foto itu ya nghak asyik, siapa tahu dia punya cadangan fotonya," tambah Delia.

"Kau terlalu sadis, Del ..." sahut Arin.

"Terus, kamu maunya bagaimana, Ndra? Kan kita juga tidak punya ide," ujar Pak Indra.

"Kalau kalian nggak ada ide ... aku bakalan coba memikirkannya selama beberapa hari kedepan. Kalau aku sudah dapat sesuatu, aku bakal kasih infonya ke kalian. Mungkin aku akan butuh beberapa pengamatan lebih lanjut dan info lainnya. Atau mungkin saja sebuah ide gila. Entahlah, nanti kita lihat saja," sahut Hendra.

"Okelah. Jangan kelamaan tapi Ndra! Bisa bahaya kalau kita lambat!"

"Iya, saya tahu. Saya juga maunya kasus ini segera selesai! Bisa bahaya kalau kita biarkan saja."

Perkataan Hendra itu ditimpali oleh anggukan kepala dari EG Group. Mereka tentunya juga ingin agar masalah ini selesai, karena kalau dibiarkan, sebuah skandal tidak akan bisa mereka hindarkan.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top